Penulis: Prof. Dr. Moh. Mahfud MD, S.H., S.U.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), Departemen Hukum Tata Negara

Adalah salah pendapat mereka yang mengatakan bahwa lembaga legislatif yang membentuk UU No 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan telah gagal membentuk UU yang baik dan pro terhadap kemajuan. Adalah salah mereka yang mengatakan bahwa pembentuk UU No 12 Tahun
2005 telah gagal membaca dan memahami tren perkembangan dunia.

Ini harus dijernihkan karena ketika mencuai kasus dwikewarganegaraan Arcandra Tahar yang harus lengser dari jabatan menteri yang baru didudukinya selama 20 hari, tiba-tiba banyak yang mengatakan bahwa UU Kewarganegaraan itulah biang keroknya. Kata mereka pembentuk UU tidak paham pada tren dunia yang akan terus mengglobal.

Mereka menuding pula bahwapembentukUU No 12 Tahun 2006 berwawasan picik karena menetapkan politik hukum kewarganegaraan tunggal.

Kata mereka pula, bangsa-bangsa di dunia sekarang ini sudah mengglobal, banyak yang bukan hanya memberlakukan sistem dwi kewarganegaraan, tetapi lebih dari itu ada yang memberlakukan multi kewarganegaraan.

Kasus Arcandra dijadikan contoh betapa UU Kewarganegaraan kita telah menutup pintu bagi putra terbaik yang superpandai untuk mengabdi kepada bangsa dan negaranya. Ar-candra yang, katanya, sangat genius dan diperebutkan negara asing untuk mengamalkan ilmunya bagi kemajuan justru dihambat oleh politik hukum kewarganegaraan kita untuk mengabdi di tanah air sendiri.

Pendapat mereka yang menilai pembentuk UU itu gagal memahami tren perkembangan dunia adalah salah. Sebab sebenarnya pembentuk UU Kewarganegaraan pada saat itu sudah mendiskusikan dengan sangat komprehensif tetek bengek tren perkembangan dunia itu. Saat itu saya adalah salah seorang anggota Panitia Khusus RUU Kewarganegaraan yang diketuai Slamet Effendi Yusuf.

Yang masih saya ingat, selain saya ada anggota lain yang juga sangat aktif, yakni Murdaya Poo dan Lukman Hakim Saifuddin yang kini menteri agama. Ada pun pihak pemerintah dipimpinlangsung Menkumham saat itu, Hamid Awaluddin. Sebelum pada akhirnya menetapkan sistem kewarganegaraan tunggal Pansus sudah mendiskusikan kemungkinan pemberlakuan dwi kewarganegaraan maupun multi kewarganegaraan.

Namun, akhirnya, demi kedaulatan Indonesia yang seluruh sumber daya alamnya harus dimanfaatkan untuk sebesarbesar kemakmuran rakyat, dite tapkanlah berlakunya sistem kewarganegaraan tunggal de ngan toleransi pemberlakuan sistemdwikewarganegaraan se cara terbatas. Apa batasannya?

Bagi anak yang lahir dari perkawinan campuran antara orang tua WNI dengan warga negara asing serta bagi pasang an WNI yang melahirkan anak di negara-negara yang meng anut sistem ius soli, bagi si anak diberi toleransi untuk memiliki dua kewarganegaraan sampai usia 18 tahun. Perdebatan sempat menukik ke soal alternatif antara prinsip kemanusiaan dan prinsip kebangsaan serta kerakyatan kita.

Berdasar prinsip kemanusiaan, kita harus memperlakukan semua manusia di bumi untuk memperoleh kewarganegaraan, termasuk di Indonesia. Tapi berdasar paham kebangsa an dan kerakyatan yangjuga sangat fundamental di dalam konstitusi kita, kita harus mengatur secara eksklusif dengan memprioritaskan semua kebijakan, baik kewarganegaraan maupun kepemimpin negaraan, untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat dan kepentingan bangsa kita sendiri.

