Studium Generale: Membedah Kompleksitas Permasalahan yang dihadapi Konsumen di Indonesia

David-L-Tobing
David-L-Tobing

FH-UII. Permasalahan yang dihadapi oleh konsumen di Indonesia sebenarnya cukup kompleks. Oleh karena itu dibutuhkan suatu upaya untuk mencari solusi dan upaya hukum yang dapat ditempuh guna meningkatkan perlindungan terhadap konsumen di Indonesia. Hal ini disampaikan dalam Studium General tentang Perlindungan Konsumen pada tanggal 17 Juni 2014 lalu oleh David M.L. Tobing, SH., M.Kn di Ruang Sidang Utama Lantai III Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Jl. Tamansiswa 158 yang dihadiri oleh 150 peserta yang terdiri Dosen, Mahasiswa dan beberapa Instansi terkait.

Selaku komisioner Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) RI, beliau juga menjelaskan mengenai berbagai permasalahan konsumen di Indonesia dari ranah peraturan perundang-undangan hingga ranah prakteknya.

Substansi hukum di Indonesia tentang perlindungan konsumen diakomodir dalam UU No. 8 Tahun 1999 yang mengatur mengenai perlindungan konsumen baik secara preventif maupun secara represif. Selain dalam UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, UU tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga mengatur mengenai konsumen, namun dengan definisi yang berbeda. Dalam UU perlindungan konsumen, konsumen mencakup setiap orang (individu) yang memakai barang dan/atau jasa, sedangkan dalam UU OJK, konsumen adalah individu dan badan hukum, namun hanya terdiri atas konsumen pada lingkup tertentu, yaitu pada lembaga jasa keuangan. Akan tetapi, struktur hukum dan budaya hukum di Indonesia tentang perlindungan konsumen masih belum mendukung perlindungan terhadap konsumen yang efektif.

UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen sejatinya telah mengatur mengenai hak-hak konsumen seperti hak untuk didengar pendapat dan keluhannya, hak untuk mendapatkan informasi yang jelas, benar dan jujur, hak untuk dilayani secara benar, dan sebagainya. Akan tetapi, masih banyak pelaku usaha yang sering abai untuk memenuhi hak-hak sebagaimana diatur di dalam UU perlindungan konsumen tersebut. Oleh karena itu, seringkali terjadi sengketa antara konsumen dan perlindungan konsumen Dalam menyelesaikan sengketa tersebut, konsumen dapat menghubungi lembaga perwakilan konsumen ataupun lembaga penyelesaian sengketa. Lembaga perwakilan konsumen berwenang sebatas untuk menerima pengaduan dan memfasilitasi perdamaian antara kedua belah pihak, seperti BPKN (Badan Perlindungan Konsumen Nasional), Direktorat Permberdayaan Konsumen, LPKSM seperti YLKI, lembaga mediasi perbankan, Badan Mediasi Asuransi Indonesia dan OJK. Untuk menyalurkan pengaduan, BPKN menyediakan call center dengan nomor 153, sehingga konsumen dapat sewaktu-waktu menghubungi BPKN ketika menghadapi permasalahan. Sedangkan lembaga yang berwenang untuk menyelesaikan sengketa yakni Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) dan Pengadilan Negeri atau Arbitrase. Selain upaya tersebut, konsumen juga dapat melapor kepada polisi ketika terjadi tindak pidana. Hal ini pernah dilakukan dalam kasus pencurian pulsa sebesar Rp. 90.000,00 oleh provider PT. Telkomsel yang dilakukan oleh Bapak David M.L. Tobing. Hal tersebut akhirnya dapat mengubah kebiiakan, yakni Menkominfo melarang provider melakukan layanan berbayar tanpa seizin dari konsumen.

Akan tetapi, sikap konsumen di Indonesia sayangnya cenderung bersikap “nerimo” (pasrah) jika hak-hak sebagai konsumen dilanggar. Hal ini dibuktikan oleh riset pada tahun 1992 dan 2001 yang diselenggarakan oleh FH UI dan Departemen Perdagangan, bahwa konsumen Indonesia adalah konsumen yang pasrah dan tidak mau melakukan upaya hukum. Sikap pasrah ini disebabkan diantaranya karena masyarakat kita yang tidak suka konflik, access to justice yang berbelit-belit dan mahalnya proses pencarian keadilan, sehingga konsumen cenderung diam ketika haknya dilanggar oleh pelaku usaha. Oleh karena itu, masyarakat dihimbau untuk bersikap kritis dan mengupayakan hak-haknya yang dilanggar. Selain itu, diharapkan proses pencarian keadilan dapat diakses masyarakat lebih mudah dan murah, sebab kenyataan, BPSK yang seharusnya menyelesaikan perkara dalam waktu singkat, bisa sampai tiga atau empat tahun. Sehingga, konsumen dapat lebih mudah memperoleh keadilan dan dapat mendorong pelaku usaha meningkatkan pemenuhan hak-hak konsumen. | Materi Studium Generale |