Penulis: Prof. Dr. Moh. Mahfud MD, S.H., S.U.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), Departemen Hukum Tata Negara

Ketika pada 2007 berkunjung ke Suriah, saya bersama AM Fatwa, Wakil Ketua MPR saat itu menyempatkan diri berziarah ke Masjid Agung Umayyah di Damaskus. Di Kompleks masjid yang bersejarah itu ada sebongkah batu besar hitam kecokelatan berdiameter sekitar 2 meter. Menurut guide yang mengantar kami, batu itu jatuh dari langit sekitar 3.000 tahun yang lalu. “Bagaimana bisa diketahui ia jatuh dari langit 3.000 tahun yang lalu?” tanya AM Fatwa serius. Guide itu gelagapan tak bisa menjawab.

Ketika ditanya lagi oleh AM Fatwa, guide itupun tetap tak bisa menjawab. Maka sayalah yang mengambil alih memberi jawaban. Saya bilang dulunya batu itu sudah dibawa ke semua laboratorium tercanggih di dunia, tetapi tak bisa diketahui juga umur dan asal kedatangannya. Sampai-sampai badan inteljen Amerika Serikat (CIA) dan Uni Soviet  (KGB) pun saat dimintai bantuan tetap gagal mengungkapnya.

“Setelah semua gagal mengungkap diundanglah polisi dari Indonesia agar menyelidiki batu itu. Setelah dihajar habis oleh polisi dari Indonesia, barulah batu itu mengakut terus terang bahwa dirinya jatuh dari buah bintang 3.000 tahun yang lalu,” imbuh saya.

Pak Fatwa tertawa lepas dan mengakhiri pertanyaannya.Ce ritacanda bersama Pak Pawaitu tebersit kembali dari kehangarr saya ketika saya terlibat dalam acara dialogdindonesia Lewyers Club (ILC) yang dipandu Kami Ilyas, Selasa malam lalu.

Pada acara itu pimpinan Komisi III DPR-RI Benny K Harman mengatakan baliwa dalam mengungkapkasus Dimas Kanjeng yang sekarang menjadi ter sangka penipuan dan diduga kuat mengotaki pembunuhan dua “santrinya” itu polisi telah menghajar habis-habisan enam terduga pelaku eksekutor pem bunuhan tersebut. Bahkan satu di antaranya sampai meninggal. Informasi dari Benny itu mengingatkan kita pada cara kerja polisi di era Orde Baru, menghajar habis orang yang diperiksa.

Pada era Orde Baru ada kesan umum, jika menginterogasi seseorang, polisi selalu menggunakan cara kekerasan dan menghajar habis si terperiksa sampai mau mengaku. Ya batu pun kalau dihajar polisi Indonesia terpaksa mengaku. Itu dulu. Apakah sekarang masih terjadi sepertiyang, kata Benny dialami para terduga pembunuh dua santri Dimas Kanjeng? Entahlah, mungkin masih. Bahkan, selain menghajar, terkadang polisi kita bisa menggunakan rayuan gombal juga.

Baru-baru ini Jessica Kumala Wongso mengaku diperiksa dengan tidak etis. Ada polisi yangmeminta Jessica mengaku meracuni Mirna dengan janji akan dituntut hukuman ringan dengan kemungkinan masih bisadapatremhisi-remisiebie ga kelak bisa cepat keluar dari penjara. “Ini menyangkut per taruhan (karier) saya,” kata po lisi itu seperti diceritakan oleh Jessica di persidangan. Bahkan ada polisi yang merayu Jessica dengan godaan genit. “Kamu tipe saya banget, Jessica,” kata polisi itu.

Oooi, masak polisi sekarang masih melakukan pemeriksaan dengan cara-cara sepertiitu? Informasi dari Benny K Harman dan kesaksian Jessica mungkin tidak sepenuhnya benar dan le bih banyak dramatisasinya. Po lisi penyidik dari Polda Jatim yang duduk berdampingan de ngan saya pada acara di ILCitu berbisik kepadasaya bahwainfo itu dilebih-lebihkan. Kata sang polisi, dalam melakukan peme, riksaan, polisi mempunyai SOP. yang ketat dan divideokan dari detik kedetik.

Terserahlah, bagaimana fak tanya. Biarlah info itu menjadi masukan untuk koreksi Polrike dalam. Tapi dari sudut-sudut, lain harus diakui ada segi-segi baik dari kerja-kerja polisi. Polisi kita dikenal bagus dan cekatan dalam mengungkap kasus, terutama kejahatan-kejahatan berdarah.Dalam kasus pembunuhan Ismail dan Gani yang diduga me libatkan Dimas Kanjeng misalnya, polisi bisa mengungkap, padahal mayat keduanya ditemukan secara terpisah di tempat yangjauh daripadepokan Dimas Kanjengdanperistiwanya sudah lama terjadi. Polisi kita juga berhasil mengungkap dengan baik pembunuhan keji yang dilakukan Ryan terhadap belasan orang yang diduga punya hubungan asmara homo” dengan pemuda asal Jombang itu.

Polisi kita bisa mengidentifikasi mayat yang dimutilasi dan bagian-bagian tubuhnya sudah dibuang di tempat yang terpisah-pisah. Setelah dire konstruksi dan dianalisis potongan-potongan mayat itu bisa diketahui identitasnya dan diketahui pula pemutilasinya. Polisi kita bisa menangkappencuri bayi di rumah sakit dalam waktu singkat. Polisi kita juga bisadengan mudah menangkap penghuni penjara yang lari dari penjara dengan menyamar sebagai perempuan dan memakai jilbab yang diberikan istrinya. Pokoknya, baguslah.

Secara umum dapat dikata kan, Polri kita pun mampu be kerja dengan baik dalam kasuskasus kejahatan yang mengerikan seperti dalam memburute rorisme meskipun, tak bisa ditatripik, kadang ada penyimpangan yang menyulut protes masyarakat. Namun bersamaPolri kita masih perlu memperbaiki diridalam penanganankasus korupsidanpelaksanaaninterogasi. Polri harus terus membersihkan sisa-sisa kebiasaan buruk yang diwariskan Orde Baru.

Akan halnya kasus Dimas Kanjeng, terlepas dari kritik yang tetap harus disikapi dengan usaha memperbaiki diri, Polri harus terus bertindak tegas. Dugaan dan sangkaan kejahatan yang dilakukan Dimas Kanjeng dalam penipuan, pembunuhan, dan penggandaan (pengadaan, penghadiran)uang harus diungkap sampai tuntas.

