TAMANSISWA. (UIINEWS): Rabu, 22 Syawal 1437 H/ 27 Juli 2016 bertempat di Ruang Sidang Utama lantai 3 Fakultas Hukum UII, Kantor Aliansi Universitas dan Industri (KAUNI) UII menyelenggarakan agenda Sosialisasi KAUNI yang dihadiri oleh pimpinan serta para dosen di FH UII.

Read more

Penulis: Prof. Dr. Moh. Mahfud MD, S.H., S.U.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), Departemen Hukum Tata Negara

Berita yang muncul Rabu dua hari yang lalu, itu mengejutkan bagi orang yang tidak paham hukum, tetapi tidak berarti apa-apa bagi orang yang paham hukum dan peta permainan politik.

Bagi orang yang paham hukum, berita itu bisa dianggap sebagai lucu-lucuan dan bagi yang suka mengamati politik berita itu hanya bagian kecil dari belantara permainan politik di negeri ini. Berita apa gerangan?

Beritanya, “Pengadilan Rakyat Belanda Menyatakan Indonesia Bersalah atas Pembunuhan Anggota PKI”. Hagh? Orang yang tidak paham hukum terkejut, ada yang panik dan ada yang senang, tergantung dari posisinya.

Padahal dari sudut hukum, tidak ada pengadilan yang membuat putusan seperti itu. Yang memutuskan itu ternyata bukan pengadilan, melainkan sekelompok orang yang kemudian diberi nama agak mirip dengan pengadilan, yakni International People International Peoples Tribunal on Crimes Against Humanity 1965 (disingkat IPT).

Dalam kesimpulan yang disebut putusan) itu, IPT yang dipimpin oleh Saskia E Wieringa juga meminta pemerintah Indonesia untuk segera meminta maaf kepada seluruh korban dan memberikan kompensasi serta pemulihan nama baik. Se gawatitukah?”Apa Konsekuensi putusan pengadilan IPT Den Haag Itu terhadap Indonesia?”, demikian pertanyaan-pertanyaan yang masuk ke akun Twitter, WhatsApp, dan pesan pendek di telepon genggam saya.

Atas pertanyaan itu saya menjawab, “Tak ada konsekuensi apapun. Pengadilan Rakyat di Den Haag itu hanya dagelan, bukan pengadilan resmi, hanya lucu-lucuan saja”.  Sebab yang dikatakan sebagai Pengadilan Rakyat Belanda oleh berita itu adalah IPP, Sebuah tim yang dibuat oleh aktivis-aktivis yang bergerak di bidang perlindungan hak asasi manusia (HAM) di Indonesia dan Belanda.

Tugas IPT tersebut, taroklah mengadili kesalahan pemerintah Indonesia pada apa yang kita kenal sebagai peristiwa G30 S/PKI. Karena IPT bukan lembaga peradilan resmi, melainkan hanya sebuah tim yang dibentuk oleh orang atau lembaga yang sama sekali tidak berwenang, maka keputusannya dapat juga dianggap sebagai keputusan lelucon.

Artinya, kita pun yang kebetulan sedang minum kopi di jalanan bisa juga membentuk majelis hakim lucu-lucuan untuk membuat pengadilan dan membuat putusan yang sebaliknya. Tetapi Putusan IPT malpun majelis hakim lucu-lucuan yang bisa kita buat itu sama tidak mengikatnya. Musababnya, pengadilan yang dibentuk secara swasta seperti itu tidak mempunyai kewenangan apa pun secara yuridis untuk memutus kasus.

Pengadilan seperti IPT itu bagi orang yang pernah menjadi mahasiswa Fakultas Hukum pada tahun 1970-80-an sama belaka dengan peradilan semu, yakni kuliah ekstrakurikuler dalam format sandiwara sidang pengadilan untuk melatih mahasiswa agar terampil dalam beracara di pengadilan. Waktu masih mahasiswa dulu, saya pernah manggung dua kali dalam kelas peradilan semu, ya pertarta menjadi jaksa penu tytumunidan yang kedua menjadi hakim. Tentu saja sidan nya sambil cengengesan seba memang dimaksudkan hany untuk main-main.

Apakah dengan demikian dang-sidang IPT itu tidak serius atau bahkan har? Aktivis-aktivis yang membentuknya tent serius membuat itu sebagai ba gian dari perjuangannya melindungi HAM dan menegakkan demokrasi. Tetapi produknya alah yang hanya lucu-lucuan karena tidak mengikat apa-apa secara hukum. Majelis IPT juga bisa dianggap “Liar” dalam arti tidak ada jalur hukum pemben tukan maupun daya ikat keputusannya yang memutus seolah-olah sebagai pengadilan.

