Penulis: Prof. Dr. Moh. Mahfud MD, S.H., S.U.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), Departemen Hukum Tata Negara

 

Kamis, 22 Desember 2016 K duahariyang lalu, selama I seharian saya berdiskusi melalui Twitter dengan sangat banyak netizen tentang fatwa. Diskusitersebut dipicu oleh per nyataan Kapolri Tito Karnavian bahwa fatwa MUI bukan hukum positif. Pekanlalu Majelis Ulama Indonesia (MUI) memang mengeluarkan Fatwa No.56 Tahun 2016 yang menyatakan “haram” bagi kaum muslimin memakai atribut-atribut agama lain, termasuk atribut Natal.

Diberitakan, ada dua kapolres yang merespons dengan cepat dan bermaksud memberlakukan Fatwa MUI tersebut dilapangan. Namun, Kapolri Tito Karnavian menegur keduanya dan menyatakan bahwa Polriti dak bisa menegakkan fatwatersebut dalam posisinya sebagai penegak hukum, karena fatwa bukanlah hukum positif.

Atas pertanyaan seorang netizen, saya mengatakan bahwa “Kapolri benar, fatwa bukan hukum positif sehingga penegakannya tidak bisa menggunakan Polri sebagai aparat penegak hukum”. Ternyata banyak netizen yang belum paham arti fatwa dan arti hukum, bahkan tidak paham perbedaan antara norma hukum dan norma yang bukan hukum. Akun Twitter saya pun dibanjiri berbagai respons.

Selain yang sependapat dengan saya, ada juganetizenyang tidak setuju dan menyatakan fatwa MUI adalah hukum Islam yang mengikat bagi umat Islam. Bahkan ada juga yang mempertanyakan keislaman saya dengan tudingan, saya anti-MUI atau antihukum Islam. Saya sendiri tak terganggu sedikit pun dengan tudingan tersebut.

Pendapat saya bahwa fatwa bukan hukum positif dan tidak mengikat merupakan dalil yapg tidak perlu persetujuan darf alapa pun. Kalaurada yang tidak setuju put, dalil itu tetap berlake fatwaddakmengikat. Jangankan nya fatwa MUI, Fatwa Mahkamah Agung (MA) yang merupakan lembagayudikatif tertinggi pun tidak mengikat, tidak haruralikuti. Fatwa hanyalah pendapat hukum (legal opinion) dan bukan hukum itu sendiri.

Soal identitas keislaman, saya nyatakan bahwa justru karena saya Islam maka saya berpendirian bahwa fatwa keagamaan tidak mengikat dalam arti hukum, boleh diikuti dan boleh tidak. Saya juga sama sekali tidak anti-MUI karena saya tidak termasuk orang ikut berteriak agar MUI dibubarkan. Bagi saya, MUI sangat penting keberadaannya sebagai pembimbing umat yang sekaligus menjadi jembatan antara umat Islam dan pemerintah.

Saya menyatakan pendapat saya tentang fatwa sebagai pembelajar hukum, termasuk hukum Islam. Oleh sebab itu, masalah kedudukan fatwa yang tidak mengikat itu bisa saya jelaskan baik dari hukum nasional maupun dari hukum Islam sendiri. Dari sudut hukum nasional fatwa itu, meskipun berisi fatwa tentang hukum islam, tetapi tidak mengikat. Dalam hukum nasional yang mengikat adalah yang sudah dijadikan norma hukum, yakni ditatapkan keberlakuannya oleh negara

Didalam masyarakat, banyak sekali norma atau kaidah sebagai pedoman bertingkah laku, tetapi tidak semua norma menjadi hukum. Pada hari pertamamahasiswabelajardifakul tas hukum, misalnya, yang di ajaran adalah doktrin dan dalil utarnabahwa di dalam masyarakat ada empat macam norma ataukaidah yaitu norma keagamaan, norma kesusilaan, norma kesopanan dari norma hukum.

