Kepada mahasiswa yang terdaftar pada pengumuman di bawah ini mohon agar mempersiapkan diri untuk mengikuti ujian susulan Taklim Angkatan 2017 yang akan diselenggarakan pada:

  • Kamis / 16 Januari 2019
  • Pukul 07.00 WIB-Selesai
  • di Kampus Fakultas Hukum UII
  • Jl. Taman Siswa 158 Yogyakarta

Materi yang diujikan meliputi:

  • Bacaan Tartil Quran
  • Hafalan Surat Pendek
  • Pengetahuan dan Praktik Salat wajib dan sunah
  • Pengetahuan Fiqih Islam
  • Khatmil

Adapun daftar peserta sebagai berikut:

Loader Loading...
EAD Logo Taking too long?

Reload Reload document
| Open Open in new tab

Download [167.00 B]

Upaya perlindungan hak-hak minoritas baik secara politik, sosial, budaya dan ekonomi serta kebebasan beragama yang merupakan non-derogable rights memang harus disuarakan karena sudah seharusnya negara berdaulat manapun di dunia wajib memberikan perlindungan secara seksama sesuai maksud dan tujuan Piagam PBB. Dan Indonesia dengan UUD 1945 pasal 27,28,29,30, dan 31 juga wajib berperan serta dalam memperjuangkan hak-hak asasi manusia.

Program Doktor Ilmu Hukum, Program Magister Ilmu Hukum dan Program Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia mencoba menjawab tantangan tersebut dengan menggelar Konferensi Internasional bertajuk “Ethnic Minority Groups in Majority Ethnic Countries”. Bertempat di Auditorium Badan Wakaf Universitas Islam Indonesia pada hari Selasa, 17 Desember 2019, Konferensi ini menghadirkan beberapa pembicara di antaranya  Prof. Samina Yasmeen, Direktur dan Pendiri UWA’s Centre for Muslim States and Societies Australia, Assoc. Prof dr. Rohaida Nordin, dari Universiti Kebangsaan Malaysia, Assoc Prof. Dr. Muhammadzakee Cheha dari Fatoni University Thailand, dan Prof. Jawahir Thontowi, S.H., Ph.D, Nandang Sutrisno, S.H., LL.M., M.Hum., Ph.D. serta Drs. Agus Triyanta, M.A., M.H., Ph.D, ketiganya merupakan Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia.

Turut hadir membuka acara tersebut, Wakil Rektor Bidang Networking dan Kewirausahaan Universitas Islam Indonesia Ir. Wiryono Raharjo, M.Arch., Ph.D. Sementara itu bertindak sebagai keynote speaker Dr. Sulaiman syarif. Sekretaris Ditjen Hukum dan Perjanjian Internasional Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia tersebut menyatakan keprihatinan mendalam terhadap isu-isu masyarakat minoritas, khususnya yang tinggal di Negara-Negara non-Muslim.

Dekan Fakultas Hukum UII  Dr. Abdul Jamil, S.H., M.H yang saat itu hadir dan dimintai keterangan oleh beberapa media menyampaikan bahwa saat ini banyak isu merebak mengenai perlakuan tidak menyenangkan yang diterima oleh muslim minoritas dari negaranya. Di antaranya, etnis Muslim Uighur di Cina, Rohingnya di Myanmar, dan Muslim di Pathani Thailand. “Mereka membutuhkan bantuan dunia internasional.” Terang Abdul jamil. Oleh karena itu  konferensi Internasional ini di laksanakan salah satunya bertujuan untuk mencari solusi tentang persoalan di atas.

Prof. Jawahir Thontowi, S.H., Ph.D. Ketua Program Studi Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, dan steering commitee acara tersebut di atas,  menyampaikan bahwa negara-negara yang gagal dalam melaksanakan tugasnya dalam memberikan perlindungan, pengakuan, dan penghormatan atas hak asasi manusia khususnya kelompok minoritas perlu mendapatkan atensi dari masyarakat internasional, bahkan hukuman baik blokade atau embargo sebagaimana perlakuan Pemerintah Israel terhadap bangsa Palestina.

Beberapapernyataan juga disampaikan oleh Prof Jawahir yang juga merupakan salah satu pembicara dalam Konferensi ini di antaranya mendesak kepada Komisi Hak Asasi Manusia PBB untuk mengambil tindakan yang pantas dan meyakinkan kepada negara-negara telah jelas melanggar Konvensi Genosida atau pelanggaran atas kejahatan kemanusiaan, mendesak pemerintah Indonesia untuk memberikan bantuan terhadap masyarakat suku uighur di Xinjiang untuk diberikan hak kebebasan dalam melaksanakan dan mengamalkan ajaran Islam. Mendesak Negara-Negara Muslim untuk sama-sama membantu dan mendorong bersatu untuk menyuarakan penegakan HAM dan proses peradilan di Mahkamah Pidana Internasional. Serta beberapa pernyataan lain terkait hal tersebut.

Acara yang dibuka untuk umum dan mahasiswa tersebut juga di selingi dengan penandatanganan kesepakatan kerjasama (MoU) antara Fakultas Hukum UII dengan University Western Australia. Adapun kesepakatan kerjasama tersebut meliputi kolaborasi penelitian, dual degree, dan credit transfer, untuk S1, S2 dan S3.