Temuan-temuan Polri bahwa Dimas Kanjeng patut diduga dan disangka kuat telah melakukan berbagai jenis kejahatan, bukan hanya menjadi temuan sepihak dari penyelidikan Polri, melainkan dikonfirmasi oleh laporan masyarakat dan public common sense. Maka itu permainan Dimas Kanjeng itu harus diungkap tuntas tanpa harus takut kepada orang-orang besar yang konon terlibat atau melindunginya. Ayolah Polri, majulah maju.

Tulisan ini telah dimuat dalam koran SINDO, 8 Oktober 2016.

 

RIAU (UIINEWS) : Dialah Mhd. Zakiul Fikri mahasiswa Ilmu Hukum 2013 Fakultas Hukum UII yang berhasil menorehkan prestasi yang membangggakan dengan memperoleh 2 penghargaan sekaligus pada Lomba Esai tingkat Nasional dalam rangka Temu Wilayah Masyarakat Ilmuwan Teknologi Indonesia ( MITI) yang dilaksanakan pada tanggal 8 – 10 Muharram 1437 H/ 9-11 Oktober 2016 di Universitas Riau Cendekia Pekanbaru. Acara yang bertemakan “Riau the Homeland of Melayu” ini bertujuan untuk mengembangkan budaya Melayu Riau untuk mewujudkan visi Riau 2020 sebagai pusat kebudayaan Melayu di Asia. Read more

Penulis: Prof. Dr. Moh. Mahfud MD, S.H., S.U.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), Departemen Hukum Tata Negara

Saya bukan pendukung Ahok. Tapi saya pernah mendapat banyak kritik dari lawan-lawan politik Ahok ketika saya menjelaskan fakta bahwa posisi Ahok kuat dalam Pemilihan Gubernur (Pilgub) DKI 2017. Waktu itu, kira-kira tiga bulan lalu, saya mengatakan bahwa Ahok kuat karena Ahok itu sangat berani melabrak koruptor. Ahok juga berani membuat ciut politisi di lembaga legislatif sehingga bertekuk lutut, tak berkutik di hadapannya.

Ituyang menyebabkan Ahok kuat. Rakyat kita sangat benci pada korupsi dan premanisme politik sehingga ketika Ahok muncul menggebrak preman Pasar Tanah Abang, rakyat bersorak senang, mendukungnya. Rakyat kita sangat bencikepada koruptor yang ditengarai banyak berlindung di DPRD dengan memakai baju partai politik. Makaitu Ahok didukunghar bis ketika menggebrak DPRD dan menudingdi lembaga tersebut banyak koruptornya.

Ketika Ahok melaporkan oknum-oknum DPRD yang ditudingnya melakukan korupsi dalam penyusunan APBD, masyarakat bersorak girang, se dangkanpara politikus di DPRD tampak tak berkutik. Para politikus dan parpolnya digebuki melalui berbagai media. Membantah sedikit digebuki, melawan sedikit diserang sehingga tampak putus asa seperti kucing kehujanan. Persepsi publiknya, Ahok adalah pemimpin yang antikorupsi dan berani menghajar politikus busuk.

Rakyat mendukung Ahok secara kuat bukan karena Ahok pemimpin yang benar-benar bagus, melainkan karena rakyat benci pada korupsi dan politikus busuk. Saya mengatakanitu sekitartigabulan lalu, jauh sebelum munculnya pasangan calon yarig final didaftarkan ke KPU. Pada saat itu saya mendapat banyak kritik dari orang-orang yang tidak suka kepada Ahok. Kata mereka, saya salah pilih dan saya membutakan diri bahwa Ahokjuga dihinggapi banyak masalah hukum.

Saya menjawab bahwa saya tidak salah pilih, wong saya tak akan memilih karena saya penduduk Yogyakarta. Yang saya katakan itu adalah persepsi publik yang berhasil dibangun Ahok dengan dukungan media dan banyak LSM. Maka saya bilang, waktu itu, kalau ingin Ahok diganti, tampilkanlah la wan yang bisa mengalahkan Ahok dalam keberanian melabrak para koruptor dan melawan politisi korup. Jangan muncul kan calon lawan yang tak sebe rani Ahok, apalagi track record-nya ternoda korup juga.

Orang tak akan bisa mengalahkan Ahok hanya dengan kampanye dia adalah orang China atau berbeda agama de ngan mayoritas penduduk DKI. Kampanye SARA akan sulit diterima masyarakat DKI yang sebagian besar adalah a orang-orang terdidik. Saya ka takan, itulah persepsi publik yang memang belum tentubenar dalam kenyataannya.
Ya, belum tentu benar, sebab dalam masalah hukum Gubernur Ahok pun banyak menimbulkan masalah yang serius. Selain masalah reklamasi yang sudah pernah salah secara hukum oleh pemerintah pus maupun oleh putusan pengadaan, dalam tiga hari terakhir ini misalnya, adakasuspenggusu an secara paksa di Bukit Duri Peristiwa Bukit Duriadalah tra gedi kerranusiaan dan traged penegakan hukum. Pengadilar sudah jelas memerintahkan status Bukit Duri selama perkara masih berlangsung, tetapi penggusuran tetap dilakukan.

Konstitusi kita menganut paham negara kesejahteraan (welfarestate) dengan penekanan bahwa rakyat harus dilindungi dan diberdayakan agar bisa sejahtera di tanah air sendiri.Halitutertera tegas danterurai di dalam UUD RI 1945.Untuk menjamin upaya pembangunan kesejahteraan rakyat, penyelenggaraan negara dan pemerintahan harus dikawal oleh supremasi hukum.

Itulah sebabnya di dalam konstitusi diletakkanjuga prin sip nomokrasi (negara hukum) sebagai pengawal demokrasi. Kita memiliki lembaga yudika tif untuk menyelesaikan seng keta yang putusan-putusannya harus diikuti rakyat maupun pemerintah. Atas undangan sa habat saya, Jaya Suprana dan Romo Sandyawan, saya pernah berkunjung menemui rakyat Bukit Duri.

Kepada mereka saya menyarankan “tidak usah melakukan tindak kekerasan atau aksi-aksi massa”, tetapi ajukan saja ke pengadilan agar diputus oleh hakim. Setelah mereka menang dan ada larangan penggusuran, tetapi pemprov masih terus menggusur, saya pun meminta mereka tidak melakukan aksiaksi frontal Saya sarankan mezeka minta penyelesaian politik agar hukum ditaati” melalui Menko Polhukam, DPR, Menkumham, dan Komnas HAM.