Norma yang mengikat dan bisa dipaksakan keberlakuannya melalui aparat negara adalah norma kukum, yakni norma yang diberlakukan secara resmi oleh negara melalul pemberlakuan oleh lembaga yang berwenang, misalnya, dijadikan UU. atau perda oleh lembaga legislatif. Orang memerkosa, misalnya, harus diadili dan dihukum karena yang bersangkutan melanggar norma yang sudah dijadikan UU, bukan karena melanggar hukum agama.

Namun, orang melanggar norma kesopanan seperti hanya memakai kaus ketika menghadap rektor atau melanggar norma agama seperti tidak mau berpuasa bulan Ramadan tidaklah dapat dihukum karena hal-hal tersebut bukan norma hukum. Kalau begitu, bisakah norma agama dijadikan hukum? Tentu saja bisa, sepanjang disahkan sebagai hukum oleh lembaga yang berwenang, misalnya dijadikan UU atau diberi bentuk peraturan perundangundangan lainnya dan bukan hanya berbentuk fatwa.

Dalam bidang keperdataan, misalnya, sudah ada norma agama Islam yang dijadikan hukum seperti di bidang perkawinan, pewarisan, dan ekonomi syariah yang bisa ditegakkan melalui ke kuatan negara. Hukum pidana islam (jinayat) yang mengenal qishas (Sanksi huklunan yang sama dengan pidana yang dilakukán) atauhad (jenis hukuman tertentu seperti cambuk dan potong tangan) sejatinya bukan hukum di Indonesia karena hal tersebut tidak diberlakukan.

Jadi, benarlah pendapat hukum atau fatwa Kapolri bahwa fatwa MUI tentang atribut Natal tak bisa ditegakkan oleh negara karena ia dalam konteks Indonesia, bukanlah hukum positif. Lebih dari itu, dikalang an internal umat Islam sendiri sebenarnya fatwa itu juga tidak mengikat karena ia hanya per dapat hukum dan belum tentu sama dengan hukum itu sendiri.

Itulah sebabnya setiap ulama bisa membuat fatwanya sendiri sendiri. Hasil penelitian dosen UIN Jakarta Rumadi yang sudah diterbitkan dalam bentuk buku, “Fatwa Hubungan Antar Agama di Indonesia menguraikan adanya beberapa fatwa yang berbeda dalam isu yang sama antara tiga lembaga yakni MUI(Komisi Patwa): NU (Lembaga Bahtsul Mail), dan Muhammadiyah (Majelis Tarjih).

Dalam hal mengucapkan se lamat Natal, pemimpin perempuan, ataubungabank, misalnya, ketiga lembaga tersebut menge luarkan fatwa yang berbedabeda. Keberbedaan tersebut bisa saja terjadi karena fatwa itu hanyalah pendapat hukurn dan bukan hukuin itu sendiri. Makanya fatwa tidak mengikat, kita boleh ikut salah satunya, boleh juga tidak diikuti ketiganya karena kita mengikuti fatwa yang lain lagi.

Kalau begitu, apakattfatwa itu penting? Tentu penting sebagai rujukan karena fatwa itu hanya boleh dibuat oleh orang atau lembaga yang berkompeten dalam bidang agama. Apakah fatwa itu baik? Tentu pada umumnya fatwa-fatwa itu baik karena bisa menjadi tuntunan bagi umat yang membutuhkan bimbingan. Tetapi terlepas dari soal penting dan baik, fatwa bukanlah hukum dan penegakannya tidak bisa menggunakan aparatur hukum negara.

 

Tulisan ini telah dimuat dalam koran SINDO, 24 Desember 2016.

Jumat, 23 desember 2016

business-law-community-fh-uii-adakan-legal-discussion-dan-regional-conference3Business Law Community, Bank sebagai lembaga keuangan yang sentral dalam rangka gerak perekonomian Indonesia menjadi lembaga penting untuk diperbincangkan. Arah gerak bank dalam sejarahnya patut dijadikan diskusi baik dalam ranah hukum dan ekonomi. Belajar dari krisis keuangan 1997-1998 serta kasus Bank Century lalu, pemerintah berusaha membangun sistem keuangan yang tangguh dan siap dalam menghadapi kondisi kritis sistem keuangan. Read more