Politik hukum yang demikian dinilai lebih sesuai dengan tujuan kita mendirikan Indonesia merdeka dengan semangat nasionalismenya yang niscaya eksklusif. Jadi dalam hubungan antara asas kemanusiaan dan kebangsaan, kita memihak pada kepentingan bangsa kita sendiri tanpa harus terjebak ke chauvinism. Harus diketahui, UU Kewarganegaraan kita dilahirkan sebagai konsekuensi dari ketentuan UUD 1945 hasil amendemen yang sangat pro pada hak asasi manusia.

Di dalam Pasal 28D ayat (4) UUD 1945 ditegaskan bahwa setiap orang berhak atas status kewarganegaraan. UU Kewarganegaraan kita mengatur, demikemanusiaan dan bakasasi manusia, kita harus memberi jaminan agar setiap anak yang lahir mempunyai kewarganegaraan. Pada saat yangsamadiatur juga toleransi untuk menyetujui dwikewarganegaraan bagi anak yang karena hukum lahir dengan dwikewarganegaraan untuk pada saatnya nanti harus memilih salah satunya.

Anak-anak yang lahir di Indonesia dari orang tua yang berkewarganegaraan asing dengan sistem ius soli (kewarganegaraan di peroleh karena tempat kelahiran seperti AS) akan menjadi tidak berkewarganegaraan karena Indonesia menganutius sanguinis (kewarganegaraan diperoleh sesuai dengan kewarganegaraan orang tuanya). Maka itu UU Kewarganegaraan Indonesia mengatur memberi kewarganegaraan otomatis bagi mereka.

Sebaliknya, warga negara Indonesia yang melahirkan anaknya di negara asing yang menganut sistem ius soli, maka anaknya menjadi merniliki dua kewarganegaraan. Maka itu UU Kewarganegaraan kita mengizinkan anak tersebut mempunyai dwi kewarganegaraan sampai usia 18 tahun. Orang-orang asing pun diperbolehkan menjadiwarganegara Indonesiame lalui naturalisasi.

Begitu pun WNI yang kehilangan kewarganegaraan diperbolehkan mendapat status kewarganegaraannya lagi, tetapi juga harus melalui naturalisasi. Bahkan Presiden bisa menganugerahkan status kewarganegaraan bagi mereka yang (sudah) bukan WNT jika berjasa atau sangat diperlukan tenaga nya di Indonesia. Tapibaiknahralisasi maupun karena pewarganegaraan sebagai anugerah dari Presiden tetap tidak boleh menyebabkan seorang WNI mempunyai kewarganegaraan.

Semangat politik hukum kewarganegaraan kita adalah menjamin kepemilikan status warga negara bagi setiap orang, tetapi secara eksklusif tetap mengutamakan kepentingan bangsa dan rakyat kita sendiri. Maka itu kita menganut sistem kewarganegaraan tunggal dengan toleransi dwikewarganegaraan secara terbatas. Itulah terjemahan nasionalisme kita ke dalam politik hukum kewarganegaraan kita kala itu.

Kalaulah nasionalisme yang seperti ini sekarang dianggap sudah tidak relevan dan perlu diperbaiki lagi, tentu saja hal itu bisa dilakukan, sebab hukum adalah kesepakatan alias resul tante dari setiap perkembangan situasi dan kondisi. Tapi jangan menuding bahwa pembentuk UU yang dulu telah gagal memahami situasi tentang tren globalisasi. Pembentuk UU yang dulu telah mendiskusikandanpaham tentang itu tetapi itulah resultante yang dicapai pada saat itu dalam menerjemahkan nasionalisme kita. Kalau mau dibuat resultante baru, ya, boleh saja.

 

Tulisan ini sudah dimuat dalam Koran Sindo, 27 Agustus 2016.

 

Penulis: Nandang Sutrisno, S.H., LL.M., M.Hum., Ph.D.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), Departemen Hukum Internasional

 

ARCHANDRA Tahar (AT) diberhentikan. Pemberhentian dengan hormat oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) dilakukan setelah status kewarganegaraan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) itu mengundang pro-kontra. Keputusan sangat tepat dan perlu diapresiasi. Karena jelas dengan memiliki atau setidaknya pernah memiliki paspor Amerika Serikat (AS) selain paspor Indonesia, AT sudah bukan warga negara Indonesia (WNI) lagi Jabatan menteri di Indonesia tentu hanya boleh dijabat oleh WNI. Persoalannya adalah, bukankah AT sekarang berstatus tanpa kewarganegaraan (apatride) dan bukan dwi kewarganegaraan (bipatride) sebagaimana dipahami selama ini? Bagaimanakah menyelamatkan AT dan status apatride?