Sekarang mereka sudah dimtu gusur dan saya mati ide, tak punya saran lagi karena rakyat kita
tidak berdaya. Kepada Jaya Suprana saya hanya bisa mengatakan, saya ngeri jika putusan Hi pengadilan terang-terangan dilanggar. Putusan pengadilan itu, seumpama pun salah (apalagi tidak salah), tetap wajib ditaati demi penyelesaian masalah. Kesalahan hakim dalam memutus, kalau itu ada, bisa ditindak tersendiri, tetapi putusannya tetap harus ditaati.

Saya ngeri kalau hukum dikangkangi oleh kekuatan politik. Jika suatusaat terjadi perge seran konfigurasi politik, hukumakan ditentukanolehaktor lain yang dominan sehingga yang terjadi adalah adu kuat antarmereka yang sama-sama ingin mengangkangi hukum. Yang bisa terjadi adalah kekacauan hukum, bukan ketertiban hukum. Lebih ngeri lagi jika di daerah-daerah lain pihak yang kuat mengangkangi hukumdan mengabaikan putusan-putusan pengadilan. Alasannya “kalau di DKI bisa di daerah pun bisa”.

Kalau praktik saling melanggar hukum sudah meluas pada halkonfigurasiantara pusat dan daerah dan antardaerah sendiri tidak monolitik, yang terjadi adalah kekacauan yang sangat mengerikan. Semua bisa membuat hukum sendiri-sendiri dan dengan kekuatan politik dan uang sendiri-sendiri. Sungguh mengerikan kalau ini terjadi. Mudah-mudahan Bukit Duritidak menjadi duri bagi masa depan pembangunan bangsa dan negara tercinta: Indonesia.

 

Tulisan ini telah dimuat dalam koran SINDO, 1 Oktober 2016.

 

 

Pra Rakorja Karyawan FH UII 2015
Pra Rakorja Karyawan FH UII 2015Tamansiswa, (6/10) Ruang Sidang Utama Lt. III. Pimpinan Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia mengajak kumpul seluruh Tendik untuk hearing masukan program kerja FH UII 2016. Dr. Aunur Rohim Faqih, S.H., M.H. selaku Dekan dan Dr. Rohidin, M.Ag. menyampaikan amanat yang hampir senada terkait dengan pengembangan Fakultas Hukum UII.
Bahwa peranan Tendik sangat bermakna, tenaga kependidikan mempunyai fungsi yang cukup signifikan. Sehingga peningkatan kemampuan dan skill sumber daya manusia tendik merupakan kunci pokok untuk pengembangan FH UII. Oleh karena itu usulan dan masukan yang sifatnya praktis strategis diharapkan dapat disampaikan melalui forum ini.
Perkembangan dunia pendidikan saat ini sangat pesat. Universitas yang relatif usianya masih muda pun saat ini kredibilitasnya semakin baik. Cukup banyak universitas swasta yang bermunculan dengan akraeditasi baik, bahkan ada perguruan tinggi yang usianya relatif muda tetapi kredibilitas di mata BAN Perguruan Tinggi nilainya mampu melampaui universitas-universitas yang lebih tua. Hal ini merupakan beban moral bagi Fakultas Hukum UII untuk selalu meningkat dan menjadi leader  di bidangnya.
 “Loyalitas dan komunikasi merupakan kunci utama,” kata Dayat tendik senior Divisi Akademik. “Komunikasi antar tendik, hubungan tendik dengan dosen, dan hubungan tendik dengan pimpinan harus harmonis. Saling menghargai dan santun memposisikan diri daliam lingkungan kerja akan mampu meningkatkan kualitas kerja civitas akademika FH UII, maka harus dibangun suasana yang nyaman.” tutup Dayat. Ditambahkan oleh Arda Kurniawan tendik muda yang gaweannya membantu urusan CCP dan Serdos FH UII bahwa tendik perlu sekali mendapatkan refreshing dan training terkait dengan aktivitas harian maupun penguasaan keterampilan bidang-bidang tertentu seperti penguasaan program komputer dan administrasi akademik.

Taman Siswa, 6 Oktober 2016. Issu LGBT di Indonesia menjadi perbincangan yang semakin menarik. Setelah di belahan Amerika telah memberikan pengakuan terbuka dengan melegalkan perkawinan sejenis, maka issu LGBT di seluruh dunia termasuk di Indonesia memasuki babak baru. Mau mengikuti Amerika ataukah kita bertahan dengan situasi budaya luhur bangsa sendiri. Berangkat dari kegelisahan tersebut di atas, Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia di bawah supervisi Bpk. Abdul Kholiq SH., M.Hum. mengadakan diskusi publik dengan tajuk, “Kriminalisasi LGBT: Perspektif HAM, Hukum Pidana, dan Hukum Pidana Islam”. Read more

Penulis: Prof. Dr. Moh. Mahfud MD, S.H., S.U.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), Departemen Hukum Tata Negara

Saya sedang memberi kuliah di Pascasarjana UGM ketika pada Sabtu 17 September 2016 lalu ada berita Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Irman Gunman diangkut ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena Operasi Tangkap Tangan (OTT). Sehabis istirahat untuk makan siang, seorang mahasiswi berteriak, “Irman Gusman ditang kap KPK, kena OTT”. Haah? Semua kaget dengan berbagai ekspresi masing-masing. Saya pun terperanjat. Persis dua minggu sebelumnya, tepatnya 3 September 2016, saya bersama teman-teman Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) baru memberi tepuk tangan meriah kepada Imman Gusman di Mataram karena pidatonya yang bagus tentang demokrasi dan penegakan hukum.

Waktu itu dia diundang oleh KAHMI untuk inemberi sam butan dan membuka “Temu Nasional Pejabat Publik Alumni HMI”.

Waktu itu Mas Irman berpidato panjang lebar dengan tekanan, “Indonesia harus dirawat, demokrasi harus dibangun, hukum harus ditegakkan”. Memahami pidato Irman di Mataram itu, kami senang karena melihat konteks pidato itu dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya bahwa dia sangat benci kepada korupsi. Irman pernah menolak keras rencanarevisi atas UUKPK yang ditengarai akan melemahkan KPK itu; dia juga menyatakan persetujuannya jika koruptor dijatuhi hukuman mati.

