Semnas Clsd FH UII, Bersama Memagari Laut Nusantara
Semnas Clsd FH UII, Bersama Memagari Laut NusantaraJayakarta Hotel, CLDS FH UII kembali menyelenggarakan serangkaian kegiatan dalam rangka Sewindu CLDS dengan menggelar Seminar Nasional “ Pemberdayaan Desa Pesisir guna Mewujudkan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia” yang diselenggarakan pada tanggal 28 Januari 2016/17 Rabi’ul Akhir 1437 H di University Hotel UIN Yogyakarta.
Semnas Clsd FH UII, Bersama Memagari Laut NusantaraJAYAKARTA HOTEL. UIINES: CLDS FH UII kembali menyelenggarakan serangkaian kegiatan dalam rangka Sewindu CLDS dengan menggelar Seminar Nasional “ Pemberdayaan Desa Pesisir guna Mewujudkan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia” yang diselenggarakan pada tanggal 28 Januari 2016/17 Rabi’ul Akhir 1437 H di University Hotel UIN Yogyakarta.
Rektor UII, Dr. Ir. Harsoyo, M.Sc dalam sambutannya menyampaikan bahwa tema seminar nasional ini sejalan dengan visi poros maritim Presiden RI Ir. Joko Widodo untuk menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia. Beliau menambhakan bahwa begitu strategis dan pentingnya potensi bahari yang dimiliki Indonesia menjadi hal yang sangat penting bagaimana negara ini dapat memberdayakan desa pesisir yang tersebar diseluruh Indonesia. “ Semoga dengan terselenggaranya acara ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas kepada para generasi muda tentang bagaimana untuk dapat memberdayakan potensi bahari yang ada” Papar beliau.
Dr. Ahmad Aris, SP.,M.Si selaku Kasubid Pengembangan gugus Pulau Kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP) RI dalam keynote speech nya menyampaikan bahwa salah satu nawacita terkait kelautan adalah menghadirkan kembali kejayaan laut nusantara demi mewujudkan ksejahteraan segenap masyarakat Indonesia dengan merealisasikan program-program prioritas KKP yang diselenggarakan bersama-sama oleh pemerintah pusat dan daerah. Beliau menambahkan bahwa beberapa program prioritas KKP tersebut diantaranya adalah Desalinasi air laut yang mengolah air laut menjadi layak konsumsi, Pembangunan Desa Pesisir Tangguh ( PDPT) yang memfokuskan pada bina kelembagaan, bina manusia, bina usaha, bina sumber daya, bina lingkungan serta bina siaga bencana dan selanjutnya adalah pengembangan sentra kelautan dan perikanan terpadu ( PK2PT).
I Made Andi Arsana Dosen Geologi UGM dalam paparannya menjelaskan bahwa gagasan Indonesia sebagai poros maritim dunia dikarenakan ingin emwujudkan dua hal, yaitu penguatan Indonesia sebagai negara kesatuan dan Indonesia dijadikan kiblat bagi kajian mengenai kemaritiman di dunia.
Dr. Ir. Gellwyn Yusuf selaku Dirjen Kelautan dan perikanan KKP RI menyampaikan bahwa terdapat banyak permasalahan-permasalahan mendasar yang mempengaruhi optimalisasi pengembangan ekonomi dari sektor perikanan seperti halnya ketimpangan harga satu daerah dengan yang lainnya serta legal policy yang tidak mendukung. Selanjutnya, beliau menyampaiakan beberapa upaya guna mempersiapkan diri menghadapi masyarakat Ekonomi Asean, yaitu, pertama, Argobisnis harus mendekati sumber bahan baku, kedua, pendekatan nilai tambah melalui pemilihan teknologi, proses produk yang benar dan penguasaan pasar, ketiga, penguasaan sumber bahan baku, keempat, menyiapkan SDM dan terakhir, kebijakan regulasi pemerintah yang konsisten.
Prof. Kwartarini Wahyu Yuniarti, M.Med., Sc., Ph.D Guru besar Psikologi UGM menyampaikan bahwa permasalahan Indonesia saat ini banyak ditemuai masyarakat yang lemah moral, pendidikan serta ideologi negara yang hal ini mengakibatkan Indonesia kehilangan kesempatan untuk melesat jauh dalam rangka pengembangan kemaritiman. Ditambahkannya, keaadaan ini memerlukan penanaman kembali budaya bahari didalam pendidikan bagi generasi muda.
Selanjutnya, Prof. Jawahir Thontowi, SH., Ph.D menjelaskan bahwa kebijakan mengenai kelautan dalam negara kesatuan didasarkan pada pasal 25 UUD 1945 akan tetapi kondisi ini masih menjadi tarik menarik antara kementrian terkait kelautan yang menimbulkan ketidakefektifan pembangunan kemaritiman. Beliau menambahkan bahwa menjadi penting kedepannya adalah pembentukan undang-undang yang mengatur khusu mengenai kemaritiman.
Selanjutnya, acara dilanjutkan dengan pengumuman hasil lomba Karya Ilmiah Tingkat Nasional yang juga dihadiri oleh Menteri Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal Marwan Dja’far SE., SH., BBA. Pada LKTI yang mengusung tema Pemberdayaan Desa Pesisir guna mewujudkan Poros Maritim dunia diraih juara I dari Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan ITB Bandung ( FTSL ITB), juara II diraih Pendidikan Teknik Elektro FKIP Universitas Sebelas Maret, juara III oleh Fakultas Hukum UGM dan juara harapan I dan II masing-masing diraih oleh Politeknik Elektronika Negeri Surabaya dan Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI).