Meskipun tidak pemah menjawab dengan jelas dan tegas – sebagaimana tercermin dari pernyataan Menteri Sekretaris Kabinet berbagai fakta terang benderang menunjukkan bahwa AT per. nah mempunyai paspor AS. Dengan demikian, baik secara formal maupun material sebenarnya AT sudah kehilangan statusnya sebagai WNI. Meskipun AT masih memegang paspor Indonesia yang berlaku sampai 2017.

Secara formal, berdasarkan Pasal 23 UU Kewarganegaraan, AT telah kehilangan kewarganegaraannya ketika AT memperoleh kewarganegaraan AS atas kemauannya sendiri (ayat a). Dan ketika AT mempunyai paspor atau surat yang bersifat paspor dari AS atau surat yang dapat diartikan sebagai tanda kewarganegaraan yang masih berlaku dari AS atas namanya (ayat h). Secara material, AT juga sudah kehilangan kewarganegaraan Indonesia ketika ia secara sukarela mengangkat sumpah atau menyatakan janji setia kepada negara AS atau bagian dari negara AS (ayat f).

Dengan pengakuan AT sendiri yang menyatakan bahwa ia telah mengembalikan paspor AS, berarti AT juga sebenarnya telah kehilangan statusnya sebagai warga negara AS (WNAS). Dengan demikian, AT bukan WNI dan bukan WNAS. Artinya sekarang, AT berstatus tanpa kewarganegaraan (apatride). dan bukan pula berkewarganegaraan ganda (bipatride).

Hemat saya, AT sebaiknya diselamatkan dari status apatride. Kesediaan AT menjadi menteri dan mengembalikan paspor AS, hendaknya dibaca sebagai niat tulus AT untuk kembali menjadi WNI dan mengabdi di Indonesia. Selain itu, Lolosnya AT menjadi menteri bukan semata-mata kesalahannya, tetapi lebih disebabkan ketidak hati-hatian Istana sendiri. Sehingga sudah ser harusnya pemerintah membantunya. Ada dua alternatif, pertama, melalui naturalisasi dan kedua, melalui pemberian kewarganegaraan dengan alasan kepentingan negara.

Cara pertama, berdasarkan Pasal 8 dan 9 UU Kewarganegaraan, AT dapat mengajukan permohonan untuk memperoleh status WNI kembali dengan memenuhi persyaratan tertentu. AT juga diharuskan untuk mengucapkan sumpah atau menyatakan janji setia kepada Negara Republik Indonesia (Pasal 14-17). Cara pertama ini dapat ditempuh oleh AT, tetapi akan memakan waktu yang lama. Karena menurut Pasal 9 ayat a, AT harus sudah bertempat tinggal di wilayah Negara Republik Indonesia paling singkat lima tahun berturut-turut atau paling singkat 10 tahun tidak berturut-turut.

Cara kedua, berdasarkan Pasal 20, Presiden dapat memberikan status WNI kepada AT dengan alasan kepentingan negara. Cara ini lebih cepat karena tidak ada keharusan bagi AT untuk bertempat tinggal terlebih dahulu. Meskipun demikian, untuk pemberian status WNI seperti ini, Presiden harus memperoleh pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia. Oleh karena itu, perolehan status WN bagi AT ini sangat tergantung dari sejauh mana Presiden dapat meyakinkan DPR bahwa AT benar-benar dibutuhkan oleh negara.

Akhirnya, bola ada pada AT, Presiden Joko Widodo, dan DPR. Apakah AT sungguh-sungguh ingin kembali menjadi WNI dan mengabdikan keahliannya untuk pembangunan Indonesia? Apakah Presiden Joko Widodo dan DPR mempunyai komitmen yang sama untuk membantu kembalinya AT menjadi WNI khusus nya? Dan memanggil para diaspora, yang pada umumnya kaum muda Indonesia yang berkemampuan tinggi yang berkarya di negara-negara lain, untuk pulang dalam rangka membangun negeri sendiri.