Di Mataram itu, setelah Irman berpidato, tepuk tangan membahana dan para alumni HMI berebutan menyalami dan mengajak berfoto dengannya. Saya pun ikut memeluknya sambil berbisik, “Ayo, Mas, kita rawat Indonesia. Bangun de mokrasi dan tegakkan hukum Eh, hanya dua minggu setelah itu, Mas Irman Gusman di-OTT oleh KPK. Saya menatap langitlangit di kampus itu, perasaan bergolak, tak bisa saya lukiskan, mulut terkunci beberapa saat.

“Hidup KPK”, celetuk seorang mahasiswa. “Ya, KPK bagus. Hidup KPK”, sambung yangsatunya. Tetapi ada seorang mahasiswa yang menyambut aplaus atas KPK itu dengan sinis. “Me mangriya KPK masih hidu? Nangkepin kayak gitu saja, saya juga bisa kalau menyadap dulu. Coba tangkepin dan tahan tuh, koruptor-koruptor besar yang sudah diidentifikasi bahkan sudah dipanggiloleh KPK.Saya pun tersadar dari keterpanaan ketika mendengar diskusi spontan para mahasiswaitu.

Ya, seperti yang juga terlihat di tengah-tengah masyarakat, penilaian terhadap KPK sekarang ini sudah berbeda dengan, misalnya, dua tahun yang lalu dan sebelumnya. Masyarakat sekarang ini banyak yang masih bangga dan penuh harap ter hadap KPK, tetapi mulai muncul yang sinis terhadapnya karena ada beberapa kasus yang tampaknya ditangani secara agak ganjil.

Langkah OTT terhadap Irman Gusmani, menurut saya, telah dilakukan dengan cermat oleh KPK. Saya tidak percaya kepada pendapat bahwa Irman Gusman dijebak. Dan, tuduhan tentang jebakan itu bisa hilang dengan sendirinya kelak setelah Irman diajukan ke pengadilanSemua orang yang kena OTT oleh KPK selalu menyatakan dijebak oleh KPK, dipolitisasi oleh lawan politiknya, ditangkap secara melanggar hukum. Itu alasan-alasan yang rutin dikemukakan oleh yang terkena OTT, oleh keluarganya, dan oleh pembela kalapnya.

Tetapi coba buka semua file tentang koruptor koruptoryang ditangkap tangan oleh KPK. Sesudah diajukan ke sidang pengadilan, selalu terbukti bahwa OTT itu bukan jebakan dan bukan politisasi, melainkan karena benar-benar telah melakukan korupsi. Pengadilan selalu me nyatakan terbuktisecara sah dan meyakinkan bahwayangterkena OTTitu melakukan korupsi dan menghukumnya.

Vonis-vonis penghukuman oleh pengadilan tingkat pertatna terhadap koruptor yang terkena OTT KPK selalu dikuatkan oleh putusan pengadilan banding di pengadilan tinggi, kasasi di Mahkamah Agung (MA), bahkan sampai tingkat peninjauan kembali(PO) di MA. Itu artinya, orang yang terkena OTT memang telah benarbenar melakukan korupsi. Coba sebut satunamapun, selama ini apakah ada orang yang terkena OTT KPK kemudian tak terbukti korupsi? Tidak ada satu pun. Semua dihukum dan hukuman itu selalu dikuatkan sampai ke MA.

Hanya, orang-orang yang terlalu naif yang percaya bahwa KPK melakukan OTT karena tiba-tiba ada laporan dari map syarakat tentang adanya tran- y saksi penyuapan. Harus diyakini bahwa beberapa hari sebelum melakukan OTT terhadap sesek orang, KPK sudah melakukan ke penyadapan tentang pembica- O raan, tanggal dan jam tentang janji-janji ketemu, objek yang dibicarakan, uang yang di-kolusikan, SMS, dan sebagainya.

KPK selalutahulebih duluitu semua, terkadang lengkap de ngan foto-foto pendukungnya. Bahkan, KPK tahu kalau handphone yang dipakai berganti ganti. Pembicaraan teleponnya pun selalu diperdengarkan di sidafig sidang pengadilan yang terbuka untuk umum sehingga terdakwa tak berkutik dan bukan hanya hakim yang yakin melainkan juga masyarakat.

Maka itu, kewenangan menyadap oleh KPK tak boleh ditiadakan. KPK belum pernah gagal membuktikan bahwa yang di-OTT karena penyadapan benar-benar koruptor. Sebaliknya, tak satupunada orangyang diketahui oleh publik disadap oleh KPKsebelumyang bersang kutan benar-benar di-OTT.Itu berarti bahwa penyadapan itu tidak pernah disalahgunakan dan tidak melanggar privacy atau HAM seseorang.

Ya, KPK harus terus kita dukung dengan kewenangankewenangan eksklusifnya. Tetapi tak salah juga jika KPK dicubit dengan kritik, misalnya, “Apa KPK masih hidup?” Kritik beginitetap harus disampaikan karena memang ada beberapa kasus yang penanganannya oleh KPK agak ganjil di mata publik. Isu grand corruption” yang dilemparoleh KPK sendiri, misalnya, tampaknya berhenti di tengah jalan dan terkesan hanya menghukam orang yang telanjur ditangkap dan ditersangkakan. Yang lain, pelanpelan, dilewatkan.

Contoh lain, syarat niat jahat” untuk dugaan korupsi diberlakukan untuk orang ter tentu tetapi tidak diberlakukan untuk orang orang lain, misalnya terhadap Prof Fasich, tanpa pertanggungjawaban publik yang memadai padahal actus reus-nya sama. Itu kritik yang mau tidak mau, harus disampaikan kepada KPK. Tetapi secara keseluruhan, KPK masih sangat OK dan harus kita dukung demi “Masa depan Indonesia.”

Tulisan ini telah dimuat dalam koran SINDO, 24 September 2016.

Penulis: Prof. Dr. Moh. Mahfud MD, S.H., S.U.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), Departemen Hukum Tata Negara

Diantara banyak kritik dan kecaman atas perkembangan politik dan ketatanegaraan kita pascareformasi adalah pengambilan putusan di berbagai lembaga negara melalui pemungutan suara (voting). Kata para pengecam, negara kita telah terperosok ke dalam demokrasi Barat yang mengutamakan voting, padahal demokrasi kita adalah pe:musyawaratan.

Kata para pengkritik, di dalam permusyawaratan, semua hal harus dibicarakan dari hati ke hati untuk mencari kesepakatan bersama yang kemudian dilaksanakan secara gotongroyong. Nenek moyang kita tidak pernah mengambil putusan dengan ‘voting, mereka selalu bermusyawarah untuk mengambil putusan. Itulah, kata para pengkritik, amanat para pendiri negara.