Penulis: Prof. Dr. Moh. Mahfud MD, S.H., S.U.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), Departemen Hukum Tata Negara

Pandangan bahwa pencegahan merupakan tugas utama yang harus dijadikan fokus pelaksanaan tugas Komisi Pemberantasan Korupsi adalah keliru dan agak menyesatkan. Sebab, jika pencegahan diartikan sebagai upaya preventif agar korupsi tidak sampai terjadi, KPK tidak akan dapat melakukan tugas itu secara proporsional dan efektif.

Adalah benar bahwa pencegahan jauh lebih penting daripada penindakan dalam pemberantasan korupsi, tetapi keliru kalau hanya karena itu lalu meminta KPK untuk memfokuskan diri pada langkah-langkah pencegahan.

Memang pemberantasan korupsi dinilai lebih berhasil jika jumlah orang yang dipenjarakan karena korupsi) menurun. Sebaliknya upaya pemberantasan korupsi akan dinilai gagal jika semakin banyak orang yang dipenjarakan karena korupsi. Maka, menjadi benar pula politik hukum yang menekankan bahwa pencegahan korupsi harus lebih diutamakan atau sekurang-kurangnya-dilakukan secara seimbang dengan penindakan. Undang-Undang No 30/2002 tentang KPK, misalnya, meniscayakan pencegahan dan penindakan sebagai langkah simultan dalam pemberantasan korupsi.

Namun, harus diingat, meskipun politik hukum kita mengatakan seperti itu bukan berarti bahwa tugas utama atau fokus kegiatan KPK adalah melakukan pencegahan korupsi. Secara hukum akan sangat sulit bagi KPK untuk melakukan pencegahan Pencegahan korupsi atas anggaran negara, misalnya, hanya bisa dilakukan pejabat pengguna anggaran di setiap instansi, padahal KPK bukanlah lembaga pengguna anggaran, kecuali untuk anggaran di KPK sendiri.

Misalnya, KPK tidak punya otoritas dalam penggunaan anggaran, seperti merencanakan pembelanjaan atau menentukan realisasinya di Kementerian Kesi-instansi tersebut ada pada Menteri atau pejabat-pejabat di instansi yang bersangkutan KPK tidak bisa mencegah korupsi dalam penggunaan anggaran kaPena dia bukan instansi pengguna anggaran.

Tugas Institusi lain

Di dalam hukum administrasi negara, pencegahan korupsi sebenarnya sudah diatur dalam konsep pengawasan melekat, yakni pengendalian oleh pimpinan instansi pengguna anggaran secara berjenjang sejak dari perencanaan, pelaksanaan, dan pelaporan. KPK tidak bisa melakukan itu karena KPK bukan pejabat pengguna anggaran di instansi-instansi itu. Yang bisa mencegah adalah pimpinan pengguna anggaran di instansi masing-masing.

Itulah sebabnya secara ekstrem bisa dikatakan bahwa mendorong KPK untuk hanya fokus pada pencegahan korupsi adalah keliru dan agak mustahil. Sebab, kalau ditanya bagaimana caranya KPK mencegah penyalahgunaan anggaran sedangkan ia tidak punya otoritas dalam penggunaan anggaran, tidak ada yang bisa menjawab dengan memberi landasan yuridis.

Tentu ada yang akan mengatakan bahwa pencegahan itu bisa dilakukan melalui bimbingan penggunaan anggaran sesuai peraturan dan prosedur-prosedur tertentu. Kalau itu yang dimaksud sebagai pencegahan korupsi, itu pun bukanlah fokus tugas KPK, melainkan menjadi tugas lembaga lain, seperti Kementerian Keuangan, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara, Lembaga Administrasi Negara, inspektorat jenderal, dan Badan Pemeriksa Keuangan.

Mungkin juga ada yang mengatakan bahwa pencegahan tidak harus selalu dalam bentuk pengawasan melekat di instansi pengguna anggaran, tetapi harus dilakukan melalui pendidikan anti korupsi dan kuliah hukum korupsi di perguruan tinggi. Kalau itu yang dimaksud dengan pencegahan, itu pun bukanlah fokus tugas KPK, melainkan menjadi tugas Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Ristekdikti, dan berbagai perguruan tinggi.

ral di tengah-tengah masyarakat agar orang menjadi beriman dan tak berani melakukan korupsi. Kalau itu yang dimaksud dengan pencegahan, itu pun bukanlah tugas utama KPK, melainkan menjadi tugas Kementerian Agama, ormas keagamaan, masjid, gereja, kelenteng ustaz, pastor, dan sebagainya.