Tulisan ini telah dimuat dalam koran KEDAULATAN RAKYAT, 18 Agustus 2016.

Penulis: Prof. Dr. Moh. Mahfud MD, S.H., S.U.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), Departemen Hukum Tata Negara

Umumnya wartawan itu punya pilihan berita sendiri, tak bisa diarahkan untuk memberitakan sesuatu kecuali oleh pimpinan medianya. Dua hari lalu (11 Agustus 2016) misalnya, saya hadir dan ikut membahas peluncuran buku Sistem Politik Indonesia: Kritik dan Solusi Sistem Politik Efektif di Universitas Negeri Jakarta (UNJ). Buku itu ditulis oleh Ubedilah Badrun. Isinya lumayan bagus, mendiagnosis problema sistem politik dan ketatanegaraan Indonesia serta alternatif-alternatif solusi sebagai terapinya.

Saya yang kebagian tugas membahas buku itu merasa senang ada dosen muda yang paham politik dan ketatanegaraan, seperti Ubedillah, menulis secara serius problema yang sedang kita hadapi. Banyak wartawan yang hadir pada peluncuran buku itu, tetapi tidak banyak yang memberitakan substansi dan pesan penting dari buku itu. Saya yang sudah membahas buku itu dengan serius malah ditanya hal-hal lain.

Para wartawan itu menanyakan pengujian Undang-Undang (UU No 10 Tahun 2016 oleh Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama ke Mahkamah Konstitusi mengenai kewajiban cuti bagi kepala daerah yang akan bertarung kembali di daerah yang sedang dipimpinnya. Mereka juga bertanya soal isu yang ditangkap dari pernyataan Luhut Pandjaitan saat menjadi menko polhukam bahwa pihaknya membentuk tim yang akan merumuskan peraturan agar pejabat yang korupsi tak perlu dipenjarakan karena penjara sudah penuh. Koruptor-Koruptor itu cukup dipecat dan diminta mengembalikan uang hasil korupsinya.

Apakah secara hukum cuti bagi calon gubernur petahana harus dilakukan atau boleh tidak diambil? Apakah betul Bapak menjadi tim untuk membuat peraturan yang bisa membebaskan pejabat yang korupsi dari pemenjaraan seperti yang dikatakan oleh Pak Luhut?” Itulah, antara lain, pertanyaan yang disampaikan kepada saya.

Saya menjawab bahwa di dalam hukum itu ada istilah hak yang merupakan sesuatu yang dapat dituntut pemenuhannya dan pemerintah wajib memenuhinya jika hak itu diminta oleh pemegang hak. Memilih di dalam pemilu, misalnya, adalah hak. Jika orang yang mempunyai hak pilih akan menggunakan haknya, negara wajib memenuhi dan memfasilitasi orang tersebut agar dapat memilih. Tapi jika yang bersangkutan menyatakan tak akan menggunakan hak pilihnya, dia tak bisa dipaksa untuk memilih.

Pada umumnya cuti dianggap sebagai hak. Kita sering Mendengar istilah cuti melahirkan, cuti tahunan, dan lain-lain yang merupakan hak. Cuti Sebagai hak memang bisa diambil dan bisa tidak diambil. Hak cuti tahunan bagi PNS, misalnya, boleh diambil dan boleh tidak diambil atau diatur sendiri waktu pengambilannya. Tapi cuti itu tidak selalu berarti hak, melainkan bisa merupakan kewajiban atau bahkan larangan.

Kalau dalam keadaan tertentu cuți oleh hukum dinyatakan sebagai kewajiban, maka cuti wajib diambil. Ketika dulu pada tahun 2000 saya diangkat menjadi menteri oleh Presiden Abdurrahman Wahid, saya wajib mengambil cuti di luar tanggungan negara sebagai pegawai negeri sipil (PNS). Itu sesuai dengan hukum bahwa PNS yang diangkat menjadi pejabat negara tertentu wajib mengambil cuti.

