Penulis: Prof. Dr. Moh. Mahfud MD, S.H., S.U.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), Departemen Hukum Tata Negara

Umumnya wartawan itu punya pilihan berita sendiri, tak bisa diarahkan untuk memberitakan sesuatu kecuali oleh pimpinan medianya. Dua hari lalu (11 Agustus 2016) misalnya, saya hadir dan ikut membahas peluncuran buku Sistem Politik Indonesia: Kritik dan Solusi Sistem Politik Efektif di Universitas Negeri Jakarta (UNJ). Buku itu ditulis oleh Ubedilah Badrun. Isinya lumayan bagus, mendiagnosis problema sistem politik dan ketatanegaraan Indonesia serta alternatif-alternatif solusi sebagai terapinya.

Saya yang kebagian tugas membahas buku itu merasa senang ada dosen muda yang paham politik dan ketatanegaraan, seperti Ubedillah, menulis secara serius problema yang sedang kita hadapi. Banyak wartawan yang hadir pada peluncuran buku itu, tetapi tidak banyak yang memberitakan substansi dan pesan penting dari buku itu. Saya yang sudah membahas buku itu dengan serius malah ditanya hal-hal lain.

Para wartawan itu menanyakan pengujian Undang-Undang (UU No 10 Tahun 2016 oleh Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama ke Mahkamah Konstitusi mengenai kewajiban cuti bagi kepala daerah yang akan bertarung kembali di daerah yang sedang dipimpinnya. Mereka juga bertanya soal isu yang ditangkap dari pernyataan Luhut Pandjaitan saat menjadi menko polhukam bahwa pihaknya membentuk tim yang akan merumuskan peraturan agar pejabat yang korupsi tak perlu dipenjarakan karena penjara sudah penuh. Koruptor-Koruptor itu cukup dipecat dan diminta mengembalikan uang hasil korupsinya.

Apakah secara hukum cuti bagi calon gubernur petahana harus dilakukan atau boleh tidak diambil? Apakah betul Bapak menjadi tim untuk membuat peraturan yang bisa membebaskan pejabat yang korupsi dari pemenjaraan seperti yang dikatakan oleh Pak Luhut?” Itulah, antara lain, pertanyaan yang disampaikan kepada saya.

Saya menjawab bahwa di dalam hukum itu ada istilah hak yang merupakan sesuatu yang dapat dituntut pemenuhannya dan pemerintah wajib memenuhinya jika hak itu diminta oleh pemegang hak. Memilih di dalam pemilu, misalnya, adalah hak. Jika orang yang mempunyai hak pilih akan menggunakan haknya, negara wajib memenuhi dan memfasilitasi orang tersebut agar dapat memilih. Tapi jika yang bersangkutan menyatakan tak akan menggunakan hak pilihnya, dia tak bisa dipaksa untuk memilih.

Pada umumnya cuti dianggap sebagai hak. Kita sering Mendengar istilah cuti melahirkan, cuti tahunan, dan lain-lain yang merupakan hak. Cuti Sebagai hak memang bisa diambil dan bisa tidak diambil. Hak cuti tahunan bagi PNS, misalnya, boleh diambil dan boleh tidak diambil atau diatur sendiri waktu pengambilannya. Tapi cuti itu tidak selalu berarti hak, melainkan bisa merupakan kewajiban atau bahkan larangan.

Kalau dalam keadaan tertentu cuți oleh hukum dinyatakan sebagai kewajiban, maka cuti wajib diambil. Ketika dulu pada tahun 2000 saya diangkat menjadi menteri oleh Presiden Abdurrahman Wahid, saya wajib mengambil cuti di luar tanggungan negara sebagai pegawai negeri sipil (PNS). Itu sesuai dengan hukum bahwa PNS yang diangkat menjadi pejabat negara tertentu wajib mengambil cuti.

Cuti juga bisa dilarang. Dalam keadaan gawat karena letusan gunung berapi misalnya, pegawai vulkanologi yang seharusnya mempunyai hak cuti bisa saja dilarang mengguna kan hak cutinya sampai keadaan tertentu. Terkait dengan ini, polemik soal calon kepala daerah apakah harus mengambil atau boleh tidak mengambil cuti, menurut UU yang berlaku, hukumnya adalah “wajib melakukan cuti seperti yang diatur dalam Pasal 70 ayat (3) UU No10 Tahun 2016.

Sebenarnya dulu, berdasar Pasal 58 q UU No 12 Tahun 2008, ada ketentuan UU bahwa calon kepala daerah petahana wajib menyatakan berhenti sebagai kepala daerah jika mencalonkan diri lagi sebagai kepala daerah. Tapi ketentuan tersebut diuji materi oleh Gubernur petahana Provinsi Lampung Sjachroedin ZP ke Mahkamah Konstitusi (MK) karena dianggap melanggar hak konstitusionalnya. Melalui Putusan Nomor 17/PUU-VI/2008 MK memenangkan gugatan (permohonan judicial review) Sjachroedin.

