Penguatan Sistem Pengawasan oleh Despan Heryansyah, S.H., M.H.

Penguatan Sistem Pengawasan

Hingga Oktober 2018, setidaknya ada sembilan belas (19) kepala daerah yang ditangkap KPK karena kasus korupsi. Kasusnya beragam, mulai dari menjual jabatan, suap pelaksanaan proyek, dan suap meloloskan APBD, setidaknya tiga modus perkara di atas yang paling banyak dilakukan. Bahkan di satu daerah, ada 41 dari 45 wakil rakyat melakukan korupsi jamaah bersama dengan kepala daerah. Kondisi ini, tentu dapat dilihat dari banyak perspektif, ongkos politik yang mahal, moral pemimpin yang bobrok, budaya masyarakat yang tidak mendukung, dan lain sebagainya. Tulisan ini akan melihatnya dari sistem pengawasan yang lemah.

Inspektorat adalah salah satu lembaga yang saat ini memiliki kewenangan melakukan pengawasan dan pembinaan atas pelaksanaan pemerintahan di tingkat daerah. Konteks pengawasan sekaligus pembinaan ini, menjadikan wewenang inspektorat bukan hanya melakukan tindakan represif melainkan juga preventif, dalam artian inspektorat adalah mitra pemerintah daerah. Memang ada situasi dilema yang menjadikan inspektorat antara ada dan tiada, yaitu kelembagaan yang tidak independen, baik secara keorganisasian maupun finansial. Realitas ini menjadikan inspektorat sangat bergantung kepada kepala daerah, dan bahkan di banyak daerah berkong-kalikong dengan kepala daerah yang bersangkutan.

Inspektorat adalah lembaga internal pemerintahan, di mana laporan hasil temuan yang diperoleh inspektorat di lapangan diserahkan kepada masing-masing kepala daerah untuk ditindak lanjuti. Namun, hampir diseluruh daerah temuan yang dilaporkan oleh inspektorat ini tidak ditindak lanjuti dengan serius oleh kepala daerah. Hal ini tentu dapat dimaklumi karena semua kepala daerah ingin jajaran pemerintahannya terlihat “baik-baik” saja tanpa masalah, meski dengan mengenyampingkan temuan inspektorat. Bahkan, jika ditelisik lebih jauh, temuan inspektorat ini sesungguhnya melibatkan kepala daerah itu sendiri. Akibatnya, tidak sedikit temuan yang hanya berada di atas kertas namun tidak pernah ada tindakan lanjutan. Pejabat inspektorat yang dianggap terlalu “semangat” dan berani harus siap-siap dipindah tugaskan ke daerah lain di pelosok negeri. Lagi-lagi ketentuan pemindahan tugas yang tidak jelas ini menjadi dilema bagi pejabat inspektorat.

Langkah Perbaikan

Berkaca pada masalah di atas, maka setidaknya ada tiga hal yang perlu diperhatikan dalam konteks perbaikan peran, fungsi, dan tanggung jawab inspektorat. Pertama, keorganisasian inspektorat tidak boleh bergantung pada pemerintah daerah. Tentu sangat ironi, jika inspektorat melakukan pengawasan kepada pemerintahan daerah, namun secara keorgansasian sangat bergantung pada pemerintah daerah, akibatnya semua laporan temuan lapangan tidak ditindak lanjuti. Laporan temuan ini sebaiknya diserahkan kepada lembaga lain yang memiliki wewenang untuk mengawasi pemerintahan daerah. Kedua, finansial, bagaimanapun finansial dibutuhkan oleh inspektorat untuk menjalankan kewajibannya, jika finansial bergantung pada internal pemerintah daerah, maka situasi ini memaksa pejabat inspektorat untuk mejadi lunak dihadapan pemerintah daerah. Ketiga, syarat dan prosedur pemindahan jabatan yang jelas, agar pejabat inspektorat yang bersuara keras tidak terancam dipindah tugaskan ditempat lain, atau bahkan dibebas tugaskan untuk sementara waktu.

Saat ini, ada dua wacana yang digulirkan oleh pemerintah sebagai solusi atas kebuntuan pengawasan ini, yaitu pembentukan inspektorat nasional atau pembentukan inspektorat quasi nasional. Pembentukan Inspektorat Nasional tentu saja akan menjadikan inspektorat sebagai lembaga yang benar-benar independen, lepas dari campur tangan pemerintahan daerah, baik secara keorgansiasian maupun finansial. Namun, dengan demikian akan menjadikan inspektorat kehilangan perannya sebagai mitra pemerintah daerah dalam melakukan pembinaan atau langkah preventif, juga menjadikan inspektorat tumpang tindih kewenangan dengan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang saat ini juga sebagai pengawas eksternal. Selain itu, ketentuan ini juga akan bertentangan dengan UU lain, misalnya UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang memposisikan pengawasan sebagai lembaga internal.

Wacana kedua yaitu pembentukan inspektorat sebagai lembaga yang quasi nasional juga bisa disebut quasi independen. Dimana laporan temuan inspektorat tidak lagi diserahkan kepada pemerintah daerah setempat, melainkan kepada lembaga lain yang lebih tinggi tingkatannya, namun secara finansial masih dibebankan kepada Anggaran Daerah (APBD). Dengan model kedua ini, tentu keberadaan inspektorat menjadi lebih aman, karena selain tidak bertentangan dengan UU lain, inspektorat juga masih tetap bisa melakukan tindakan preventif lain sebagai mitra pemerintah daerah.

 

Oleh: Despan Heryansyah

(Peneliti Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK)  dan Mahasiswa Program Doktor Fakultas Hukum UII YOGYAKARTA)

Tulisan ini sudah diterbitkan di Harian Kompas, 6 Desember 2018