Cuti juga bisa dilarang. Dalam keadaan gawat karena letusan gunung berapi misalnya, pegawai vulkanologi yang seharusnya mempunyai hak cuti bisa saja dilarang mengguna kan hak cutinya sampai keadaan tertentu. Terkait dengan ini, polemik soal calon kepala daerah apakah harus mengambil atau boleh tidak mengambil cuti, menurut UU yang berlaku, hukumnya adalah “wajib melakukan cuti seperti yang diatur dalam Pasal 70 ayat (3) UU No10 Tahun 2016.

Sebenarnya dulu, berdasar Pasal 58 q UU No 12 Tahun 2008, ada ketentuan UU bahwa calon kepala daerah petahana wajib menyatakan berhenti sebagai kepala daerah jika mencalonkan diri lagi sebagai kepala daerah. Tapi ketentuan tersebut diuji materi oleh Gubernur petahana Provinsi Lampung Sjachroedin ZP ke Mahkamah Konstitusi (MK) karena dianggap melanggar hak konstitusionalnya. Melalui Putusan Nomor 17/PUU-VI/2008 MK memenangkan gugatan (permohonan judicial review) Sjachroedin.

MK memutus bahwa petahana yang mencalonkan diri lagi tidak harus mengundurkan diri, tetapi harus melakukan cuti sejak resmi ditetapkan KPU sebagai calon. Sjachroedin sendiri tidak menikmati kemenangan perkaranya itu karena terlanjur menyatakan berhenti sebelum putusan MK dikeluarkan. Tapi putusan MK atas gugatan Sjachroedin menjadi hukum dan memuat legal reasoning mengapa calon petahana wajib mengambil cuti.

Legal reasoning vonis MK inilah yang kemudian dipakai oleh lembaga legislatif dan KPU ketika mengharuskan pengambilan cuti oleh petahana yang menjadi kontestan dalam pemilu kepala daerah.

Akan halnya pertanyaan lain dari wartawan, apakah saya masuk dalam tim pemerintah yang akan membebaskan pejabat korup dari hukuman penjara asalkan harta hasil korupsinya dikembalikan kepada negara, saya menjawabnya tidak pernah membicarakan apalagi ikut dalam tim itu. Sejak dulu saya berpendapat, koruptor itu harus dihukum berat karena telah menjadi drakula penghisap darah bangsa dan negaranya.

Saya kira pers salah kutip tentang itu dari Menko Polhukam Luhut B Pandjaitan. Nyatanya saya hanya ikut dalam satu rencana untuk membuat UU induk atas proses investasi yang kerap kali terhalang oleh berbagai peraturan perundang-undangan yang saling kunci sehingga menghambat implementasi 12 Paket Kebijakan Ekonomi. Kalau soal sinkronisasi UU yang terkait dengan pembangunan ekonomi itu, saya bersama Jimly Asshiddiqie dan Indrianto Senn Adjime mang pernah membicarakannya secara serius dengan Pak Luhut. Tapi kalau soal penurunan bobot atau jenis hukuman bagi koruptor saya tidak pernah ikut membicarakannya.

 

Tulisan ini telah dimuat dalam koran SINDO, 13 Agustus 2016.

Penulis: Prof. Dr. Moh. Mahfud MD, S.H., S.U.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), Departemen Hukum Tata Negara

Dalam beberapa hal, mungkin kita tidak sependapat dengan
Haris Azhar. Tetapi jika akivis prodemokasi dan penegakan hukum ini berbicara di depan televisi atau media lainnya, biasanya sangat ekspresif namun tidak meledak-ledak, artikulasinya bagus, logikanya runut, kalimatnya teratur.  Pokoknya, terlepas dari soal kita setuju atau tak setuju, cara Haris Azhar berbicara adalah menarik dan impresif.

Tetapi dalam seminggu terakhir ini kita kehilangan cara tampil Haris yang menarik itu. Saya melihat dia  tampak nervous saat tampil di depan televisi, penampilannya menjadi seadanya, sinar matanya agak redup dan terlihat galau. Bahkan saat tampil di sebuah dialog televisi swasta menjelang tengah malam beberapa hari yang lalu, Haris sering salah omong sampai-sampai dia sendiri mengatakan, “Saya sering salah bicara malam ini’.

