Taman Siswa, (1/12) Seminar Regional yang diselenggarakan oleh Departemen Pidana FH UII mengulas tentang Pidana bagi demonstran 212 yang diwacanakan sebagai tindakan Makar. Apakah Demo=Maka? Simak artikel berikut.. Read more

Penulis: Prof. Dr. Moh. Mahfud MD, S.H., S.U.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), Departemen Hukum Tata Negara

Judul tulisan di atas timbul dari dan sengaja saya kaitkan dengan masalah penegakan hukum dalam kasus Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok yang kini menjadi tersangka dalam tindak pidana penistaanagama. Seperti diketahui, pada saat ini sedang bergemuruh suara dan gerakan agar, setelah dua pekan lalu dinyatakan sebagai tersangka, Ahok segera ditahan. Bahkan ada yang mengancam akan menggerakkan demo yang lebih besar daripada demo 4 November 2016 (411) jika Ahok tidak segera ditahan.

Upaya mengawal tegaknya hukum memang menjadi kewajiban kita untuk melakukannya, lebih-lebih jika karena suatuke adaan, misalnya karena permainan politik, hukum sulit ditegakkan. Tapi tetaplah harus diingat bahwa menegakkan hukum itu harus bersabar dan tidak boleh terburu-buru. Mene gakkan hukum harus sabar mengikuti prosesnya yang mungkin memerlukan waktu dan harus berhati-hati agar tidak salah dan menyebabkan terjadinya kezaliman. Ini berlaku bagi semua kasus, termasuk kasus Ahok yang kini sedang menyedot perhatian kita.

Jika dilihat dari perkembangannya sejak terjadi demo 411 itu, penanganan terhadap kasus Ahok sudah cukup cepat waktunya dan kinerja polisi sudah cukup proporsional. Ketika menerima pimpinan demo 411, pemerintah yang dipimpin Wapres jusuf Kalla menjanjikan bahwa kasus Ahok akan diselesaikan dalam dua minggu oleh dan di kepolisian. Janji itu sudah ditepati, bahkan belum sampai dua minggusetelah itu Ahok sudah ditetapkan sebagai tersangka.

Setelah menetapkan status Ahok sebagai tersangka, pada Jumat tanggal 25 November 2016 kemarin pihak kepolisian pun telah melimpahkan kasus tersebut ke kejaksaan agar segera bisa diajukan ke pengadilan. Terlepas daritekanan situasi yang mungkin ada, faktanya kita melihat bahwa pihak kepolisian sudah bekerja dengan cepat. Oleh sebab itu demo yang lebih besar daripada demo 411 tidak diperlukan lagi karena tidak ada relevansinya. Apalagi pihak kejaksaan telah menjanjikan, perkara Ahok akan dilimpahkan ke pengadilan dalam 14 hari ke depan.

Dalam berhukum kita harus bersabar mengikuti urut-urutan proses yang diatur oleh hukum itu sendiri, yakni hukum acara. Jangan sampai terjadi aparat penegak hukum menersangkakan dan menggiring seseorang ke pengadilan karena tekanan dari luar. Sebab kalau kita membiarkarapalagi mendorong cara itu, kita pun bisa menjadi korban dari cara-cara seperti itu. Kalau sekarang Anda mampu menggerakkan begitu banyak orang untuk menekan aparat agar menggelandang orang ke pengadilan, bukan tidak mungkin suatu saat ada orang yang mampu menggerakkan dan menekan aparat untuk menggelandang Anda ke pengadilan melalui apa yang biasa disebut kriminalisasi.

Itulah relevansi seruan kita harus bersabar dan berhati-hati dalam berhukum. Tapi aparat  penegak hukum pun tidak boleh bermain-main dalam tugas untuk menegakkan hukum. Mereka tidak boleh tunduk pada tekanan politik dari arah manapun dalam menegakkan hukum. Aparat penegak hukum harus cekatan dan profesional dalam menangani kasus. Aparat hukum ti dak bisa memanipulasi dalil “lebih baik membebaskan seribu orang yang bersalah daripada menghukum satu orang yang tak bersalah untuk melindungi seseorang. Yang bersalah, meskipun hanya satu orang, harus dicaridan ditemukan.