Kalau yang dimaksud pencegahan adalah memberikan bimbingan teknis dan ceramah-ceramah tentang bahaya korupsi ke berbagai instansi seperti yang dilakukan oleh KPK selama ini, itu pun sebenarnya bukan tugas pokok KPK Bimbingan teknis dan penyuluhan penyuluhan anti korupsi tidak perlu dilakukan oleh KPK. Ia bisa dilakukan sendiri oleh instansi-instansi di luar KPK. Selama ini pun berbagai lembaga perguruan tinggi, LSM, dan ormas-ormas sudah melakukan itu tanpa merecoki KPK Para narasumber bimbingan teknis dan penyuluhan-penyuluhan seperti itu tidak kalah hebatnya daripada orang-orang yang dikirim oleh KPK.

Muatan UU KPK

Dengan menyatakan itu saya tidak bermaksud mengatakan KPK tidak perlu ikut melakukan pencegahan korupsi dalam arti melakukan tindakan sebelum korupsi terjadi. Saya hanya ingin mengingatkan, KPK tidak boleh diposisikan atau memposisikan dirinya untuk fokus hanya pada pencegahan Pencegahan bisa dilakukan oleh KPK, tetapi bukan sebagai tugas utama, melainkan sekadar ikut memfasilitasi pencegahan secara lintas institusi negara. Itu sudah cukup dilakukan oleh KPK melalui pembentukan deputi pencegahan yang sekarang sudah ada di sana.

tugas utama atau kegiatan KPK adalah pencegahan. Jika dibaca keseluruhan isi UU No 30/2002, fokus 3 tugas KPK justru pada penindakan.

Cakupan tugas-tugas KPK menurut Pasal 6, 7, sampai Pasal 13 UU No 30/2002, misalnya, memang dirinci ke dalam pencegahan dan penindakan disertai dengan uraian tentang bentuk-bentuk pencegahan dan penindakan. Akan tetapi, pengaturan tentang bentuk-bentuk pencegahan di dalam pasal-pasal tersebut berhenti di situ dan hanya bersifat teknis-administratif dan koordinatif serta sinergitas KPK dengan instansi-instansi lain.

Berbeda dengan pengaturan pencegahan, pengaturan tentang penindakan yang harus dilakukan oleh KPK yang dikolaborasi sangat detail dengan kewenangan-kewenangan khusus dan tidak terbagi. Tindakan penindakan oleh KPK diatur dengan sangat rinci, baik menyangkut hukum materiil maupun hukum formal atau acaranya.

Hukum materi yang sudah sangat jelas batas-batasnya dilengkapi juga dengan hukum acara mulai dari tahap penyelidikan, penyadapan, operasi tangkap tangan, penyidikan, penersangkaan penahanan, penyitaan, pendakwaan, penuntutan, dan eksekusi yang dilengkapi dengan kewenangan-kewenangan khusus, seperti penyadapan dan larangan pembuatan SP3 (surat perintah penghentian penyidikan) agar KPK super hati-hati sebelum menersangkakan orang.

Alhasil, pencegahan korupsi sebagai tugas umum negara adalah sangat penting, tetapi tugas pencegahan adalah tugas semua instansi, terutama sebagai langkah bersama yang sinergis. Adapun tugas KPK mencakup tugas pencegahan dan penindakan, tetapi fokus utamanya adalah penindakan. Adalah keliru kalau ada yang mendorong KPK atau KPK memposisikan dirinya untuk memfokuskan diri pada pencegahan, kecuali diartikan dengan tegas bahwa penindakan itulah bagian terpenting dari pencegahan oleh KPK.

Tulisan ini telah dimuat dalam koran SINDO, 20 Januari 2016.

Penulis: Prof. Dr. Moh. Mahfud MD, S.H., S.U.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), Departemen Hukum Tata Negara

Bayangkan ini, Mbok Supri diusir dari rumah dan kampungnya karena dituduh berbuat mesum dengan suami orang. Padahal, dia tak punya rumah lain dan tak punya sanak saudara. Alangkah buruk dan mengerikan jika ada orang atau sekelompok orang diserang dan diusir dari rumahnya, padahal dia tidak punya tanah lain atau tempat lain yang bisa menampungnya. Mau ke mana orang yang seperti itu? Mengeluh dan meminta tolong pun tidak ada yang menghiraukan.

Itulah sebabnya kita sangat kaget ketika meluas berita bahwa pengikut Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) di Kalimantan Barat diusir dari kediamannya, bahkan ada yang rumahnya dibakar. Tetapi, sebelum itu kita kaget juga dan sangat kesal ketika tahu bahwa Gafatar merupakan organisasi sesat” yang mengatasnamakan agama, sangat merusak, bahkan membahayakan sehingga kita menjadi paham jika banyak orang yang marah atau emosional terhadap para pengikut Gafatar.

Masalahnya memang sangat dilematis. Mengapa?

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) memberikan jaminan kepada setiap orang untuk memilih tempat tinggal berhakmemeluk agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya serta berhak kembali.