Kritik itu ada benarnya, tetapi banyak salah-ya. Di mana letak salahnya? Harus diingat bahwa para pendiri negara (founding father) kita yang dulu juga mernbentuk UUD 1945 ketika memperdebatkan dasar dan undang-undangdasur negara mengambil putusan-putusannya antara lain, melalui voting.

Keputusan bentukpemerin tahan republik pun dilakukan melalui voting. Di Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) ada yang menghendaki Indonesia dibangun dengan bentuk monarki (kerajaan) dan ada yang menghendaki bentuk demokrasi (republik). Saatperdebatan memanaspada Sidang BPUPKI tanggal 10 Juli 1945, Yamin mengusulkandilakukan voting (diundi).

Usul Yamin itu disetujui Ke tua BPUPKI Radjiman Wedyodiningrat. Setelah divoting diperoleh hasil:54 orang mendukung bentuk republik, 6 orang mendukung bentuk kerajaan, dan 1 orang abstain. Jadilah negara ini negara Republik Indonesia, bukan Kerajaan Indonesia.

Begitu juga saat akan ditentukan bentuk negara, apakah Indonesiaberbentuk negara ke
satulan atau negara federal, keputusannya dilakukan melalui voting, Hatta mengusulkan agar Indonesia diberi bentuk negara federal yang menurutnyalebih cocok untuk Indonesia yang sangatluas. Tapi Bung Karno dan banyak anggota lainnya menghendaki negara kesatuan.

Karena Hatta agak ngotot, akhirnya diputuskan melalui voting. Hasilnya hampir sama, usul Hatta tentang bentuk negara federal didukung oleh 6 orang anggota BPUPKI, se dangkan selebihnya memilih bentuk negara kesatuan. Jadi sebenarnya voting itu tidak haram karena bentuk pemerintahan dan bentuk negara kita pun dibangun melalui voting.

Bahkan di dalam UUD 1945 yang dibentukoleh para pendiri negara itu, seperti yang tertulis di dalam Pasal 2 ayat (3), ditegaskan bahwa “segala putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat ditetapkan dengan suara yang terbanyak”. Salah satucara terpenting untuk menetapkan “dengan suara yang terbanyak” adalah voting.

Pada pidato tanggal 1 Jun 1945 yang kemudian dikenal se bagai “Pidato Lahirnya Pancasi la” itu pun Bung Karno mene kankan pentingnya berebu suara sebanyak-banyaknya d kursi parlemen. Padasaat terjad pembelahan antara pendukung negara Islam dan negara ke bangsaan-sekuler di BPUPKI Bung Karno menyatakan kita tidak perlu mendirikan negara Islam.

Inilah kata Bung Karno “Jikalau kita memang rakyat Islam, marilah kita bekerja se hebat-hebatnya agar supaya se bagian terbesar daripada kursikursi badan perwakilan rakyat yang kita adakan diduduki oleh utusan-utusan Islam … Kalau misalnya orang Keristen ingin bahwa tiap-tiap letter di dalam peraturan-peraturan negara Indonesia harus menurut Injil, be kerjalah mati-matian agar supaya sebagian besar dari utusan-utusan yang masuk badan perwakilan Indonesia ialah orang Kristen.”

Siapa pun pasti paham bahwa dari isi pidato Bung Karno itu tidak ada arti lain bahwa peng ambilan putusan negara bisa de ngan cara mengadu banyaknya kursi dan dukungan melalui vo ting. Dengandemikian tidakada yang salah jika kita mengguna kan cara voting dalam hal-hal yang tidak bisa disepakati bersama. Kalau tidak begitu, bisa terjadi banyak deadlocked dan penyelenggaraan negara bisa macet sehingga timbul anarkidi tengah-tengah masyarakat.

Sebenarnya seperti dikatakan, antara lain oleh Bung Karno dan Yamin di sidang-sidang BPUPKI,pahamaslikedaulatan rakyat Indonesia adalah musyawarah untuk mufakat. Maka itu kita membuat lembaga permusyawaratan yang harus berembuk, mengupayakan permufakatan tanpa tendensi menentukan yang menang dan yang kalah.

Di lembaga permusyawaratan, semua harus dimusyawarah kan dengan saling memberi dan menerima. Yang besar harus to leran dan jangan sewenang-wenang, yang kecil harus berbesar hati dan tetap dihargai. Itulah yang pada tanggal 1 Juni 1945 dikatakan oleh Bung Karno sebagai”gotong-royong”. Dalam term politik dan ketatanegaraan modern, inilah yang disebut deliberative democracy.

Tapi para pendiri negara pun tahu betul bahwa tidaklah mungkin semua hal bisa diputuskan dengan musyawarah mufakat. Maka diadopsilah satu lembaga demokrasi yang datang dari Barat, yakni lembaga perwakilan (representative body) atau parlemen. Baik republik maupun lembaga perwakilan adalah bagian dari konsep demokrasi Barat.

Di parlemen dalam demokrasi Barat semua kelompok politik, melalui wakil-wakilnya, bisa mengambil putusan melalui perebutan kemenangan de ngan voting. Nah, untuk mempertemukan nilai-nilaibaik dari musyawarahala Indonesia(mufakat) dengan lcontestasi politik ala Barat (voting), di dalam konstitusi kita dibentuk lemba ga permusyawaratan dan perwakilan.

Permusyawaratan melambangkan dan menanamkanjiwa kearifan budaya Indonesia yang tidak mengandalkan pertarungan untuk menang berdasarkan jumlah suara. Adapun lembaga perwakilan yang me rupakan konsep representative body dari Barat dipergunakan, jika perlu, untuk voting dalam pengambilan keputusan. Tapi voting kita harus didahului de ngan upaya musyawarah sampai maksimal untuk kemudian, hasilnya, dilaksanakan dengan semangat kebersamaan dangotong-royong.

Tidak benar juga jika dikatakan, sekarang semuanya serbavoting. Berdasar peraturan tata tertib DPR dan berdasar peng alaman saya menjadi anggota DPR, pembuatan pun harus melalui musyawarah, pembuatan daftar inventarisasi masalah, lobi-lobi untuk mufakat, sampai akhirnya diambil putus an. Terkadang keputusan dilakukan dengan aklamasi dan terkadang dengan voting. Tapi jauh lebih sedikit yang diputuskan dengan voting daripada yang berhasil dicapai dengan musyawarah mufakat. Mau adu data?