Disampaikan kepada seluruh mahasiswa Program Studi Hukum Program Sarjana FH UII untuk perijinan perkuliahan hendaknya memperhatikan hal-hal sebagai berikut:

  • Pengurusan perijinan dilayani paling akhir tanggal 23 Desember 2019 pukul 15.00 WIB
  • Verifikasi Perijinan dilayani paling akhir 27 Desember 2019 Pukul 08.00-16.00 WIB dan 28 Desember 2019 Pukul 08.00-12.00 WIB dan setelah itu tidak diperkenankan mengajukan keberatan/komplain
  • Mahasiswa, baik dengan bukti sah dan/atau otentik yang mengajukan/mengurus ijin setelah batas tanggal yang sudah ditentukan tidak akan dilayani.

Demikian, atas perhatian dan kerjasamanya diucapkan terimakasih.

Penulis: Nurmalita Ayuningtyas Harahap, S.H., M.H.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), Departemen Hukum Hak Administrasi Negara

RADIKALISME kini menjadi satu hal yang sangat disoroti di lingkungan Aparatur Sipil Negara (ASN), baik Pegawai Negeri Sipil (PNS) maupun Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). ASN yang berfungsi sebagai pelayan publik memiliki kewajiban untuk menjaga loyalitasnya kepada UUD 1945 dan ideologi Pancasila. Namun meningkatnya temuan terhadap kasus ASN yang melakukan penyimpangan terhadap UUD 1945 dan ideologi Pancasila ini ditindaklanjuti pemerintah untuk mengeluarkan keputusan bagi pencegahan bagi radikalisme tersebut. Disamping itu juga terdapat layanan online yang berupa portal pengaduan PNS yang terlibat radikalisme dan pembentukan satgas penanganan radikalisme ASN.

Pada bulan November tahun ini, terdapat 11 lembaga negara yang menandatangani Surat Keputusan Bersama (SKB) tentang Penanganan Radikalisme bagi ASN. Jika ditilik isi dari SKB tersebut salah satu ketentuannya menyatakan bahwa, salah satu pelanggaran adalah apabila ASN menyampaikan pendapat baik lisan maupun tertulis dalam format teks, gambar, audio. atau video melalui medsos yang bermuatan ujaran kebencian terhadap Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika. Pancasila, dan Pemerintah. Sebenarnya pada Pasal 3 angka 3 dalam Peraturan Pemerintah No 53 Tahun 2010 tentang Disiplin PNS menyatakan bahwa, Pegawai Negeri Sipil harus setia dan taat sepenuhnya kepada Pancasila. UUD 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Pemerintah. Jadi dapat dikatakan apabila ASN melakukan ketentuan yang ada di dalam SKB tersebut ini berarti ASN melakukan pelanggaran disiplin.

Di Peraturan Pemerintah tersebut dinyatakan sanksi bagi ASN yang melanggar kewajiban tersebut adalah berupa disiplin ringan, sedang dan berat. Karenanya, sanisi berat bisa didapatkan ASN tersebut yaitu berupa pemberhentian baik dengan hormat maupun dengan tidak hormat. Namun, yang sebenarnya perlu diperhatikan bahwa perlu kehati-hatian dalam memutuskan ASN apakah telah melanggar ketentuan dalam SKB tersebut atau tidak. Misalnya, jika dikorelasikan dengan ketentuan pelanggaran karena ASN melakukan ujaran kebencian melalui medsos kepada pemerintah Ujaran Kebencian terhadap pemerintah ini dapat menimbulkan ambiguitas dan ketidakpastian Hukum kan tidak diatur secara restriktif dan rinc oleh pemerintah, seperti apa muatan yang mengandung ujaran kebencian kepada pemerintah. Terlebih aduan online yang diperbuat ASN.

Sebenarnya pengawasan secara preventif agar ASN tidak terpapar radikalisme lebih dapat dimaksimalkan Pemerintah, bahkan sejak masih menjadi calon ASN. Contohnya CASN melalui Pelatihan Prajabatan. Adapun di dalam Peraturan Pemerintah No 11 Tahun 2017 dinyatakan bahwa, Pendidikan dan Pelatihan Terintegrasi yang selanjutnya disebut Pelatihan Prajabatan adalah proses pelatihan untuk membangun integri tas moral, kejujuran, semangat dan mativasi nasionalisme dan kebangsaan, karakter kepribadian yang unggul dan bertanggung jawab, dan memperkuat profesionalisme serta kompetensi bidang bagi calon PNS pada masa percobaan.

Selain itu, dalam pengangkatan dalam jabatan tertentu di lingkungan instansi pemerintah, seorang PNS harus memenuhi beberapa kompetensi tertentu yang terkait dengan wawasan kebangsaan Pasal 54 Peraturan Pemerintah No 11 Tahun 2017. jika seorang PNS akan diangkat dalam jabatan administrator, maka harus memiliki kompetens! soglal kultural sesuai standar kompeten sl yang dibuktikan berdasarkan hasil evaluasi oleh tim penilai kinerja PNS di instansinya.

Pasal 1 angka 15 disebutkan bahwa antara lain, Kompetensi Sosial Kultural diukur dari pengalaman kerja berkaitan dengan masyarakat majemuk dalam hal agama, suku, dan budaya sehingga memiliki wawasan kebangsaan. Kompetensi Sosial Kultural adalah pengetahuan, keterampilan dan sikap/perilaku yang dapat diamati, diukur, dan dikembangkan terkait dengan pengalaman berinteraksi dengan masyarakat majemuk dalam hal agama, suku dan budaya, perilaku, wawasan kebangsaan etika, nilai-nilai, moral, emosi dan prinsip yang harus dipenuhi oleh setiap pemegang jabatan untuk memperoleh hasil kerja sesuai dengan peran, fungsi dan jabatan.

