Peraturan Daerah Disabilitas Perlu Direvisi oleh M. Syafi’ie, S.H., M.H.

Peraturan Daerah Disabilitas Perlu Direvisi

Enam tahun yang lalu, Pemerintah Provinsi Yogyakarta mengesahkan Peraturan Daerah No. 4 Tahun 2012 tentang Perlindungan dan Pemenuhan Hak-Hak Penyandang Disabilitas. Peraturan ini cukup menggembirakan karena melibatkan beberapa organisasi difabel yang ada di Yogyakarta. Tokoh-tokoh difabel memberikan masukan dan menyusun substansi Peraturan Daerah ini. Di masanya, Perda ini diapresiasi oleh banyak pihak dan beberapa daerah di Indonesia ikut mempelajari Perda yang menjamin hak-hak difabel di Yogyakarta.

Di antara rujukan penting Peraturan Daerah ini adalah Undang-Undang No. 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Convention On The Rights Of Persons With Disabilities. Pengesahan konvensi internasional ini sepertinya menjadi penyemangat beberapa aktifis difabel di Yogyakarta agar dapat memasukkan substansi yang sangat penting ke dalam Peraturan Daerah. Pada aspek yang lain yang ini menjadi catatan kritis, Perda ini masih merujuk pada Undang-Undang No. 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat, yang secara normatif telah dikritik oleh komunitas difabel karena isinya sangat yang medis dan berisi stigma negatif.

Undang-Undang No. 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat sebenarnya sudah lama dikritik, diantaranya, pertama, Undang-Undang ini menyebut difabel sebagai penyandang cacat. Penyandang cacat kita tahu merupakan sebutan stigmatif, negatif dan menempatkan difabel sebagai orang sakit, dianggap tidak mampu karena itu harus dibantu, dan dianggap sebagai orang yang tidak bisa karena tidak bisa mandiri. Kedua, Undang-Undang ini membagi penyandang cacat sebagai penyandang cacat fisik dan mental. Ketiga,  Undang-Undang ini mengatur dengan sangat jelas derajat kecacatan. Pengaturan derajat kecacatan memperlihatkan bahwa Undang-Undang ini memang sangat diinspirasi oleh ideologi kenormalan. Keempat, Undang-Undang ini sangat simplisitik mendefinisikan difabel, hak-hak yang dijamin tidak komprehensif, dan tidak jelasnya pemangku kebijakan yang menjamin pengawasan dan pemenuhan  hak-hak difabel.

Kritik keras komunitas difabel terhadap Undang-Undang No. 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat berdampak tidak berlakunya norma ini di level komunitas dan banyak pihak mendorong amandemen. Momentumnya perubahan menguat setelah pemerintah Indonesia meratifikasi Convention On The Rights Of Persons With Disabilities lewat Undang-Undang No. 19 Tahun 2011. Setelah ratifikasi ini, komunitas difabel di seluruh Indonesia menggeliat dan mendorong perubahan Undang-Undang No. 4 Tahun 1997, dan akhirnya pada 15 April 2016 Presiden Jokowi Widodo mengesahkan Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.

 

Momentum Mengubah Perda Disabilitas

Keberadaan Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas yang secara normatif mengganti Undang-Undang No. 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat, setidaknya memberi pengaruh terhadap Peraturan Daerah Provinsi Yogyakarta No. 4 Tahun 2012 tentang Perlindungan dan Pemenuhan Hak-Hak Penyandang Disabilitas. Pertama, Perda ini secara yuridis masih merujuk pada Undang-Undang No. 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat yang notabene telah dicabut. Kedua, ada banyak substansi hukum yang diatur dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas belum dimasukkan ke dalam Peraturan Daerah No. 4 Tahun 2012. Dua alasan ini setidaknya menjadi pertimbangan fundamental bahwa Pemerintah Daerah Provinsi Yogyakarta sudah seharusnya melakukan revisi atau merancang ulang Peraturan Daerah disesuaikan dengan perkembangan jaminan hukum dan hak-hak yang melekat pada penyandang disabilitas.

Saat menelaah Peraturan Daerah Provinsi Yogyakarta No. 4 Tahun 2012 tentang Perlindungan dan Pemenuhan Hak-Hak Penyandang Disabilitas dan disandingkan dengan  Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, ditemukan beberapa perbedaan penting. Diantaranya perihal pertimbangan, di mana dalam Undang-Undang disebutkan bahwa penyandang disabilitas di Indonesia hidup dalam kondisi rentan, terbelakang, dan atau miskin disebabkan masih adanya pembatasan, hambatan, kesulitaan, dan pengurangan atau penghilangan hak penyandang disabilitas. Dalam Peraturan Daerah tidak ditemukan pertimbangan yang bersifat existing ini.

Perbedaan lainnya terlihat dalam hal pendefinisian penyandang disabilitas, beberapa prinsip dalam Undang-Undang belum ada dalam Peraturan Daerah, ragam penyandang disabilitas dalam Undang-Undang hanya ada 4 (empat) sedangkan dalam Peraturan Daerah ada 11 (sebelas), beberapa hak difabel dan kewajiban pemangku kewajiban yang diatur dalam Undang-Undang belum masuk di dalam Peraturan Daerah, Komite Perlindungan dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas yang diatur dalam Peraturan Daerah dan Komisi Nasional Disabilitas yang diatur dalam Undang-Undang sangat berbeda struktur, tugas dan kewenangannya.

Penjelasan di atas memperlihatkan bahwa sudah saatnya Peraturan Daerah Provinsi Yogyakarta No. 4 Tahun 2012 tentang Perlindungan dan Pemenuhan Hak-Hak Penyandang Disabilitas direvisi. Para aktifis difabel sangat penting dilibatkan dalam pembahasannya. Amandemen Perda ini harapannya akan memberikan jaminan pemenuhan hak-hak difabel yang lebih jelas di masa depan.

Oleh : M. Syafi’ie
(Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia,
Peneliti Sasana Inklusi dan Gerakan Advokasi Difabel (SIGAB) dan Pusham UII)

Terbit di Koran Kedaulatan Rakyat, 7 November 2018