Berita penyerangan, pembakaran rumah-rumah dan pengusiran terhadap anggota-anggota Gafatar oleh sekelompok warga masyarakat jelas melanggar hak asasi manusia sebagaimana telah dipatri di dalam Pasal 28E UUD kita. Pematrian itu meniscayakan negara memberi perlindungan kepada setiap orang yang mengalami pengusiran. Kita tak dapat membayangkan betapa buruk dan mengerikan nasib orang yang diusir dari tempat tinggalnya, sementara dia tak mempunyai tempat lain yang bisa ditinggali.

Dalam kasus (bekas) anggota-anggota Gafatar misalnya ada yang sudah menjual semua lahan yang dimilikinya di Jawa daerah asalnya dan uangnya sudah dibelikan lahan baru di daerah lain. Sekarang mereka diusir secara beramai-ramai dari lahan sempit satu-satunya yang mereka miliki dan tinggali. Mau ke mana mereka? Siapa pun akan merasa ngeri menghadapi persoalan berat yang seperti itu karena mereka bukan hanya hidup tak nyaman, tetapi juga tak aman.

Kita mendirikan negara merdeka agar tidak ada lagi di negeri ini orang hidup tersiksa karena tak punya tanah dan tak punya harapan. Tetapi, di sisi lain kita mencatat juga bahwa Gafatar merupakan perkumpulan sesat yang membahayakan dan mengancam. Mungkin dengan berpedoman pada konstitusi bahwa setiap orang bebas memeluk agama kita tidak boleh merepresi pengikut Gafatar. Tetapi, gerakan mereka yang sangat menentang kemanusiaan memang bisa dilawan oleh banyak orang sebab langkah-langkah mereka bukan hanya merugikan mereka sendiri tetapi juga merusak orang-orang lain yang dirayunya dengan penuh kesesatan. Bayangkan saja banyak orang yang harus menghilangkan diri demi perjuangan yang diajarkan oleh Gafatar. Banyak orang yang hilang dan pergi meninggalkan keluarganya, oleh Gaftara diajak berjuang dengan memaksa pergi diam-diam dari suami atau istrinya. Gafatar juga memaksa anak dipisahkan dari orang tuanya katanya demi perjuangan suci.

Pada sisi yang lain lagi harus diingat pula bahwa banyak orang yang ikut Gafatar karena keadaan ekonomi kita yang buruk, timpang, dan tidak berkeadilan. Mereka tidak memahami keadaan, tetapi tidak mampu menanggung beban.

Mereka terperangkap untuk mencari jalan baru atau membuat jalan sendiri untuk mengatasi persoalan-persoalan berat yang dihadapi dalam hidup sebagai bangsa.

Kita sama sekali tidak setuju pada tindakan anarkistis masyarakat yang beramai-ramai menyerang dan mengusir anggota Gafatar karena hal itu jelas-jelas bertentangan dengan rasa kemanusiaan dan melanggar konstitusi. Tetapi, pada sisi lain kita paham atas munculnya kemarahan masyarakat terhadap pengikut Gafatar karena ajaran keyakinannya yang merusak.

Ada dilema. Karena, selain memberikan perlindungan terhadap setiap orang untuk memeluk agama masing-masing. konstitusi juga melarang setiap orang merusak kehidupan masyarakat karena hak asasi orang per orang tak bisa dilaksanakan secara terpisah dari hak masyarakat Itulah sebabnya bahasa yang digunakan dalam konteks kebebasan beragama dalam konstitusi kita adalah toleransi beragama yang berkeadaban. Itu juga yang dikatakan oleh Bung Karno dalam pidato di depan Badan Penyelidik Usaha usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) tanggal 1 Juni 1945.

Dalam kontekst ini kita menjadi paham, mengapa pada 1965 Presiden Soekarno mengeluarkan Penetapan Presiden Nomor 1 Tahun 1965 yang kemudian dikukuhkan menjadi UU No 1/PNPS/1965 yang berintikan larangan penistaan atau penodaan agama. Kita memahami pembentukan penpres yang kemudian dikukuhkan menjadi UU tersebut didasarkan pada pandangan agar tidak ada orang dengan seenaknya melahirkan ajaran yang kemudian disebutnya sebagai agama, padahal ajaran yang disebut agama itu menyempal, menodai, dan merusak ajaran pokok dari agama yang sudah ada.

UU tersebut penting justru untuk melindungi warganegara dari tindakan main hakim sendiri oleh warga masyarakat lain yang merasa keyakinannya dirusak. Kita harus mendorong dan mendukung pemerintah untuk menyelesaikan masalah Gafatar ini dengan berpijak pada kemanusiaan dan kewajiban konstitusional negara.