Penegak hukum tidak boleh juga memanipulasi dalil agama yang menyatakan, “Janganlah kebencianmu kepada seseorang menyebabkan kamu berlaku tidak adil.” Sebab dalil itu pun bisa dibalik dengan metode mafhum mukhalafah sehingga berbunyi, “Janganlah kesukaanmu atau ketakutanmu terhadap tekanan seseorang menyebabkan kamu tidak berlaku adil.” Ini sangat penting ditekankan karena kenyataan kita dalam berhukum sering kali dihantui permainan hukum antara aparat, politisi, dan cukong.

Permainan hukum oleh aparat penegak hukum memang kerap kali terjadi di Indonesia. Buktinya, banyak penegak hukum, yakni hakim, jaksa, polisi, pengacara, bahkan pegawai administrasi pengadilan, yang digelandang ke pengadilan karena tertangkap memperjualbelikan kasus. Itu pun banyak yang meyakini bahwa tertangkapnya mereka hanya karena “apes”, sebab selain yang tertangkap itu masih banyak penjual dan pembeli kasus yang berkeliaran dan tidak atau belum tertangkap.

Dengan demikian, bersabar dalam menegakkan hukumbisa diartikan, minimal, dalam dua hal. Pertama, kita harus bersabar mengikuti urut-urutan penanganan sebuah kasus agar dilakukan secara berhati-hatidan tidak menimbulkan kezaliman bagi seseorang yang diduga telah melakukan kesalahan. Kedua, penegak hukum harus bersikap profesional dan berani menghadapi tekanan dari arah manapun, dari penguasa politik maupun pernilik uang suap.

Aparat tidak boleh ditekan oleh kekuatan politik dari atas dan oleh cukong-cukong penyuap dari samping. Aparat juga tidak boleh dipaksa-paksa oleh kekuatan massa yang mengepung untuk memaksakan kehendaknya.. Aparat harus berani menolak, kalau perlu melawan, tekanan-tekanan yang mendorong dirinya untuk berlaku tidak profesional dan tidak adil. Itulah wujud kesabaran yang harus ditunjukkan oleh aparat dalam menegakkan hukum.

Berhukum mencakup pembuatan aturan hukum dan penegakan aturan hukum itu sendiri. Maka itu para pembuat aturan hukumjuga harus bersabar dalam arti tekun dan berhati-hati serta tangguh menolak dan melawan tekanan, termasuk menolak suap yang akanmenyesatkannya dari tugas pembuatan aturanhukur yang benar dan baik.

Tulisan ini telah dimuat dalam koran SINDO, 26 November 2016.

 

 

 

 

JEPANG (UIINEWS) : “ Allhamdulilllah, setelah bersaing dengan 14.000 naskah yang masuk, akhirnya naskah saya berhasil menjadi 100 besar naskah terpilih dan berkesempatan mempresentasikan hasil esai saya di International Essay Contest di Jepang “ tutur Meiria Kurnia Utami mahasiswi angakatan 2013 Fakultas Hukum UII. Read more

Penulis: Prof. Dr. Moh. Mahfud MD, S.H., S.U.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), Departemen Hukum Tata Negara

Kolom saya, “Melihat Derita Koruptor”, yang dimuat di rubrik ini Sabtu (12-11-16) pekan lalu mendapat tanggapan beragam. Ada yang merespons melalui Twitter, ada yang melalui grup grup WA, dan ada yang mengirim SMS atau direct messages kepada saya. Pada umumnya, penanggap merasa ikut sedih melihat koruptor yang keluarganya berantakan.