Maka, keberadaan Salgas Antiradikalisme ASN jangan menjadi suatu yang sia-sia. Sebab sebenarnya sebelum dibentuk salgas tersebut, pemerintah dapat mengoptimalkan kinerja pengawas internal maupun Komisi Aparatur Spill Negara (KASN) sebagai pengawas ekstemal. Karenanya, Ini yang baik dari pemerintah untuk memberantas radikalisme pertu dukungan dari ber bagai pihak, terutama kesadaran ASN tersebut.

Tulisan ini telah dimuat dalam Anaslisis KR, Koran Kedaulatan Rakyat, 7 Desember 2019.

Penulis: Dr. Idul Rishan, S.H., LL.M

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), Departemen Hukum Tata Negara

Presiden Jokowi telah menegaskan bahwa wacana tiga periode masa jabatan presiden jelas akan menjadi jebakan baginya. Ia juga menambahkan bahwa wacana mengembalikan pemilihan presiden melalui MPR ibarat sebuah ilusi. Sebagai presiden yang dipilih secara langsung, ia  menegaskan komitmennya untuk menjaga denyut demokrasi. Bola liar amandemen UUD akan menjadi ujian bagi presiden dalam mengendalikan manuver partai koalisi di parlemen.   Gejala ini persis dialami pemerintahan SBY di periode kedua. Bahwa “koalisi gemuk” belum tentu dapat menjamin stabilitas pemerintahan. Realitasnya, political good will presiden bisa jadi akan terus bersebrangan dengan political interest partai pendukung di parlemen. Termasuk dalam menyikapi wacana amandemen kelima UUD.

Amandemen Ke-5

Sampai dengan tulisan ini dibuat, belum tampak roadmap dari pemerintah atas materi dan cara perubahan yang akan diusung. Tepatnya, wacana ini masih menjadi konsumsi para elit partai politik (parpol) yang cenderung mewakili warna kepentingannya masing-masing. Alih-alih menjadi sarana untuk membatasi kekuasaan, wacana amandemen konstitusi dikhawatirkan berubah menjadi alat untuk memperluas daya kekuasaan. Sebagai norma dasar bernegara, amandemen UUD wajib disandarkan pada nilai moralitas konstitusi (moral reading). Bahwa perubahan UUD bukan hanya aktivitas pembentukan norma, tetapi juga menyangkut etika, moral, dan semangat pembatasan kekuasaan (Ronald Dworkin:1996). Sejalan dengan teorisasi Dixon bahwa praktik perubahan konstitusi wajib disandarkan pada pembatasan atas materi dan aturan main perubahannya (Rosalind Dixon :2011).

Satu hal yang tak boleh luput diperhatikan oleh pemerintah dalam wacana amandemen kelima UUD. Bahwa kondisi kebutuhan perubahan UUD di era transisi politik dan era saat ini jelas memiliki sifat dan pendekatan yang berbeda. Disadari atau tidak, UUD yang diubah empat kali direntang waktu tahun ’99-02 ialah perubahan yang dilakukan secara insidentil (by accident). Preposisi di atas dibangun atas dua studi berbobot yang pernah dilakukan Denny Indrayana dan Valina S. Subekti (2008) atas praktik perubahan UUD di masa transisi.

Akibat kerusakan sosial dan politik yang ditimbulkan pada tahun ‘98, perubahan UUD saat itu tidak didasarkan roadmap atau kedalaman cetak biru yang mumpuni. Dibuat secara tergesa-gesa, dan proses pembahasannya dipaksakan selesai pada tahun 2001-2002. Hampir tak ada guidance pada saat itu. Satu-satunya konsep perubahan hanya didasarkan pada lima kesepakatan dasar.  Tidak mengubah pembukaan, mempertahankan NKRI, perkuat sistem presidensil, meniadakan pasal penjelasan, dan perubahan dilakukan secara adendum.

Kondisi demikian dapat dimaklumi. Sebab, secara konseptual Wheare menuliskan bahwa perubahan insidentil bisa saja dilakukan akibat kondisi mendesak (some primary forces) seperti rezim kolaps dan krisis sosial (K.C. Wheare: 2005). Menariknya studi Indrayana mencatatkan, bahwa meskipun dibuat dengan proses yang kacau, namun hasilnya jauh lebih demokratis (Denny Indrayana:2005). Ada prinsip konstitusionalisme yang kuat dalam hasil perubahan UUD. Pembatasan kekuasaan menjadi nafas perubahan UUD, sehingga seluruh cabang-cabang kekuasaan bergerak dengan prinsip saling imbang dan saling kontrol (checks and balances).

Kondisinya tentu jauh berbeda dengan saat ini. Usul perubahan tentu tidak bisa muncul secara insidentil seperti di tahun ‘99. Apalagi konstruksi norma pada Pasal 3 ayat (1) UUD menentukan bahwa MPR mempunyai kewenangan untuk “mengubah dan menetapkan” UUD. Konsekuensinya, secara elektoral parpol akan menjadi penyumbang terbesar atas arah politik hukum amandemen kelima UUD. Analisis Crouch menjadi relevan untuk dipertimbangkan. Bahwa kompromi politik dan kepentingan partai masih akan mendominasi proses perubahan UUD (Harold Crouch:2010). Apalagi kekuatan politik pemerintah saat ini ditopang dengan koalisi gemuk alias mayoritas partai politik. Namun jika melihat konstruksi norma pada Pasal 37 UUDN RI, “playmaker” perubahan UUD ada pada kuasa MPR. Bola akan berada di tangan MPR bukan di tangan presiden. Perlu tidaknya perubahan itu dilakukan, semua ada di tangan elit parpol. Sebagai pemegang kedaulatan, rakyat akan menjadi wasit atas wacana amandemen kelima.