Penulis: Prof. Dr. Moh. Mahfud MD, S.H., S.U.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), Departemen Hukum Tata Negara

 

Sangkaan makar atas 11 aktivis (belakangan ditambah 1 orang lagi, yakni Hatta Taliwang yang dilakukan Polri tidak cukup dilihat dari kacamata hukum pidana, tetapi harus juga dilihat dari aspek konstitusi dan hukum tata negara . (HTN). Kita sangat kaget ketika pada 2 Desember 2016 pagi ada berita yang kemudian dikonfirmasi Polri bahwa Rachmawati, putri Bung Karno, dan 10 crang lainnya di amankan (ditangkap) karena diduga (dan kemudian disangka) melakukan makar.

Ini tidak main-main. Sebab jika dirunut dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana(KUHP) Pasal 104 dan seterusnya, ancaman hukuman bagi pemakar sangatlah berat. Ancamannya mulai dari hukuman mati, penjara seumur hidup, penjara 20 tahunan hingga penjara 15 tahun dan seterusnya. Pasal KUHP mana yang disangkakan mereka lakukan? Menurut Polri, mereka, kecuali Ahmad Dhani, disangka melanggar Pasal 107 dan Pasal 110 KUHP.

Sangkaannya sangat serius karena pelakunya diancam hukuman berat. Pasal 107 KUHP mengatur, siapa pun yang secara melawan hukum inelakukan makar dengan usaha menggulingkan pemerintah dipidana dengan pidana makar paling lama 15 tahun penjara, sedang kan pemimpin dan para pengatur makar diancam dengan pidana penjara seuinur hidup atau paling lama 20 tahun.

Jika dilihat dari peristiwa-peristiwayang mendahuluiserta keterangan Polri, tampaknya sulit dipercaya bahwa mereka telah melakukan maicar sebagaimana diatur di dalam Pasal 107 KUHP.

Sebab yang mereka lakukan sebelum itu adalah merencanakan datang ke Gedung MPR pada tanggal 2 Desember 2016 untuk meminta MPR melakukan Sidang Istimewa agar memberlakukan kembali UUD 1945 dan (mungkin) meminta MPR memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden.

Rencana yang dikemukakan secara resmi oleh Rachmawati dan yang menurut istri Sri Bintang Pamungkas, Ernalia, disampaikan secararesmi melalui surat itu tentu tidak bisa disebut makar. Mereka menyampaikan rencananya secara resmi, terbuka, dan tanpa melakukan kekerasan untuk memaksa. Karena langkah mereka itu tidak bisa dikategorikan makar dengan melanggar Pasal 107, pihak Polri melapisinya dengan sangkaan makar dengan menggunakan Pasal 110 KUHP.

Di dalam Pasal 110 disebutkan, antara lain, siapa pun yang melakukan permufakatan untuk melakukan tindakan seper ti yang diatur Pasal 104, Pasal 106, Pasal 107, dan Pasal 108 diancam karena melakukan makar seperti ketentuan pasal-pasaltersebut. Jadisangkaanyang dikenakan kepada mereka, sangatmungkin adalah sangkaan melakukan permufakatan untuk melakukan tindakan yang dilarang oleh Pasal 107 KUHP, yakni berusaha menggulingkan pemerintah.

Dengan demikian yang perlu ditunggu adalah bukti-bukti yang dimiliki Polri dalam mene tapkan sangkaan bahwa mereka telah melakukan permufakatan. Polri harus mempunyai bukti yang kuat bahwa mereka melakukan permufakatan untuk makar, bukan hanya bukti bahwa mereka pernah bertemu dan berdiskusi sambil makanmakan tentang kemungkinan meminta MPR bersidang agar mengganti lagi UUD dan atau untuk memberhentikan Presiden/Wapres.

Pertemuan-pertemuan sambil makan-makan untuk mengusulkan pemberhentian Presiden dan pemberlakuan UUD (misalnya usul kembali ke UUD 1945 yang asli) yang hendak disampaikan secara resmi dan tanpa kekerasan fisik tentulah bukan makar, melainkan makan. Kegiatan seperti itu adalah kegiatan legal yang dari sudut hukumntata negara merupakan penggunaan hak politik yang dilindungi sepenuhnya oleh konstitusi.