MK memutus bahwa petahana yang mencalonkan diri lagi tidak harus mengundurkan diri, tetapi harus melakukan cuti sejak resmi ditetapkan KPU sebagai calon. Sjachroedin sendiri tidak menikmati kemenangan perkaranya itu karena terlanjur menyatakan berhenti sebelum putusan MK dikeluarkan. Tapi putusan MK atas gugatan Sjachroedin menjadi hukum dan memuat legal reasoning mengapa calon petahana wajib mengambil cuti.

Legal reasoning vonis MK inilah yang kemudian dipakai oleh lembaga legislatif dan KPU ketika mengharuskan pengambilan cuti oleh petahana yang menjadi kontestan dalam pemilu kepala daerah.

Akan halnya pertanyaan lain dari wartawan, apakah saya masuk dalam tim pemerintah yang akan membebaskan pejabat korup dari hukuman penjara asalkan harta hasil korupsinya dikembalikan kepada negara, saya menjawabnya tidak pernah membicarakan apalagi ikut dalam tim itu. Sejak dulu saya berpendapat, koruptor itu harus dihukum berat karena telah menjadi drakula penghisap darah bangsa dan negaranya.

Saya kira pers salah kutip tentang itu dari Menko Polhukam Luhut B Pandjaitan. Nyatanya saya hanya ikut dalam satu rencana untuk membuat UU induk atas proses investasi yang kerap kali terhalang oleh berbagai peraturan perundang-undangan yang saling kunci sehingga menghambat implementasi 12 Paket Kebijakan Ekonomi. Kalau soal sinkronisasi UU yang terkait dengan pembangunan ekonomi itu, saya bersama Jimly Asshiddiqie dan Indrianto Senn Adjime mang pernah membicarakannya secara serius dengan Pak Luhut. Tapi kalau soal penurunan bobot atau jenis hukuman bagi koruptor saya tidak pernah ikut membicarakannya.

 

Tulisan ini telah dimuat dalam koran SINDO, 13 Agustus 2016.

Penulis: Prof. Dr. Moh. Mahfud MD, S.H., S.U.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), Departemen Hukum Tata Negara

Dalam beberapa hal, mungkin kita tidak sependapat dengan
Haris Azhar. Tetapi jika akivis prodemokasi dan penegakan hukum ini berbicara di depan televisi atau media lainnya, biasanya sangat ekspresif namun tidak meledak-ledak, artikulasinya bagus, logikanya runut, kalimatnya teratur.  Pokoknya, terlepas dari soal kita setuju atau tak setuju, cara Haris Azhar berbicara adalah menarik dan impresif.

Tetapi dalam seminggu terakhir ini kita kehilangan cara tampil Haris yang menarik itu. Saya melihat dia  tampak nervous saat tampil di depan televisi, penampilannya menjadi seadanya, sinar matanya agak redup dan terlihat galau. Bahkan saat tampil di sebuah dialog televisi swasta menjelang tengah malam beberapa hari yang lalu, Haris sering salah omong sampai-sampai dia sendiri mengatakan, “Saya sering salah bicara malam ini’.

Rasanya tak bisa dibantah, perubahan cara tampil Haris itu terkait dengan publikasi pembicaraannya dengan Freddy Budiman yang baru saja dieksekusi hukuman mati. Dia mengunggah di media sosiai tentang pembicaraan langsungnya dengan Freddy Budiman. Isinya kemeajalelaan Freddy sebagai gembong  narkotika yang seperti sakti adalah karena bantuan dan pernbayaran uang miliaran rupiah kepada oknum-oknum aparat yakni, Polri, TNI  dan BNN melaporkannya ke Bareskrim untuk diusut sebagai  pelaku tindak pidana.

Banyak yang bertanya, di mana kesalahan Haris kok harus dipidanakan? Bukankah sudah menjadi pembicaraan biasa (bukan rahasisa umum lagi) di tengah-tengah masyarakat bawah banyak oknum Polri, TNI  dan BNN yang terlibat dalam peredaran narkoba?

Bukankah pula masalah keterlibatan aparat Polri, TNI, dan BNN dalam peredaran narkoba sudah banyak terbukti dan pengungkapan oleh BNN sendiri dan oleh vonis pengadilan?

Belum lama ini diberitakan secara meluas adanya dua oknum BNN di Polda Metro Jaya yang dijebloskan ke penjara karena terlibat kejahatan narkoba. Ada juga pejabat BNN di luar Jawa yang nyata-nyata ditangkap karena terlibat peredaran narkoba, hanya beberapa waktu setelah sang pejabat berbicara didepan publik bahwa dirinya akan tegas dalam memberantas kejahatan narkoba.

Kepala BNN Budi Waseso Sendiri Pernah mengatakan, sulitnya memberantas kejahatan narkoba disebabkan banyaknya oknum Polri, TNI, dan BNN yang terlibat.

