Penulis: Prof. Dr. Moh. Mahfud MD, S.H., S.U.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), Departemen Hukum Tata Negara

“Apa dasarnya, orang yang sudah memenuhi syarat untuk dijadikan tersangka, kok, harus ditunda sampai selesai pilkada?”

Itulah pertanyaan yang disodorkan beberapa orang Indonesia dalam kunjungan saya ke Taipei, Taiwan, sejak Jumat (16-03-2018) pelan lalu. Memang, permintaan Menko Polhukam Wiranto yang kemudiandiluruskan menjadi imbauan”kepada penegak hukum (terutama Komisi Pemberantasan Korupsi/KPK) agarmenundapenetapan calon kepala daerah (cakada) untuk disidik (dijadikan tersangka) mengagetkan.

Bukan hanya bagi kita yang tinggal di Indonesia, tetapi juga bagi WNI yang ada di mancanegara. Itu bisa dilihat dari reaksi kerasyanglangsung menggema dimana-mana. Perbincangandi kampus-kampus dan di kedaikedai banyak mengupas haltersebut sebagai hal yang serius. Televisi-televisi membedahnya melalui dialog interaktif, media konvensional maupun online terus mendiskusikannya sampai sekarang.

Masa, sih, penersangkaan atas terjadinya pelanggaran hukum, tepatnya dugaan dilakukannya korupsi, oleh seorang cakada yang sedang berkontestasi dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) harus ditunda sampai selesainya pilkada? Da lam pandangan hukum, secara prinsip, hal itu sangat tidak dibolehkan. Saduran adagiumnya, “kebenaran, hukum, dan keadilan harus secepatnya ditegakkan meskipun besok pagilangitakan runtuh”. Apalagi hanya karena pilkada yang pemungutan suaranya masih akan berlangsungpada 27 Juni 2018, hampirempat bulan lagi, itu.

Harus diingat bahwa Indonesia memang merupakan ne gara demokrasi (berkedaulatan rakyat) danpilkadaadalah salah satu cara untuk melaksanakan demokrasi tersebut. Tapi harus diingat pula bahwa Indonesia adalah negara nomokrasi (ber kedaulatan hukum) yang me niscayakan hukum mengawa dan meluruskansecara seketika pelaksanaan demokrasi danpenyelenggaraan negara pada umumnya. Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 menegaskan bahwa “ke daulatan berada di tangan rakyat”(demokrasi), tetapi dalam satu tarikan napas frasa itu langsung disambung dengan trasa dan dilaksanakan me nurut Undang-Undang Dasar (nemokrasi).

Bahkan posisi hukum yang seperti itu dikuatkan lagi di da lam Pasal 1 ayat (3) yang mene gaskan, “Indonesia adalah nega ra hukum” yang berarti negara menomorsatukan supremasi hukum. Jadi prinsip demokrasi dan nomokrasi harus ditegak kan sepertidua sisi dari sekeping mata uang, keduanya sama penting. Ada adagium, “demokrasi tanpa hukum bisa liar dan me nimbulkan anarki, sedangkan hukum tanpa demokrasi bisa zalim serta sewenang-wenang.” Makna dari adagium itu, demo krasi harus senantiasa dikawal oleh hukum agar berjalan tertib dan tidak menimbulkan kekacauan atau anarkistis karena se muanya bisa bertindak sendirisendiri berdasar kekuatannya.

Namun hukum pun harus dibuat secara demokratis agar dapat menampung dan men cerminkan aspirasi masyarakat dalam memberikan perlindungan terhadap hak hak asasi manusia pada umumnya dan hak-hak warga negara pada khususnya. Dalam hubungan antara demokrasi dan hukum yang seperti itulah, dari perspektif politik hukum, didalilkan bahwahukumdibuat secara demokratis melalui proses-proses politik, tetapi kemudian politik harus tunduk pada hukum, politik tidak boleh mengintervensi hukum

Berdasar konsep dasar yang seperti itu, di dalam struktur ketatanegaraan kita dibentuk lembaga-lembaga demokrasi dan lembaga-lembaga nomokrasi. Lembaga demokrasi seperti DPR dan Presiden bertugas, antara lain, menampung aspirasi rakyat untuk memben tuk hukum, sedangkan lembaga nomokrasi, yakri Mahkamah Agung (MA) dan Mahka mah Konstitusi (MK), mengawal penegakan hukum itu terhadap siapa pun, termasuk terhadap pemerintah sekalipun. Jika ada kontes politik untuk melaksanakan demokrasi yang kemudian ternyata melanggar hukum (misalnya kecurangan yang signifikan), nomokrasiharus beraksi untuk meluruskan nya. Nomokrasi harus ditegakkan tanpa harus menunggu se lesainya satuagenda politik

Kita memahami perminta an Menko Polhukam itu bertujuan baik, yakni agar pilkada yang memang rawan konflikti dak menjadi kisruh karena ada cakada yang sedang bertarung dijadikan tersangka. Di dalam hukum memang ada asas opor tunitas (kemanfaatan) yang memungkinkan hukum tidak dilaksanakan demi kemanfaatan umum. Gustav Radburg, misalnya, menyebut adanya tiga asas yang juga jadi tajuan hulum, yakni kepastian, keadilan, dan kemanfaatan.

Untuk tujuan kemanfaatan, hukum tidak harus ditegakkan secara apa adanyajika tidakbermanfaat, apalagi sampai mem bahayakan kelangsungan nega ra. Tapi dalam konteks yang dikemukakan Menko Polhukam itu, masalahnya mana yang lebih bermanfaatantara menjadikan tersangka atau menundanya sampai selesai pilkada bagi cakada yang sudah memenuhi syarat untuk dipersangkalan? Public common sense (akal sehat publik) lebih cenderung mengatakan bahwa justru akan lebih bermanfaat bagi bangsa dan ne gara ini jika cakada yang meme nuhisyarat hukumuntuk ditersangkakan segera dijadikan tersangka.