Pada awal-awal Reformasi 1998 kita sudah mencabut keberlakuan UU No 11/PNPS/ 1963 tentang Tindak Pidana. Subversi agar setiap orang memiliki kebebasan serta tidak takut membicarakan dan menyampaikan aspirasi politik dan penilaiannyatentangjalannya pemerintahan. Melalui perubahan UUD kita juga sudah memasukkan perincian hakhak asasi manusia (HAM) sebagaimana diatur oleh berbagai konvensiinternasional

Pasal 28 UUD 1945 ditambah dengan 10 pasal baru (Pasal 28A sampai dengan 28J) guna menegaskan jaminan hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Upaya menyampaikan aspirasi politik ke MPR sulit dianggap makar karenada lam hukumtata negara yang sekarang berlaku MPR tidak bisa mengubah UUD atau memberhentikan Presiden/Waprestanpa melalui lembaga lain dengan prosedur yang sangat ketat.

Untuk mengubah UUD,misalnya, harus melibatkan DPR dan DPD dan untuk memberhentikan Presiden harus melis batkan DPR dan Mahkamah Konstitusi melalui mekanisme impeachment. MPR tidak bisa melanggar syarat dan mekanismeitu, misalnya, hanya karena didatangi oleh Rachma ti dkk. Kalau MPR melangga justru MPR-lah yang melakukan makar.

Rencana kehadiran Rahmawati dkk ke Gedung 1 bisa diartikan sebagai – menyampaikan aspirasi ke MPR untuk memprosesp gantian pemerintah mau UUD sesuai dengan prose yang berlaku secara konst sional. Pembicaraan pemt raan yang mendahului itu, leh jadi, bukan permufaka untuk makar, melainkan sepakatan sambil makan.

Ada baiknya kita coba lami penjelasan Kapolri 1 Karnavian di Gedung DPRa pekan ini. Kapolri menga kan, penangkapan atas Ra mawati dkk dilakukan unt tidak mengambil risiko sek apa pun saat ada Aksi Suj damai2 Desember 2016 (2 Mereka ditangkap agar tak celah untuk memprovo! massa sehingga terjadi ke suhan, misalnya mendud Gedung MPR.

Tindakan Polri mengam kan mereka agar tidak memp vokasi Demo 212 bisa diben kandarisudut kemanfaatan! kum. Tapi kalau memang maksudnya, sebenarnya ma Lahnya sudah selesai dan mere bisa dilepaskan dari bidikan dana makar. Toh mereka tid bisa memprovokasi dan Der 212 sudah berlangsung deng benar-benar superdamai.

Dari semua itu, tentu ki harus menjaga negara ini sesu dengan konstitusi dan huku Kalau hanya ada sekumpuls orang menyatukan aspira sambil makan ya tidak bolehd perlakukan sebagai pelaku m. kar. Masak orang makan d anggap makar? Tapi kalau mnt mang ada bukti permufakata untuk makar, siapa pun haru ditindak tegas tanpa pandan bulu. Mereka harus dijatut sanksi tegas sesuai dengan hukum yang berlaku.

 

Tulisan ini telah dimuat dalam koran SINDO, 10 Desember 2016.

TAMANSISWA.UIINEWS : Dunia hukum tahun 2016 menjadi sorotan tersendiri bagi aparat, akademisi, bahkan masyarakat umum. Penegakan hukum menjadi isu yang selalu dibicarakan , misalnya pada kasus pra peradilan komjen Budi Gunawan, dwi kewarganegaraan Menteri, sidang Jessica iskandar serta penegak hukum semakin di uji dengan isu penistaan agama yang sampai saat ini belum juga terselesaikan. Read more

Penulis: Prof. Dr. Moh. Mahfud MD, S.H., S.U.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), Departemen Hukum Tata Negara

 

Pada Minggu (4/12) Group Chairman & CEO L MNC Group Hary Tanoesoedibjo (HT) meluncurkan Yayasan Peduli Pesantren (YPP). Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD yang didapuk menjadi salah seorang Pembina YPP mengungkapkan alasan keikutsertaannya dalam yayasan ini. Berikut pertik-an wawancaranya kepada KORAN SINDO.