Lalu, dimana letak kesalahan Haris Azhar kalau mengunggah hasil pembicaraan panasnya dengan Freddy Budiman? Apakah karena dia bukan pejabat atau karena aktivis yang terlalu vokal? Secara lahiriah, kesalahan Haris Azhar adalah karena dia mengumumkan keterlibatan aparat yang dikaitkan dengan kasus konkret, tapi tidak disertai bukti agar bisa diusut.

Kasus konkretnya adalah kejahatan Freddy Budiman. Kalau oknum-oknum aparat korup yang memeras atau menerima setoran dari Freddy Budiman memang ada, pastilah bisa diungkap asal ditunjukkan peta jalannya. Dalam hal ini, Haris tidak mengungkap nama oknum(atau inisialnya), sementara Freddy Sudah dieksekusi. Mengapa informasi itu tidak dia sampaikan sebelum Freddy dieksekusi?

Dari sudut pelapor, langkah Harisitubisa dianggap sebagai fitnah yang hanya ingin membuat kegaduhan dan keresahan. Mengapa? Karena dia mengumumkan pengakuan panas orang yang sudah dieksekusi mati, tetapi tidak disertai bukti atau jejak bukti yang bisa dilacak. Dengan apa yang dilakukan itu, Haris tampaknya akan dipidanakan karena ujaran kebencian dan pelanggaran UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

Melihat kasus Haris Azhar ini, saya jadi teringat pada sebuah film yang sangat bagus, Life of David Gale yang dibintangi Kevin Spacey dan Kate Winslet. Film yang dibesut oleh Alan Parker Itu Bertemakan Perjuangan anti hukuman mati.

Dalam perjuangannya untuk menghapus hukuman mati, David yang seorang profesor membuat rekayasa seakan-akan dialah yang melakukanpemerkosaan dan pembunuhan keji terhadap seorang mahasiswi di Austin University, Constance Harraway. Dialah, misalnya, yang meletakkan sidik jarinya di mayat Harraway. Dia pun diadili dan dijatuhi hukuman mati.

Akhirnya David Gale dieksekusi mati. Tetapi dengan kecerdasannya sebagai seorang profesor, melalui seorang wartawati terkenal, dia sudah mengatur agar setelah dia dieksekusi maka semua fakta bahwa bukan dia yang membunuh Harraway bisa diungkap kepada publik. Dan, itulah yang kemudian terjadi. Masyarakat pun menjadi geger karena ternyata pengadilan telah salah menghukum mati seorang profesor yang tidak bersalah.

Pesan film Life of David Gale itu memang propaganda anti hukuman mati. Saya tidak tahu, apakah Haris Azhar melakukan pengungkapan info dari Fredd: Budiman itu terinspirasi ata! ingin memberi pelajaran dar pesan film Life of David Gale itu Tetapi Kalau Itu Benar, Harisme mangagak ceroboh karena tidak menyiapkan bukti-bukti seperti yang dilakukan oleh David Gale.

Lagi pula, film Life of David Gale itu hanyalah sebuah film imajinatif yang memang mempropagandakan anti hukuman mati. Film seperti itu bisa dan sudah dilawan oleh film-film yang bertemakan sebaliknya. Namanya juga film imajinatif, ya, begitulah.

Tulisan ini telah dimuat dalam koran SINDO, 6 Agustus 2016.

 

Netherland (4/8) Dua mahasiswa Fakultas Hukum UII, Muhammad Ilham Agus Salim dan Saufa Atta Taqiyya mahasiswa Ilmu Hukum Program Internasional angkatan 2014 terpilih menjadi peserta XVIII International Conference Conference on Social Science (ICSS) 2016.

Read more

Penulis: Prof. Dr. Moh. Mahfud MD, S.H., S.U.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), Departemen Hukum Tata Negara

Kegalauan banyak pihak tentang melunturnya jati I diri dan melemahnya kedaulatan kita dirasakan juga oleh anak-anak kita yang sedang belajar di luar negeri. Sejak Sabtu pe kan lalu sampai Rabu pekan ini, melalui wadah Persatuan Pelajar Indonesia (PPI), mereka berkumpul di Kairo, Mesir, dalam satu simposium internasional PPI sedunia, “Memperteguh Identitas Bangsa Indonesia”. Tema itu merefleksikan keresahan mereka tentang Indonesia, negara yang mereka puja dan cintai.

Mereka menyatakan Ibu Pertiwi yang dicintainya sedang menghadapi problema dalam bidang politik, ekonomi, pendidikan, budaya, bahkan kehidupan beragama. Kata mereka, dalam menghadapi berbagai problema itu sudah banyak juga orang-orang kita yang menawarkan solusi, tetapi solusi-solusi yang mereka tawarkan berhenti di konsep-konsep yang tidak pernah menyatu dan tidak ada yang bisa dilaksanakan konsisten.

Konsep-konsep itu pun diajukan sebagai klaim-klaim yang berangkat dari paradigma yang berbeda, ada yang berangkat dari cara pandang Barat yang katanya universal, ada yang berangkat dari cara pandang Timur yang partikular.