Saya ingin memberitahu kepada orang awam yang mung Idin bisa tertipu karena keamanannya di bidang hukum bahwa pengadilan pidana, berdasarkan lingkup kompetensinya, hanya ada dua.

Yang pertama adalah pengadilan pidana di masing-masing negara yang bernaung di bawah Mahkamah Agung, dan yang kedua adalah pengadilan pidana internasional yang berada di bawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Peradilan pidana internasional adalah International Criminal Court (ICC), bukan IPT.

Apakah berdasarkan putusan majelis IPT itu para pejuang HAM dan demokrasi tidak bisa membawa kasus 1965 di Indonesia ke PBB? Apakah mereka tidak bisa meminta pemerintah Indonesia meminta maaf de memberi ganti rugi? Jawaban nya, tidak ada hukum yang melarang orang atau siapa pun  menyampaikan usul kepada PBI Tapi Tidak harus IPT, komunitas Twitter juga bisa. Menyampaikan usulkan boleh saja.

Begitu pula, siapa pun bole! meminta kepada pemerintah Indonesia untuk meminta maa kepada korban tahun 1965 dar memberi kompensasi kepada yang masih hidup. Dulu kita juga sudah pernah membuat UU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) dengan maksud yang sama untuk semua ka sus pelanggaran HAM di masa lalu. UU tersebut dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi era Jimly Asshiddiqie dengan aratan supaya diperbaiki agar jelas cantolan konstitusionalnya untuk kemudian dapat diundangkan lagi.

Saya (dan banyak dari kita) setuju agar peristiwa pahit 1965 Dijernihkan untuk kemudian dilakukan rekonsiliasi supaya kita rukun bersatu sebagai Dangsa. Tetapi, sebagai anak mangsa juga, saya termasuk ang tidak setuju kalau masalah tersebut disuruh goreng kepada pihak luar negeri.

Tuntutan meminta maaf un bisa juga diajukan tetapi arus jelas, yang meminta maaf siapa dan yang dimintai maaf itu siapa. Pemerintah bersama rakyat-pun bisa mengabulkan atau menolak usul permintaan maaf itu, kalau atas nama negara.

Tulisan ini telah dimuat dalam koran SINDO, 23 Juli 2016.

 

Gajah Mada (25/7) Senin, Dr. Budi Agus Riswandi, S.H., M.Hum. bertempat di Gedung I Fakultas Hukum UGM Yogyakarta berhasil mempertahankan Disertasinya yang berjudul Perlindungan Hak CIpta Atas Karya Digital di Internet dalam Studi Pengabdosian Doktrin Perlindungan Hak Cipta terhadap Teknologi Pengaman dalam Perundang-Undangan Hak Cipta Indonesia dengan predikat sangat memuaskan.

Read more

Menyambut datangnya bulan Syawal, bertepatan dengan hari masuk pertama kerja pada Kamis, 9 Syawal 1437 H/14 Juli 2016, Fakultas Hukum UII kembali mengadakan Pengajian Syawalan dan Pelepasan Jama’ah Calon Haji Fakultas Hukum UII. Read more

Penulis: Prof. Jawahir Thontowi, S.H., Ph.D.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), Departemen Hukum Internasional

SELAMA hampir enam (6) bulan, tidak kurang dari 15 Warga Negara Indonesia (WNI) telah menjadi korban penyanderaan kelompok Abu Sayyaf. Menurut Menteri Luar Negeri sudah kelima peristiwa kasus penyanderaan yang melibatkan tak kurang 10 dan 5 ABK WNI yang saat ini sedang disandera. Sebagai kejahatan lintasnegara, pembajakan atau penyanderaan sejajar dengan kejahatan penjualan senjata, perdagangan orang, dan juga kejahatan narkotika dan obat terlarang lainnya yang juga beirisan dengan kejahatan terorisme.