Tulisan ini telah dimuat dalam koran SINDO, 23 Januari 2016

PHKIHTB FH UII Adakan Pertemuan Sentra HKI SE DIY-JATENG
PHKIHTB FH UII Adakan Pertemuan Sentra HKI SE DIY-JATENGLawu, (21/01) Dalam rangka meningkatkan kerjasama dalam bidang Hak Kekayaan Intelektual (HKI), Pusat Hak Kekayaan Intelektual, Hukum, Teknologi dan Bisnis (PHKIHTB) FH UII menggelar pertemuan sentra-sentra HKI se DIY dan Jawa-Tengah pada hari Kamis, 21 Januari 2016/ 10 Rabi’ul Akhir 1437 H beretempat di Auditorium LKBH FH UII di Jl. Lawu Kota Baru.
PHKIHTB FH UII Adakan Pertemuan Sentra HKI SE DIY-JATENGLawu, (21/01) Dalam rangka meningkatkan kerjasama dalam bidang Hak Kekayaan Intelektual (HKI), Pusat Hak Kekayaan Intelektual, Hukum, Teknologi dan Bisnis (PHKIHTB) FH UII menggelar pertemuan sentra-sentra HKI se DIY dan Jawa-Tengah pada hari Kamis, 21 Januari 2016/ 10 Rabi’ul Akhir 1437 H beretempat di Auditorium LKBH FH UII di Jl. Lawu Kota Baru.
Dekan FH UII, Dr. Aunur Rohim Faqih, SH., M.Hum dalam sambutannya berharap agar pada pertemuan dan sharing ini dapat melahirkan sesuatu hal yang baru khususnya pada bidang hak kekayaan intelektual. Ditambahkan beliau bahwa sebaik-baik pusat studi adalah yanng dapat memberikan manfaat kepada masyarakat luas.
Kepala PHKIHTB FH UII, Budi Agus Riswandi, SH., M.Hum menyampaikan bahwa pertemuan akan diisi dengan diskusi bersama para rekan di Sentra HKI se DIY-Jawa-tengah denagn tiga point penting pembahasan, diantaranya adalah sharing informasi mengenai sentra HKI, Sharing informasi mengenai RUU Ekonomi kreatif dan pembahasan selanjutnya adalah pembentukan kelembagaan forum sentra HKI se DIY dan Jawa Tengah.
Pada peretemuan tersebut, hadir perwakilan sentra HKI DIY – Jawa-tengah diantaranya adalah dari UPN, UGM, Universitas Muhamadiyah Magelang, Unsoed, UMS, BPBPKI serta Balitbang.

Penulis: Prof. Dr. Moh. Mahfud MD, S.H., S.U.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), Departemen Hukum Tata Negara

Pemilihan umum kepala daerah (pilkada) 2015 secara umum telah terlaksana dengan baik. Pilkada berlangsung tanpa kekerasan atau kegaduhan yang berarti bahkan cenderung sepi sehingga ada yang mengatakannya tidak seperti “pesta demokrasi”. Namun, situasi seperti itu adalah lebih baik daripada terkesan ada pesta tetapi hanya menjadi hura-hura yang kontraproduktif.

Penyelenggara pilkada tahun 2015 patut diapresiasi karena sudah mempersiapkan dan melaksanakan pilkada, sampai pada penetapan hasil penghitungan suara oleh KPU, dengan baik. Tahapan pilkada memang belum sepenuhnya selesai karena masih ada sengketa hasil pilkada yang sedang berproses di Mahkamah Konstitusi (MK). Benar yang saya kemukakan dulu bahwa berdasar pengalaman masa lalu gugatan dari pihak yang kalah akan tetap membanjir.

Dulu saya pernah memperkirakan munculnya minimal 135 kasus masuk ke MK dari 269 pemilukada 2015. Ternyata MK menerima 147 kasus yang diajukan dari 264 pemilukada yang sudah dilakukan pemungutan suara riya setelah ada lima daerah yang pemungutan suaranya ditunda. Tetapi membanjirnya kasus yang masuk ke 15 MK itu tampaknya akan dapat diselesaikan secara hukum dalam waktu yang tepat sesuai dengan waktu yang tersedia, 45 hari.

Belajar dari pengalaman masa lalu, masalah sengketa pilkada 2015 sudah diantisipasi oleh pembentuk UU. Menurut Pasal 158 UU No. 8 Tahun 2015 sengketa hasil pilkada oleh MK hanya dilakukan terhadap kasus yang selisih hasil penghitungan suaranya tidak lebih dari(maksimal) 2%. Dengan pembatasan ini maka dari 147 kasus yang masuk ke MK, kabarnya, hanya akan ada sekitar 25 kasus yang pokok perkaranya bisa diperiksa.

Itupun Cara pembuktiannya relatif mudah, tinggal cross check dokumen (misalnya formulir C.1) antar pihak kemudian, kalau perlu, dihitung kembali di sidang MK. Selesailah.

Pemenangnya bisa ditetapkan secara cepat dan bisa segera dilantik. Meskipun begitu bukan berarti semua masalah bisa dianggap selesai, apalagi dianggap benar: Masih ada beberapa dilema hukum yang mengganggu atau bisa mencederai demokrasi substansial sehingga perlu dipikirkan untuk pilkada-pilkada yang akan datang.

Dengan adanya perbatasan maksimal selisih 2% dari hasil penghitungan suara yang bisa diperiksa sebagai sengketa di MK maka bisa terjadi, banyak kecurangan-kecurangan yang dilakukan di lapangan yang selin sihinya sengaja dilebihkan dard 2% sehingga Tidak bisa lagi diadili di Mk, Ratna Sarumpaet dan kawan kawan menemukan di daerah tertentu ada kecurangan yang luar biasa sehingga calon tertentu menang secara mutlak, selisihnya jauh diatas 2%.