Seperti yang saya tulis, koruptor itu hidupnya sangat menderita. Ada yang anaknya menghilang karena malu, istrinya hidup susah ke sana kemari tidak ada lagi yang menghormati. Ada yang anaknya dijauhi oleh teman-temannya dan tidak ada yang mau mengambilnya sebagai jodoh.

Ada yang harus menjadi wali nikah, tapi berangkat dari penjaradandikawalsehingga pernikahan menjadi mencekam, bukan hikmat.

Mantan mahasiswa saya, Iwan Wibisono, yang kini tinggal Melbourne, Australia menyatakan setuju dengan tengarai saya bahwa banyak pejabat yang buang badan dan menimpakan korupsi yang dilakukannya kepada anak buahnya. Na mun, Iwan menunjuk juga bahwa banyak pejabat yang pasang badan untuk mengelola pemerintahan dengan baik dan membuat kebijakan namun akhirnya dikriminalisasi dan masuk penjara. Soalnya, apakah membuat kebijakan itu bisa dikriminalisasikan?

Untuk masalah yang diajukan Iwan itu sebenarnya sudah pernah menjadi diskusi gemuruh di Indonesia, baik pada masa pemerintahan Pak SBY dulu maupun pada masa pemerintahan Pak Jokowi sekarang. Pemerintah menyerukan agar kebijakan yang dibuat oleh para pejabat tidak dikriminalisasikan agar para pejabat tidak takut membuat kebijakan. Saya sendiri sering mengatakan, secara hukum, sejak dulu memang kebijakan tidak boleh dikriminalisasikan.

Membuat kebijakan adalah bagian penting dari tugas-tugas pemerintahan. Jadi tidak perlu ada seruan, apalagi instrumen hukum baru, agar kebijakan tidak dikriminalisasikan. Sejak dulu pun sudah begitu hukumnya. Sampai kini, rasanya, belum ada kasus pembuat kebijakan dikriminalisasi. Semua pejabat yang dihukum memang dihukum karena terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi. Se baliknya yang bisa membuktikan bahwa yang dilakukannya adalah kebijakan,yatidakdiapaapakan. Clear, kalau soalitu.

Banyak juga penanggap yang membandingkan dengan fakta lain, misalnya, banyak koruptor yang tidak tampak menderita. Bahkan keponakan saya, Firman, mengatakan ada temannya yang baru keluar penjara karena korupsi sekarang menjadi pejabat lagi di satu kabupaten di Jawa Timur. Jadi, adakoruptoryang tidak menderita seperti yang saya gambarkan dalam tulisan Melihat Derita Koruptor” itu. Buktinya lagi, mereka masih bisa tersenyum-senyum sambil melambaikan tangan kepada para wartawan pada saat digelandang ke tempat tahanan ataudigiringke ruangsidang pengadilan.

Itupun adalah fakta yang tak terbantahkan. Banyak koruptor yang bertingkah, misalnya, masih marah-marah kepada wartawan seakan-akan dia masih pejabat. Ada juga yang, seperti kata beberapa penanggap, yang tertawa-tawa dan tiba-tiba berubah penampilan menjadi religius misalnya memakai baju koko atau berjilbab. Tetapi itu semua tidak mengurangi keyakinan saya bahwa di dalam batinnya para koruptor itu tetap sangat menderita. Mereka tahu bahwa harga diri mereka sudah tergeletak di comberan, mereka tahu bahwa anak dan istrinya sudah tersisih dari pergaulan normal masyarakat. Dapatlah dikatakan bahwasenyum merekaitu sebenarnya senyum iblis.

Kok disebut senyum iblis? Ya, karena menurut agama, sebenarnya, predikat koruptor itu sama dengan predikat iblis, yakni makhluk terlaknat. Di dalam kitab suci disebutkan bahwa iblis dilaknat karena tidak patuh pada perintah Tuhan dan di dalam Hadis Nabi ditegaskan bahwa Tuhan melaknat penerima suap dan pemberi suap alias koruptor. Jadi, koruptor itu statusnya sama belaka dengan iblis, kelompok makhluk terlaknat.