Itulah sebabnya banyak yang memprotes dan memper tanyakan pernyataan Menko Polhukam itu. Untungnya Pak Wiranto segera meluruskan bahwa apa yang disampaikannya itu bukanlah intervensi, melainkan sekadar imbauan. “Kalau imbauan itu tidak mau diikuti, ya, tidak apa-apa,” kata Prik Wiranto. Nah, tinggallah kini KPK merasa rikuh atau tidak untuk tidak mengikuti imbauan seperti itu. Supremasi hukum itu menghendaki ketegasan penindakan, tidak boleh dipengaruhi oleh kerikuhan atau dipengaruhi politik, dan harus ditegakkan meskipun bumi dan langit sedang berge muruh. Pokoknya demokrasi tidak boleh menabrak nomokrasi dan keduanya harus bersinergi membangun NKRI.

Tulisan ini telah dimuat dalam koran SINDO, 24 Maret 2018.

Bangkok International Students Conference

Bangkok, 29 Januari- 1 Februari 2018 Alamsyah Nurrahmad Putra mahasiswa FH UII (14410458) mempresentasikan tentang One Belt One Road : New Phrase of Economic Regionalization. Bersama delegasi 9 negara yaitu China, Indonesia, Philippines, Sri langka, Singapore, Malaysia, Japan, Thailand, dan Bangladesh. Presentasi dilakukan di Universitas Thammasat (Kampus Tha Prachan), Bangkok, Thailand. Read more

Dalam rangka untuk memberikan bekal pengetahuan metodologi penelitian kepada mahasiswa serta supaya mahasiswa lebih siap dalam penulisan tugas akhir mulai tahap persiapan/proses sampai dengan penyelesaiannya, maka kami memberikan kesempatan kepada mahasiswa yang mengambil mata kuliah Penulisan Tugas Akhir diberi kesempatan untuk mengikuti pembekalan “METODOLOGI PENULISAN  TUGAS AKHIR (TA)”. Pembekalan tersebut Insya Allah akan diselenggarakan pada: |Klik Disini untuk Informasi Selanjutnya |

Masa Depan Perda

Dalam semua rezim Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah,  selalu memberikan kewenangan kepada Pemerintah Pusat untuk menilai dan membatalkan peraturan daerah. Dalam ilmu hukum, model ini dikenal dengan executive review yaitu kewenangan badan eksekutif untuk meninjau kembali. Jika suatu peraturan daerah dinilai bertentangan dengan kehendak pemerintah pusat atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, maka perda tersebut dapat dibatalkan oleh presiden (yang prakteknya dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri). Jika pemerintah daerah keberatan dengan Keputusan pembatalan perda dari pemerintah pusat, maka pemerintah daerah dapat menggugat Keputusan tersebut ke Mahkamah Agung (MA). Putusan MA ini lah yang nanti menjadi final dan mengikat, sayangnya hal ini jarang dilakukan mengingat kendali atas finansial masih menjadi kewenangan absolut pemerintah pusat.

Pada tahun 2016 lalu publik pernah diguncangkan dengan keputusan Presiden Jokowi yang membatalkan 3.143 Peraturan Daerah yang dianggap bermasalah. Tentu saja fenomena keputusan presiden ini mendapatkan perhatian serius dari banyak ahli hukum. Puncaknya, di tahun yang sama, ketentuan mengenai kewenangan pemerintah pusat membatalkan perda ini di-judicial review kan ke Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 56/PUU-XIV/2016 memutus bahwa pembatalan peraturan daerah tidak lagi menjadi kewenangan pemerintah pusat, melainkan sepenuhnya kewenangan Mahkamah Agung.

Putusan MK ini sendiri  sesungguhnya bukan tanpa masalah, setidaknya kita dihadapkan pada tiga persoalan utama: Pertama, Indonesia memiliki lebih dari 500 Kabupaten/Kota ditambah dengan 34 Provinsi, dapat dibayangkan bagaimana menumpuknya perkara yang akan diajukan ke MA, sedangkan di MA sendiri menurut informasi yang penulis terima ada lebih dari 2.000 perkara yang sedang mengantri. Tentu saja MA harus menyiapkan mekanisme tersendiri untuk secara khusus menghadapi fenomena pengujian perda ini. Kedua, pengetahuan dan kesadaran hukum masyarakat harus dipahami masih sangat rendah, terutama di daerah-daerah terpencil luar Jawa, jika pada suatu ketika muncul peraturan daerah yang “sangat” bermasalah, maka kecil kemungkinan akan ada masyarakat yang berani dan mau menggugat perda tersebut ke MA. Harapan sebenarnya ada pada pemerintah pusat untuk bersedia mengajukan permohonan pembatalan ke MA, namun dengan sekian banyak perda yang ada, apakah pemerintah mau untuk menjalani sidang berkali-kali di MA? Ketiga, letak MA yang berada di ibu kota negara Jakarta membutuhkan akses dan pembiayaan yang tidak sedikit bagi daerah-daerah yang lokasinya jauh dari Jakarta. Ini tentu menjadi pertimbangan utama masyarakat untuk bersedia menjadi pemohon, meskipun di MA sendiri setelah berkas perkara diajukan, pemohon tidak perlu datang ke Jakarta untuk menghadiri persidangan karena cukup diperiksa dan diputus oleh hakim MA saja.

Namun demikian, ketentuan ini sesungguhnya dalam konteks negara hukum yang demokratis adalah jauh lebih fair dan menjamin keadilan sunstantif. Harus dipahami bersama bahwa perda juga dibentuk dengan prosedur yang hampir sama dengan pembentukan undang-undang, hanya saja cakupan berlakunya yang hanya untuk daerah tertentu saja sedangkan undang-undang untuk seluruh wilayah Indonesia. Suatu perda disetujui bersama oleh Kepala Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Kepala Daerah dan DPRD ini juga memiliki legitimasi yang sama dengan Presiden dan DPR, yaitu dipilih secara lansung oleh rakyat. Oleh karena itu, tidak bisa jika produk hukumnya hanya dibatalkan oleh lembaga yang kedudukan sama sebagai pemerintah di bidang eksekutif. Sejatinya, sebagaimana halnya suatu produk hukum, hanya boleh dibatalkan oleh lembaga yudikatif (MA dan MK).