Dengan peta politik demikian, maka sirkulasi antara elit parpol dan publik harus dibuka. Sejalan dengan pemikiran Mahfud bahwa  karakter produk hukum akan ditentukan oleh tipe konfigurasi politiknya (Mahfud MD:1993).  Jika partisipatif, maka akan menghasilkan produk hukum yang responsif. Namun sebaliknya. Jika elitis, maka karakter produk hukumnya akan bersifat menindas. Tentu pertanyaan yang kemudian muncul ialah, seberapa seriuskah geliat parpol menjaring aspirasi publik dalam mengusung amandemen kelima ? Pada titik ini, tentu dibutuhkan feasibility study yang disertai dengan kedalaman cetak biru terhadap materi muatan yang diusulkan untuk diubah, ditambah atau dipertahankan. Hal  itu dibutuhkan sebagai syarat formil, guna melihat akseptabilitas  publik atas pentingnya kebutuhan perubahan itu dilakukan. Dengan kata lain, jika amandemen kelima benar-benar akan digulirkan, pendekatannya tentu tidak lagi dilakukan secara “by accident” melainkan dilakukan secara “by design”. Memperhatikan kematangan konsep, cara, dan daya guna perubahannya. Jika tidak, maka wacana amandemen kelima  ini akan terus menggelinding laiknya bola liar.

Tulisan ini sudah dimuat dalam Kedaulatan Rakyat, 6 Desember 2019.

Berikut disampaikan Jadwal Ujian Akhir Semester (UAS) Semester Ganjil Tahun Akademik 2019/2020. UAS akan diselenggarakan mulai tanggal 31 Desember 2019 s.d 14 Januari 2020 sesuai jadwal di bawah ini:

Loader Loading...
EAD Logo Taking too long?

Reload Reload document
| Open Open in new tab

Download [167.00 B]

Khusus Program Internasional

Loader Loading...
EAD Logo Taking too long?

Reload Reload document
| Open Open in new tab

Download [167.00 B]

TATA TERTIB PESERTA UJIAN


Loader Loading...
EAD Logo Taking too long?

Reload Reload document
| Open Open in new tab

Download [167.00 B]

Santika Hotel Yk (web.fh news) Fakultas Hukum Universitas Islam Idonesia (FH UII) kerja bareng dengan Fakultas Hukum Universitas Muhammdiyah Yogyakarta (FH UMY)  gelar seminar nasional bertemakan “ARAH KEBIJAKAN HUKUM PIDANA INDONESIA: ANALISIS TERHADAP SEJUMLAH KEBIJAKAN KRIMINALISASI KONTROVERSIAL DALAM RKUHP” bertempat di Ballroom Santika Hotel, Yogyakarta, Sabtu, (7/12/2019). Read more

Penulis: M. Syafi’ie, S.H., M.H.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), Departemen Hukum Tata Negara

Pemerintah Yogyakarta sedang mempersiapkan revisi Perda No. 4 Tahun 2012 tentang Perlindungan dan Pemenuhan Hak-Hak Penyandang Disabilitas. Inisiatif ini merupakan keniscayaan karena di level nasional sudah berlaku Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Pada sisi yang lain, Perda No. 4 Tahun 2012 masih mencantumkan Undang-Undang No. 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat yang notabene tidak berlaku.

Di masa lalu, Perda No. 4 Tahun 2012 diapreasi banyak pihak, bahkan dicontoh daerah-daerah lain yang juga membuat peraturan serupa yang harapannya dapat mendorong pemenuhan hak-hak kaum difabel yang selama ini terus menerus termarginalkan. Kehadiran peraturan disabilitas semacam pembuka harapan di tengah peminggiran struktural yang terjadi.

Nasib difabel dalam banyak hal bergantung pada perbaikan kebijakan politik kenegaraan, salah satunya ialah regulasi yang menjamin secara penuh hak-hak difabel, dan memastikan pengawasan dan pemberian sanksi kepada pihak yang melakukan pelanggaran. Dalam konteks ini, Perda 4 Tahun 2012 telah cukup baik menampung hak-hak difabel, tetapi pada sisi yang lain masih lemah dalam pengawasan dan implementasinya. Revisi Perda menjadi momentum memperbaiki titik lemah tersebut.

Dalam hukum, ada asas lex superior derogate legi inferiori yang bermakna bahwa Undang-undang yang dibuat penguasa yang lebih tinggi mempunyai derajat yang lebih tinggi. Jika ada yang bertentangan, tidak sederajat dan mengatur obyek yang sama, maka yang berlaku adalah Undang-undang yang lebih tinggi. Juga ada asas lex posterior derogat legi priori yang bermakna bahwa Undang-Undang yang berlaku kemudian membatalkan Undang-Undang terdahulu, sejauh undang-undang tersebut mengatur obyek yang sama.

Merujuk dua asas di atas, ada kewajiban bagi pemerintah Yogyakarta untuk melakukan harmonisasi revisi Perda No. 4 Tahun 2012. Substansi norma yang obyeknya sama semestinya tidak bertentangan dengan Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas dan Undang-Undang No. 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas. Revisi Perda harus menyesuaikan dengan norma yang lebih tinggi dan mengatur lebih kongkrit agar pemenuhan hak-hak difabel dapat bisa diwujudkan di daerah.