Wilayah perbatasan laut teroritorial, Indonesia, Malaysia dan Filipina tergolong wilayah rentan ancaman perompakan terhadap warga negara atau kapal-kapal yang berlayar di sekitarnya. Untuk merespons keadaan tersebut, Indonesia, Malaysia dan Fillpina melakukan kerjasama yang dituangkan dalam joint declaration
(JD), di Yogyakarta tanggal 5 Mei, 2016. Substansinya antara lain : melakukan patroli bersama di
wilayah perbatasan laut. Kedua, -membentuk Pusat Informasi dan Pusat Crisis Centre di setiap negara, jika terjadi gangguan keamanan. Ketiga, memberikan bantuan dan pertolongan jika terjadi masalah baik terhadap warga negara maupun terhadap kapalkapal suatu negara berada di wilayah perairan salah satu negara. Terakhir menyusun prosedur penanganan terpadu untuk menyelesaikan persoalan yang dihadapi.

Akan tetapi, JD belum efektif. Penyanderaan terulang lagi. Sejak 21 Juni tujuh orang ABK disandera dan saat ini sedang diperjuangkan untuk dibebaskan Ketiga orang WNI dari Indonesia Timur disandera, sedangkan warga Malaysia dibebaskan. Pada prinsipnya pembebasan atas ketiga sandra WNI harus diprioritaskan, tetapi cara penyelesaian terpadu dan aman diakui memang tidak mudah dilakukan

Pertama, bahwa JD belum efektif bisa dipahami karena baru pada pendekatan diplomasi hasil lobi dan negosiasi. Karena itu, belum bisa mengikat mengingat baru dipandang sebagai hukum lunak yang belum dapat mengikat pihak-pihak Kedua, Presiden Jokowi, mengusung visi dan misi pembangunan Indonesia dari pinggiran, dan menjadikan Indonesia Poros Maritim Dunia (PMD). Secara geopolitik, PMD akan kondusif bagi Indonesia jika kerangka kerja sama kemitraan dengan negara-negara tetangga lebih diprioritaskan.

Ketiga, jika dua model pendekatan di atas lebih dominan diperankan Negara, tidak kalah pentingnya keterlibatan aktor-aktor non-negara dalam penanganan sandera bisa diakomodir. Keempat, sikap pemerintah yang ambigu untuk tidak mau melakukan pembayaran atas uang tebusan tak perlu diulangulang. Bukan saja kontra-produktif, melainkan juga kurang menghargai pihak lain yang melakukan hal yang sama di lapangan.

Dari kasus lima kali penyanderaan WNI tampaknya kelompok Abu Sayyaf menujukan ketagih
an. Selain ada motif kebutuhan ekonomi juga kepentingan politik barter. Sebab, bukan hal mustahil fenomena penyanderaan mengandung pesan politik terhadap keberhasilan Densus 88 Anti Teroris Polri meringkus para teroris di Indonesia. Situasi keamanan internal Indonesia mudah dibaca untuk digunakan kelompok Abu Sayyaf sebagai sarana pengumpulan dana perjuangan.

Prediksi dan antisipasi ke depan terkait penanggulangan dan perlindungan WNI dari penyanderaan memang tidak mudah. Pertama, masyarakat dan pemerintah Indonesia tergolong negara dermawan. Sebagaimana berkali-kali pemerintah Indonesia membebaskan TKI dari ancaman hukum pancung atau qishash di Saudi Arabia Mereka umumnya dapat dibebaskan oleh pengadil an syariah karena pembayaran puluhan miliar rupiah sebagai uang tebusan karena ada pemaafan, diyat dari pihak keluarga korban. Kebijakan itu ada kaitannya dengan penerapan prinsip perlindungan. Pemerintah Indonesla berkewajiban menyeldmatkan TKI dari ancaman hukuman mati, sekalipun pihak Kementerian Tenaga Kerja dan BNP3TKI, harus mencari dana lain.

Atas dasar prinsip tersebut, seharusnya Pemerintah Indonesia menerapkan secara sama terhadap kasus penyanderaan WNI di wilayah perbatasan laut Fillipina dan Malaysia. Justru, jika selama ini kebijakan pemerintah menolak untuk memberikan uang tebusan adalah tidak tepat, bahkan bisa melanggar hak-hak konstitusional, WNI ABK. Mereka menjalankan tugas perusahaan untuk berlayar di laut bebas atau laut territorial memiliki hak untuk dilindungi. Dalam UUD NRI 1945, Pasal, 28A, hak dasar seseorang untuk hidup, Pasal 28D, jaminan jaminan perlindungan dan perlakukan yang sama di depan hukum. Hal ini merupakan pemenuhan terhadap hak-hak untuk hidup yang tidak bisa ditangguhkan.

Tulisan ini telah dimuat dalam rubrik Analisis KR, koran Kedaulatan Rakyat,15 Juli 2016.