Kemudian pada awal tahun 2018 ini, pemerintah dan DPR mengesahkan revisi atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD yang memunculkan banyak kewenangan baru kepada lembaga-lembaga tersebut. Salah satu kewenangan itu adalah terkait dengan kewenangan DPD sebagaimana tercantum dalam Pasal 249 Ayat (1) huruf J di mana DPD berwenang memantau dan mengevaluasi peraturan daerah. Tentu saja ini menjadi rezim baru bagi keberadaan peraturan daerah,  yang patut disikapi dengan tidak kalah seriusnya. Patut menjadi perhatian apakah yang dimaksud dalam frasa “memantau dan mengevaluasi” dalam pasal tersebut, lalu bagaimana kekuatan dari hasil evaluasi yang dimaksud, apakah mengikat atau tidak? Jika mengikat tentu menjadi tidak tepat setidaknya karena dua hal, pertama DPD sendiri adalah nomenklatur pemerintah pusat yang mewakili masing-masing daerah untuk menyuarakan aspirasi daerah, bukan malah mengevaluasi pemerintah daerah. Kedua, harus diingat bahwa DPD adalah lembaga legislatif bukan lembaga yudikatif, maka jika hasil evaluasinya mengikat, adalah kurang tepat.

Daerah merupakan tiang bagi tegaknya Negara Kestauan Republik Indonesia (NKRI), sedangkan peraturan daerah (perda) adalah tiang bagi berlansungnya pemerintahan daerah. Oleh karena itu, keberadaan perda patut menjadi perhatian utama karena kesejahteraan tiap-tiap daerah adalah keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

 

Masa Depan Perda Sebuah Opini Despan Heryansyah
(Peneliti Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK)  dan Mahasiswa Program Doktor Fakultas Hukum UII YOGYAKARTA)

Penulis: Prof. Dr. Moh. Mahfud MD, S.H., S.U.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), Departemen Hukum Tata Negara

Saya heran pada sementara pihak yang menyalah-nyalahkan Polri ketika membongkar dan menangkap belasan orang yang disangka mengorganisasikan akun hoax untuk menyebarkan berita bohong ke te ngah-tengah masyarakat. Mereka ini seakan tidak menyadari bahwa berbagai kerusuhan yang mengerikan justru timbulkarena pembuatan hoaxyang diorganisasikan secara sistematis.

Ketika Polri membongkar dan menangkap jaringan akun Muslim Cyber Army (MCA) Fmily seharusnya kita mengacungijempol Polrikarena sudah bisa melakukanitudenganbaik. Anehnya, ada yang berkata nyinyir, “Itu rekayasa untuk mengalihkan perhatian,” dan ada yang mempersoalkan penyebutan secara eksplisit nama MCA kepada publik yang, katanya, bisa memojokkan umat Islam. Tetapi, alasan untuk mengatakan itu tidak masuk akal.

Polri tidaklah salah ketika menyebut nama akun tersebut. Jika Polrimelakukanpenindakan kemudian tidak menyebut nama kelompok (akun) yang digunakannya justru bisa lebih salah lagi. Masa iya, menindak tanpa menyebutkan dengan je las siapa yang ditindak dan apa namakelompoknya? Kalaubertindak seperti itu Polri bisa dianggap membuat hoax sendiri karena menindak satu kelompok yang tak ada identitasnya. Bisa juga dituding melakukan operasi senyap yang merugikan kelompok tertentu atau berbagai tudingan lainnya. Jadi, su dah benarlah Polri menyebut nama MCA Family dan namanama mereka yang ditangkap.

MCA Family itu jelas merupakan fakta sebagai akun produsen dan penyebar hoax jahat yang dipergunakan oleh pela – ku-pelaku yang jelas identitasnya. Masa harus didiamkan atau disembunyikan identitasnya? Kelompok seperti itu me mang harus ditindak tegas. Apalagi isu-isu yang dilontarkannya selama ini memang “mengatasnamakan pembela Islam untuk membuat keresahan dan disintegrasi sosial. Adalah benarpendapat bahwa pembuatakun MCA Family dan pendukung-pendukungnya adalah perusak Islam dan perusak citra umat Islam. Mereka yang merasa dirinya sebagai barisan Muslim Cyber Army yang benar dan tidak menyebarkan hoax (melainkan hanya berdakwah atau berjuang secara baik) seharusnya ikut membantu Polri bersama masyarakat untuk membongkar dan menindak sindikat MCA Family.

Berita hoax yang menyebarkan kebencian, fitnah, adudomba antargolongan merupakan tindakan yang membahayakan kita sebagai bangsa yang bernegara. Baruduaharilalu(Kamis, 8 Maret 2018) kita dikejutkan oleh berita terjadinya bentrok antara penganut Islam dan penganut Budha di Sri Lanka yang sampai menelan korban jiwa karena diprovokasi oleh be rita hoax. Secara hukum di Indonesia ini kita sudah mengantisipasinya melalui UU tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), yakni, UU Nomor 11/2008 yang kemudian direvisi dengan UU Nomor 19/2016. Didalam UUITE tersebut diatur ancaman hukuman yang tegas atas penyebar berita bohong yang disebarkan melalui media elektronik, tepatnya transaksi elektronik.

Menurut Pasal 28 ayat (1) dan ayat (2) juncto Pasal 45 (2) UU Nomor 11/2008 serta meturut Pasal 45 ayat (10) UU No mor 19/2016, siapa pun yang melakukan penyebaran berita bohong dengan unsur tertentu bisa dijatuhi hukum pidana penjara selama enam tahun dan atau denda Rp1.000.000.000 (satu miliar rupiah). Tepatnya “Setiap orang yang dengan se ngaja dan/atau tanpa hak me nyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang menyebab kan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik” dan “Se tiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hakmenyebarkaninformasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian ataupermusuhanindividudan/ atau kelompok masyarakat ter tentu berdasarkan suku, aga ma, ras, antargolongan” dian cam dengan hukuman pidana 6 tahun dan/atau denda sebesar Rp 1.000.000.000 (satu miliar rupiah).