Secara umum, terjadi disharmoni Perda No. 4 Tahun 2012 dengan Undang-Undang No. 8 Tahun 2016, pertama, beberapa prinsip yang disebutkan dalam Undang-Undang belum masuk ke dalam Perda. Kedua, pemaknaan ragam disabilitas yang berbeda. Ketiga, ada beberapa hak yang diatur dalam Undang-Undang belum dimasukkan ke dalam Perda, bahkan dalam beberapa bagian berbeda ketentuan. Keempat, ada disharmoni model pengawasan antara Perda dan Undang-Undang.

Salah satu contoh disharmoni terkait ketentuan kuota pekerja difabel. Pada Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang No. 8/2016 dinyatakan bahwa Pemerintah, Pemerintah Daerah, Badan Usaha Milik Negara, dan Badan Usaha Milik Daerah wajib mempekerjakan paling sedikit 2 % Penyandang Disabilitas dari pegawai atau pekerja. Sedangkan Perda No. 4/2012, kuota paling sedikit hanya 1%

Aturan penting yang harus dikuatkan dalam revisi Perda Disabilitas ialah terkait Lembaga Pengawas pemenuhan hak-hak difabel. Lembaga ini fundamental, karena substansi hak yang diatur sedemikian rupa dalam peraturan tidak akan bergerak  tanpa pengawasan yang ketat dan proses pemberian sanksi yang jelas terhadap pihak-pihak yang melakukan pelanggaran hak-hak difabel.

Lembaga Pengawas ini kalau dalam Undang-Undang disebut Komisi Nasional Disabilitas, di mana kelembagaannya bersifat non struktural dan independen. Sifat kelembagaan ini menjadi penegasan bahwa Komisi ini harus berada di luar struktur eksekutif dan independen baik kelembagaan dan anggotanya. Kandidat komisioner lembaga ini pun semestinya dilakukan secara terbuka dan orang-orangnya tidak terikat dengan struktur pemerintahan.

Selain lembaga pengawas, problem Perda No. 4/2012 terkait lemahnya ketentuan sanksi, utamanya sanksi yang bersifat administrasi yang mesti diberikan kepada pihak-pihak yang melakukan pelanggaran hak-hak difabel. Praktik  anak difabel ditolak di sekolah, layanan kesehatan tidak ramah difabel, difabel dikucilkan di tempat kerja, dan beberapa yang lain saat ini masih terus terjadi. Pratik pelanggaran terjadi karena memang sistem pengawasan yang  lemah dan belum ada efek jera bagi pihak yang melakukan pelanggaran.

Tulisan ini telah dimuat dalam Analisis KR Koran Kedaulatan Rakyat, 28 November 2019.

Tamansiswa (webnewsfh) Sebagaimana biasa setiap hari Selasa dua pecan sekali Tenaga Kependidikan Fakultas Hukum UII selenggarakan siraman rohani berupa pengajian rutin, Pengajian diawali dengan tadarus bersama surat Al’Anam  ayat 51 sd 56 dilanjutkan dengan belajar bersama saling ingat mengingatkan diantara tendik dalam ber amar makruf nahi mungkar, Untuk Jadwal penceramah Selasa (2/12/2019) kali ini adalah MAS Kinady. (Kepala Divisi Akademik FH UII) dengan mengambil tema “Menanamkan Rasa Syukur pada diri  sendiri”. Upaya menanamkan rasa syukur kepada Alloh SWT  merupakan sebuah keharusan bagi muslim dan muslimah begitu papar Mas Sate (panggilan akrabnya di kalangan Tendik FH), Kang Sate menjelaskan bahwa sebagaimana yang tersurat di dalam Surat Al Maidah ayat 27;

وَاتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَأَ ابْنَيْ آدَمَ بِالْحَقِّ إِذْ قَرَّبَا قُرْبَانًا فَتُقُبِّلَ مِنْ أَحَدِهِمَا وَلَمْ يُتَقَبَّلْ مِنَ الْآخَرِ قَالَ لَأَقْتُلَنَّكَ ۖ قَالَ إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ اللَّهُ مِنَ الْمُتَّقِينَ

Yang artinya “Ceritakanlah kepada mereka kisah kedua putera Adam (Habil dan Qabil) menurut yang sebenarnya, ketika keduanya mempersembahkan korban, maka diterima dari salah seorang dari mereka berdua (Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Qabil). Ia berkata (Qabil): “Aku pasti membunuhmu!”. Berkata Habil: “Sesungguhnya Allah hanya menerima (korban) dari orang-orang yang bertakwa”.

Diceritakan bahwa pasangan Adam as dan Hawa setiap kelahiran dikarunia dua anak kembar berpasangan laki-laki dan perempuan. Dan Allah SWT memerintahkan untuk menikahkan silang dengan putra-putri kelahiran berikutnya. Qabil adalah putra yang lahir bersama dengan anak wanita yang berparas cantik menawan, sedangkan Habil lahir bersama saudari kembarnya yang berparas kurang menarik. Qabil tidak mau menerima putusan tersebut dan tetap menginginkan saudara kembarnya menjadi istri.