Menurut Ratna pembatasan 2% itu justru membuka peluang terjadinya kecurangan yang lebih serius Hingga pihak yang mad curang sudah merancang agar bisa menang di atas 2%. Demi Demokrasi substantial, menurut Ratna, pembatalan hasil pilkada karena kecurangan atau pelanggaran yang dilakukan secara terstruktur, sistematis, dan masif masih perlu diberlakukan.

Kalau hanya menggunakan ukuran kuantitatif seperti 2%, menurut Ratna, demokrasi bisa semakin rusak dan berlangsung formalitas prosedural semata, awas pilkada harus serius nmengawasi dan pelanggaran pidana dan administrasi pemilu-kada harus diselesaikan sebelum penetapan hasil suara dilakukan oleh KPU tenyata tidak bisa berjaları efektif sehingga perusakan terhadap demokrasi subtatial tetap berlangsung.

Tetapi masalahnya ya memang tidak sesederhana itu. Berdasarkan pengalaman jika pengadilan membuka peluang untuk menilai pelanggaran yang bersifat kuantitatif dengan patokan terstruktur sistematis, dan masif maka banyak pihak yang kalah akan berperkara dan mencari-cari alasan yang sering tak masuk akal untuk menggugat keputusan KPU yang sudah memenangkan salah satu pasangan calon dengan benar.

Mungkin untuk pemilukada 2015 solusi yang diberlakukan oleh UU No. 8 Tahun 2013 yang menentukan batas selisih maksimal 2% bisa diberlakukankarenaatùratimaintentang ini sudah ditetapkan sebelum pilkada dimulai. Tetapi demi pembangunan demokrasi yang substansial dan bukan formal-prosedural belaka maka untuk pemilukada-pemilukada yang akan datang perlu dicari solusi baru.

Ada Beberapa Hal Lain Yang Juga perlu diperbaiki dalam pilkada – pilkada berikutnya misalnya tentang tampilnya pasangan calon tunggal. MK sudah memberi solusi yang baik untuk tahun 2015 dengan membolehkan pilkada yang hanya menampilkan pasangan calon tunggal. Pembolehan pasangan calon tunggal itu baik tetapi menyembunyikan masalah besar Dengan pembolehan tampilnya pasangan calon tunggal bisa saja pada pilkada mendatang ada orang kuat yang memborong semua parpol dengan harga tertentu agar mendukung dirinya atau pasangan calon tertentu untuk tampil sebagai pasangan calon tunggal. Akan sangat berbahaya jika berbohong parpol-parpol itu adalah koruptor.

Dengan membeli dukungan semua parpol atau sebagian terbesar parpol yang bisa menutup peluang pasangan calon lain maka bisa muncul calon tunggal yang langsung menang. Memang kemungkinan ini masih bisa dibantah dengan kemungkinan munculnya pasangan calon perseorangan. Tetapi faktanya sangat sedikit pasangan calon perseorangan yang bisa muncul.

Masih banyak dilema dan problema dalam hukum pilkada yang perlu terus menerus dipikirkan untuk diperbaiki agar -pada masa mendatang menjadi lebih baik. Kita tak perlu merasa risih untuk selalu melakukan perbaikan karena hukum pilkada kita memang masih bertahan dalam proses eksperimentasi yang belum selesai.

Tulisan ini telah dimuat dalam koran SINDO, 9 Januari 2016.

Informasi-Ujian-Remediasi-Semester-Ganjil-2015-2016
Informasi-Ujian-Remediasi-Semester-Ganjil-2015-2016

FH-UII, 13 Januari 2016. Berdasarkan Surat Keputusan Rektor UI) Nomor 02/SK-Rek/DA/2016 tentang Pedoman Teknis Penyelenggaraan dan Biaya Ujian Remediasi pada Program Studi Strata-1 UII Semester Ganjil Tahun Akademik 2015/2016, maka bersama ini kami sampaikan Pedoman Teknis Ujian Remediasi bagi Prodi S1 Ilmu Hukum Fakultas Hukum UII |Klik disini |
 
 
 

FH UII Kembali Jalin Kerjasama Dengan Pengadilan Negri Yogyakarta
FH UII Kembali Jalin Kerjasama Dengan Pengadilan Negri YogyakartaTamansiswa, (13/01) Seperti diketahui bahwa FH UII memiliki Mata Kuliah Kemahiran Hukum ( MKKH) yang bersifat wajib dan pilihan. Salah satu MKKH yang wajib ditempuh oelh para mahasiswa FH UII adalah mata kuliah Kemahiran Hukum yang mana para mahasiswa diajarkan tahapan-tahapan persidangan yang mana kuliah tersebut diampu langsung oleh dosen yang merupakan para hakim aktif di Indonesia.

FH UII Kembali Jalin Kerjasama Dengan Pengadilan Negri YogyakartaTamansiswa, (13/01) Seperti diketahui bahwa FH UII memiliki Mata Kuliah Kemahiran Hukum ( MKKH) yang bersifat wajib dan pilihan. Salah satu MKKH yang wajib ditempuh oelh para mahasiswa FH UII adalah mata kuliah Kemahiran Hukum yang mana para mahasiswa diajarkan tahapan-tahapan persidangan yang mana kuliah tersebut diampu langsung oleh dosen yang merupakan para hakim aktif di Indonesia.