Jika menyangkut fitnah pencemarannamabaik, penista an perbuatantidak menyenang kan, dan sebagainya terhadap orang perseorangan malasesuai Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 50/PUU-VI/2008 tanggal 5 Mei 2009, pelaku transaksi elektronik yang seperti itu bisa dihukum dengan ketentuan-ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)sebagai mana diatur di dalam Pasal 310 (menista), Pasal 311 (memfit nah), Pasal 315 (menghina. mencemarkan), dan sebagainya dengan menggunakan Pasal 27 UUITE. Adapun yang dimaksud dengan transaksi elektronik seperti yang diatur di dalam Pasal 1 butir 2 UU Nomor 19/ 2016 adalah perbuatan hukum yang dilakukandengan menggunakan komputer, jaringan kom puter, dan/atau media elektronik lainnya.”

Polri tidak perlu gamang da lam melaksanakan ketentuan ketentuan hukum tersebut untukmenindak secarategas setiap pelalu transaksi elektronik yang menyebarkan hoax. Meskipun begitu, kritik-kritik terhadap Polri yang bermuatan kecurigaan tentang ketidaletralan atau tudingan tentang ketidakprofesienalan Polri tetaplah harus di perhatian dan dijawab dengan tindakan-tindakan profesional yang nyataoleh Polri. Ditengah tengah masyarakat memang berkembang Opini bahwa Polri kerap hanya menindak orang atau kelompok tertentu, tetapi membiarkan orang atau kelompok tertentulain ketika melaku kan penistaan, membuat hoax, atau tindak pidana lain.

Meskipun begitu, masyara kat tidak harus meminta Polri mengklarifikasi lebih dulu tentang berbagai kecurigaan dan protes itu untuk menindak kelompok MCA Family ini.

Kelompok MCA Family dan orang-orang yang terlibat di dalamnya harus segera ditindak tegas tanpa harus disandera oleh mandekaya kastus-kasus lain yang masih dipertanyakan Biarlah itu berjalan simultan dan bisa melalui jalurnya sendiri sendiri.

 

Tulisan ini telah dimuat dalam koran SINDO, 10 Maret 2018.

PERPPU MD3

PASAL 20 ayat (5) UUD 1945 dan Pasal 73 ayat (2) UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menyebutkan, RUU yang telah mendapatkan persetujuan bersama antara presiden (pemerintah) dengan DPR akan otomatis berlaku dan wajib diundangkan setelah melewati waktu 30 hari sejak persetujuan bersama. Artinya, ditandatangani ataupun tidak RUU MD3 akan tetap berlaku. Jika dihitung sejak rapat paripurna persetujuan bersama RUU MD3 menjadi UU MD3 pada 12 Februari yang lalu, maka UU MD3 secara sah telah berlaku dan diundangkan sejak 14 Maret 2018.

Namun polemik perubahan kedua Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) masih tak kunjung usai. Polemik dipicu beberapa pasal kontroversial yang terdapat dalam UU MD3. Beberapa pasal kontroversial memang menuai kritik masyarakat. Antara lain norma pemanggilan paksa menggunakan aparat kepolisian kepada setiap orang yang dipanggil oleh DPR (Pasal 73), langkah hukum oleh Majelis Kehormatan Dewan/MKD terhadap setiap orang atau perkumpulan atau badan hukum yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR (Pasal 122). Juga persetujuan tertulis Presiden untuk anggota DPR atas tindak pidana yang tidak berkaitan dengan pelaksanaan tugas DPR (Pasal 245).

Dengan berlakunya UU MD3 sejak tanggal 14 Maret 2018 itu, beberapa pihak mengusulkan agar Presiden menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu). Usulan ini didasarkan pada alasan: Pertama, perppu merupakan bukti komitmen Presiden untuk menunjukkan keberpihakannya kepada kepentingan publik yang resah dengan perubahan UU MD3. Kedua, pemberlakuan UU MD3 yang sarat kritik dan potensial menimbulkan kesewenang-wenangan DPR akan menimbulkan kegaduhan yang tidak berkesudahan. Sehingga, Presiden – berdasarkan alasan subyektifnya – perlu mengeluarkan perppu. Sementara, jika berharap pada jalur biasa (melalui perubahan terbatas UU MD3) langkah ini bakal memakan waktu dan biaya. Itupun belum tentu mayoritas anggota DPR setuju dengan perubahan terbatas dimaksud. Ketiga, SBY pada akhir pemerintahannya membuat preseden dengan menerbitkan perppu yang membatalkan sebagian norma dalam UU Pilkada dengan mengembalikan pemilihan kepala daerah secara langsung dari sebelumnya yang disetujui dipilih oleh DPRD.

Secara teoritik maupun praktik ketatanegaraan Indonesia, penghapusan suatu norma yang telah berlaku dengan diberlakukannya suatu peraturan perundang-undangan bisa ditempuh dengan beberapa jalan. Pertama, melalui pengujian constitutionalitas norma (uji UU terhadap UUD) di Mahkamah Konstitusi. Kedua, perubahan melalui jalur legislasi. Dan ketiga, melalui jalan penerbitan perppu.

 

Tantangan Penerbitan Perppu MD3

Usulan mengenai penerbitan perppu MD3 untuk mengatasi krisis legislasi merupakan hal konstitusional. Namun, usulan penerbitan perppu dimaksud patut mempertimbangkan beberapa hal sebagai berikut. Pertama, penerbitan perppu harus didasarkan pada kebutuhan legislasi yang sifatnya genting. Sehingga, meskipun secara subyektif Presiden memiliki kewenangan untuk menerbitkan perppu, namun tindakan ini tidak bisa gegabah dilakukan. Jangan sampai ada penilaian publik bahwa periode kepemimpinan Jokowi sebagai presiden yang suka mengobral perppu.