Sekelompok penanggap lain yang masuk melalui WA dan Twitter kepada saya mengatakan, tidak benarjuga kalaudikatakan koruptor itu menderita. Buktinya, banyak koruptor yang masih bisa bergembira di dan dari penjara. Bahkan, ada yang menyebut penjara itu menjadi kantor atau hotel me wah bagi para koruptor karena bisa mengatur sendiri tempat tidur dan tempat menerima tamulayaknya pejabatyang memimpin kantor.

Ada yang bisa berkeliaran dan dipergoki di tempat umum dengan full dress yang mewah. Tentangitusemua pun tidak dapat dibantah. Mantan Wakil Menkumham Denny Indrayana saat melakukan inspeksi mendadak pernah menemukan ruangan mewah yang di-setting seperti kantor dengan fasilitas elektronik yang canggih di sebuah lembaga pemasyarakatan. Ada home theatre segala.

Tempat itu ternyata menjadi semacam kantor seorang narapidana yang terbukti menyuap seorang jaksa dan keduanya sama-sama dipenjarakan. Melaluirubrikini pada tahun 2012, saya juga pernah menuliskesaksian sahabat saya (almarhum) Slamet Effendi Yusuf kepada saya. Ceritanya, suatu har: Slametmengontaktemannya yang sedang meringkuk di penjara karena korupsi. Slamet ingin menyambung silaturahim dengan temannya itu dan ingin menunjukkan bahwa rasa persahabatannya masih melekat.

Disepakatilah, sang napikoruptor itu akan menerima kunjungan Slamet pada Minggupukul 8.00 pagi. Pada waktu yang dijanjikan, Slamet datang ke lapas tersebut. Ternyata begitu tiba disana, melaluicallyangmasuk ke telepon genggamnya, Slamet diminta datar.g ke sebuah hotel mewah. Temannya yang statusnya dipenjarakan itu sudah menunggu untuk breakfast di hotel mewah tersebut.

Bayangkan, orang dijebloskan ke lapas ternyata masih bisa berkeliaran dan menjamu pembesuknya di hotel mewah. Jadi benarlah, para koruptor itu tak semuanya terlihat menderita, tetapi masih bisa berjalan-jalan dan tersenyum lebar. Tetapi bagi saya, senyuman mereka itu tak lebih dari senyuman iblis yang terkutuk. Bahkan, para pejabat dan pegawai yang memfasilitas koruptor dengan kemewahan dan berkeliaran bisa juga digolongkan iblis-iblis yang harus ditertibkan oleh pemerintah.

Tulisan ini telah dimuat dalam koran SINDO, 19 November 2016.

Fakultas Hukum UII. Selasa 22 November 2016. Berdasarkan Rapat Koordinasi antara Pengelola Internasional Program (IP) dengan Pimpinan Fakultas Hukum UII pada Senin 24 Oktober 2016 tentang Evaluasi Masa Studi dan Aktif Kuliah maka, bagi mahasiswa yang terdaftar pada Evaluasi Mahasiswa IP berikut ini mohon segera menghadap kepada Ketua IP FH UII c/q Sekretariat IP FH UII Mbak Vera paling lambat 2 Desember 2016. Jika pada tanggal tersebut tidak menghadap maka status sebagai mahasiswa IP FH UII akan ditinjau ulang. |Daftar Mahasiswa| Read more

Taman Siswa, (20/11) Forum Kajian dan Penulisan Hukum (FKPH) FH UII bekerja sama dengan Bidang Kemahasiswaan Kerjasama dan Alumni dan Dekanat FH UII telah berhasil menyelenggarakan Game of Law DEAN (GOLD) 2016 dengan dua agenda besar yaitu Workshop dan Perlombaan Hukum. Workshop Hukum telah sukses dilaksanakan pada tanggal 20 Bovember 2016. Workshop diselenggarakan dengan tema Penulisan Opini dan Public Speaking yang mendatangkan Ketua Redaktur Utama Kedaulatan Rakyat yaitu Bapak Jayadi Kasto Kastari. Read more