Betulkah Anda ikut menjadi pengurus YPP yang dipimpin Pak HT?

Ya betul, saya ikut dalam YPP. Saya menjadi salah seorang anggota Dewan Pembina. Saya banyak terlibat dalam yayasan-yayasan yang bergerak di bidang pendidikan seperti perguruan tinggi atau bidang dakwah seperti Yayasan Takmir Masjid dan berbagai yayasan untuk memberdayakan masyarakat.

Mengapa Anda bergabung dengan yayasan tersebut?

Itu pertanyaan banyak orang, terutama di Twitter, grup grup WA SMS, dan sebagainya. Saya bisa balik bertanya, mengapamemangnya kalau saya bergabung keYPP? Secarhukum, yayasan adalah lembagayang bergerak di bidang sosial dan bersifat rirlaba. Tidak mencari untung dan tidak digaji.

Bagaimana ceritanya Anda bisa bergabung?

Saya dihubungi dan dimintabergabung dalam sebuah yayasan yang bergerak untuk memajukan pondok pesantren. Saya tanya, siapa saja yang akan bergabung? Dijanta bahwa selain HT, juga ada Gus plah (KH Salahuddin Wahid), Hajriyanto JThohari, dan lain-lain. Oh, banyak orang-orang baik dan ikhlas, oke saya bergabung, tetapi tidak di eksekutifnya. Saya bagian yang menasihati saja.

Apa ada alasan yang lebih spesifik?

Ya, saya adalah lulusan pe santren. Pernah hidup beberapa tahun di pesantren dengan fasilitas yang sangat tidak memadai, bahkan terbelakang dalam banyak hal yang ada hanya semangat belajar agama dan meneguhkanjiwa keagamaan. Sampai sekarang masih banyak pesantren-pesantren yang seperti itu, padahal di sana banyak bibit unggulyang harus diangkat. Maka itu, saya bergabungke YPP.

Banyak yang mempertanyakan keikutsertaan Anda di YPP, ya?

Ya, ada sedikit. Di media, sosial ada saja yang nyinyir. Katanya, YPPhanya tunggangan politik. Ada juga yang mengatakan seharusnya mencari dana dari orangorang muslim saja. Menurut saya, tak ada keharusan mencari dana dari orang muslim saja untuk pesantren. Lagi pula, di antara kita ini banyak yang suka ngomong harus menggalang dana dari kalangan Islam sendiri, tapi giliran disuruh menyumbang atau mencari hanya bisa angkat tangan dan senyum-senyum tak jelas.

Kalau nanti benarbenar dijadikan tunggangan politik bagaimana?

Bagaimana caranya dijadikan tunggangan politik? Ini kan yayasan yang harus dipertanggungjawabkan secara hukum kepada negara dan secara moral kepada rakyat. Lagi pula, politikus taupun parpol dengan caranya sendiri banyak juga yang membantu pesantren pada event politik masak yayasan tidak boleh? Pokoknya, YPP ini tujuannya baik, dananya legal dan halal, maka saya setuju diajak. Yang penting pesantren bisa tetap bebas memilah dan memilih sendiri mana yang akan didukung dari se kian banyak penyumbang. Sumbangannya diterima saja.

Tulisan ini telah dimuat dalam koran SINDO, 9 Desember 2016.

 

Osaka (UIINEWS):  Diawali dengan mengirimkan abstrak penelitian pada pihak panitia  dan direview oleh bantuan professor dan peneliti berpengalaman, tiga mahasiswa angkatan 2014 Fakultas Hukum UII yaitu Muhammad Ilham Agus Salim, Nasiematul Arifat dan Nabila Rani Hanifa terpilih dan berkesempatan untuk mengikuti The Asia-Pacific Conference on Security & International Relations 2016 (APSEC 2016) bertempat di Osaka University Nakanoshima Center, Osaka, Japan  pada 8-9 Rabi’ul Awwal 1438 H/ 8 -9 Desember 2016. Read more