Kedua, penerbitan perppu sebagai kewenangan subyektif Presiden akan “diuji obyektifitasnya” oleh DPR dalam pembahasan perppu untuk mendapatkan persetujuan DPR menjadi UU. Jika DPR tidak setuju, berdasarkan Pasal 22 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945, perppu dimaksud harus dicabut. Artinya, norma yang menuai kontroversi akan kembali pada posisi status quo. Jika komposisi fraksi yang menyetujui pasal-pasal kontroversial di dalam UU MD3 tidak berubah pada saat pembahasan perppu, maka bisa dipastikan perppu dimaksud akan ditolak. Kecuali, jika nalar sebagian anggota DPR berubah.

Ketiga, preseden terbitnya perppu untuk membatalkan kesepakatan DPR mengenai pemilihan kepala daerah sebagaimana dilakukan oleh SBY belum terlalu memberi alasan yang kuat bagi Jokowi untuk melakukan hal yang sama. Apa yang dilakukan oleh SBY dimaksud sebelumnya sudah ditandai dengan aksi walk out fraksi Partai Demokrat saat paripurna persetujuan UU Pilkada. Sehingga, secara politis SBY pede mengeluarkan perppu yang membatalkan UU Pilkada. Hal ini tentu berbeda dengan posisi Presiden Jokowi saat dituntut oleh masyarakat untuk menerbitkan perppu MD3. Publik sudah terlanjur mencatat bahwa partai pendukung Jokowi berada pada barisan yang mendukung norma-norma kontroversial di dalam UU MD3.

Anang Zubaidy, SH., MH.
Dosen FH UII/Direktur Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) FH UII

Telah terbit di KR Yogyakarta 14 Maret 2018

OTT Hakim dan Problem Pengawasan

UNTUK sekian kalinya, lem­baga peradilan kem­bali tergerus in­te­grit­as­nya dengan adanya operasi tang­kap tangan (OTT) oleh Ko­mi­si Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap hakim di Peng­adilan Negeri (PN) Tangerang, Ban­ten, Senin (12/3).

OTT ter­se­­but menjadi anomali nyata ma­sih adanya oknum hakim pen­cari uang, bukan sebagai wa­kil pemberi keadilan. Iron­i­s­nya, praktik pelanggaran etika dan hukum dilakukan hakim di te­ngah kenyataan bahwa ha­kim di­pantau secara kon­tinu oleh dua lembaga mapan, ya­itu Ma­h­ka­mah Agung (MA) dan Komisi Yu­disial (KY). Hal itu pula ki­ra­nya semakin me­mi­riskan ke­ber­adaan lem­ba­ga peradilan kini.

Problem Pengawasan

Lemahnya peng­awas­an ter­ha­dap hakim diduga men­jadi ti­tik konvergensi bah­wa dua me­kanisme peng­awas­an yang ada saat ini belum bisa d­i­katakan baik. Asumsi itu ten­tu dapat d­i­be­narkan mengingat se­kitar 42,2% hakim terlibat ka­sus pe­nyuap­an, perselingkuhan 28,9%, indisipliner 11,1%, nar­k­o­­tika 6,7%, memainkan p­u­tus­­an 4,4%, dan lainnya 6,7%.

(Ko­misi Yudisial, 2017). Data ter­sebut mengartikan kedua mo­del pengawasan (internal dan eksternal) hakim ternyata ma­sih sama-sama memiliki ke­le­mahan. Salah satu titik lemah peng­awasan internal kini di­la­ku­kan MA disebabkan pihak yang diberikan fungsi meng­awasi merupakan orang men­da­pat pendidikan tentang pro­fesi yang diawasi.

Dengan kata lain, pengawas me­rupakan orang-orang yang ha­nya tahu satu bidang disiplin il­mu, yaitu ilmu hukum. Se­men­tara pengawasan yang orien­ta­si­nya pada pencegahan, di­per­lu­kan disiplin keilmuan lain se­lain ilmu hukum.

Dengan ke­ada­­an de­mi­ki­an, maka ke­ti­ka meng­awasi pe­ri­la­ku atau meng­­audit kinerja lem­ba­ganya bisa di­pastikan ti­dak berjalan efek­tif karena mis­­kin ilmu ber­ke­na­an de­ngan pengawasan.

Setali tiga uang, pada level peng­awasan eksternal yang di­la­ku­kan KY pun dibenturkan de­ngan kondisi rasio tak se­im­bang antara jumlah hakim yang di­awasi dengan pengawasnya.

Se­bab telah menjadi pem­a­ham­an kolektif bahwa keberadaan KY memang terpusat di Ibu Ko­ta, sementara sebaran hakim sam­pai pada tingkat ka­bu­pa­ten/kota. Persoalan pun di­ge­napi dengan jumlah personel ter­batas yang dimiliki KY hanya ada tujuh komisioner. Dis­pa­ri­tas jumlah antarkeduanya ak­hir­nya berdampak pada KY yang sering mengalami ke­c­o­long­an dalam mengawasi hakim.

Selain minimnya jumlah per­sonel pengawas KY, per­so­al­an lain masih berkelindan ialah ber­kenaan dengan paradigma ha­kim itu sendiri dalam me­m­a­ha­mi pengawasan etik ter­mak­tub dalam Pasal 24B ayat (1) UUD 1945.

Pengawasan etik ha­k­im oleh KY rupanya dipandang ­oleh sebagian hakim hanya se­ba­gai sampiran yang seolah ku­rang berkonsekuensi pada ka­rier dan martabat hakim. M­e­nu­rut penulis, hakim justru le­bih merasa terawasi dan takut pa­da lembaga seperti KPK ke­tim­bang KY itu sendiri. Padahal esen­si dari pengawasan etik, de­rajatnya lebih tinggi ketimbang ­peng­awasan hukum.

