Demokrasi Coba-Coba oleh Anang Zubaidy

Membicarakan demokrasi tidak akan bisa dilepaskan dari membicarakan soal pemilu.

 

Karena, Pemilu adalah salah satu cara paling beradab untuk menyalurkan kehendak rakyat yang merupakan hakikat dari demokrasi. Tanpa Pemilu, mustahil negara dan pemerintahannya disebut demokratis. Namun, Pemilu bukan satu-satu elemen demokrasi. Ada banyak elemen lain yang menopang suatu kehidupan dalam suatu negara disebut sebagai kehidupan  yang demokratis.

 

Meskipun sebagai salah satu elemen dalam demokrasi, Pemilu telah menyita banyak perhatian banyak pihak terutama para politisi. Karena, Pemilu bagi para politisi adalah “medan perang” sesungguhnya untuk memenangkan kontestasi dalam rangka mengisi jabatan-jabatan publik yang diperebutkan. Semakin banyaknya jabatan publik yang mampu direbut oleh sebuah partai politik, secara tidak langsung akan menaikkan pamor partai politik itu di mata rakyat. Dan, itulah tujuan akhir yang dikejar oleh partai politik dan para politisinya.

 

Kendati merupakan elemen penting dalam demokrasi, pembu atan kebijakan kepemiluan pasca reformasi belum beranjak pada bagaimana mewujudkan demokrasi yang sesungguhnya. Pembuatan kebijakan kepemiluan lebih banyak diarahkan pada penataan prosedur, ketimbang pelembagaan demokrasi di tataran rakyat yang lebih mantap. Rakyat banyak ditinggalkan oleh partai politik dan politisinya saat membahas aturan main kepemiluan. Akhirnya, pesta demokrasi yang semestinya terwujud dalam suatu tatanan kepemiluan yang berkeadaban, menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan, berubah menjadi agenda “kepiluan” bagi rakyat. Pemilu dari pemilu hanya menempatkan rakyat sebagai obyek, bukan sebagai subyek.

 

Dari Satu Eksperimentasi ke Eksperimentasi yang Lain

Bangunan demokrasi yang diimpikan oleh rakyat ternyata tidak sama dengan istana demokrasi yang dipikirkan serta digagas oleh partai politik dan politisi. Tengok saja praktik pembuatan kebijakan Pemilu pasca reformasi, akan ditemukan sebuah kenyataan bahwa para politisi melakukan satu eksperimentasi di atas eksperimentasi yang lain. Kebijakan untuk Pemilu tahun 1999 menjadi eksperimen untuk Pemilu 2004, begitu seterusnya hingga sekarang.

 

Mengapa demikian? Hal ini karena pemilu dipahami oleh para politisi hanya sebagai kendaraan merebut kekuasaan an sich, bukan sebagai sarana untuk memberdayakan dan mencerdaskan rakyat dalam berpolitik. Padahal, rakyat yang berdaya secara politik adalah salah satu ciri dari tegaknya demokrasi. Para politisi tentu tidak lupa dengan hal ini, hanya pura-pura tidak ingat saja.

 

Pasca reformasi, penataan pemilu mengalami bongkar pasang sedemikian rupa baik dari aspek penyelenggara, peserta maupun penyelenggaraannya. Bahkan, tidak berlebihan jika dikatakan setiap periode pemilu pasca reformasi, selalu saja ada pergantian undang-undang kepemiluan. Undang-undang pemilu bahkan disinyalir hanya berlaku efektif 2 sampai 3 tahun. Apa alasan, kalau bukan demi memuaskan syahwat politik kelompok partai politik pemenang?

 

Potret bongkar pasang penataan kepemiluan antara lain: Pertama, aspek penyelenggara. Sejak pemilu 1999, keanggotaan, kedudukan, kewenangan penyelenggara berbeda antara satu pemilu dengan pemilu yang lainnya. Beruntung, penataan kelembagaan pemilu saat ini sudah cukup baik meski belum sepenuhnya efisien. Sayangnya, hal yang sudah relatif baik ini patut diduga akan dirusak oleh DPR manakala mengesahkan dibolehkannya anggota/pengurus partai politik menjadi anggota KPU.

 

Kedua, aspek peserta. DPR terlihat sangat bersemangat untuk menguasai lembaga-lembaga perwakilan. Hal ini dengan adanya rencana dibolehkannya anggota/pengurus partai politik mencalonkan menjadi anggota DPD. Padahal, sejatinya pencalonan DPD adalah perorangan wakil daerah bukan representasi partai politik.

 

Ketiga, aspek penyelenggaraan. Bongkar pasang terjadi dengan pilihan sistem pemilu dari sebelumnya proporsional tertutup menjadi proporsional terbuka. Kini, sebagai akibat dari putusan MK, pilihan sistemnya adalah proporsional terbuka dengan suara terbanyak. Selain itu, pada aspek penyelenggaraan juga belum selesai pilihan kebijakannya dalam penerapan ambang batas baik electoral maupun parlaimantary treshold.

 

 

Harapan Ke Depan

Demokrasi pasca reformasi, kalau dibaca terbatas pada pembentukan kebijakan kepemiluan, adalah demokrasi coba-coba. Demokrasi coba-coba ditandai dengan tidak mantapnya aturan kepemiluan. Tidak jarang, isu perubahan adalah hasil reproduksi isu yang sebelumnya sudah muncul. Tidak perlu jauh-jauh menyebutkan contohnya, persoalan ambang batas (baik electoral treshold maupun parlaimentary treshold) yang muncul nyaris pada setiap pembahasan perubahan undang-undang pemilu merupakan bukti nyata adanya reproduksi isu. Sekarang, muncul hal lain yang disebut dengan presidential treshold.

 

Ke depan, perbaikan kebijakan pemilu harus diarahkan pada pembentukan hukum Pemilu yang mantap dan setidaknya berlaku “agak lama”. Jika hal ini terwujud, diharapkan demokrasi di Indonesia akan semakin matang dan bukan lagi demokrasi coba-coba atau sekedar coba-coba berdemokrasi. “Buat negara dan rakyat kok coba-coba”?

 

 

ANANG ZUBAIDY, SH., MH.

Dosen Fakultas Hukum UII/Direktur Pusat Studi Hukum Konstitusi FH UII

 

*) Tulisan ini pernah diterbitkan Kedaulatan Rakyat rubrik Opini, 17 April 2017