Berdasarkan Peraturan Rektor NO. 03/PR/Rek/BEH/III/2013 tentang Beasiswa Unggulan Universitas Islam Indonesia, maka kami menerima Pendaftaran Calon Penerima Beasiswa (Khusus Angkatan 2016) sesuai dengan persyaratan yang ditentukan dalam Peraturan Rektor Tersebut. Kontak Person Pendaftaran Ibu Desy Wulandari HP/WA +6281227143341 di Divisi Adm.Umum dan Rumah Tangga FH UII. Read more

Penulis: Prof. Dr. Moh. Mahfud MD, S.H., S.U.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), Departemen Hukum Tata Negara

Bertempat di Hotel Santika Premiere, Surabaya, pada Selasa, 22 November 2016, saya berdiskusi dengan teman saya, Hafandi, tentang (waktu itu masih rencana Demo 212. Teman saya sejak kecil ini mengatakan akan hadir dalam Demo 212 sebagai panggilan hati seorang muslim. Katanya, dia dan beberapa temannya sudah membeli tiket pesawat untuk bergabung dengan Demo 212.

Waktu itu saya menyarankan ia agar tidak ikut karena demo itu sudah tidak relevan lagi. Tujuan Demo 411 yang meminta Ahok diproses hukum sudah dicapai, Ahok sudah ditetapkan sebagai tersangka, Tidak ada lagi tuntutan baru yang bisa diajukan karena perkara sudah berjalan. Saya juga bilarig, Demo 212 sedang digembosi, dituduh ada yang menumpangi untuk makar sehingga tidak akan sebesar Demo411.

Di daerah-daerah aparatmelarang warganya ikut demo ke Jakarta, perusahaan-perusahaan bus dilarang mengangkut peserta demo dengan ancaman izin trayeknya akan dicabut. Fatwa yang terburu-buru bahwa salat Jumat di jalanan tidak sah disebar di manamana. “Jadi tak usah ikut, kawan. Kita tidak usah ikutikutan emosi, mari selesaikan masalah ini sesuai dengan jalur yang tersedia dengan kepala dingin,” kata saya kepada Hafandi.

Tetapi gelora masyarakat untuk berdemo itu membesar, Semakin dilarang semakin banyak orang yang mendaftar. Beberapa kawan saya dari berbagai daerah menyatakan akan bergabung dan mengajak saya bertemu di Jakarta. Mereka menginformasikan, di daerahnya ada ribuan orang siap berangkat dengan biaya sendiri. Mereka siap membela kesucian kitabullah, Alquran.

Dari Ciamis ribuan umat. Islamlangsung berjalan kaki, long march, menyikapi berita adanya i larangan oleh aparat kepada perusahaan bus untuk mengangkut para peserta demo. Dari berbagai daerah dilaporkan bahwa tiket tiket pesawat, kereta api,dankapallautsudah ludes diboronguntuk ke Jakarta. Mobilmobil pribadi siap berkonvoi ke Jakarta. Seorang pemilik perusahaan bus berkata, “Bus-bus saya tetap akan mengangkut peserta demo, apalagi cuma diancam pencabutan izin trayek, dibakar pun tak apa-apa, demi perjuangan suci.”

Intelijen Polri rupanya bekerja dengan bagusketika segera menyimpulkan bahwa Demo 212 tak mungkin dihalangi. Itulah sebabnya pada 28 November 2016 pihak Polri berembuk dengan GNPF-MUI, MUI, FPI, dan lain-lain untuk akhirnya menyepakati Demo 212 boleh berlangsung dan Polri akan memfasilitasi serta memberikan pengamanan asal acaranya dimodifikasi menjadi doa superdamai. Tujuannya bukan unjuk rasa, melainkan doa untuk kebaikan Indonesia.

Sampai di titik kesepakatan dan sikap akomodatif dari Polri itu saya masih tak yakin Demo 212 akan menyamai Demo 411 sebab persetujuan aparat ke amanan baru diberikan tangg 29 November 2016, hanya dy setengah hari menjelanghari. Tetapi saya menjadi terkesiap dan (terus terang) terharu meLihat semangat kaum muslim yang berunjukrasa untuk membela kitab sucinya. Meskipun saya sendiri tidak ikut dalam demo itu, tetapi saya merasa sangathormat kepada mereka.