Kemudian Allah SWT memerintahkan keduanya untuk memberikan pengorbanan kepada Alloh SWT, Habil seorang peternak kemudian memberikan qurban berupa hewan ternak yang gemuk yang paling dia sukai, sedangkan Qabil sebagai seorang petani hanya mengorbankan seikat hasil panen yang kurang baik. Wal hasil Alloh SWT menerima pengorbanan Habil atas keikhlasan dan berserahdirinya kepada Alloh SWT. Karena itu, Qabil iri terhadap saudaranya, dan berkata, ”aku akan benar-benar membunuhmu”. Kemudian habil menjawab, ”sesungguhnya Allah hanya mau menerima dari orang-orang yang takut kepadaNYa.”

لَئِنۢ بَسَطتَ إِلَيَّ يَدَكَ لِتَقۡتُلَنِي مَآ أَنَا۠ بِبَاسِطٖ يَدِيَ إِلَيۡكَ لِأَقۡتُلَكَۖ إِنِّيٓ أَخَافُ ٱللَّهَ رَبَّ ٱلۡعَٰلَمِينَ

”Sungguh, jika engkau (Qabil) menggerakkan tanganmu kepadaku untuk membunuhku, aku tidak akan menggerakkan tanganku kepadamu untuk membunuhmu. Aku takut kepada Allah, Tuhan seluruh alam.” -Surat Al-Ma’idah, Ayat 28

Kelanjutan dari pernyataan Qabil kepada habil dijawab dengan tegas bahwa Habil tidak akan membalas perlakuan yang dilakukan Qabil. Karena ketaatannya kepada Alloh SWT dan tidak mau berbuat mungkar.

وَلَا تَتَمَنَّوۡاْ مَا فَضَّلَ ٱللَّهُ بِهِۦ بَعۡضَكُمۡ عَلَىٰ بَعۡضٖۚ لِّلرِّجَالِ نَصِيبٞ مِّمَّا ٱكۡتَسَبُواْۖ وَلِلنِّسَآءِ نَصِيبٞ مِّمَّا ٱكۡتَسَبۡنَۚ وَسۡـَٔلُواْ ٱللَّهَ مِن فَضۡلِهِۦٓۚ  إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ بِكُلِّ شَيۡءٍ عَلِيمٗا

Dan janganlah kamu iri hati terhadap karunia yang telah dilebihkan Allah kepada sebagian kamu atas sebagian yang lain. (Karena) bagi laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi perempuan (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan. Mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sungguh, Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.

-Surat An-Nisa’, Ayat 32

Pada puncaknya Allah SWT mengingatkan kepada kita semua untuk iri hati, apalagi sampai menuju kepada dengki. Sifat tidak suka dengan kebahagiaan orang lain atas rizky, prestasi kerja, dan berbagai keberhasilan yang diraih orang lain harus kita buang jauh-jauh. Apalagi apabila kita mempunyai rasa dengki yang kemudina menyebabkan kita hasut dan berusaha mencelakai, atau setidaknya menghambat orang yang tidak diinginkan tersebut semakin menjerumuskan kita ke dalam dunia kehinaan. Hati kita tidak akan tentram selama masih mempunyai sifat iri dan dengki. Maka sebaiknyalah kita buang dan bersihkan sifat iri dan dengki agar hidup kita menjadi tentram dan penuh keberkahan dari Allah SWT.

Setiap manusia mempunyai keberuntungannya sendiri, telah ditetapkan oleh Allah SWT rizky, usia, dan jodoh. Tiga hal yang sudah melekat erat tersebut tidaklah akan tertukar kepada orang lain. sehingga kita tidak perlu resah dan risau dengan apa yang kita miliki ataupun apa yang dimiliki oleh orang lain. Semakin bersyukur kepada apa yang sudah dibeirkan Alloh SWT maka akan semakin nyaman kehidupan kita. Janji Allah SWT bahwa Dia akan menambah kenikmatan orang yang bersyukur namun sebaliknya Dia juga akan memberikan azab bagi hamba-Nya yang tidak bisa bersyukur.

Ciri-ciri orang yang tidak bersyukur adalah dia selalu merasa kurang dengan apa yang Allah beri kepadanya, selalu merasa bahwa Allah tidak adil dalam membagikan rezeki dan lain-lain. Sifat seperti ini hendaknya kita hindari sebisa mungkin, karena apapun yang terjadi pada kita Allah, demikian Kang Sate mengahiri tausyiahnya dihadapan 100 an tendik se Fakultas Hukum UII Yogyakarta tepat pukul 09.00 di Ruang Sidang Utama Lantai 3 Jl Tamansiswa 158 Yogyakarta(sr)

 

Mendiskusikan feminisme selalu akan diawali dengan pembahasan tentang gender. Apa makna keduanya? Gender berasal dari bahasa Inggris yang berarti jenis kelamin (sex). Dalam perkembangan, gender dan jenis kelamin dimaknai secara berbeda. Jenis kelamin dimaknai perbedaan laki-laki dan perempuan secara biologis semata. Sedangkan gender dimaknai sebagai pembagian laki-laki dan perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural, seperti label bahwa perempuan bersifat lemah lembut, emosional, tidak mandiri, dan pasif. Pada sisi yang lain, laki-laki dianggap orang yang kuat, rasional, agresif, mandiri dan eksploratif. Gender yang awalnya hanya konstruksi sosial, dalam praktek terjadi penyimpangan yang salah satunya terlihat dari pola kerja laki-laki dan perempuan, di mana laki-laki bekerja di sektor publik, sedangkan perempuan dikhususkan untuk bekerja di sektor privat

Feminisme lebih progresif lagi, di mana paham ini tidak hanya berisi kritik terhadap sistem patriarkhi, tetapi lebih pada pengakuan dan sikap yang bersifat positif atas kebutuhan kaum perempuan sebagai sebuah kelompok. Dalam hal ini, feminisme bisa didefinisikan sebagai suatu kesadaran akan penindasan dan pemerasan terhadap perempuan dalam masyarakat, di tempat kerja dan dalam keluarga, serta tindakan sadar oleh perempuan maupun laki-laki untuk mengubah keadaan yang tidak adil. Gerakan feminisme merupakan paham yang memperjuangkan kebebasan perempuan dari dominasi laki-laki (Fadlan, 2011).