Salah satu MKKH yang wajib ditempuh oelh para mahasiswa FH UII adalah mata kuliah Kemahiran Hukum yang mana para mahasiswa diajarkan tahapan-tahapan persidangan yang mana kuliah tersebut diampu langsung oleh dosen yang merupakan para hakim aktif di Indonesia.Guna menunjang kegiatan perkuliahan Mata Kuliah Praktik Peradilan, maka FH UII kembali menandatangani Perjanjian Kerjasama dengan Pengadilan Negri Yogyakarta guna memberikan kesempatan bagi para mahasiswa untuk dapat melihat langsung serta mengikuti proses persidangan yang ada di Pengadilan Negri Yogyakarta.

Ketua PN Yogyakarta, Sunadi, SH., MH dalam sambutannya menyampaikan bahwa kerjasama yang telah berlangsung selama ini adalah bagian dari saling bersinergi mencerdaskan bangsa, terutama yang keterkaitannya dengan Praktik Peradilan serta peningkatan kualitas pada Ilmu Hukum di Indonesia. Selanjutnya, Dekan FH UII, Dr. Aunur Rohim Faqih, SH., M.Hum dalam sambutanya berharap mata kuliah Praktik Peradialn yang diampu langsung oleh para hakim aktif ini dapat membentuk para mahasiswwa FH untuk dapat menjadi praktisi Hukum yang berkarakter dan profesional.
Hadir pada kesempatan tersebut pimpinan Pengadilan Negri Yogyakarta, Pimpinan FH UII, Kepala-kepala Departemen serta Kepala Divisi di lingkungan FH UII.
Awali Tahun 2016, FH UIR Kunjungi FH UII
Awali Tahun 2016, FH UIR Kunjungi FH UII Tamansiswa, (11/01) Mengawali tahun 2016, tepatnya pada Senin, 11 Januari 2016/30 Rabi’ul Awal 1437 H bertempat di Ruang Sidang Utama Lantai 3, FH UII menerima kunjungan para Pimpinan, Dosen dan Karyawan dari Fakultas Hukum Universitas Islam Riau ( UIR).
Awali Tahun 2016, FH UIR Kunjungi FH UIITamansiswa, (11/01) Mengawali tahun 2016, tepatnya pada Senin, 11 Januari 2016/30 Rabi’ul Awal 1437 H bertempat di Ruang Sidang Utama Lantai 3, FH UII menerima kunjungan para Pimpinan, Dosen dan Karyawan dari Fakultas Hukum Universitas Islam Riau ( UIR).
Pembantu Dekan I FH UIR, Dr. Abdul Thalib, SH., MSL dalam kesempatan tersebut menyampaikan bahwa bagi FH UIR, FH UII adalah tetua bagi FH UIR, yang mana beberapa besar dosen serta pimpinan FH UIR adalah alumni dari FH UII. Dekan FH UII, Dr. Aunur Rohim Faqih, SH., M.Hum dalam sambutannya juga berharap bahwa Universitas-Universitas Islam di Indonesia harus tetap bersinergi bersama-sama untuk dapat berfastabiqul khoirat dengan universitas lainnya, beliau juga menambahkan bahwa semoga silaturahmi antara FH UIR dan FH UII tetap dapat selalu ditingkatkan.
Suasana semakin hangat ketika diberikan waktu seputar tanya jawab, banyak dari hadirin menanyakan terkait model pembelajaran yang diterapkan di FH baik pada program reguler maupun International Program, sistem keuangan di FH UII serta kegiatan pusat-pusat studi yang ada di lingkunagn FH UII. Dekan FH UII, Dr. Aunur Rohim Faqih, SH., M.Hum didampingi ketua program studi SI Ilmu Hukum, hanafi Amrani SH., MH., LLM., Ph.D serta para Kepala Divisi FH memberikan penjelasan dari berbagai pertanyaan yang diajukan oleh para hadirin kunjungan.
LKBH FH Gelarkan Perkara Kasus Perbankan
LKBH FH Gelarkan Perkara Kasus PerbankanTamansiswa, (06/01) Otoritas Jasa Keuangan (OJK) adalah lembaga negara yang dibentuk berdasarakan UU no. 21 Tahun 2011 yang berfungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan didalam sektor jasa keuangan.
LKBH FH Gelarkan Perkara Kasus PerbankanTamansiswa, (06/01) Otoritas Jasa Keuangan (OJK) adalah lembaga negara yang dibentuk berdasarakan UU no. 21 Tahun 2011 yang berfungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan didalam sektor jasa keuangan. OJK adalah lembaga independen yang bebas dari campur tangan orang lain, yang mempunyai fungsi, tugas dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan dan penyidikan.