Solusi yang ditawarkan banyak, tetapi kontradiktif sehingga tidak bisa diimplementasikan dalam satu langkah. Semua merasa benar dan mengambil jalur sendiri-sendiri.  Keadaan itu menyebabkan terjadinya pelunturan identitas bangsa yang juga secara pelan menggeris kedaulatan kita sebagai Negara. Di dunia internasional terkadang harga diri kita sebagai bangsa tampak disepelekan. Melalui proposal simposium mereka mengajukan pertanyaan lugas: Adakah identitas dan jati diri kita? Adakah kita telah atau masih berdaulat? Mana jati diri  dan kedaulatan itu?

Soal identitas dan jati diri bangsa, meskipun tidak bisa dirumuskan dalam kalimat yang pendek, sebenarnya sudah kita miliki secara tegas dan nyata. Indonesia, baik sebagai bangsa maupun sebagai negara, mempunyai identitas “kebersatuan dalam keberagaman”, Bhinneka Tunggal Ika, unity in diversity. Bayangkanlah, negara kita terdiri atas 17.504 pulau, 1.360 suku, dan 726 bahasa daerah. Di Indonesia juga ada banyak agama dan kepercayaan yang dianut oleh warganya, ada berbagai ras dan warna kulit yang semuanya diikat dalam kebersatuan bangsa Indonesia.

Merujuk uraian Bung Karno pada pidato di BPUPKI tanggali Juni 1945, bangsa kita merupakan ikatan kebersatuan sekumpulan manusia yang sangat beragamikatan primordialnya, tetapi mempunyai nasib dan cita-cita yang sama di tanah (bagian bumi) yang sama yakni Nusantara. Masyarakat kita adalah masyarakat yang religius, toleran, ramah, santun, gotong royong, dan tolong-menolong. Itulah identitas dan jati diri bangsa kita. Tetapi ke mana identitas dan jati diri itu sekarang? Masihkah kita hayati da lam kehidupan kebangsaan kita? Pertanyaan-pertanyaan ini muncul karena kalau identitas dan jati diri itu benar seperti itu tentulah kita tidak menghadapi tindakan-tindakan intoleran, fakta kemiskinan massal. ketimpangan ekonomi, dan ketidakadilan sosial yang menimbulkan pertanyaan lanjutan, yakni kedaulatan.

Kalau ditanyakan secara verbal,apa kita ini mempunyai kedaulatan, tentu jawabannya yang juga verbal kita ini berdaulat. Fakta bahwa Indonesia merupakan satu negara merdeka adalah fakta juga bahwa Indonesia mempunyai kedaulatan. Salah satu syarat konstitutif adanya negara adalah adanya pemerintahan yang berdaulat dan Indonesia merupakan negara yang nyata-nyata ada. Jika syarat keberadaan negara yang berdaulat itu dikaitkan dengan syarat deklaratif, yakni adanya pengakuan dari negara-negara lain, jelas keberadaan Indonesia dan kedaulatannya sudah mendapat pengakuan dari negara-negara lain. Selain menjadi anggota PBB, Indonesia juga mempunyai duta besar di berbagai negara dan negara-negara lain mempunyai duta besarnya di Indonesia. Itu tanda kita mempunyai kedaulatan dan kedaulatan kita adalah kedaulatan rakyat.

Hal yang menjadi masalah terkait kedaulatan Indonesia sebenarnya bukan tidak adanya kedaulatan secara formal-konstitusional, tetapi bergesernya letak kedaulatan tersebut dari tangan rakyat ke tangan elite politik. Dalam praktik sekarang ini, kedaulatan rakyat hanya dilakukan oleh rakyat pada saat mencoblos dalam pemilu. Sesudah rakyat memberikan suaranya saat pemilu yang mungkin hanya lima menit itu, urus-urusan negara kemudian didorong oleh elite politik, terutas para pimpinan parpol. Konfigrasi politik bukan lagi demok si, melainkan menjadi oligarki  politik yang dikuasai oleh elit

Ada juga yang menyebut litik kita sekarang berkonfigrasi poliarki karena kebijakan-kebijakan negara dikangkan oleh elite partai politik yang be kolaborasi dengan elite orma elite kelompok profesional, de pebisnis kakap. Akibatnya, kedaulatan hukum menjadi 1 mah. Hukum menjadi sang konservatif bukan hanya sa ditegakkan, tetapi juga pad saat akan dibuat. Ketika kedal latan hukum lemah, kedaulatan politik pun menjadi lemah terutama kalau berhadapan dengan pihak luar. Mengapa? Karena hukum bisa dikait-kaitkan berdasar kepentingan politik, bisnis, dan lain-lain.

Diarena simposium PPI Kairo itu muncul juga usul aga kedaulatan rakyat diubah saja ke sistem kedaulatan Tuhan (teokrasi). Tetapi saat itu saya menjawab, konsepsi teokras akan menjadikan kita semakin kacau. Jalan terbaik adalah menggeser kedaulatan yang sekarang ada di tangan elite sebagai kembali berada pada rakyat Kita bisa berharap hal itu dilakukan oleh pemerintah yang sekarang. Pemerintah yang sekarang mempunyai modal yang kuat untuk melakukan itu.