Tulisan ini telah dimuat dalam koran SINDO, 10 September 2016.

Penulis: Prof. Dr. Moh. Mahfud MD, S.H., S.U.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), Departemen Hukum Tata Negara

Kamis malam, 1 September 2016, sekitar pukul 19.30 WIB ada panggilan masuk ke handphone saya. Dengan agak malas karena capai setelah beberapa jam mengetik untuk menyiapkan naskahorasi, saya angkathandphone itu. Ternyata yang menelepon adalah wartawan sebuah media online terkemuka. Meski agak malas untuk diwawancarai, saya tergelitik juga atas pertanyaannya.

“Pak, hari ini Presiden memanggil para hakim MK untuk membicarakan judicial review atas UU Tax Amnesty. Bagaimana menurut Bapak?” tanya wartawan itu dari ujung telepon. “Haaah , Presiden memanggil hakim MK?” saya balik bertanya. “Tak mungkin Presiden memanggil hakim-hakim MK, tak mungkin pula hakim-hakim MK mau dipanggil oleh Presiden. Sebab Presiden dan para hakim MK pasti tahubahwahalitu tidak boleh dilakukan,” sambung saya.

Wartawan itu berusaha meyakinkan saya denganceritaagakdetailbahwa Presiden memang memanggil hakim-hakim MK pada Kamis kemarin. Saya pun berusaha meyakinkan wartawan tersebut bahwa tak mungkin hakim-hakim MK mau dipanggil oleh Presiden dan tak mungkin Presiden’memanggilhakim-hakim MKuntuk membicarakan perkara yang sedang berlangsung.

“Itu hal yang dilarang, baik oleh hukum maupun oleh etika,” jawab saya. Kemudian saya pun menjelaskan, mungkin saja hakim-hakim MK bertemu dengan Presiden, tetapi tak mungkin membicarakan perkara yang sedang ditangani MK. “Bagaimana menurut aturan dan menurut pengalaman Bapak?” tanya wartawan itu lagi.

Dengan tetap yakin bahwa tak mungkin Presiden memanggil hakim-hakim MK dan tak mungkin hakim-hakim MK begitu bodoh untuk mau dipanggil oleh Presiden, saya jelaskan kepada wartawan itu.

Anda boleh cek ke mana pun dankepada siapapun, terinasuk kepada (mantan Presiden SBY dan orang-orang dekatnya. Selama memimpin MK saya tak pernah dipanggil oleh Presiden atau menghadap Presiden untuk membicarakan perkara. Itu haram hukumnya.

Presiden SBY dan saya samasamatahubahwakamitidakbo-leh inembicarakan perkara di luar sidang resmi MK yang terbuka untuk umum. Ketika dulu MK menangani perkara hasil Pilpres 2009, saat kemenangan pasangan SBY-Boediono digugat oleh dua pasangan lainnya, ada isu berembus kencang bahwa Ketua MK bertemu Presiden pada 01.00 dini hari di Cikeas. Dua hari menjelang pengucapan putusan atas sengketa hasil pilpres itu, isu tersebut menyeruak melalui SMS berantai dan beberapa media online.

Teman saya yang wartawan senior, Freddy Ndolu, pukul 05.00 WIB menelepon saya. “Pak Ketua, ini santer berita, Pak Ketua tadi bertemu Pak SBY di Cikeas untuk mengatur putusan. Apa boleh begitu?” tanyanya de nganserius. Sayajawab, ituberita sampah. “Sudah beberapa hari saya bersama hakim-hakim MK dan para panitera tidur di Gedung MK untuk menyiapkan vonis.Sejak kemarin saya bersama merekadi Gedung MK dan saya tidak ke mana-mana,” jawab saya.

Sambil bercanda saya jelaskan kepada Freddy, tak mungkin SBY memanggil saya di tengah malam karena itu waktunya tidur dan Presidenpastimengantuk.Saya pun tidak maudipanggil Presiden di tengah malam karena saya juga mengantuk. “Menurut hukum, Presiden tidak boleh memanggil ketua MK, tetapi Ketua MK boleh memanggil Presiden untuk hadir di persidangan,” kata saya.

Apakah sebagai ketua MK saya tak pernah bertemu dengan Presiden? Tentu sering sekali, tetapi tidak pernah membicarakanperkara dan tidak hanya dua pihak. Saya sering bertemu Presiden dalam acara pertemuan rutin antarpimpinan lembaga negara. Saya sering bertemu dan duduk semeja dengan Presiden dalam acara gala dinner menyambut kepala negara atau pemerintahan asing yang menjadi tamu resmi negara.

Saya sering bertemu Presiden dalam acara-acara kenegaraan atau hari-hari besar nasional yangbisa dilihat olehumum. Tapi kami tak pernah berbicara perkara yang sedang ditangani MK. Meski dalam beberapa hal saya mengkritik SBY, dalam hal ini saya jujur memuji SBY. Dia tidak pernah menanyakan perkara apapun ketika bertemu dengan saya.

Memang SBY pernah meng hubungi saya menanyakan vonis MK yang sudah diputus, bukan perkara yang sedang diperiksa. Misalnya saat MK memutus bahwa paspor dan KTP bisa dipergunakan untuk memilih di TPS, SBY menelepon saya untuk memastikan apa benar vonisnya begitudan bagaimana detail teknisnya. Saat MK memutus bahwa jabatan Jaksa Agung HendarmanSupandjiharusberakhir atau segera diangkat lagi, SBY yang belum mendapat salinan vonis langsung menelepon saya untuk memastikan “Saya ingin tahu dari Pak Mahfud agar nanti Presiden tidak salah dalam melaksanakan vonis MK,” kata SBY ketika itu.

Jadi kalau Presiden menghubungi Ketua MK tidak boleh membicarakan perkara yang sedang berjalan atau sesuatu yang berpotensi menjadi perkara di MK. Paling banter Presiden hanya boleh menanyakan perkara yang sudah divonis untuk memastikan kebenaran isinya. Mendapat penjelasan itu, wartawan masih mengejar saya dengan pertanyaan, “Apa Ketua MK dan hakim-hakim MK benar-benar tidak pernah bertemu secara terbatas dengan Presiden?”

Sayajawab, tentu pernah Ke tika anak saya akan menikah saya bertemu Presiden untuk menyampaikan undangan langsung secara pribadi. Saat akan menggelar konferensi internasional antar-MK sedunia, kami para hakim MK menemui Presiden secara khusus untuk menyampaikan permohonanmembuka dan memberi amanat. Tapi tak pernah sekali pun MK bertemu dengan Presiden untuk membicarakan perkara yang sedang ditangani atau sesuatu yang berpotensi menjadi perkara di MK. Itu haram hukumnya.