Pada ra­nah ini, maka peng­awasan oleh KY sering men­jadi ti­dak efektif. Ter­­lebih pro­duk peng­awas­an KY yang hanya be­ru­pa re­ko­men­dasi tentu ke­cil k­e­mung­kin­­an b­e­r­me­ta­mor­fosis men­ja­di hukuman me­matikan bagi sang hakim.

Dua Langkah

Guna mengurai benang ku­sut problem pengawasan ha­kim di atas, maka setidaknya per­lu di­lakukan dua langkah. Per­ta­ma, pada level peng­a­was­an eks­ter­­nal oleh KY, maka op­ti­­ma­li­sa­si pe­ran KY Peng­hu­bung di dae­rah mut­lak di­la­ku­kan. Se­ba­gai­­ma­na ditentukan da­lam Pa­sal 3 ayat (2) UU Nomor 18 Tahun 2011 te­n­tang Komisi Yu­disial bah­wa KY dapat meng­­angkat peng­­hu­bung di dae­rah sesuai de­ngan ke­bu­tuh­an.

Dalam prak­tiknya, KY Peng­hubung di dae­rah yang te­lah terbentuk ku­rang le­­bih se­ba­nyak 11 (se­­belas) KY Peng­­­hu­bung. Ha­­nya kiprah KY Pen­g­hu­bung be­­lum begitu ter­li­hat ta­­ring­nya. Ada se­jum­­lah faktor sa­ngat mung­kin men­­jadi pe­nye­bab­nya di an­taranya: 1) atri­­busi ke­we­nangan pa­da KY Peng­hu­bung yang se­tengah hati; 2) du­kung­an (su­p­port)  ang­­gar­an yang ku­rang me­ma­­dai; 3) k­a­pa­si­tas sum­be­r­da­ya ma­­nusia (SDM) yang minim.

Berpijak pada uraian di atas, ma­ka keberadaan KY Pen­­g­hu­bung daerah perlu di­l­a­ku­kan pe­nguatan kelem­ba­ga­an yang m­e­liputi aspek ke­we­nang­an, por­si SDM yang me­ma­dai de­ngan mem­per­ti­m­bang­kan luas dae­rah, dan pen­da­naan yang pro­porsional.

Khu­sus ber­ke­na­an dengan ke­we­nangan, maka per­lu di­per­kuat pada level kew­e­nang­an pe­mantauan dan peng­awas­an ter­hadap perilaku ha­kim serta tin­dak lanjut aduan atau la­por­an masyarakat. D­a­lam konteks itu, maka ke­w­en­ang­a­n KY pu­sat sesungguhnya ti­dak s­e­lu­ruh­nya di­de­sen­tra­li­sa­si­kan pa­d­a KY Penghubung daerah.

Filosofi dibentuknya KY Peng­­hubung daerah s­e­sung­guh­­nya merupakan kesadaran pe­­nuh dari pembentuk undang-undang yang jika ha­nya mengandalkan KY pusat ten­­tu pengawasan hakim sulit di­j­­alankan secara efektif. Oleh ka­­rena itu, undang-undang mem­­buka peluang dib­en­tuk­nya KY Penghubung daerah s­e­ba­­gai organ bantu dalam meng­­efek­tifkan kerja KY pu­sat mel­a­ku­kan pengawasan ha­kim.

Atas spi­rit tersebut, ma­ka me­ma­k­si­mal­kan peran KY Penghubung de­ngan ter­le­bih dahulu me­nguat­kan k­e­lem­bagaannya ten­tu menjadi ke­niscayaan dalam men­jawab pro­blem peng­awas­an hakim saat ini.

Kedua, pada lingkup peng­awas­­an internal, kiranya perlu me­­masukkan unsur atau pi­hak yang paham berkenaan de­ngan ma­najemen ke­lem­ba­ga­an or­ga­ni­sasi ke dalam tubuh ba­dan peng­awasan hakim di MA. Hal ini perlu dilakukan se­ba­gai an­ti­te­sa atas tesis “jeruk ma­kan je­ruk” (hakim meng­awasi ha­kim). Masuknya un­sur atau ahli itu diharapkan akan terbangun ko­laborasi an­tara ahli hukum dan m­a­na­je­men kelembagaan or­ganisasi se­hingga dapat ter­pola model peng­awasan efektif yang ber­mua­ra pada pencegahan.

Melalui dua langkah di atas di­­harapkan nanti kre­di­bi­litas ha­­kim akan terjaga dan prak­tik ko­rupsi dalam wu­judnya suap dan seje­nis­nya tidak lagi ter­ulang. Ka­re­na hadirnya hakim ad­a­lah betul-betul sebagai Wa­kil Sang Maha Adil. Semoga.

Sebuah Opini oleh Ali Rido, S.H., M.H., OTT Hakim dan Problem Pengawasan
Peneliti Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia
Artikel ini terbit di Koran Sindo edisi Rabu, 14 Maret 2018

Wapres dalam Tafsir Konstitusi

”Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.”

BUNYI cuplikan Pasal 7 UUD 1945 tersebut acap tengah menjadi polemik, akhir-akhir ini. Terkhusus bila dikaitkan dengan masa jabatan wakil presiden. Dalam Pasal 7 tersebut dan bahkan dalam UUD 1945 secara keseluruhan, memang tidak ada penjelasan terkait dengan batasan masa jabatan itu apakah jika menjabat secara berturut-turut atau termasuk yang tidak berturut-turut.

Berbagai tafsir dikemukakan, dengan variasi pendapat yang berlawanan. Kalau kita coba tarik ke atas, akar dari polemik ini adalah berhubungan dengan keinginan salah satu partai ‘penguasa’ untuk mencalonkan kembali Wakil Presiden Jusuf Kalla pada Pemilu 2019 mendatang. Padahal JK sendiri sudah menjabat wakil presiden selama dua kali masa jabatan, yaitu pada periode pemerintahan Presiden SBY dan saat ini periode Presiden Jokowi.

