FH Seminarkan Hate Speech Dalam Era Demokrasi

FH Seminarkan Hate Speech Dalam Era Demokrasi

FH Seminarkan Hate Speech Dalam Era Demokrasi

Tamansiswa, (23/12) Eksistensi delik penghinaan dan ujaran kebencian (hate speech) kembali menjadi perbincangan publik dengan berbagai pro dan kontranya. Hal ini dikarenakan Kepala Kepolisian RI ( Ka.Polri) mengeluarkan Surat Edaran ( SE) No. 6/X/2015 tentang penanganan Ujaran Kebencian.

Tamansiswa, (23/12) Eksistensi delik penghinaan dan ujaran kebencian (hate speech) kembali menjadi perbincangan publik dengan berbagai pro dan kontranya. Hal ini dikarenakan Kepala Kepolisian RI ( Ka.Polri) mengeluarkan Surat Edaran (SE) No. 6/X/2015 tentang penanganan Ujaran Kebencian. Salah satu pertimbangan dikeluarkannya SE tersebut karena ujaran kebencian dapat mendorong terjadinya kebencian kolektif, pengucilan, diskriminasi, kekerasan sehingga perlu diambil tindakan pencegahan sedini mungkin sebelum timbulnay tindak pidana sebagai akibat dari ujaran kebencian.
“ Esensi menghina melalui kajian hukum pidana adalah menyerang kehormatan atau nama baik, menghina tidak sama dengan mengkritik dan mengkritik beda dengan menghina, ” hal tersebut yang disampaiakan oleh Dr. Mudzakir, SH., MH pada seminar nasional “ Delik Penghinaan dan hate Speech” yang diselenggarakan oleh Departemen Hukum Pidana dan Hukum Dasar FH UII pada hari Selasa, 8 Desember 2015/ 26 Shafar 1436 H bertempat di R.Sidang Utama lantai 3 FH. Pada kesempatan tersebut, dihadirkan pula pembicara lainnya yaitu, Siti Noor Laila, SH ( Komisionare Komnas HAM RI), Dr. Suhandano, MA ( Dosen Ilmu Bahasa dan Budaya UGM), Iwan Awaluddin Yusuf, S.IP., M.Si ( Dosen Ilmu Komunikasi FPSB UII) serta Ari Wibowo, SHI., SH., MH selaku moderator. Dr. Mudzakir, SH., MH menyampaikan bahwa dengan adanya SE tidak membuat kebebasan berpendapat seseorang dibatasi, menurutnya, dari dulu hingga sekarang setiap orang dalam melakukan apapun akan selalu mendapatkan pembatasan yang berkaitan dengan hak orang lain. “ Penggunaan hak kebebasan menyampaikan pendapat tidak boleh melanggar kewajiban untuk menghormati harkat dan martabat orang lain” ucapnya.
Disisi lain, Siti Noor Laila mengungkapkan bahwa sasaran hate speech adalah tokoh antagonis yang selalu menghasut kaum mayoritas untuk memusuhi kaum minoritas melakukan kekerasan, diskriminasi atau tindakan-tindakan yang mengancam nyawa dan kehormatan kaum minoritas. Ditambahkannnya bahwa jika selama ini polisi baru dapat bertindak ketika kerusuhan telah terjadi, sehingga fungsi SE disini dianggap sebagai langkah awal polisi untuk mencegah kerusuhan denagn mengindetifikasi aktor hate speaker dan harus dapat meredam speechnya untuk mencegah konflik dan kekerasan massa. Dr. Suhandano, MA yang membahas dari segi batasan kriteria penghinaan dalam perspektif Bahasa dan Budaya Indonesia mengungkapkan bahwa makna adalah apa yang ditandai oleh bentuk, yaitu apa yang hendak kita sampaikan ketika kita berbicara atau apa yang ada dalam pikiran kita ketika kita mendengar ataupun membaca tuturan.
Selanjutnya , Iwan Awaluddin Yusuf, S.IP., Msi menyampaikan bahwa ibarat pisau bermata dua, media sosial juga kerap digunakan sebagai kataris bertindak negatif sampai dengan aneka bentuk tindakan yang menjurus kepada kriminalisasi. Tanpa disadari pula, pengguna media-sosial sering terlibat dalam tindakan kontraproduktif bagi kebebasan berpendapat, seperti trolling, provoking, spamming, bullying, hingga hate speech.
Dr. Aunur Rohim Faqih, SH., M.Hum dalam sambutannya dan membuka acara mengharapakn semogadengan diselenggarakan seminar ini dapat memberikan rekomendasi kepada pihak-pihak terkait, terkait penyikapan atas eksistensi delik penghinaan dan hate speech, serta SE No. 06/X/2015.