 

Tulisan ini telah dimuat dalam koran SINDO, 3 September 2016.

 

 

 

 

Penulis: Prof. Dr. Moh. Mahfud MD, S.H., S.U.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), Departemen Hukum Tata Negara

Adalah salah pendapat mereka yang mengatakan bahwa lembaga legislatif yang membentuk UU No 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan telah gagal membentuk UU yang baik dan pro terhadap kemajuan. Adalah salah mereka yang mengatakan bahwa pembentuk UU No 12 Tahun
2005 telah gagal membaca dan memahami tren perkembangan dunia.

Ini harus dijernihkan karena ketika mencuai kasus dwikewarganegaraan Arcandra Tahar yang harus lengser dari jabatan menteri yang baru didudukinya selama 20 hari, tiba-tiba banyak yang mengatakan bahwa UU Kewarganegaraan itulah biang keroknya. Kata mereka pembentuk UU tidak paham pada tren dunia yang akan terus mengglobal.

Mereka menuding pula bahwapembentukUU No 12 Tahun 2006 berwawasan picik karena menetapkan politik hukum kewarganegaraan tunggal.

Kata mereka pula, bangsa-bangsa di dunia sekarang ini sudah mengglobal, banyak yang bukan hanya memberlakukan sistem dwi kewarganegaraan, tetapi lebih dari itu ada yang memberlakukan multi kewarganegaraan.

Kasus Arcandra dijadikan contoh betapa UU Kewarganegaraan kita telah menutup pintu bagi putra terbaik yang superpandai untuk mengabdi kepada bangsa dan negaranya. Ar-candra yang, katanya, sangat genius dan diperebutkan negara asing untuk mengamalkan ilmunya bagi kemajuan justru dihambat oleh politik hukum kewarganegaraan kita untuk mengabdi di tanah air sendiri.

Pendapat mereka yang menilai pembentuk UU itu gagal memahami tren perkembangan dunia adalah salah. Sebab sebenarnya pembentuk UU Kewarganegaraan pada saat itu sudah mendiskusikan dengan sangat komprehensif tetek bengek tren perkembangan dunia itu. Saat itu saya adalah salah seorang anggota Panitia Khusus RUU Kewarganegaraan yang diketuai Slamet Effendi Yusuf.

Yang masih saya ingat, selain saya ada anggota lain yang juga sangat aktif, yakni Murdaya Poo dan Lukman Hakim Saifuddin yang kini menteri agama. Ada pun pihak pemerintah dipimpinlangsung Menkumham saat itu, Hamid Awaluddin. Sebelum pada akhirnya menetapkan sistem kewarganegaraan tunggal Pansus sudah mendiskusikan kemungkinan pemberlakuan dwi kewarganegaraan maupun multi kewarganegaraan.

Namun, akhirnya, demi kedaulatan Indonesia yang seluruh sumber daya alamnya harus dimanfaatkan untuk sebesarbesar kemakmuran rakyat, dite tapkanlah berlakunya sistem kewarganegaraan tunggal de ngan toleransi pemberlakuan sistemdwikewarganegaraan se cara terbatas. Apa batasannya?

Bagi anak yang lahir dari perkawinan campuran antara orang tua WNI dengan warga negara asing serta bagi pasang an WNI yang melahirkan anak di negara-negara yang meng anut sistem ius soli, bagi si anak diberi toleransi untuk memiliki dua kewarganegaraan sampai usia 18 tahun. Perdebatan sempat menukik ke soal alternatif antara prinsip kemanusiaan dan prinsip kebangsaan serta kerakyatan kita.

Berdasar prinsip kemanusiaan, kita harus memperlakukan semua manusia di bumi untuk memperoleh kewarganegaraan, termasuk di Indonesia. Tapi berdasar paham kebangsa an dan kerakyatan yangjuga sangat fundamental di dalam konstitusi kita, kita harus mengatur secara eksklusif dengan memprioritaskan semua kebijakan, baik kewarganegaraan maupun kepemimpin negaraan, untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat dan kepentingan bangsa kita sendiri.

Politik hukum yang demikian dinilai lebih sesuai dengan tujuan kita mendirikan Indonesia merdeka dengan semangat nasionalismenya yang niscaya eksklusif. Jadi dalam hubungan antara asas kemanusiaan dan kebangsaan, kita memihak pada kepentingan bangsa kita sendiri tanpa harus terjebak ke chauvinism. Harus diketahui, UU Kewarganegaraan kita dilahirkan sebagai konsekuensi dari ketentuan UUD 1945 hasil amendemen yang sangat pro pada hak asasi manusia.

Di dalam Pasal 28D ayat (4) UUD 1945 ditegaskan bahwa setiap orang berhak atas status kewarganegaraan. UU Kewarganegaraan kita mengatur, demikemanusiaan dan bakasasi manusia, kita harus memberi jaminan agar setiap anak yang lahir mempunyai kewarganegaraan. Pada saat yangsamadiatur juga toleransi untuk menyetujui dwikewarganegaraan bagi anak yang karena hukum lahir dengan dwikewarganegaraan untuk pada saatnya nanti harus memilih salah satunya.

Anak-anak yang lahir di Indonesia dari orang tua yang berkewarganegaraan asing dengan sistem ius soli (kewarganegaraan di peroleh karena tempat kelahiran seperti AS) akan menjadi tidak berkewarganegaraan karena Indonesia menganutius sanguinis (kewarganegaraan diperoleh sesuai dengan kewarganegaraan orang tuanya). Maka itu UU Kewarganegaraan Indonesia mengatur memberi kewarganegaraan otomatis bagi mereka.

Sebaliknya, warga negara Indonesia yang melahirkan anaknya di negara asing yang menganut sistem ius soli, maka anaknya menjadi merniliki dua kewarganegaraan. Maka itu UU Kewarganegaraan kita mengizinkan anak tersebut mempunyai dwi kewarganegaraan sampai usia 18 tahun. Orang-orang asing pun diperbolehkan menjadiwarganegara Indonesiame lalui naturalisasi.