 

Tulisan ini telah dimuat dalam koran SINDO, 30 Juli 2016.

 

 

 

TAMANSISWA. (UIINEWS): Rabu, 22 Syawal 1437 H/ 27 Juli 2016 bertempat di Ruang Sidang Utama lantai 3 Fakultas Hukum UII, Kantor Aliansi Universitas dan Industri (KAUNI) UII menyelenggarakan agenda Sosialisasi KAUNI yang dihadiri oleh pimpinan serta para dosen di FH UII.

Read more

Penulis: Prof. Dr. Moh. Mahfud MD, S.H., S.U.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), Departemen Hukum Tata Negara

Berita yang muncul Rabu dua hari yang lalu, itu mengejutkan bagi orang yang tidak paham hukum, tetapi tidak berarti apa-apa bagi orang yang paham hukum dan peta permainan politik.

Bagi orang yang paham hukum, berita itu bisa dianggap sebagai lucu-lucuan dan bagi yang suka mengamati politik berita itu hanya bagian kecil dari belantara permainan politik di negeri ini. Berita apa gerangan?

Beritanya, “Pengadilan Rakyat Belanda Menyatakan Indonesia Bersalah atas Pembunuhan Anggota PKI”. Hagh? Orang yang tidak paham hukum terkejut, ada yang panik dan ada yang senang, tergantung dari posisinya.

Padahal dari sudut hukum, tidak ada pengadilan yang membuat putusan seperti itu. Yang memutuskan itu ternyata bukan pengadilan, melainkan sekelompok orang yang kemudian diberi nama agak mirip dengan pengadilan, yakni International People International Peoples Tribunal on Crimes Against Humanity 1965 (disingkat IPT).

Dalam kesimpulan yang disebut putusan) itu, IPT yang dipimpin oleh Saskia E Wieringa juga meminta pemerintah Indonesia untuk segera meminta maaf kepada seluruh korban dan memberikan kompensasi serta pemulihan nama baik. Se gawatitukah?”Apa Konsekuensi putusan pengadilan IPT Den Haag Itu terhadap Indonesia?”, demikian pertanyaan-pertanyaan yang masuk ke akun Twitter, WhatsApp, dan pesan pendek di telepon genggam saya.

Atas pertanyaan itu saya menjawab, “Tak ada konsekuensi apapun. Pengadilan Rakyat di Den Haag itu hanya dagelan, bukan pengadilan resmi, hanya lucu-lucuan saja”.  Sebab yang dikatakan sebagai Pengadilan Rakyat Belanda oleh berita itu adalah IPP, Sebuah tim yang dibuat oleh aktivis-aktivis yang bergerak di bidang perlindungan hak asasi manusia (HAM) di Indonesia dan Belanda.

Tugas IPT tersebut, taroklah mengadili kesalahan pemerintah Indonesia pada apa yang kita kenal sebagai peristiwa G30 S/PKI. Karena IPT bukan lembaga peradilan resmi, melainkan hanya sebuah tim yang dibentuk oleh orang atau lembaga yang sama sekali tidak berwenang, maka keputusannya dapat juga dianggap sebagai keputusan lelucon.

Artinya, kita pun yang kebetulan sedang minum kopi di jalanan bisa juga membentuk majelis hakim lucu-lucuan untuk membuat pengadilan dan membuat putusan yang sebaliknya. Tetapi Putusan IPT malpun majelis hakim lucu-lucuan yang bisa kita buat itu sama tidak mengikatnya. Musababnya, pengadilan yang dibentuk secara swasta seperti itu tidak mempunyai kewenangan apa pun secara yuridis untuk memutus kasus.

Pengadilan seperti IPT itu bagi orang yang pernah menjadi mahasiswa Fakultas Hukum pada tahun 1970-80-an sama belaka dengan peradilan semu, yakni kuliah ekstrakurikuler dalam format sandiwara sidang pengadilan untuk melatih mahasiswa agar terampil dalam beracara di pengadilan. Waktu masih mahasiswa dulu, saya pernah manggung dua kali dalam kelas peradilan semu, ya pertarta menjadi jaksa penu tytumunidan yang kedua menjadi hakim. Tentu saja sidan nya sambil cengengesan seba memang dimaksudkan hany untuk main-main.

Apakah dengan demikian dang-sidang IPT itu tidak serius atau bahkan har? Aktivis-aktivis yang membentuknya tent serius membuat itu sebagai ba gian dari perjuangannya melindungi HAM dan menegakkan demokrasi. Tetapi produknya alah yang hanya lucu-lucuan karena tidak mengikat apa-apa secara hukum. Majelis IPT juga bisa dianggap “Liar” dalam arti tidak ada jalur hukum pemben tukan maupun daya ikat keputusannya yang memutus seolah-olah sebagai pengadilan.