Rasanya tak bisa dibantah, perubahan cara tampil Haris itu terkait dengan publikasi pembicaraannya dengan Freddy Budiman yang baru saja dieksekusi hukuman mati. Dia mengunggah di media sosiai tentang pembicaraan langsungnya dengan Freddy Budiman. Isinya kemeajalelaan Freddy sebagai gembong  narkotika yang seperti sakti adalah karena bantuan dan pernbayaran uang miliaran rupiah kepada oknum-oknum aparat yakni, Polri, TNI  dan BNN melaporkannya ke Bareskrim untuk diusut sebagai  pelaku tindak pidana.

Banyak yang bertanya, di mana kesalahan Haris kok harus dipidanakan? Bukankah sudah menjadi pembicaraan biasa (bukan rahasisa umum lagi) di tengah-tengah masyarakat bawah banyak oknum Polri, TNI  dan BNN yang terlibat dalam peredaran narkoba?

Bukankah pula masalah keterlibatan aparat Polri, TNI, dan BNN dalam peredaran narkoba sudah banyak terbukti dan pengungkapan oleh BNN sendiri dan oleh vonis pengadilan?

Belum lama ini diberitakan secara meluas adanya dua oknum BNN di Polda Metro Jaya yang dijebloskan ke penjara karena terlibat kejahatan narkoba. Ada juga pejabat BNN di luar Jawa yang nyata-nyata ditangkap karena terlibat peredaran narkoba, hanya beberapa waktu setelah sang pejabat berbicara didepan publik bahwa dirinya akan tegas dalam memberantas kejahatan narkoba.

Kepala BNN Budi Waseso Sendiri Pernah mengatakan, sulitnya memberantas kejahatan narkoba disebabkan banyaknya oknum Polri, TNI, dan BNN yang terlibat.

Lalu, dimana letak kesalahan Haris Azhar kalau mengunggah hasil pembicaraan panasnya dengan Freddy Budiman? Apakah karena dia bukan pejabat atau karena aktivis yang terlalu vokal? Secara lahiriah, kesalahan Haris Azhar adalah karena dia mengumumkan keterlibatan aparat yang dikaitkan dengan kasus konkret, tapi tidak disertai bukti agar bisa diusut.

Kasus konkretnya adalah kejahatan Freddy Budiman. Kalau oknum-oknum aparat korup yang memeras atau menerima setoran dari Freddy Budiman memang ada, pastilah bisa diungkap asal ditunjukkan peta jalannya. Dalam hal ini, Haris tidak mengungkap nama oknum(atau inisialnya), sementara Freddy Sudah dieksekusi. Mengapa informasi itu tidak dia sampaikan sebelum Freddy dieksekusi?

Dari sudut pelapor, langkah Harisitubisa dianggap sebagai fitnah yang hanya ingin membuat kegaduhan dan keresahan. Mengapa? Karena dia mengumumkan pengakuan panas orang yang sudah dieksekusi mati, tetapi tidak disertai bukti atau jejak bukti yang bisa dilacak. Dengan apa yang dilakukan itu, Haris tampaknya akan dipidanakan karena ujaran kebencian dan pelanggaran UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

Melihat kasus Haris Azhar ini, saya jadi teringat pada sebuah film yang sangat bagus, Life of David Gale yang dibintangi Kevin Spacey dan Kate Winslet. Film yang dibesut oleh Alan Parker Itu Bertemakan Perjuangan anti hukuman mati.

Dalam perjuangannya untuk menghapus hukuman mati, David yang seorang profesor membuat rekayasa seakan-akan dialah yang melakukanpemerkosaan dan pembunuhan keji terhadap seorang mahasiswi di Austin University, Constance Harraway. Dialah, misalnya, yang meletakkan sidik jarinya di mayat Harraway. Dia pun diadili dan dijatuhi hukuman mati.