 

Penulis: Prof. Dr. Moh. Mahfud MD, S.H., S.U.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), Departemen Hukum Tata Negara

Masih ada saja orang yang mempertentangkan antara tugas bernegara dan tugas beragama. Mereka menganggap melaksanakan tugas agama (ibadah) tidak mempunyai kaitan dengan melaksanakan tugas negara. Di kalangan kaum muslimin di Indonesia, pendapat yang seperti ini ada juga. Padahal, dari sudut Islam, melaksanakan tugas negara itu ya melaksanakan tugas agama. Pandangan ini bisa dilihat dari misi kenabian.

Ketika Nabi Muhammad mendapat wahyu untuk mengajak umat manusia, utamanya kaum Qurais, menyembah Tuhan Yang Maha Esa atau mengajak kembali ke tauhid, perintah ikutannya adalah melawan kezaliman dan membongkar struktur sosial yang tidak berkeadilan.

Nabi pun melawan tokoh-tokoh Qurais yang korup dan tidak adil seperti Abu Jahal, Abu Lahab.

Nabi juga diperintahkan oleh Allah untuk mengajak umatnya berjuang mengentaskan masyarakat kemiskinan dan meng. angkat kaum lemah-papa (duafa). Di dalam ayat-ayat Alquran yang turun pada periode Mekkah (sebelum Nabi hijrah ke Madinah), perintah membangun kesejahteraan sosial itu sangat tegas. Di dalam Surat Al-Maun, misalnya, disebutkan bahwa orang yang mengabaikan anak yatim dan tidak peduli kepada orang miskin adalah pendusta (bohong dan berpura-pura saja) dalam beragama.

Bahkan di surat yang sama dikatakan bahwa orang yang sa lat itu akan diganjar dengan neraka (way) jika lalai dalam salatnya. Lalai dalam salat bukan hanya berarti malas melakukan ritualnya sesuai dengan rentang waktu-waktunya, melainkan juga lalai terhadap konsekuensi sosial dari salat. Konsekuensi sikap sosial dari salatiga disimbol kan oleh gerakan terakhir salat, yakni mengucapkan selamat sambil menoleh kekanan dan kekiri.

Salat dimulai dengan takbir (Allahu Akbar yang berati hanya beriman dan akan menyembah Allah Yang Maha Esa’ (vertikal). Salat diakhiri dengan salam sambil menoleh ke kanan dan ke kiri yang berarti setelah salat akan memperhatikan keadaan dikanan dan dikiri(horizontal), yakni memperhatikan kehidupan sekeliling dan siap membangun kesejahteraan masyarakat. Itulah tugas dan kewajiban dalam beragama.

Tugas dan kewajiban yang bersumber dari agama tersebut sama belaka dengan tugas dan kewajiban bernegara berdasar konstitusi di Indonesia. Menurut Alinea 1 Pembukaan UUD 1945 Indonesia memerdekakan diri dari penjajahan karena penjajahan tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan. Selanjutnya menurut Alinea IV Pembukaan UUD 1945 salah satu tujuan negara kita adalah memajukan kesejahteraan umum.

Tujuan negara tentang pembangunan kesejahteraan sosial itu diperkuat lagi di dalam sila kelima dari dasar negara (Pancasila), yakni “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia Bukan hanya itu. Didalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dicantumkan juga citu bab tersendiri tentang tÆ° gas membangun kesejahteraan masyarakat, yalini Bab XIV tentang Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial.

Pada Pasal 33 yang merupakan bagian dari Bab XIV tersebut ditekankan bahwa sumber daya alam kita dikuasai negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat Selanjutnya pada Pasal 34 ditegaskan juga bahwa fakir miskin dan anak-anak telantar dipelihara oleh negara dan ne gara harus membangun sistem jaminan sosial dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.

Dengan demikian secara mendasar ada perhimpitan dalam arti kesamaan kewajiban yang dibebankan kepada kita oleh agama dan oleh negara, yakni membangun kesejahteraan umum dan keadilan sosial, mengangkat kaum duafa dari keterpurukan. Jadi beragama adalah bernegara, melaksanakan kewajiban agama adalah melaksanakan kewajiban ne gara. Isi Surat Al-Maun dalam Alquran adalah sama dengan isi Pasal 34 ayat (1) UUD 1945 yang mewajibkan kita menolong anak yatim (telantar) dan memedulikan orang-orang miskin.