Penulis: Prof. Dr. Moh. Mahfud MD, S.H., S.U.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), Departemen Hukum Tata Negara

Begitu pintu kamar hotel tempat saya menginap saya buka, tamu saya itu langsung menubruk dan meme luk saya sambil menangis menggerung gerung. “Pak, saya mohon maaf Pak. Saya telah mempermalukan Bapak dan almamater kita. Tapi demi Allah, Pak, saya tidak korupsi sepeser pun. Saya menjadi korban karena jabatan dan atasan. Keluarga saya berantakan, Pak,” katanya sambil terus menangis hingga air matanya membasahi baju saya.

Tamu itu adalah teman kuliah saya yang saat sama-sama kuliah di Yogya (awal 1980-an) dulu biasa saling panggil nama atau”mas” saja dengan saya. Dia bekerja sebagai sekretaris daerah (sekda) di sebuah kantor pemerintah daerah dan baru memanggil bapak”kepada sayasejak saya menjadi pejabat negara. Saya tidak begitu suka dengan panggilan “bapak dari teman itu, tetapi saya tak bisa menghalanginya karena begitulah budaya birokrasi kita.

Orang yang bekerja di kantor-kantor pemerintah se lalu memanggil “bapak kepada pejabat yang lebih tinggi. Maka saya biarkan sajapanggilan “bapak itu kepada saya meski saya sudah tidak pejabat pegara lagi.

Dia meminta maat kepada saya, katanya, karena teman-temannya mengenaldirinyaseba gafteman saya sehingga dia merasa telah mempermalukan saya yang dikenal selalu menyerukan perang terhadap korupsi.

Dia juga meminta maaf kepada saya karena, katanya, telah mempermalukan almamater kami berdua, sedangkan saya adalah ketua umum ikatan keluarga alumni universitas kami tersebut. “Mohon maaf, Pak, mohon maaf saya telah mempermalukan Bapak dan almamater kita,” ucapnya lagi sambil menangis lebih histeris dan pelukannya semakin menguat ke tubuh saya.

Setelah saya beri segelas air putih dan tangisnya agak mereda, bertanyalah saya tentang apa yang sesungguhnya telah menimpanya. Dia bercerita diriaya dijatuhi hukuman karenta dinyatakan terbukti me lakukan tindak pidana korupsi, padahal dirinya tidak korupsi. Kasusnya, dia mengeluarkan dana bantuan sosial (bansos) kepada beberapa LSM yang dibawa pardanggota DPRD, tetapi banyak yang tidak bisa dipertanggungjawabkan karena beberapa di antara LSM itu ternyata fiktif belaka.

Beberapa anggota DPRD yang membawa proposal LSM fiktif itu memang telah dijebloskan ke penjara sebagai pelaku korupsi, tetapi sekda itu merasa dizalimi karena dijatuhi hu kuman pidana juga. Saya mengatakan kepadanya bahwa dari sudut hukum dia memang bersalah karena mencairkan dana yang ternyata dikorupsi para penerima. Tapi di situlah dia merasa dizalimi. “Saya diperintah oleh atasan,” katanya.

“Mengapa tidak ditunjuk kan bukti di pengadilan bahwa Saudara hanya diperintah oleh atasan?” tanya saya, Berceritalah dia bahwa kepala daerah yang memerintahkannya tidak mau memberi disposisi ataupe rintah tertulis, Dia hanya memerintahkan agar proposal proposal dari LSM yang diajukan anggota-anggota DPRD itu diberi jatah bansos. Ketika diminta disposisi atau memo, si kepala daerah tidak mau, tapi malah mengatakan bahwa itu sudah disetujui bersama dengan DPRD. Sebagai bawahan dia tak bisa mengelakan untuk melaksanakan perintah itu. Tapi itulah akibatnya.

