Disharmoni Pengaturan Pengisian Jabatan Publik oleh Jamaludin Ghofur, S.H., M.H.

Jakarta – Tahun ini pemerintah membuka pendaftaran CPNS di hampir semua lembaga negara. Salah satu persyaratannya adalah semua calon harus melampirkan Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK) yang menerangkan bahwa yang bersangkutan tidak pernah memiliki catatan kriminal di masa lalunya. Tanpa melampirkan syarat ini, maka siapapun tidak bisa mendaftar CPNS.

Syarat tidak pernah dipidana atau menjalani hukuman penjara berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap bagi CPNS diatur dalam Pasal 23 ayat (1) huruf b Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil yang berbunyi, setiap warga negara Indonesia mempunyai kesempatan yang sama untuk melamar menjadi PNS dengan memenuhi persyaratan (salah satunya) tidak pernah dipidana dengan pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana dengan pidana penjara 2 (dua) tahun atau lebih.

Ketentuan ini menimbulkan polemik di tengah-tengah publik sebab negara dianggap telah berbuat diskriminasi terhadap warga negaranya dalam menduduki jabatan dalam pemerintahan karena untuk jabatan tertentu (DPR, DPD, dan DPRD serta Kepala daerah) semua mantan narapidana bebas mencalonkan diri, sementara pada jabatan pemerintahan lainnya termasuk PNS diberlakukan syarat sebaliknya.

Persyaratan Diskriminatif

Dari tiga cabang kekuasaan negara yaitu legislatif, eksekutif, dan yudikatif, parlemen adalah satu-satunya lembaga yang pengisiannya tidak membutuhkan persyaratan tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Sementara, untuk menjadi Calon Hakim Agung dan Calon Presiden mempersyaratkan hal ini sebagaimana termaktub dalam Pasal 227 huruf k UU Pemilu.
Bahkan, jika diperinci lebih detail, saat ini terdapat tidak kurang dari 34 organ/lembaga negara yang keberadaannya disebut dalam UUD 1945 yang kesemuanya membutuhkan persyaratan tidak pernah menjadi terpidana bagi siapapun yang ingin mengisi jabatan tersebut kecuali untuk lembaga legislatif dan jabatan kepala daerah.

Kebijakan tersebut jelas diskriminatif, tidak berkeadilan, dan bertentangan dengan UUD 1945 yaitu pertama, Pasal 28I ayat (2), setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu. Kedua, Pasal 27 ayat (1), segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.

Ketiga, Pasal 28D ayat (1) yang berbunyi, setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Keempat, Pasal 28D ayat (3) yakni, setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.
Jalan Keluar

Ada dua hal yang dapat ditawarkan agar perlakuan diskriminatif dan tidak adil ini tidak terus berlangsung. Pertama, mengajukan gugatan permohonan pengujian semua peraturan yang mengharuskan calon pegawai atau pejabat publik untuk melampirkan SKCK yang menerangkan tidak pernah menjadi terpidana ke lembaga yudisial. Dasarnya, agar terdapat singkronisasi antar peraturan perundang-undangan yaitu semua jabatan publik diperlaukan syarat yang sama sehingga dappat mencegah terjadinya kebijakan diskriminatif oleh negara yang merugikan hak konstitusional warga negara.

Kedua, mengajukan kembali gugatan pengujian UU Pemilu ke Mahkamah Konstitusi (MK) yang memperbolehkan mantan napi menjadi caleg dan calon kepala daerah. Harapannya, MK akan merubah putusannya yang terdahulu (Putusan MK Nomor 42/PUU-XIII/2015) yang membolehkan mantan napi untuk ikut dalam kontestasi pemilu karena faktanya putusan tersebut telah menimbulkan ketidakadilan dan merugikan sebagian besar hak publik untuk mendapatkan calon-calon pejabat publik yang berkualitas dan berintegritas.

Dari dua pilihan di atas, opsi kedua jelas lebih masuk akal karena persyaratan tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan lebih berpihak kepada kepentingan masyarakat luas yaitu hak publik untuk mendapatkan aparatur pemerintahan yang cakap dan berintegritas. Sementara, opsi pertama yang meminta untuk menghapus syarat tidak pernah menjadi terpidana untuk semua pengisian jabatan publik hanya berpihak pada perlindungan hak asasi individu perseorangan.

Idealnya, perlindungan atas hak individu dan hak masyarakat saling melengkapi dan tidak untuk saling dipertentangkan. Namun demikian, jika terjadi situasi dilematik dimana kepentingan individu bertentangan dengan kepentingan publik maka harus diambil pilihan.

William D. Ross seorang filsuf moral mengajarkan asas prima facie untuk keluar dari situasi dilematik tersebut (Sidharta, 2006). Berdasarkan asas prima facie, jika dua nilai yang berada pada tataran yang sama, misalnya sama-sama fundamental, saling berhadapan maka harus memilih salah satu dari dua nilai untuk didahulukan dari nilai yang lainnya. Dalam hal harus memilih antara nilai kepentingan umum dan nilai kepentingan individu, maka berdasarkan pertimbangan utilitarianistik (manfaat), harus dipilih nilai kepentingan umum.

Berdasarkan pilihan itu, maka pelaksanaan dan perlindungan nilai kepentingan individu harus disesuaikan agar kepentingan umum dapat terwujud. Dengan sendirinya, pelaksanaan dan perlindungan hak-hak individu itu akan terkesampingkan atau terkurangi.

Pengajuan kembali permohonan pengujian peraturan tentang ketentuan mantan napi dalam pencalonan anggota legislatif dan calon kepala daerah ke MK tidak akan melanggar asas Ne bis in idem yaitu larangan mengajukan gugatan untuk kedua kalinya dalam perkara yang sama karena terdapat sejumlah alasan baru yaitu menyangkut ketidakadilan dan diskriminasi.

Menciptakan keadilan haruslah menjadi prioritas utama dalam semua putusan hakim sehingga bila terdapat sebuah putusan yang terbukti mencederai nilai keadilan tersebut, hakim wajib mengoreksinya. Bukankah Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 telah secara tegas menyatakan, tugas kekuasaan kehakiman adalah menegakkan hukum dan keadilan? Karenanya, tidak berlebihan bila dalam setiap putusan hakim selalu diawali dengan kalimat: Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Tanpa ada penyebutan kalimat ini, maka putusan hakim batal demi hukum.

Jamaludin Ghafur
dosen Hukum Tata Negara dan Peneliti pada Pusat Studi Hukum dan Konstitusi FH UII;
Kandidat Doktor FH UI Jakarta

Telah diterbitkan di media online news.detik.com