Saya ingin memberitahu kepada orang awam yang mung Idin bisa tertipu karena keamanannya di bidang hukum bahwa pengadilan pidana, berdasarkan lingkup kompetensinya, hanya ada dua.

Yang pertama adalah pengadilan pidana di masing-masing negara yang bernaung di bawah Mahkamah Agung, dan yang kedua adalah pengadilan pidana internasional yang berada di bawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Peradilan pidana internasional adalah International Criminal Court (ICC), bukan IPT.

Apakah berdasarkan putusan majelis IPT itu para pejuang HAM dan demokrasi tidak bisa membawa kasus 1965 di Indonesia ke PBB? Apakah mereka tidak bisa meminta pemerintah Indonesia meminta maaf de memberi ganti rugi? Jawaban nya, tidak ada hukum yang melarang orang atau siapa pun  menyampaikan usul kepada PBI Tapi Tidak harus IPT, komunitas Twitter juga bisa. Menyampaikan usulkan boleh saja.

Begitu pula, siapa pun bole! meminta kepada pemerintah Indonesia untuk meminta maa kepada korban tahun 1965 dar memberi kompensasi kepada yang masih hidup. Dulu kita juga sudah pernah membuat UU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) dengan maksud yang sama untuk semua ka sus pelanggaran HAM di masa lalu. UU tersebut dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi era Jimly Asshiddiqie dengan aratan supaya diperbaiki agar jelas cantolan konstitusionalnya untuk kemudian dapat diundangkan lagi.

Saya (dan banyak dari kita) setuju agar peristiwa pahit 1965 Dijernihkan untuk kemudian dilakukan rekonsiliasi supaya kita rukun bersatu sebagai Dangsa. Tetapi, sebagai anak mangsa juga, saya termasuk ang tidak setuju kalau masalah tersebut disuruh goreng kepada pihak luar negeri.

Tuntutan meminta maaf un bisa juga diajukan tetapi arus jelas, yang meminta maaf siapa dan yang dimintai maaf itu siapa. Pemerintah bersama rakyat-pun bisa mengabulkan atau menolak usul permintaan maaf itu, kalau atas nama negara.

Tulisan ini telah dimuat dalam koran SINDO, 23 Juli 2016.

 

Gajah Mada (25/7) Senin, Dr. Budi Agus Riswandi, S.H., M.Hum. bertempat di Gedung I Fakultas Hukum UGM Yogyakarta berhasil mempertahankan Disertasinya yang berjudul Perlindungan Hak CIpta Atas Karya Digital di Internet dalam Studi Pengabdosian Doktrin Perlindungan Hak Cipta terhadap Teknologi Pengaman dalam Perundang-Undangan Hak Cipta Indonesia dengan predikat sangat memuaskan.

Read more

Menyambut datangnya bulan Syawal, bertepatan dengan hari masuk pertama kerja pada Kamis, 9 Syawal 1437 H/14 Juli 2016, Fakultas Hukum UII kembali mengadakan Pengajian Syawalan dan Pelepasan Jama’ah Calon Haji Fakultas Hukum UII. Read more

Penulis: Prof. Jawahir Thontowi, S.H., Ph.D.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), Departemen Hukum Internasional

SELAMA hampir enam (6) bulan, tidak kurang dari 15 Warga Negara Indonesia (WNI) telah menjadi korban penyanderaan kelompok Abu Sayyaf. Menurut Menteri Luar Negeri sudah kelima peristiwa kasus penyanderaan yang melibatkan tak kurang 10 dan 5 ABK WNI yang saat ini sedang disandera. Sebagai kejahatan lintasnegara, pembajakan atau penyanderaan sejajar dengan kejahatan penjualan senjata, perdagangan orang, dan juga kejahatan narkotika dan obat terlarang lainnya yang juga beirisan dengan kejahatan terorisme.

Wilayah perbatasan laut teroritorial, Indonesia, Malaysia dan Filipina tergolong wilayah rentan ancaman perompakan terhadap warga negara atau kapal-kapal yang berlayar di sekitarnya. Untuk merespons keadaan tersebut, Indonesia, Malaysia dan Fillpina melakukan kerjasama yang dituangkan dalam joint declaration
(JD), di Yogyakarta tanggal 5 Mei, 2016. Substansinya antara lain : melakukan patroli bersama di
wilayah perbatasan laut. Kedua, -membentuk Pusat Informasi dan Pusat Crisis Centre di setiap negara, jika terjadi gangguan keamanan. Ketiga, memberikan bantuan dan pertolongan jika terjadi masalah baik terhadap warga negara maupun terhadap kapalkapal suatu negara berada di wilayah perairan salah satu negara. Terakhir menyusun prosedur penanganan terpadu untuk menyelesaikan persoalan yang dihadapi.