Akhirnya David Gale dieksekusi mati. Tetapi dengan kecerdasannya sebagai seorang profesor, melalui seorang wartawati terkenal, dia sudah mengatur agar setelah dia dieksekusi maka semua fakta bahwa bukan dia yang membunuh Harraway bisa diungkap kepada publik. Dan, itulah yang kemudian terjadi. Masyarakat pun menjadi geger karena ternyata pengadilan telah salah menghukum mati seorang profesor yang tidak bersalah.

Pesan film Life of David Gale itu memang propaganda anti hukuman mati. Saya tidak tahu, apakah Haris Azhar melakukan pengungkapan info dari Fredd: Budiman itu terinspirasi ata! ingin memberi pelajaran dar pesan film Life of David Gale itu Tetapi Kalau Itu Benar, Harisme mangagak ceroboh karena tidak menyiapkan bukti-bukti seperti yang dilakukan oleh David Gale.

Lagi pula, film Life of David Gale itu hanyalah sebuah film imajinatif yang memang mempropagandakan anti hukuman mati. Film seperti itu bisa dan sudah dilawan oleh film-film yang bertemakan sebaliknya. Namanya juga film imajinatif, ya, begitulah.

Tulisan ini telah dimuat dalam koran SINDO, 6 Agustus 2016.

 

Netherland (4/8) Dua mahasiswa Fakultas Hukum UII, Muhammad Ilham Agus Salim dan Saufa Atta Taqiyya mahasiswa Ilmu Hukum Program Internasional angkatan 2014 terpilih menjadi peserta XVIII International Conference Conference on Social Science (ICSS) 2016.

Read more

Penulis: Prof. Dr. Moh. Mahfud MD, S.H., S.U.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), Departemen Hukum Tata Negara

Kegalauan banyak pihak tentang melunturnya jati I diri dan melemahnya kedaulatan kita dirasakan juga oleh anak-anak kita yang sedang belajar di luar negeri. Sejak Sabtu pe kan lalu sampai Rabu pekan ini, melalui wadah Persatuan Pelajar Indonesia (PPI), mereka berkumpul di Kairo, Mesir, dalam satu simposium internasional PPI sedunia, “Memperteguh Identitas Bangsa Indonesia”. Tema itu merefleksikan keresahan mereka tentang Indonesia, negara yang mereka puja dan cintai.

Mereka menyatakan Ibu Pertiwi yang dicintainya sedang menghadapi problema dalam bidang politik, ekonomi, pendidikan, budaya, bahkan kehidupan beragama. Kata mereka, dalam menghadapi berbagai problema itu sudah banyak juga orang-orang kita yang menawarkan solusi, tetapi solusi-solusi yang mereka tawarkan berhenti di konsep-konsep yang tidak pernah menyatu dan tidak ada yang bisa dilaksanakan konsisten.

Konsep-konsep itu pun diajukan sebagai klaim-klaim yang berangkat dari paradigma yang berbeda, ada yang berangkat dari cara pandang Barat yang katanya universal, ada yang berangkat dari cara pandang Timur yang partikular.

Solusi yang ditawarkan banyak, tetapi kontradiktif sehingga tidak bisa diimplementasikan dalam satu langkah. Semua merasa benar dan mengambil jalur sendiri-sendiri.  Keadaan itu menyebabkan terjadinya pelunturan identitas bangsa yang juga secara pelan menggeris kedaulatan kita sebagai Negara. Di dunia internasional terkadang harga diri kita sebagai bangsa tampak disepelekan. Melalui proposal simposium mereka mengajukan pertanyaan lugas: Adakah identitas dan jati diri kita? Adakah kita telah atau masih berdaulat? Mana jati diri  dan kedaulatan itu?

Soal identitas dan jati diri bangsa, meskipun tidak bisa dirumuskan dalam kalimat yang pendek, sebenarnya sudah kita miliki secara tegas dan nyata. Indonesia, baik sebagai bangsa maupun sebagai negara, mempunyai identitas “kebersatuan dalam keberagaman”, Bhinneka Tunggal Ika, unity in diversity. Bayangkanlah, negara kita terdiri atas 17.504 pulau, 1.360 suku, dan 726 bahasa daerah. Di Indonesia juga ada banyak agama dan kepercayaan yang dianut oleh warganya, ada berbagai ras dan warna kulit yang semuanya diikat dalam kebersatuan bangsa Indonesia.

