DPD ≠ Dewan “Perkelahian” Daerah

Perkelahian kembali terjadi dalam sidang paripurna Dewan Perwakilan Daerah (DPD).

 

Sidang yang sedianya akan menyampaikan putusan MA atas dikabulkannya gugatan 4 (empat) orang anggota DPD itu berakhir ricuh bahkan sebelum sidang dibuka. Kericuhan terjadi di awal sidang karena beberapa peserta menolak Farouk Muhammad dan GKR Hemas memimpin sidang. Para penolak beralasan bahwa keduanya tidak layak memimpin sidang DPD karena sudah melewati masa jabatan 2,5 tahun kepemimpinan di DPD. Keributan para “senator” bukan sekali ini terjadi. Pada awal-awal periode DPD hasil Pemilihan Umum 2014, keributan karena rebutan kursi pimpinan pun terjadi. Publik layak bertanya, ada apa dengan lembaga buah dari reformasi dan yang menelan anggaran negara tidak sedikit ini?

 

Lembaga Perwakilan yang Minus Kewenangan

Idealnya, sebuah lembaga perwakilan yang menerjemahkan makna kedaulatan rakyat memiliki kewenangan yang kuat. Namun, hal ini tidak berlaku bagi DPD. Sejak dibentuk saat amandemen UUD NRI Tahun 1945 yang ketiga, kewenangan DPD memang tidak sekuat rekan sekamarnya, DPR. DPD hanya dilekati dengan kewenangan yang bersifat supporting (mendukung) DPR baik di bidang legislasi maupun pengawasan. Belum lagi jumlah keanggotaan DPD yang didisain tidak sampai 1/3 (sepertiga) jumlah anggota DPR, makin melengkapi kelemahan DPD di depan DPR manakala duduk bersama dalam satu forum di MPR dan mengambil keputusan strategis.

 

Pada bidang legislasi, peran DPD tak ubahnya sebagai pelengkap bagi peran legislasi di tingkat nasional. Frasa “dapat mengajukan RUU” berkaitan dengan otonomi daerah pada Pasal 22D ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 dan frasa “ikut membahas RUU”  berkaitan dengan otonomi daerah, melengkapi penderitaan DPD. Mengapa? Karena DPD justru tidak diberi kewenangan untuk mengajukan atau membahas RUU lain yang berkaitan dengan dirinya sendiri. Ambil saja contohnya UU tentang MD3 (MPR, DPR, DPD, dan DPRD), juga UU tentang pembentukan peraturan perundang-undangan (UU P3). Padahal, setidaknya pada kedua UU ini, beberapa peran DPD di bidang legislasi diatur. Kendati MK dalam putusannya No. 92/PUU-X/2012 dan No. 79/PUU-XII/2014 telah memberikan tafsir konstitusionalitas beberapa norma di dalam UU MD3 dan UU P3, ikhtiar MK ini tidak juga ditindaklanjuti oleh DPR, si pemegang kekuasaan pembentuk UU, untuk memberikan tempat yang layak bagi DPD.

 

Meskipun memiliki kewenangan yang “pas-pasan”, namun DPD pantas diapresiasi dalam hal pengajuan RUU. Secara kuantitas, produk RUU usulan DPD lebih baik dibandingkan dengan DPR. Pada periode 2003 – 2013, DPR hanya mampu mengusulkan 313 RUU sementara DPD mampu mengusulkan 449 RUU. Namun, sekali lagi, apalah arti kuantitas RUU yang dihasilkan jika peran legislasi DPD masih jauh dari kata ideal.

 

Bias Politisasi

Sejatinya DPD dibentuk untuk menggantikan peran Utusan Daerah sebagaimana pernah dipraktikkan masa UUD 1945 sebelum amandemen. DPD merupakan keniscayaan dari pilihan untuk menjadi negara kesatuan. Perannya bukan seperti senat pada negara serikat melainkan hanya sebagai penyeimbang atas bandul kekuasaan legislatif yang bias partai politik agar kepentingan daerah tetap diperhitungkan dalam perdebatan penentuan kebijakan di tingkat nasional. Untuk itu, desain DPD di dalam amandemen UUD adalah perwakilan daerah yang anggotanya dari masing-masing provinsi berdasarkan Pemilu.

 

Sayang, desain “setengah ideal” ini justru dirusak oleh pembentuk UU Pemilu (DPR). Bagi DPR, keanggotaan DPD tidak perlu dibatasi dari kelompok manapun, bahkan dari para “pensiunan” partai politik sekalipun. Walhasil, kondisi ini memunculkan politisasi di tubuh DPD. Pemilihan pimpinan MPR hasil Pemilu 2014 dari perwakilan DPD, merupakan contoh sahih untuk membuktikan adanya politisasi DPD. Dan, yang paling mutakhir adalah “keributan” di DPD pada penentuan masa jabatan pimpinan DPD. Satu kelompok menghendaki masa jabatan kepemimpinan di DPD dilaksanakan secara “bergilir” untuk setengah masa jabatan (2,5 tahun) sementara kelompok lain menghendaki kepemimpinan di DPD berlaku penuh selama 5 (lima) tahun.

 

Politisasi di DPD sepertinya tidak akan berhenti di situ. Pada RUU Pemilu yang akan disahkan oleh DPR, ada kemungkinan persyaratan keanggotaan DPD tidak menuntut untuk “bersih” dari politik. Kondisi ini, bukan tidak mungkin akan mengarahkan DPD untuk kembali terperosok dalam lembah konflik (baca: politisasi) yang berkepanjangan. Untuk itu, DPR harus menginsyafi kondisi ini. Karena, rakyat tentu tetap berharap DPD menjadi Dewan Perwakilan Daerah yang sesungguhnya, bukan Dewan “Perkelahian” Daerah.

 

ANANG ZUBAIDY, SH., MH.

Dosen Fakultas Hukum UII/Direktur Pusat Studi Hukum Konstitusi FH UII.

 

*) Tulisan ini telah diterbitkan di Kedaulatan Rakyat Rubrik Opini, 6 April 2017