Dari aspek politik JK memang sangat ëmenjualí. Selain seorang politisi (mantan ketua umum Golkar), dirinya juga Ketua Dewan Masjid Indonesia yang merepresentasikan Islam sebagai agama dengan penduduk terbanyak di Indonesia. Dirinya disebut-sebut paling cocok untuk kembali mendampingi Jokowi pada pilpres mendatang, yang selain memiliki elektabilitas tinggi juga untuk menepis tuduhan ‘komunis’kelompok tertentu kepada Presiden Jokowi. Maka pertanyaannya, bisakah JK dicalonkan kembali menjadi cawapres pada pemilu mendatang?

Penulis ingin melihatnya dari aspek historis dan yuridis. Pertama, harus diingat bahwa pembatasan masa jabatan presiden dan wakil presiden adalah dilatarbelakangi otoritarianisme Orde Lama dan Orde Baru yang menjabat selama puluhan tahun. Pengalaman mengajarkan bahwa jabatan yang tidak dibatasi akan berdampak negatif bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Lalu mengapa kita harus kembali kepada masa lalu dan membuka peluang kembalinya otoritarianisme melalui wakil presiden?

Kedua, dari aspek yuridis, UUD memang tidak memberikan penjelasan apakah perpanjangan satu kali masa jabatan itu untuk jabatan yang berturut-turut ataukah termasuk yang bukan berturut-turut. Oleh karenanya terbuka peluang untuk menafsirkannya lain dari maksud UUD. Meskipun jika dibaca secara historis maksud dari Pasal 7 UUD 1945 itu adalah untuk membatasi masa jabatan presiden dan wakil presiden secara bersamaan maksimal dua kali masa jabatan. Namun harus dipahami, sebagai norma yang lebih konkret dari UUD adalah UU yang memberikan penjelasan lebih rinci terkait ketentuan di dalam UUD. Undang-undang yang demikian ini dalam praktek ketatanegaraan disebut dengan undang-undang organik.

Berkaitan dengan hal ini, dalam penjelasan Pasal 169 UU No 17 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum menyatakan: ìYang dimaksud dengan ëbelum pernah menjabat dua kali masa jabatan dalam jabatan yang samaí adalah yang bersangkutan belum pernah menjabat dalam jabatan yang sama selama dua kali masa jabatan, baik berturut-turut maupun tidak berturut-turut, walaupun masa jabatan tersebut kurang dari lima tahunî. Ketentuan di dalam undang-undang Pemilu ini telah dengan jelas menutup peluang bagi Wakil Presiden JK untuk mencalonkan atau dicalonkan kembali pada pemilu mendatang. Meskipun letaknya di penjelasan, namun ia menyatu dengan norma di dalam batang tubuh, selain memang keberadaannya UU ini adalah sebagai UU organik.

Ketiga, dari aspek HAM dan demokrasi, bahwa untuk dicalonkan, mencalonkan diri, dan menduduki jabatan publik adalah hak asasi setiap manusia tanpa ada diskriminasi. Namun, hal itu harus dibatasi untuk menghindari jabatan publik yang hanya dipegang oleh satu orang. Karena dapat menghilangkan hak yang lain untuk menduduki jabatan yang sama, terlebih kekuasaan yang tidak terbatas selalu memunculkan kesewenang-wenangan.

Kita patut mengapresiasi pernyataan Wakil Presiden JK yang beberapa waktu lalu yang menyatakan tidak akan maju lagi pada pilpres mendatang. Semoga dalih ëtugas partaií tidak mengalahkan komitmen itu.

Despan Heryansyah, S.H.I., M.H.
Peneliti Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK)
Artikel ini dimuat Surat Kabar Harian Kedaulatan Rakyat, Rabu 14 Maret 2018

Saham Halal Atau Tidak Ya?

Senin, 12 Maret 2018 di Ruang Sidang Utama Lantai 3 Fakultas Hukum UII telah terselenggara FAC MONTHLY DISCUSSION : SAHAM DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM “Saham Halal atau Tidak Ya?”. Acara ini terselenggarakan dengan baik berkat kerjasama Kelompok Studi Pasar Modal Fakultas Hukum UII dengan FAC Sekuritas dan Bursa Efek Indonesia Kantor Perwakilan Yogyakarta. Read more

Penulis: Prof. Dr. Moh. Mahfud MD, S.H., S.U.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), Departemen Hukum Tata Negara

Semula Presiden Joko Widodo mengirimkan surat presiden (supres) kepada DPR yang berisi persetujuan untuk membahas rancangan revisi atas UU No 17/2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UUMD3).

Isinya satu saja: perubahan komposisi (tepatnya penam. bahan jumlah) pimpinan MPR dan DPR sesuai dengan komposisi hasil pemilu. Tetapi pada saat-saat akhir pembahasan, ada usul dimasukkannya bebe rapa materi baru yalini tentang kriminalisasi terhadap peng kritik DPR dan anggota DPR tentang perluasan imunitas DPR, tentang pemanggilan paksa (subpoena) yang tidak proporsional.

Satu lagi tentang perluasan fungsi Majelis Kehormatan De wan (MKD) DPR dari lembaga penegak etik merambah ke lembaga penegakan hukum.

Keruan saja menyeruak pro dan kontra yang panas. Presiden menyatakan laget dan tidak tahuada pembahasan materise perti itu. Sementara itu, Menkumham Yasonna Laoly meng. aku memang tidak melapor tentang masuknya materi-materi baru tersebut karena waktunya sudah sangat mendesak. Sebe lumnya, Fraksi Partai NasDem dan Partai PPP mengaku keco longan dan menyatakan walkout saat pengesahan UU tersebut di Gedung DPR. Materi-materi yang (meminjam istilah Prest den) mengurangikualitasdemo krasi tersebut tentu harus dibereskan karena mendapat penolakan luas dari masyarakat. Jalan keluar secara konstitusional harus dicari untuk meniadakan ketentuan-ketentuan tersebut dari hukum kita.