Akan tetapi, JD belum efektif. Penyanderaan terulang lagi. Sejak 21 Juni tujuh orang ABK disandera dan saat ini sedang diperjuangkan untuk dibebaskan Ketiga orang WNI dari Indonesia Timur disandera, sedangkan warga Malaysia dibebaskan. Pada prinsipnya pembebasan atas ketiga sandra WNI harus diprioritaskan, tetapi cara penyelesaian terpadu dan aman diakui memang tidak mudah dilakukan

Pertama, bahwa JD belum efektif bisa dipahami karena baru pada pendekatan diplomasi hasil lobi dan negosiasi. Karena itu, belum bisa mengikat mengingat baru dipandang sebagai hukum lunak yang belum dapat mengikat pihak-pihak Kedua, Presiden Jokowi, mengusung visi dan misi pembangunan Indonesia dari pinggiran, dan menjadikan Indonesia Poros Maritim Dunia (PMD). Secara geopolitik, PMD akan kondusif bagi Indonesia jika kerangka kerja sama kemitraan dengan negara-negara tetangga lebih diprioritaskan.

Ketiga, jika dua model pendekatan di atas lebih dominan diperankan Negara, tidak kalah pentingnya keterlibatan aktor-aktor non-negara dalam penanganan sandera bisa diakomodir. Keempat, sikap pemerintah yang ambigu untuk tidak mau melakukan pembayaran atas uang tebusan tak perlu diulangulang. Bukan saja kontra-produktif, melainkan juga kurang menghargai pihak lain yang melakukan hal yang sama di lapangan.

Dari kasus lima kali penyanderaan WNI tampaknya kelompok Abu Sayyaf menujukan ketagih
an. Selain ada motif kebutuhan ekonomi juga kepentingan politik barter. Sebab, bukan hal mustahil fenomena penyanderaan mengandung pesan politik terhadap keberhasilan Densus 88 Anti Teroris Polri meringkus para teroris di Indonesia. Situasi keamanan internal Indonesia mudah dibaca untuk digunakan kelompok Abu Sayyaf sebagai sarana pengumpulan dana perjuangan.

Prediksi dan antisipasi ke depan terkait penanggulangan dan perlindungan WNI dari penyanderaan memang tidak mudah. Pertama, masyarakat dan pemerintah Indonesia tergolong negara dermawan. Sebagaimana berkali-kali pemerintah Indonesia membebaskan TKI dari ancaman hukum pancung atau qishash di Saudi Arabia Mereka umumnya dapat dibebaskan oleh pengadil an syariah karena pembayaran puluhan miliar rupiah sebagai uang tebusan karena ada pemaafan, diyat dari pihak keluarga korban. Kebijakan itu ada kaitannya dengan penerapan prinsip perlindungan. Pemerintah Indonesla berkewajiban menyeldmatkan TKI dari ancaman hukuman mati, sekalipun pihak Kementerian Tenaga Kerja dan BNP3TKI, harus mencari dana lain.

Atas dasar prinsip tersebut, seharusnya Pemerintah Indonesia menerapkan secara sama terhadap kasus penyanderaan WNI di wilayah perbatasan laut Fillipina dan Malaysia. Justru, jika selama ini kebijakan pemerintah menolak untuk memberikan uang tebusan adalah tidak tepat, bahkan bisa melanggar hak-hak konstitusional, WNI ABK. Mereka menjalankan tugas perusahaan untuk berlayar di laut bebas atau laut territorial memiliki hak untuk dilindungi. Dalam UUD NRI 1945, Pasal, 28A, hak dasar seseorang untuk hidup, Pasal 28D, jaminan jaminan perlindungan dan perlakukan yang sama di depan hukum. Hal ini merupakan pemenuhan terhadap hak-hak untuk hidup yang tidak bisa ditangguhkan.

Tulisan ini telah dimuat dalam rubrik Analisis KR, koran Kedaulatan Rakyat,15 Juli 2016.

 

Penulis: Prof. Dr. Moh. Mahfud MD, S.H., S.U.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), Departemen Hukum Tata Negara

Masih ada saja orang yang mempertentangkan antara tugas bernegara dan tugas beragama. Mereka menganggap melaksanakan tugas agama (ibadah) tidak mempunyai kaitan dengan melaksanakan tugas negara. Di kalangan kaum muslimin di Indonesia, pendapat yang seperti ini ada juga. Padahal, dari sudut Islam, melaksanakan tugas negara itu ya melaksanakan tugas agama. Pandangan ini bisa dilihat dari misi kenabian.

Ketika Nabi Muhammad mendapat wahyu untuk mengajak umat manusia, utamanya kaum Qurais, menyembah Tuhan Yang Maha Esa atau mengajak kembali ke tauhid, perintah ikutannya adalah melawan kezaliman dan membongkar struktur sosial yang tidak berkeadilan.

Nabi pun melawan tokoh-tokoh Qurais yang korup dan tidak adil seperti Abu Jahal, Abu Lahab.

Nabi juga diperintahkan oleh Allah untuk mengajak umatnya berjuang mengentaskan masyarakat kemiskinan dan meng. angkat kaum lemah-papa (duafa). Di dalam ayat-ayat Alquran yang turun pada periode Mekkah (sebelum Nabi hijrah ke Madinah), perintah membangun kesejahteraan sosial itu sangat tegas. Di dalam Surat Al-Maun, misalnya, disebutkan bahwa orang yang mengabaikan anak yatim dan tidak peduli kepada orang miskin adalah pendusta (bohong dan berpura-pura saja) dalam beragama.