Pada Jumat dini hari kawan saya Hafandi yang tinggal di Surabaya itu mengirim pesan pendek. “Kawan, saya sudah di Jakarta, menunggu subuh di Masjid Istiqlal. Pukul 8.00 saya akan ke Monas. Kamu di mana? Ponsel saya pun penuh dengan pesan dari kawankawan yang sebenarnya tinggal di berbagai daerah, tapirupanya sudah ikut numplek di Jakarta.

Sudah dapat dipastikan peserta Demo 212 jauh lebih besar dari 411 karena pada konferensi pers 29 November Kapolri mengatakan bahwa lapangan Monas saja menampung 600.000 orang. Nah, ini membludak sampai ke Bundaran BI, Jalan Thamrin, dan sekitarnya. Yang mengharukan, Demoitu didukung oleh masyarakat, bukan hanya di Jakarta, tetapi juga di daerah-daerah. Banyak orang ikut menyumbang spontan untuk membekali para pendemo.

Menko Polhukam Wiranto menyaksikan sendiri banyak ibu-ibu yang mengirim ribuan bungkus nasi, kudapan, dan minum-minuman gratis di sepanjang perjalanan. Ini meng ingatkan kita pada sejarah gerilya Panglima Sudirman melawan penjajah Belanda, di sepanjang jalan yang dilalui selalu disuplai dengan logistik oleh inasyarakat. Juga meng ingatkan kita pada Reformasi 1998 yang mempersaksikan bahwa banyak warga, termasuk istri-istri pejabat, yang menyuplai logistik terhadap mahasiswa-mahasiswa yang berdemo di gedung MPR/DPR saat itu.

Sebenarnya, meskipun namanya dihaluskan menjadi doa superdamai, acara 212 itu tetaplah demo. Dan demo seperti itu dalam pandangan Islam yang lebih komprehensif dan dianut oleh pendukungpendukung demo, bukan hanya tidak bertentangan dengan prinsip ibadah, tetapi bisa menjadi bagian dari ibadah itu sendiri. Di dalam Islam ibadah dibedakanatas ibadah mahdhah (seperti salat, puasa, doa, zikir) dan ibadah muamalah atau ibadah sosial kemasyarakatan (seperti politik, pendidikan, Seni, dan sebagainya).

Para pengikut Demo 212 itu berpegangan pada dalil yang kuat bahwa beribadah mahdhah yang dikaitkan dengan ibadah muamalah sah, boleh, dan tidak dilarang. Menyampaikan aspirasi politik yang dikemas dan dibersamakan dengan ibadah mahdhah seperti doa bersama dan salat Junat di luar masjid dianggap sebagai ibadah yang sah dan berpahala dalam memperjuangkan aspirasi politik umat.

Kita tak bisa selalu berbohong dengan mengatakan bahwa peristiwa 212 hanya doa bersama dan bukan demo. Peristiwa 212 kemarin itu adalah demo, tepatnyaibadah Demo 212. Karenaitu, kita harus bersungguh-sungguh menangkap pesan dari ibadah demo itu, yakni berpolitiklah secara fair dan tegakkan hukum tanpa pandang bulu agar tidak menimbulkan huru-hura.

Petuah Mantan Ketua Umum PBNU Hasyim Muzadi perlu digarisbawahi ketilamengatakan ada tiga hal yang sangat menyentuh sensitivitas dan emosi umat Islam, kapan pun dan di mana pun: keagungan Allah SWT, ke muliaan Nabi Muhammad SAW, dan kesucian Alquran. Mari kita rawatnegara tercinta, Indonesia, ini dengan penuh kejujuran dan kearifan.

Tulisan ini telah dimuat dalam koran SINDO, 3 Desember 2016.

 

Senin 05 Desember 2016.Bagi mahasiswa yang KARTU UJIAN MASIH BERSTEMPEL DISPENSASI wajib menggantinya dengan yang baru, dengan syarat membawa | Klik disini, untuk info selanjutnya | Read more