Sebagai satu respon pada ‘keyakinan bahwa terjadi diskriminasi serius’ benarkah kaum perempuan selama ini diberlakukan tidak adil? Dalam satu studi dikatakan, di banyak negara, termasuk di negara-negara Islam, perempuan secara umum mengalami peminggiran. Di banyak negara, tidak ada jaminan kesetaraan laki-laki dan perempuan di berbagai bidang, baik politik, sosial, ekonomi dan hukum. Di beberapa tempat, perempuan dibatasi hak kepemilikan tanah, mengelola property dan bisnis. Di kawasan sub Sahara Afrika sebagian besar perempuan memperolah hak atas tanah melalui suami atas dasar perkawinan dan hak tersebut hilang saat terjadi perceraian atau kematian sang suami. Di Asia Selatan, rata-rata jumlah jam yang digunakan perempuan bersekolah hanya separuh dari yang digunakan laki-laki. Jumlah anak perempuan yang mendaftar ke sekolah menengah di Asia Selatan hanya 2/3 dari jumlah anak laki-laki. Di negara-negara berkembang, wirausaha yang dikelola perempuan cenderung kekurangan modal, kalah dengan wirausaha yang dikelola laki-laki (Sukron Kamil, 2007)

Di Indonesia, kekerasan terhadap perempuan tidak kalah genting. Komnas Perempuan dalam catatan tahun 2018 menyatakan bahwa terjadi tren kekerasan dari tahun ke tahun, misal tahun 2015 yang berjumlah 321.752 kasus, tahun 2016 terdapat 259.150 kasus, dan pada tahun 2017 meningkat menjadi 346.446 kasus. Bentuk kekerasannya berupa kekerasan ekonomi, kekerasan psikis, kekerasan seksual, kekerasan fisik, eksploitasi pekerja migran, dan trafficking. Spektrumnya berupa kekerasan terhadap perempuan di dunia maya yang mencakup penghakiman digital bernuansa seksual, penyiksaan seksual, perseksusi online dan offline, maraknya situs dan aplikasi online berkedok agama (misal, ayopoligami.com dan nikahsiri.com), ancaman perempuan dengan Undang-Undang ITE, serta kerentanan eksploitasi seksual anak perempuan dan eksploitasi tubuh perempuan di dunia maya.

Merujuk pada Islam dan HAM

Penulis berkeyakinan bahwa Islam memiliki ajaran yang membebaskan. Seperti yang diulas oleh banyak sejarawan, betapa posisi perempuan di masa pra Islam begitu lemah, tidak berharga, dianggap aib, orang tua marah saat mengetahui memiliki anak perempuan, dan selalu berada di bawah subordinasi laki-laki. Setelah Islam datang, posisi perempuan terangkat, dihargai, dan diletakkan sebagai seorang manusia yang bermartabat. Pada waktu itu, perempuan bisa mendapatkan hak waris, bisa menjadi saksi, dan muncul beberapa doktrin agama yang begitu menghargai perempuan seperti surga berada di telapak kaki ibu, orang tua perempuan adalah orang yang paling layak dihormati dibanding dengan orang tua laki, perempuan adalah tiang agama, perempuan tiang negara dan seterunsya.

Dalam ajaran Islam, kita akan sangat mudah menemukan bagaimana relasi laki-laki dan perempuan yang terkonstruksi secara ideal. Terkait hal tersebut, Nasaruddin Umar mengemukakan bahwa banyak ayat-ayat dalam Al-Qur’an yang memperlihatkan doktrin kesetaraan gender. Pertama, prinsip kesetaraan gender merujuk pada realitas laki-laki dan perempuan dalam hubunannya dengan Tuhan, dimana keduanya sama-sama dilihat sebagai seorang hamba. Tugas seorang hamba adalah mengabdi dan menyembah. Dalam hal ini bisa dipahami dari firman Allah, “Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia kecuali untuk menyembah-Ku (Qs. Al-Dzariyat : 56). Kapasitas sebagai manusia, laki-laki dan perempuan juga sama, nilai derajatnya sama, yang membedakan kemuliaan seseorang hanya ketaqwaannya (Qs. Al-Hujurot : 13).

Kedua, laki-laki dan perempuan sama-sama diciptakan sebagai khalifah. Firman Allah, “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seseorang khalifah di muka bumi..(Qs. Al-Baqoroh : 30). Ayat ini menurut Nasaruddin Umar tidak menunjukkan pada jenis kelamin tertentu. Laki-laki dan perempuan memiliki fungsi yang sama sebagai khalifah yang akan mempertanggungjawabkan kekhalifahannya di muka bumi.