Karena ada perhimpitan misi dan tugas yang seperti itu, maka ada yang berpendapat bahwa membayar pajak sebagai kewajiban terhadap negara itu sama wajibnya dengan membayar zakat sebagai kewajiban dalam agama. Bahkan ada yang berpendapat lebih jauh dari itu, membayar pajak itu dapat dijadikan sebagai ganti pembayaran zakat. Kita tidak harus sependapat dengan hal tersebut, tetapi pesan dasar yang bisa disepakati adalah: membela kaum lemah-papa (duafa), anak yatim terlantar, dan fakir miskin merupakan kewajiban atau tugas sucikita di dalam beragama dan bernegara.

Maka itu, siapa pun kita akan menjadi pendusta tau berpura-pura saja dalam beragama kalau kita tidak mau menegakkan keadilan dan tidak ikut membangun struktur sosial dan politik yang adil. Orang yang tak peduli dan tak berani menegakkan keadilan bagi kaum duafa juga dapat dianggap tidak mempunyai nasionalisme atau sikap pembelaan terhadap eksistensi bangsa dan negaranya.

Mengapa? Karena kemiskinan bisa menimbulkan kekufuran atau suka melanggar karena terpaksa dan didesak oleh kebutuhan. Mengapa Pula? Karena ketidakadilan menjadi bibit runtuhnya sebuah negara. Saya sering mengatakan, basis nasionalisme kita ke depan tidak dilakukan dengan perang yang didukung peralatan perang fisik melawan agresi negara lain. Basis nasionalisme kita ke depan adalah penegakan hukum dan keadilan. Kalau mau membela negara, tegakkanlah hukum dan keadilan. Kalau kita tak mau menegakkan hukum dan keadilan untuk mengangkat derajat kemanusiaan kaum lemah, bisa diartikan rasa nasionalisme kita tipis karena membiarkan terjadinya ancaman bagi eksistensi negara dan bangsa.

Tulisan ini telah dimuat dalam koran SINDO, 16 Juli 2016.

 

Penulis: Prof. Dr. Moh. Mahfud MD, S.H., S.U.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), Departemen Hukum Tata Negara

 

“Apakah tidak ada segi-segi positif dan titik te L rang yang bisa mendorong Indonesia menjadi lebih baik dan selamat dari perusakan-perusakan yang menderanya? Analisis Bapak tadi membuat dada sesak dan mencemaskan. Apa yang bisa kita lakukan?”. Demikian seorang dosen bertanya kepada saya ketika Selasa (28/6) pekan lalu saya memberi studium generale di Universitas Islam Kadiri (Uniska), Kediri.

Di forum ilmiah itu saya memang mengupas problem masa depan Indonesia yang tampaknya dirongrong oleh buruknya penegakan hukum.

Saya katakan, berbagai persoalan yang sekarang melilit bangsa ini akan selesai lebih dari separuhnya jika hukum ditegakkan dengan benar.

Kerusakan di bidang ekonomi, kesehatan, pendidikan, infrastruktur, dan sebagainya yang terjadi sekarang ini disebabkan oleh terjadinya pengangkangan atas hukum oleh para koruptor, entah itu pejabat, entah itu swasta. Tiga pekan lalu, melalui Kolom di koran ini, saya menulis bahwa hukum kita banyak dikuasai oleh cukong-cukong sehingga meminjam istilah Komisioner KPK Laode M Syarif, muncullah gejala grand corruption

Cukong-cukong membeli hukum, bukan hanya saat menghadapi kasus konkret ketika terlibat perkara di pengadilan, melainkan juga sudah membeli hukum ketika hukum akan dibuat sebagai peraturan yang abstrak. Kita bisa dengan mudah menunjuk kasus, politisi (legislator) dihukum atau ditangkap tangan oleh KPK, karena menjual hukum yang akan dimasukkan ke dalam undang-undang (UU) atau peraturan daerah (perda).

Jadi, isi UU maupun perda bisa dibeli oleh cukong. Artinya, selain mengangkangi proses peradilan jika menghadapi kasus konkret (in concreto) di pengadilan melalui penyuapan kepada penegak hukum, cukong juga membeli isi peraturan perundang-undangan yang bersifat pengaturan secara abstrak (regeling in abstracto ) kepada legislator. Cukong adalah korporasi atau orang yang punya modal, tak terbatas pada etnis atau suku tertentu.