Konstitusi kita pun memberikan beberapa jalan untuk itu melalui pembuatan resul tante (kesepalcatan) baru, sebab pada dasarnya produk hukum adalah resultante yang bisa diganti dengan resultante baru. Resultante baru bisa dilakukan dengan legislative review atau perubahan UU melalui proses legislasi lagisetelah UU MD3 itu terlebih dulu diundangkan. Mekanisme legislative review ini akan berlangsung relatif lama dan ribet lagi. Maka ada juga yang mengusulkan direvisi me lalui judicial review atau memine ta pembatalan kepada Mahkamah Konstitusi (ME) dengan uji konstitusionalitas.

Namun harus diingat, dalam kasus ini ada sedikit kelemahan kalau pilihan penyelesaian masalah ini dibawa ke MK. Pertama, pada dasarnya MK hanya bisa membatalkan (negative legislaCor) dan tidak bisa membuat for mulasi baru, sebab formulasi sebuah UU hanya bisa dibuat oleh legislatif (positive legislator). Ini bisa menimbulkan kekosongan hukum. Memang ada juga pe luang dibuatnya vonis “konstitusional/inkonstitusional bersyarat yang memungkinkan MK mengharuskan pengertian tertentu, tetapi formulasinya tetaplah tidak bisa leluasa Ke dua, MK tidak boleh membatalkan UU atau isinya meskipun UU tersebut jelek dan ditolak oleh publik selama tidak bertentangandengan UUD 1945.

Banyak UU yang menurut MK tidak bagus dan ditentang oleh masyarakat, tetapi tidak bisa dibatalkan oleh MK karena meskipun tidak disukai oleh masyarakat dan tidak bagus, tetapi juga tidak bertentangan dengan UUD 1945, misalnya, dalam hal-hal yang dianggap sebagai opened legal policy.

MK tidak bisa membatalkan UU yang menurut pendapat umum tidak baik. MK hanya membatalkan UU yang nyatanyata bertentangan dengan UUD 1945. Dulu MK pernah menolak untuk membatalkan UU No 1/PNPS/1965, karena meskipun isinya dianggap kurang baik, tetapi UU tersebut tidak bertentangan dengan UUD 1945 sebagai opened legal policy. Waktu itu MK menyatakan, kalau mau diubah, ya, menjadi ranahnya DPR dan pemerintah sebagai pemegang haklegislasi. Itulah taruhannya jika kasus UUMD3 ini diuji materi ke MK.

Maka muncul alternatif lain, yakni penerbitan peraturan peu merintah pengganti undang-undang (perppu) yang dari sudut tertentubisa lebih tepat, lebihce pat, dantanpadebatkusiryangti dak perlu. Caranya, drafUUMD3 diundangkan dulu untuk selanjutnya, sehari kemudian direvisi dengan perppu. Cara ini pada akhir 2014 pernah dilakukan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)ketika pada 30 September 2014 mengundangkan berlakunya UU No 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gu bernur, Bupati dan Wali Kota tetapi langsung disusul dengan pencabutannya pada 2 Oktober 2014 melalul pengundangan Perppu No 1 Tahun 2014.

Biasanya perdebatan yang selalu muncul terkait dengan perppu adalah alasan genting apa yang bisa dipakai oleh Presiden untuk mengeluarkan per ppu. Menurut Pasal 22 ayat (1) UUD 1945, perppu hanya bisa dikeluarkan dalam hal terjadi “hal ihwalloegentingan yang me maksa”. Namun, haruslah diingat bahwa di dalam Hukum Tata Negara tidak ada kriteria objektif tentang keadaan gentingitu. Alasan tentang kegentingan itu merupakan “hak subjektif Presiden. Dapat dikatakan, sampai saat ini tak pernah ada sebuah perppu yang ditolak oleh DPR dengan alasan tidak memenuhi syarat tentang ada nya legentingan Selain itu, jika perppu tidak diterima oleh DPR maka tidak otomatis materi yang dicabut oleh perppu itu langsung hidup lagi. Menurut hukum perundang-undangan, jila sebuah perppu tidak diterima oleh DPR maka harus dibuat UU untuk mencabutnya lagi. Di dalam proses pembuatan UU lagi itu, Presiden bisa ikut menentukan isinya.

Untuk kasus UU MD3 yang sekarang ini alasan dikeluarkannya perppu sudah cukup. bahwa, presiden melihat ada kegentingan karena adanya ancaman terhadap perkembangan demokrasi dan karena timbulnya keresahan di tengah-tengah masyarakat. Perdebatan untuk pendalaman atas alasan subjektif presiden itu nantinya bisa dilakukan pada masa si dang DPR berikutnya ketika dilakukan pembahasan oleh pe merintah bersama DPR untuk menentukan diterima atau tidaknya perppu tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 22 ayat (2) UUD 1945.

Komunikasi politik Presiden Jokowi dengan DPR selama ini juga berjalan efektif dan semua perppu yang dikeluarkan Prest den Jokowi selalu diterima. Misalnya tentang hukuman penge birian bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak, tentang tax amnesty, bahkan juga tentang UU Keormasin, meskipun un tukyangterakhiriniditeximame lalui voting karena ada fraks! fraksi yang tidak setuju. Dalam konfigurasi politik yang sekarangin, banyak yang yakin DPR tidak akan menolak jika Jokowi mengeluarkan perppu tentang MDS tahun 2018, sebab suara masyarakat hampir bulat menso lak UU MD3 yang sudah disahkan itu dan parpol-parpol lebih banyak yang selalu mendukung Presiden Jokowi.

Meskipun begitu kita tidak bisa menghindari adanya kekhawatiran tentang terjadinya eksesifitas kekuasaan Presiden jika mengeluarkan Perppu. Ada yang khawatir jika Presiden sering mengeluarkan Perppu. Kekhawatiran seperti itu biasa muncul setiap akan ada Perppu dan itu bagus saja sebagai bentuk kehati-hatian. Semuanya menjadi hak dan wewenang Presiden untuk memilih alternatif yang diyakininya paling tepat.

Tulisan ini telah dimuat dalam koran SINDO, 3 Maret 2018.