Sehubungan dengan kasus yang ditangani Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum (LKBH) FH UII terkait penahanan hak-hak pegawai bank yang melakukan tindak pidana perbankan, yang mana yang bersangkutan telah menerima surat PHK dari bank dimana ia bekerja namun pihak bank masih menahan seluruh hak atau pesangon yang seharusnya klien dapatkan, termasuk uang tabungan pribadi yang ada di buku tabungan, oleh karena hal tersebut, LKBH FH UII menyelenggarakan acara Gelar Perkara Panel terkait kasus perbankan pada Rabu, 6 Januari 2016/ 25 Rabi’ul Awal 1437 H bertempat di Ruang Sidang Utama Lantai 3. Kegiatan tersebut bertujuan untuk memberikan penjelasan terkait bagaimanakah peran OJK dalam dunia perbankan dan adakah kewenangan OJK untuk meminta hak-hak pegawai bank yang melakukan tindak pidana perbankan. Hadir pada gelar perkara tersebut adalah Dr. Surach Winarni, SH., M.Hum selaku dosen FH UII dan praktisi perbankan serta Probo Sukesi SE selaku kepala bagian pengawas bank di OJK.
Dalam kesempatan gelar perkara tersebut, Dr. Surach menyampaikan bahwa operasional bank berpotensi adanya tindak pidana baik dalam kategori pidana umum yang diatur dalam KUHP seperti perampokan di bank, gendam, penipuan yang dilakukan nasabah, cek kosong dan lainnya, ataypun yang dikategorikan sebagai tindak pidana khusus yang diatur dalam UU perbankan diluar KUHP. Beliau juga menambahkan bahwa terdapat beberapa kekhususan yang menyangkut tindak pidana bank yang diatur dalam UU Perbankan, dua diantarnya adalah sanksi diberikan pada pelaku yaitu “ orang per orang” yang melakukannya termasuk yang menyuruh melakukannya, bukan badan atau institusi bank, selanjutnya, kekhususan lain yang menyangkut tindak pidana bank adalah perbuatan kejahatan dilakukan dirinci atau diatur secara detail.
Probo Sukesi SE selaku kepala bagian pengawas bank di OJK memberikan beberapa tanggapannya terkait kasus tindak pidana perbankan tersebut. Beliau menyampaiakan bahwa dari tuga pokok OJK tercermin bahwa tugas OJK adalah pengaturan kelembagaan lemabga di sektor jasa keuangan, sedangkan dari kasus yang dipaparkan menunjukan bahwa keberatan yang ajukan adalah masalah perdata pengajuan atas hak-hak yang bersangkutan yang ditahan, sehingga beliau menegaskan bahwa hal tersebut bukan merupakan ranah OJK.
Probo Sukesi kembali menambahkan bahwa jika dikaitkan dengan perlindungan konsumen sektor jasa konsumen, maka keberatan yang klien ajukan adalah juga bukan merupakan ranah perlindungan konsumen. Pada akhir paparannya, beliau memberikan alternatif yang dapat diajukan oleh yang bersangkutan untuk menggugat bank secra perdata tanpa melibatkan peran OJK dan lebih memfokuskan tuntutan haknya lebih sebafia individu pegawai yang dikaitkan dengan UU ketenagakerjaan.
Tahun Baru IKP FH UII Lantik Pengurus Baru
Tahun Baru IKP FH UII Lantik Pengurus BaruMungkind, (2/01) Mengawali tahun 2016, Ikatan Keluarga Pegawai (IKP) Fakultas Hukum UII menggelar rapat koordinasi kerja dan pelantikan pengurus baru IKP FH di Orang Utan Resto yang selanjutnya diikuti dengan kegiatan Outbond dan Rafting pada hari Sabtu, 2 Januari 2016/ 21 Rabi’ul Awal 1437 H.
Tahun Baru IKP FH UII Lantik Pengurus BaruMungkind, (2/01) Mengawali tahun 2016, Ikatan Keluarga Pegawai (IKP) Fakultas Hukum UII menggelar rapat koordinasi kerja dan pelantikan pengurus baru IKP FH di Orang Utan Resto yang selanjutnya diikuti dengan kegiatan Outbond dan Rafting pada hari Sabtu, 2 Januari 2016/ 21 Rabi’ul Awal 1437 H.
Dekan FH UII, Dr. Aunur Rohim Faqih, SH., M.Hum dalam sambutannya seusai melantik pengurus IKP Periode Tahun 2015-2018 menyampaikan harapannya agar para pengurus baru dapat menjalankan tugasnya dengan lebih baik dan berharap agar IKP FH UII melalu berbagai program-program kerjanya dapat memberikan manfaat kepada seluruh anggota IKP dilingkungan FH UII.
Ketua IKP FH UII, Dr. Abdul Jamil, SH., MH saat memimpin rapat koordinasi kerja IKP FH menyampaikan beberapa rencana program-program kerja yang akan dilaksanakan serta berharap agar seluruh keluarga IKP FH UII untuk turut aktif memberikan saran serta masukan-masukannya dan kepada para pengurus diharapkan dapat menjalankan tugas yang diberikannya dengan maksimal. Beliau juga berharap agar kegiatan OutBond dan Rafting atau kegiatan-kegiatan lainnya yang diselenggarakan dapat lebih meningkatkan silaturahim antar sesama anggota IKP FH UII. Selanjutnya, seluruh anggota IKP FH UII mengikuti kegiatan Outbond dan Rafting di di Elo River, Mungkid Magelang.