Karena tidak punya bukti perintah tertulis dari atasannya, dihukumlah sekda ini dengah dasar turut memperkaya orang lain dengan cara melanggar hur kum yangmerugikan kenangan negara. Bagi sang sekda, masalahnya memang dilematis. Kalau dia tidak mencairkan dana itu bisa dijepit oleh pimpinan eksekutif dan DPRD sehingga bisa terlempar dari posisinya. Disini, meski mungkin tidak setuju, kita maklum, mengapa ke mudian sekda tersebut mencairkan uang bansos yang sangat berisiko itu.

Kawan saya itu mendekam di penjara selama dua tahun dan tak lama setelah bebas diamenemui saya di hotel yang saya sebut di atas. Kehancuran hatinya tidak berbenti di situ. Anaknya yang tadinya dikenal sangat pandai, rajin salat dan mengajt, patuh kepada orang tua, menjadi teladan di sekolah ikut menjadi rusak. Saat ayahnya mulai disebut-sebut dimedia massa sebagai tersangka korupsi, sang anak sangat ter pukul, malu, dan frustrasi.

Anak itu mulai jarang pulang tanpa memberitahu, kemudian pernah sekali-sekali pulang te tapi tubuhnya sudah bertato dan tak hormat lagi kepada keluarga. Pada titik cerita ini dia menangis lagi dengan keras. “Keluarga saya hancur, Pak. Anak saya sampai sekarang tidak pulang, entah ke mana, ka tanya di sela-sela tangisnya. Saya sungguh terharu dan tak tahu apa yang harus saya sampaikan sebagai nasihat, sebab siapa pun tidak akan bisa menerima kenyataan itu tanpa menangis dan menyesali diri.

Saya memiliki seorang teman lain yang juga sekda di sebuah provinsi. Dla dihukum empat tahun penjara karena mengeluarkan dana bansos atas perintah atasan, padahal dana bansos atas perintah atasan, padahal dana-dana itu sudah ditarik kembali dan disetor ke kas daerah sesuai dengan perintah BPK. Dia tetap dipenjara dengan dasar, tindakan yang telah memenuhi unsur korupsi tetap dihukum meski uang riya dikembalikan. Dia terpuruk, harga dirinya runtuh, keluarganya menjadi berantakan.

Dulu, anggota DPR yang divonis karena kasus korupsi pengadaan Alquran menangis tersedu-sedu di sidang pengadilan karena cucu yang sangat disayanginya melihatnya dengan inalu dan terpukul, sedangkan keluarganya menjadi ikut ter bawa-bawa oleh sanksi sosial.

Ada dua hal yang patut dica tat di sini. Pertama, para korup tor dan orang yang dijatuhi hukuman hidupnya akan hancur berantakan. Diri dan keluarga nya menjadi seperti sampah di tengah-tengah masyarakat, Anak menjadi malu, bahkan mungkin akan sulit mendapat teman dan jodoh.

Seumpama mendapat jodoh pun sang ayah harus hadir  dipernikahan anaknya dengan berangkat dari penjara dan dikawal ketat sebagai narapidana. Kedua, siapa pun yang menjadi kepala daerah tidak boleh buang badan menyuruh mengeluarkan uang, tetapi jika menjadi kasus yang dikorbankan adalah bawahan yang melaksanakan perintahnya. Itu biadab.

Tulisan ini telah dimuat dalam koran SINDO, 12 November 2016.