Begitu pun WNI yang kehilangan kewarganegaraan diperbolehkan mendapat status kewarganegaraannya lagi, tetapi juga harus melalui naturalisasi. Bahkan Presiden bisa menganugerahkan status kewarganegaraan bagi mereka yang (sudah) bukan WNT jika berjasa atau sangat diperlukan tenaga nya di Indonesia. Tapibaiknahralisasi maupun karena pewarganegaraan sebagai anugerah dari Presiden tetap tidak boleh menyebabkan seorang WNI mempunyai kewarganegaraan.

Semangat politik hukum kewarganegaraan kita adalah menjamin kepemilikan status warga negara bagi setiap orang, tetapi secara eksklusif tetap mengutamakan kepentingan bangsa dan rakyat kita sendiri. Maka itu kita menganut sistem kewarganegaraan tunggal dengan toleransi dwikewarganegaraan secara terbatas. Itulah terjemahan nasionalisme kita ke dalam politik hukum kewarganegaraan kita kala itu.

Kalaulah nasionalisme yang seperti ini sekarang dianggap sudah tidak relevan dan perlu diperbaiki lagi, tentu saja hal itu bisa dilakukan, sebab hukum adalah kesepakatan alias resul tante dari setiap perkembangan situasi dan kondisi. Tapi jangan menuding bahwa pembentuk UU yang dulu telah gagal memahami situasi tentang tren globalisasi. Pembentuk UU yang dulu telah mendiskusikandanpaham tentang itu tetapi itulah resultante yang dicapai pada saat itu dalam menerjemahkan nasionalisme kita. Kalau mau dibuat resultante baru, ya, boleh saja.

 

Tulisan ini sudah dimuat dalam Koran Sindo, 27 Agustus 2016.

 

Penulis: Nandang Sutrisno, S.H., LL.M., M.Hum., Ph.D.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), Departemen Hukum Internasional

 

ARCHANDRA Tahar (AT) diberhentikan. Pemberhentian dengan hormat oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) dilakukan setelah status kewarganegaraan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) itu mengundang pro-kontra. Keputusan sangat tepat dan perlu diapresiasi. Karena jelas dengan memiliki atau setidaknya pernah memiliki paspor Amerika Serikat (AS) selain paspor Indonesia, AT sudah bukan warga negara Indonesia (WNI) lagi Jabatan menteri di Indonesia tentu hanya boleh dijabat oleh WNI. Persoalannya adalah, bukankah AT sekarang berstatus tanpa kewarganegaraan (apatride) dan bukan dwi kewarganegaraan (bipatride) sebagaimana dipahami selama ini? Bagaimanakah menyelamatkan AT dan status apatride?

Meskipun tidak pemah menjawab dengan jelas dan tegas – sebagaimana tercermin dari pernyataan Menteri Sekretaris Kabinet berbagai fakta terang benderang menunjukkan bahwa AT per. nah mempunyai paspor AS. Dengan demikian, baik secara formal maupun material sebenarnya AT sudah kehilangan statusnya sebagai WNI. Meskipun AT masih memegang paspor Indonesia yang berlaku sampai 2017.

Secara formal, berdasarkan Pasal 23 UU Kewarganegaraan, AT telah kehilangan kewarganegaraannya ketika AT memperoleh kewarganegaraan AS atas kemauannya sendiri (ayat a). Dan ketika AT mempunyai paspor atau surat yang bersifat paspor dari AS atau surat yang dapat diartikan sebagai tanda kewarganegaraan yang masih berlaku dari AS atas namanya (ayat h). Secara material, AT juga sudah kehilangan kewarganegaraan Indonesia ketika ia secara sukarela mengangkat sumpah atau menyatakan janji setia kepada negara AS atau bagian dari negara AS (ayat f).

Dengan pengakuan AT sendiri yang menyatakan bahwa ia telah mengembalikan paspor AS, berarti AT juga sebenarnya telah kehilangan statusnya sebagai warga negara AS (WNAS). Dengan demikian, AT bukan WNI dan bukan WNAS. Artinya sekarang, AT berstatus tanpa kewarganegaraan (apatride). dan bukan pula berkewarganegaraan ganda (bipatride).

Hemat saya, AT sebaiknya diselamatkan dari status apatride. Kesediaan AT menjadi menteri dan mengembalikan paspor AS, hendaknya dibaca sebagai niat tulus AT untuk kembali menjadi WNI dan mengabdi di Indonesia. Selain itu, Lolosnya AT menjadi menteri bukan semata-mata kesalahannya, tetapi lebih disebabkan ketidak hati-hatian Istana sendiri. Sehingga sudah ser harusnya pemerintah membantunya. Ada dua alternatif, pertama, melalui naturalisasi dan kedua, melalui pemberian kewarganegaraan dengan alasan kepentingan negara.

Cara pertama, berdasarkan Pasal 8 dan 9 UU Kewarganegaraan, AT dapat mengajukan permohonan untuk memperoleh status WNI kembali dengan memenuhi persyaratan tertentu. AT juga diharuskan untuk mengucapkan sumpah atau menyatakan janji setia kepada Negara Republik Indonesia (Pasal 14-17). Cara pertama ini dapat ditempuh oleh AT, tetapi akan memakan waktu yang lama. Karena menurut Pasal 9 ayat a, AT harus sudah bertempat tinggal di wilayah Negara Republik Indonesia paling singkat lima tahun berturut-turut atau paling singkat 10 tahun tidak berturut-turut.

Cara kedua, berdasarkan Pasal 20, Presiden dapat memberikan status WNI kepada AT dengan alasan kepentingan negara. Cara ini lebih cepat karena tidak ada keharusan bagi AT untuk bertempat tinggal terlebih dahulu. Meskipun demikian, untuk pemberian status WNI seperti ini, Presiden harus memperoleh pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia. Oleh karena itu, perolehan status WN bagi AT ini sangat tergantung dari sejauh mana Presiden dapat meyakinkan DPR bahwa AT benar-benar dibutuhkan oleh negara.

Akhirnya, bola ada pada AT, Presiden Joko Widodo, dan DPR. Apakah AT sungguh-sungguh ingin kembali menjadi WNI dan mengabdikan keahliannya untuk pembangunan Indonesia? Apakah Presiden Joko Widodo dan DPR mempunyai komitmen yang sama untuk membantu kembalinya AT menjadi WNI khusus nya? Dan memanggil para diaspora, yang pada umumnya kaum muda Indonesia yang berkemampuan tinggi yang berkarya di negara-negara lain, untuk pulang dalam rangka membangun negeri sendiri.

Tulisan ini telah dimuat dalam koran KEDAULATAN RAKYAT, 18 Agustus 2016.