Merujuk uraian Bung Karno pada pidato di BPUPKI tanggali Juni 1945, bangsa kita merupakan ikatan kebersatuan sekumpulan manusia yang sangat beragamikatan primordialnya, tetapi mempunyai nasib dan cita-cita yang sama di tanah (bagian bumi) yang sama yakni Nusantara. Masyarakat kita adalah masyarakat yang religius, toleran, ramah, santun, gotong royong, dan tolong-menolong. Itulah identitas dan jati diri bangsa kita. Tetapi ke mana identitas dan jati diri itu sekarang? Masihkah kita hayati da lam kehidupan kebangsaan kita? Pertanyaan-pertanyaan ini muncul karena kalau identitas dan jati diri itu benar seperti itu tentulah kita tidak menghadapi tindakan-tindakan intoleran, fakta kemiskinan massal. ketimpangan ekonomi, dan ketidakadilan sosial yang menimbulkan pertanyaan lanjutan, yakni kedaulatan.

Kalau ditanyakan secara verbal,apa kita ini mempunyai kedaulatan, tentu jawabannya yang juga verbal kita ini berdaulat. Fakta bahwa Indonesia merupakan satu negara merdeka adalah fakta juga bahwa Indonesia mempunyai kedaulatan. Salah satu syarat konstitutif adanya negara adalah adanya pemerintahan yang berdaulat dan Indonesia merupakan negara yang nyata-nyata ada. Jika syarat keberadaan negara yang berdaulat itu dikaitkan dengan syarat deklaratif, yakni adanya pengakuan dari negara-negara lain, jelas keberadaan Indonesia dan kedaulatannya sudah mendapat pengakuan dari negara-negara lain. Selain menjadi anggota PBB, Indonesia juga mempunyai duta besar di berbagai negara dan negara-negara lain mempunyai duta besarnya di Indonesia. Itu tanda kita mempunyai kedaulatan dan kedaulatan kita adalah kedaulatan rakyat.

Hal yang menjadi masalah terkait kedaulatan Indonesia sebenarnya bukan tidak adanya kedaulatan secara formal-konstitusional, tetapi bergesernya letak kedaulatan tersebut dari tangan rakyat ke tangan elite politik. Dalam praktik sekarang ini, kedaulatan rakyat hanya dilakukan oleh rakyat pada saat mencoblos dalam pemilu. Sesudah rakyat memberikan suaranya saat pemilu yang mungkin hanya lima menit itu, urus-urusan negara kemudian didorong oleh elite politik, terutas para pimpinan parpol. Konfigrasi politik bukan lagi demok si, melainkan menjadi oligarki  politik yang dikuasai oleh elit

Ada juga yang menyebut litik kita sekarang berkonfigrasi poliarki karena kebijakan-kebijakan negara dikangkan oleh elite partai politik yang be kolaborasi dengan elite orma elite kelompok profesional, de pebisnis kakap. Akibatnya, kedaulatan hukum menjadi 1 mah. Hukum menjadi sang konservatif bukan hanya sa ditegakkan, tetapi juga pad saat akan dibuat. Ketika kedal latan hukum lemah, kedaulatan politik pun menjadi lemah terutama kalau berhadapan dengan pihak luar. Mengapa? Karena hukum bisa dikait-kaitkan berdasar kepentingan politik, bisnis, dan lain-lain.

Diarena simposium PPI Kairo itu muncul juga usul aga kedaulatan rakyat diubah saja ke sistem kedaulatan Tuhan (teokrasi). Tetapi saat itu saya menjawab, konsepsi teokras akan menjadikan kita semakin kacau. Jalan terbaik adalah menggeser kedaulatan yang sekarang ada di tangan elite sebagai kembali berada pada rakyat Kita bisa berharap hal itu dilakukan oleh pemerintah yang sekarang. Pemerintah yang sekarang mempunyai modal yang kuat untuk melakukan itu.

 

Tulisan ini telah dimuat dalam koran SINDO, 30 Juli 2016.