 

Fakultas Hukum UII, Kamis, 10 November 2016. Demi tertibnya administrasi, bagi MAHASISWA ANGKATAN 2016 yang namanya tercantum dibawah ini diharap segera melengkapi BERKAS REGISTRASI AKHIR SEBAGAI MAHASISWA BARU (ijazah SMA yang dilegalisir, akte kelahiran yang dilegalisir dan formulir registrasi manual) di DIVISI ADMINISTRASI AKADEMIK LANTAI 1 LOKET 5 paling lambat sebelum UAS Ganjil 2016/2017. |Data mahasiswa yang belum melengkapi Dokumen | Read more

Penulis: Prof. Dr. Moh. Mahfud MD, S.H., S.U.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), Departemen Hukum Tata Negara

 

Seperti diduga sebelumnya, apa pun isi putusan hakim atas kasus pembunuhan Mirna yang memicu kontroversi panas. Demikianlah, setelah Ketua Majelis Hakim Kisworo mengetukkan palu penghukuman penjara selama 20 tahun kepada Jessica pada pukul 17.00 WIB, Kamis kemarin, lusa kontroversi betul-betul memanas. Televisitelevisi besar menjadikannya sebagai berita “pro-kontra” sepanjang malam tanpa henti, sosial media ribut juga penuh kontroversi.

Sebagai mantan hakim yang pernah menangani banyak kasus, saya tahu persis dan sudah pernah menulis di harian ini bahwa tak ada putusan hakim yang bisa diterima oleh semua orang. Setiap hakim mengetukkan palu dan menjatuhkan vonis selalu saja ada yang mencelanya. Ya, sekurang-kurangnya orang yang dikalahkan dalam perkara itu atau orang yang tuntutannya tidak dikabulkan oleh pengadilan biasanya marah-marah kepada hakim.

Ada saja caci maki dan tudingan berlaku tidak adil terhadap hakim oleh orang-orang yang kalah atau mempunyai keterikatan emosional tertentu terhadap satu perkara atau oleh orang-orang yang tidak memahami persoalan secara utuh. Tetapi pada saat yang sama, banyak juga pujian-pujian yang dipersembahkan kepada hakim sebagai hakim yang adil dan benar-benar mewakili Tuhan oleh orang-orang yang menang dan terpuaskan oleh putusan hakim.

Oleh sebab itu, kita harus paham betul para hakim yang mengadilikasus perbunuhan Mirna Salihin sendiri menyadari bahwa posisinya akan dijepit secara keras oleh opini publik, apa pun yang diputuskan. Jika menjatuhkan hukuman kepada Jessica, tentu sudah dihitung akan menuai bermacam-macam tudingan seperti sekarang ini.

Sebaliknya, seandainya mereka memutus dengan membebaskan Jessica dari segala dakwaan, tentu juga akan dibanjiri hujatan yang tak kalah besar di samping tentu saja akan ada yang memujinya. Pokoknya kalau menjadi hakim jangan pernah berharap akan dipuji oleh semua orang, tetapijangan pula takut dicaci maki oleh banyak orang. Putus saja sesuai bisikan nurani dan sikap profesional dan penuh kejujuran. Kalau itu dilakukan, pastilah akan memberi kepuasan batin kepada hakimyang bersangkutan.

Yang penting bagi hakimitu bersikap prozesional, berusaha jujur, dan bersih dari pengaruh kasar maupun pengaruh halus. Dalam kasus pengadilan Jessica ini, saya mencatat secara umum hakimnya cukup leluasa untuk bersikap objektif. Perkara initidak terkait dengan urusan politik sehingga tak tampak ada te kanan politik dari manapun kepada para hakim. Perkara ini juga tak terkait dengan uang dan tak melibatkan bisnis besar sehingga tidak terdengar adanya kecurigaan telah terjadinya penyuapan atas kasus ini. Kontroversinya murni berkisar pada penafsiran atas fakta di persidangan yang pada akhirnyahalitu memang menjadiwe wenang hakim.

Rasanya dalam menangani kasus ini para hakim telah memutus sesuai dengan keyakinannya sendiri sesuai dengan rangkaian fakta hukumdipersidangan. Kesimpulan majelis hakim tidaklah berdasar pada satu fakta, tetapi didasarkan pada rangkaian fakta-fakta yang menuntun kepada keyakinan tertentu. Soal kita setuju atau tidak setujuatas keyakinan hakim itu, adalah lain soal. Se tuju atau tidak setuju itu lebih dipengaruhioleh informasi,posisi. atau ikatan emosional kita terhadap kasus itu.