Ketiga, laki-laki dan perempuan sama-sama mengemban amanah dan menerima perjanjian primordial dengan Tuhan. Saat itu jenis kelamin bayi belum diketahui apakah laki-laki atau perempuan. Oleh karena itu, Allâh telah berbuat adil dan memberlakukan kesetaraan gender dengan terlebih dahulu ia harus menerima perjanjian dengan tuhannya (Qs. Al-A’raf : 172)

Keempat, kesetaraan gender dalam al-Qur’an dapat dilihat dari fakta bahwa antara Adam dan Hawa adalah aktor yang sama-sama aktif terlibat dalam drama kosmis. Kisah kehidupan mereka di surga, karena beberapa hal, harus turun ke muka bumi, menggambarkan adanya kesetaraan peran yang dimainkan keduanya. (Qs. Al-A’raf : 22)

Kelima, sejalan dengan prinsip kesetaraan, maka laki-laki maupun perempuan sama-sama berhak meraih prestasi dalam kehidupannya. Seperti firman Allah, “Barang siapa yang mengerjakan amal sholeh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik.. “ (Qs. An-Nahl : 97)

Berdasar uraian tersebut, dapat dikatakan bahwa Islam memberikan pesan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Pertanyaannya, bagaimana saat kita ketemu dengan pesan Qur’an dan Hadist yang secara tidak langsung melemahkan posisi perempuan? Quraish Shihab menyatakan bahwa ada beberapa teks yang tercantum dalam Qur’an dan Hadist yang cenderung disalahpahami makna, pesan dan konteksnya. Karena itu, diperlukan bagi ‘seorang pembaca’ untuk memahami dengan baik dan benar dari sebuah ucapan atau redaksi. Menurut Quraish Shihab, pertama, memahami sebuah pesan tidak cukup dengan teks, tetapi penting untuk memahami konteksnya, Qur’an ada asbabun nuzulnya, sedangkan hadist ada asbabul wurudnya. Kedua, penting bagi pembaca untuk memahami kosa kota yang ada. Ketiga, melihat secara umum tuntunan Islam yang menyangkut tema-tema tertentu yang berpolemik, yang salah satunya terkait dengan persoalan gender.

Salah satu contoh pesan hadist yang sering disalahdipahami menurut Quraish Shihab ialah, “Seandainya aku akan memerintahkan seseorang sujud kepada seorang, niscaya aku perintahkan istri sujud kepada suaminya (HR. AT-Tirmidzi). Hadist ini disahalahpahami bahwa istri harus sepenuhnya patuh kepada suaminya, di mana level kepatuhannya menjadikan seorang perempuan lebur pada kepribadian suami sehingga tidak lagi memiliki hak menolak atau membantah. Ternyata, konteks (asbabul wurud) hadist ini tidak demikian. Diceritakan bahwa sahabat Nabi Mu’adz bin Jabal ketika kembali dari Syam dan menghadap nabi SAW, sang sahabat tersebut sujud kepada Nabi. Lalu Nabi bertanya, “apa ini wahai Mu’adz? Muadz menjawab, “Aku baru saja kembali dari Syam, dan kulihat mereka sujud kepada para rahib dan pendeta-pendetanya. Maka aku pun ingin melakukannya untukmu.” Disinilah Nabi SAW melarangnya hal demikian dengan bersabda, “Janganlah lakukan itu. Kalau seandainya aku memerintahkan seseorang sujud kepada orang lain, niscaya aku akan perintahkan istri sujud kepada suaminya” (HR. Tirmidzi dan Al-Hakim).

Dengan demikian, penjelasan di atas memperlihatkan kepada kita bahwa ajaran Islam sangat mendukung terhadap gerakan gender dan feminisme yang secara umum menuntut perlakuan yang adil antara laki-laki dan perempuan dalam ruang publik dan domestik. Dalam hal ini, ukuran posisi terbaik laki-laki dan perempuan semestinya dinilai dari kompetensi, prestasi, dan kemampuan terbaiknya, serta tidak lagi didasarkan pada semangat yang sekedar status sosial berdasarkan jenis kelamin.

Lebih jauh, ajaran Islam menurut penulis sangat kompatibel dengan norma-norma hukum HAM yang menjamin hak-hak kaum perempuan, diantaranya ialah Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan. Konvensi ini kita ketahui memiliki tiga prinsip penting, yaitu prinsip non diskriminasi, prinsip persamaan (keadilan substantif), dan prinsip kewajiban negara. Secara normatif konvensi ini menjamin hak sipil dan politik perempuan (hak memilih dan dipilih, hak berpartisipasi, hak memegang jabatan dalam pemerintahan, hak kewarganegaraan, dan seterunsya), menjamin hak ekonomi, sosial dan budaya (hak atas pendidikan, hak kerja, hak kesehatan, dan seterusnya), hak persamaan di depan hukum, dan ada mekanisme pelaporan dan pemantauan terkait dengan pemenuhan hak-hak kaum perempuan.

Cukup banyak aturan dan kerjasama yang secara langsung dan tidak langsung saat ini muncul sebagai bagian untuk melindungi hak-hak perempuan, diantaranya Undang-Undang Tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, Mou Komnas Perempuan dan LPSK terkait Perlindungan Saksi dan Korban untuk Kasus-Kasus Kekerasan terhadap Perempuan, Penanganan Terpadu Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan, Peraturan Mahkamah Agung tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan yang Berhadapan dengan Hukum, dan beberapa yang lain. Secara umum, norma hukum dan kesepakatan-kesepakatan tersebut akan mencegah kaum perempuan menjadi korban ketidakadilan sosial. [Sindo, 11 April 2019]

 

Penulis:
M. Syafi’ie, S.H., M.H.

Pemerhati isu HAM dan Islam, Peneliti Pusham UII