Bahkan di surat yang sama dikatakan bahwa orang yang sa lat itu akan diganjar dengan neraka (way) jika lalai dalam salatnya. Lalai dalam salat bukan hanya berarti malas melakukan ritualnya sesuai dengan rentang waktu-waktunya, melainkan juga lalai terhadap konsekuensi sosial dari salat. Konsekuensi sikap sosial dari salatiga disimbol kan oleh gerakan terakhir salat, yakni mengucapkan selamat sambil menoleh kekanan dan kekiri.

Salat dimulai dengan takbir (Allahu Akbar yang berati hanya beriman dan akan menyembah Allah Yang Maha Esa’ (vertikal). Salat diakhiri dengan salam sambil menoleh ke kanan dan ke kiri yang berarti setelah salat akan memperhatikan keadaan dikanan dan dikiri(horizontal), yakni memperhatikan kehidupan sekeliling dan siap membangun kesejahteraan masyarakat. Itulah tugas dan kewajiban dalam beragama.

Tugas dan kewajiban yang bersumber dari agama tersebut sama belaka dengan tugas dan kewajiban bernegara berdasar konstitusi di Indonesia. Menurut Alinea 1 Pembukaan UUD 1945 Indonesia memerdekakan diri dari penjajahan karena penjajahan tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan. Selanjutnya menurut Alinea IV Pembukaan UUD 1945 salah satu tujuan negara kita adalah memajukan kesejahteraan umum.

Tujuan negara tentang pembangunan kesejahteraan sosial itu diperkuat lagi di dalam sila kelima dari dasar negara (Pancasila), yakni “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia Bukan hanya itu. Didalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dicantumkan juga citu bab tersendiri tentang tÆ° gas membangun kesejahteraan masyarakat, yalini Bab XIV tentang Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial.

Pada Pasal 33 yang merupakan bagian dari Bab XIV tersebut ditekankan bahwa sumber daya alam kita dikuasai negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat Selanjutnya pada Pasal 34 ditegaskan juga bahwa fakir miskin dan anak-anak telantar dipelihara oleh negara dan ne gara harus membangun sistem jaminan sosial dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.

Dengan demikian secara mendasar ada perhimpitan dalam arti kesamaan kewajiban yang dibebankan kepada kita oleh agama dan oleh negara, yakni membangun kesejahteraan umum dan keadilan sosial, mengangkat kaum duafa dari keterpurukan. Jadi beragama adalah bernegara, melaksanakan kewajiban agama adalah melaksanakan kewajiban ne gara. Isi Surat Al-Maun dalam Alquran adalah sama dengan isi Pasal 34 ayat (1) UUD 1945 yang mewajibkan kita menolong anak yatim (telantar) dan memedulikan orang-orang miskin.

Karena ada perhimpitan misi dan tugas yang seperti itu, maka ada yang berpendapat bahwa membayar pajak sebagai kewajiban terhadap negara itu sama wajibnya dengan membayar zakat sebagai kewajiban dalam agama. Bahkan ada yang berpendapat lebih jauh dari itu, membayar pajak itu dapat dijadikan sebagai ganti pembayaran zakat. Kita tidak harus sependapat dengan hal tersebut, tetapi pesan dasar yang bisa disepakati adalah: membela kaum lemah-papa (duafa), anak yatim terlantar, dan fakir miskin merupakan kewajiban atau tugas sucikita di dalam beragama dan bernegara.

Maka itu, siapa pun kita akan menjadi pendusta tau berpura-pura saja dalam beragama kalau kita tidak mau menegakkan keadilan dan tidak ikut membangun struktur sosial dan politik yang adil. Orang yang tak peduli dan tak berani menegakkan keadilan bagi kaum duafa juga dapat dianggap tidak mempunyai nasionalisme atau sikap pembelaan terhadap eksistensi bangsa dan negaranya.

Mengapa? Karena kemiskinan bisa menimbulkan kekufuran atau suka melanggar karena terpaksa dan didesak oleh kebutuhan. Mengapa Pula? Karena ketidakadilan menjadi bibit runtuhnya sebuah negara. Saya sering mengatakan, basis nasionalisme kita ke depan tidak dilakukan dengan perang yang didukung peralatan perang fisik melawan agresi negara lain. Basis nasionalisme kita ke depan adalah penegakan hukum dan keadilan. Kalau mau membela negara, tegakkanlah hukum dan keadilan. Kalau kita tak mau menegakkan hukum dan keadilan untuk mengangkat derajat kemanusiaan kaum lemah, bisa diartikan rasa nasionalisme kita tipis karena membiarkan terjadinya ancaman bagi eksistensi negara dan bangsa.

Tulisan ini telah dimuat dalam koran SINDO, 16 Juli 2016.