Studium Generale “Sport and Diplomacy”, 6 Desember 2018

Sangatlah tidak mungkin untuk memisahkan politik dari aspek aspek sosial, budaya, dan bahkan ekonomi dari kehidupan modern kita. Sejalan dengan itu, olahraga telah mengambil bagian penting dalam fenomena lintas-budaya ini sebagai salah satu peristiwa yang paling banyak dihadiri oleh manusia. Dengan demikian, hubungan diplomatik melalui kanal-kanal  politik antar negara merupakan instrumen penting untuk pengembangan olahraga. Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII) dan Institut Francais Indonesia (IFI Yogyakarta) berkolaborasi dalam menyelenggarakan Stadium Generale bertemakan “Olahraga dan Diplomasi”. Mengundang Mr. Cyrille Bret, seorang analis fungsi geopolitik olahraga, dan Mr. Barthelemy Courmont, pakar masalah politik dan keamanan di Asia.

Acara dimulai dengan pidato pembukaan dari, direktur IFI, Ms. Sarah Camara yang menunjukkan rasa terima kasihnya kepada pembicara, moderator, dan mitra yang telah bekerja sama dalam mewujudkan acara tersebut. Diikuti dengan pembukaan resmi  oleh Bapak Munthoha, S.H., M.Ag. Bapak Ginanjar kemudian mulai memoderasi Stadium Generale dengan ‘Bonjour’ hangat sebagai hadiah untuk para peserta.

Monsieur Bret menyatakan bahwa fenomena besar olahraga secara luas dikenal seperti FIFA, bersama dengan Winter Games di Korea. Olahraga memiliki tujuan untuk menciptakan; Kemakmuran, Perdamaian, Kekuasaan dan Pengaruh (3Ps), untuk bangsa atau penduduk yang mendukung acara tersebut. Kemakmuran seharusnya memajukan pembangunan negara melalui saluran-saluran sosial, ekonomi, kesehatan, infrastruktur, dan pariwisata dengan menyelenggarakan acara-acara olahraga tersebut. Olahraga diharapkan membawa visibilitas dan pengaruh terhadap suatu negara.

Monsieur Courmont berpendapat mengenai keprihatinan dalam pembuatan kelayakan dari 3Ps tersebut. Dalam hal kemakmuran, Athena telah ditinggalkan setelah pertandingan Olimpiade. Kesimpulan seperti ini tergantung pada manajemen dan kemampuan pihak berwenang untuk mengatur keberlanjutan dalam investasi yang melibatkan proses tersebut. Harus ada semacam kontrak sosial antara pemerintah dan masyarakat.

Untuk Perdamaian, sebagai contoh, kerja sama yang baik antar negara dapat dibentuk seperti Amerika Serikat dan Korea Utara dengan kebajikan olahraga. Tantangan untuk ini adalah pemeliharaan kerjasama untuk mencapai perdamaian antar negara.

Apakah 3P merupakan penyebab atau konsekuensi? Dalam banyak kasus, bukan lah masalah uang atau kekayaan, melainkan pengakuan atas kekuasaan, dan prestise. Ini berlaku untuk semua acara besar (Piala Dunia dan Olimpiade). Namun, gesekan politik bisa menjadi penyebab hambatan dari aktualisasi acara olahraga (dalam kasus Korea Selatan). “Masa depan perkembangan olahraga ada di tangan generasi muda,” kata Monsieur Bret.

Bapak Dodik Setiawan kemudian mendefinisikan diplomasi sebagai “bagian dari kegiatan internasional yang saling berhubungan dan kompleks, yang melibatkan pemerintah dan organisasi internasional untuk mencapai tujuan tertentu” meminjam dari Suryokusumo (1998), dengan hiasan beliau “diplomasi sebagai mesin urusan negara”. Ia menambahkan, olahraga bisa menjadi alat politik untuk mengumpulkan massa dan komunitas. Di sisi lain, acara olahraga dapat menjadi target penyerangan dari teroris dan kelompok ekstrimis, yang tercerminkan dari Olimpiade 1972 Munich dan Olimpiade Musim Panas Atlanta 1996.

Terlepas dari “sisi gelap” dari peristiwa-peristiwa tersebut, Olahraga juga bisa menjadi alat komunikasi, dan saluran diplomatik yang efektif. Terbukti dengan contoh keterlibatan Palestina yang pertama di ASIAN Games. Selanjutnya, merupakan kesempatan untuk meredakan ketegangan hubungan diplomatik. Terakhir, Olahraga akan melahirkan pengadopsian standarisasi hukum dan etika universal.

Acara Studium Generale kemudian ditutup dengan sesi tanya jawab yang menarik, kedua pembicara Perancis bersama dengan Bapak Dodik memberi empat wawasan penting. Pertama, merupakan upaya kolektif dan juga pengorbanan untuk mewujudkan pemeliharaan investasi bagi negara-negara. Untuk melakukan ini, elemen kesadaran publik, dan infrastruktur yang re-usable­ harus terpenuhi. Kedua, meskipun acara Olahraga besar menjadi target untuk kelompok ekstremis dan kriminal, bukan berarti bahwa mengadakan acara Olahraga semacamnya harus dihentikan. Selalu ada risiko dalam menyelenggarakan acara Olahraga. Tetapi keberhasilan dalam menyelenggarakan acara tersebut sangat bergantung pada manajemen negara tuan rumah dan pemerintah yang berwenang. Ketiga, E-sport bukanlah sepenuhnya olahraga yang ‘tradisional’ menurut Bapak Cyrille, akan tetapi tentu saja E-sport memiliki potensi untuk membawa kemakmuran (dengan dukungan finansial negara-negara), kedamaian (dengan mengadakan pertemuan antar-negara) dan kekuatan (keuntungan ketika menguasai keterampilan E-Sport semacam itu). Terakhir, keterlibatan negara-negara untuk kecenderungan bergabung dengan PBB dibanding FIFA adalah karena sifat dari organisasi-organisasi itu, yang cenderung bersifat politis.

Di akhir sesi, sebuah kuis juga diadakan untuk para peserta, dengan pertanyaan-pertanyaan yang datang dari moderator seputar topik negara Perancis. Para siswa bersemangat untuk menjawab dan diberikan hadiah sebuah tas jinjing dengan tanda tangan dari Institut Perancis.