Keluarga Darmawan Salihin dan jaksa penuntut umum tentu berbeda pandangan dan sikapnya dengan keluarga Jessica dan para pengacaranya yang dipimpin oleh Otto Hasibuan. Kita pun yang melihat dari luar bisa juga berbeda-beda dalam memandang kasus itu, bergantung pada persepsi dan informasi yang kita asup masing-masing.

Kita harus memaklumi jika Darmawan Salihin sering kali terlihat kalap dan kurang proporsional dalam mengekspresikan kemarahannya terhadap setiap kecenderungan yang ingin membebaskan Jessica. Kita harus maklum juga jika jaksa penuntut umum ngotot membuktikan kebe naran dakwaannya, sebab memang itulah tugas profesional jaksa jika berani membawa satu kasus ke pengadilan.

Sebaliknya kita tidak boleh marah kepada jessica jika dia berusaha melakukan semua upaya yang bisa dilakukan untuk membebaskan dirinya. Kita tak boleh gusar kepada Otto Hasibuan yang setiaphariselalupasang badan melawan arus kencang yang menyasar Jessica, se babmemang sepertiitulah sikap yang harus ditunjukkan oleh advokat. Itutakharusselaludikaitkan dengan bayaran seperti yang dikatakan oleh Darmawan bahwa pengacara membela Jessica mati-matian karena dibayar. Itu adalah bagian dari sikap profesional advokat.

Yang penting, sekarang kasus itu telah divonis melalui sidang yang terbuka dan bisa dicerna oleh akal sehat publik. Majelis hakim telah melakukan tugasnya sesuai hak dan kewenangannya hingga mencapai keyakinan tanpa diwarnai hal-hal yang kolutif dan mencurigakan. Kita boleh bersetuju atau tidak bersetuju de ngan keyakinan dan vonis hakim itu, tetapi putusan hakim sudah sah tanpa memerlukan persetujuan kita.

Jessica boleh marah dan tidak menerima bahkan menganggapputusan hakimitu tidak adil dan kejam sehingga melalui ketua tim pembelanya, Otto Pasibuan, langsung menyata kan naik banding. Itu adalah hak Jessica yang tak bisa dihalangi oleh siapapun. Jadi untuk pengadilan pertama, kasus pembunuhan Mirna Salihin ini sudah selesai tetapi kasus ini masih akan berlanjut ke babak berikutnya karena Jessica me nyatakan naik banding.

Mungkin setelah pengadilan tingkat banding pun, kasus ini masih akan berlanjut sebab Jessica maupun jaksa penuntut umum masih bisa melakukan perlawanan hukum ke tingkat kasasi di MA atas apa pun yang nanti diputus oleh pengadilan tingkat banding

Kita berharap agar para hakim tetap bersikap profesional menegakkan hukumdan keadilan. Mereka tidak boleh terpengaruh oleh masifikasi opini yang sangat mungkin akan terus digelombangkan oleh Otto Hasibuan maupunoleh Darmawan Salihin. Pastilah sulit menjadi hakim yang benar-benarjujur dan adil, tetapi cukuplah bagi setiap hakim “berusaha secara sungguh-sungguh untuk jujur dan adil.

Tulisan ini telah dimuat dalam koran SINDO, 29 Oktober 2016.

 

Taman Siswa, Menindaklanjuti agenda kerjasama Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) FH dengan DPRD Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, maka pada Kamis, 4 Shafar 1438 H/3 November 2016 bertempat di Ruang Dekanat I diselenggarakan rapat koordinasi dan diskusi dalam rangka pembentukan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Inisiatif DPRD Provinsi bangka Belitung Tahun 2017. Read more