Karena jual-beli hukum dengan cukong itu maka belakangan ini banyak hakim maupun panitera, pejabat maupun politisi, yang ditangkap dan digelandang ke pengadilan oleh KPK. Dulu saya pernah mengantarkan politikus AM Fatwa menghadap ketua Mahkamah Agung untuk melaporkan kasus perampasan tanah warga Betawi secara sewenang-wenang oleh pengembang, Sang warga Betawi yang menempati dan mempunyai tanah yang diwarisi secara turun-temurun dari kakeknya tiba-tiba digusur oleh pengembang.

Ketika melapor kepada yang berwajib, eh, malah sang warga Betawi itu yang diajukan ke pengadilan dengan dakwaan telah menyerobot tanah orang Dia pun sudah menunjukkan bukti-bukti pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan selama bertahun-tahun, tetapi ternyata pihak pengembang sudah memiliki sertifikat. Di negara ini banyak mafia tanah yang melibatkan kongkalikong antara cukong dan pejabat pejabat.

Sebenarnya peran cukong dalam korupsi sudah lama berlangsung. Sebuah grup diskusi dunia maya yang melibatkan kelirumolog Jaya Suprana, Salim Said, HS Dillon, dan lain-lain pekan lalu mendiskusikan isu “Ancaman Trio Cukong, Pejabat, dar Politisi” yang dulu pernah dilontarkan oleh Wilopo.

Wilopo yang pada masa demokrasi liberal pernah menjadi perdana menteri dan pada masa Orde Baru menjadi ketua Dewan Pertimbangan Agung. pernah memperingatkan tentang bahaya tiga begundal korupsi dan perusak negara. “Awas bahaya! Indonesia terancam Trio Persekongkolan, yaitu antara cukong, pejabat, dan petualangan politik,” teriak Wilopo Saat menjadi anggota Komite Empat.

Komite Empat adalah komisi Pemberantasan Korupsi yang dibentuk oleh Presiden Soeharto pada 1970. Ternyata sampai era reformasi, Trio Jahat ini bukannya berkurang melainkan semakin menancapkan kukunya dalam jagat raya penegakan hukum di Indonesia. Sekarang ini ada cukong membeli hukum ada pejabat menjual hukum, dan ada politisi menjadi pedagang hukum. Di sana-sini mulai ada juga orang atau orang LSM yang katanya antikorupsi dan pro demokrasi dan supremasi hukum, tetapi mulai ikut bermain dalam kubangan kumuh pemberantasan korupsi.

Ketika hukum sudah dikangkangi seperti itu maka semua upaya perbaikan menjadi macet, kesejahteraan rakyat semakin jauh panggang dari api, kemiskinan merajalela, kesenjangan antara si kaya dan si miskin semakin menganga. Sungguh sangat mencemaskan bagi masa depan bangsa dan negara.

Kembali ke pertanyaan yang diajukan oleh dosen Uniska tadi. Adakah segi segi positif yang bisa membuat kita optimistis untuk bisa memperbaiki keadaan yang membuat kita resah ini? Jawabannya, “ada asal mau”. Kita sangat kaya dengan sumber daya alam dan mempunyai bonus demografis yang besar.

McKinsey menyebut potensi Indonesia untuk menjadi negara maju sangat besar. Pada 2012, Indonesia Menempati Peringkat ke-16 kekuatan ekonomi dunia dan posisi ini akan naik ke peringkat 7 pada 2030. Begitu besarnya kekayaan sumber daya alam dan bonus demografi kita, sehingga dengan dikelola secara biasa-biasa saja Indonesia akan tetap melesat ke posisi ketujuh.

Ada modal lain yang juga bagus, yakni kebebasan pers yang semakin maju dan bisa dibangun untuk ikut mengarahkan dan mengawasi jalannya pemerintahan dan pembangunan. Bukan pers yang berpolitik secara sempit dalam permainan jangka pendek. Dukungan masyarakat yang menggebu-gebu terhadap upaya pemberantasan korupsi dan penegakan hukum juga menjadi modal yang baik.

Kalaulah kita meyakini bahwa penegakan hukum dan pemberantasan korupsi memerlukan pemimpin yang kuat maka kita juga mempunyainya. Presiden Jokowi terbilang bersih, istri dan anak-anaknya tidak ikut bermain dalam bisnis dan politik. Presiden Jokowi tidak terbebani dan tidak tersandera untuk memimpin upaya penegakan hukum dan pemberantasan korupsi. Jadi, ada harapan asalkan kita mau.

Tulisan ini telah dimuat dalam koran SINDO, 9 Juli 2016.