Menaikkan Batas Minimal Usia Menikah oleh Eko Riyadi, S.H., M.H.

Jakarta – Pertengahan bulan yang lalu Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan bahwa ketentuan yang menyatakan usia anak perempuan 16 tahun dibolehkan menikah dinyatakan inkonstitusional. MK memerintahkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersama pemerintah untuk melakukan revisi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawainan khususnya pasal mengenai batas usia perkawinan. Sayangnya, putusan MK tidak memberikan ketentuan usia minimal yang diharapkan.

Putusan ini layak kita apresiasi dan kita dukung. Telah lama para pemerhati hukum dan aktivis hak anak yang menilai bahwa kebolehan anak perempuan berusia 16 tahun untuk menikah adalah kebijakan yang telah usang (out of date), tidak mencerminkan perlindungan bagi anak perempuan, dan terbukti menyebabkan mata rantai kekerasan dan diskriminasi bagi anak perempuan. Usia perkawinan yang terlalu dini telah menyebabkan anak perempuan kehilangan masa mudanya. Mereka terpaksa menjalani kehidupan sebagai orang dewasa sambil merasakan kesulitan ekonomi dan psikologis.

Kepentingan Terbaik bagi Anak

Putusan MK ini menjawab lambannya pemerintah memperbaiki regulasi terkait perlindungan anak. Pada 1990, pemerintah telah melakukan ratifikasi Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights of the Childs), kurang dari satu tahun setelah konvensi diadopsi oleh Perserikatan Bangsa Bangsa. Hal ini menunjukkan bahwa sejak tahun 1990-an pemerintah telah menyadari pentingnya perlindungan hak anak. Perlindungan bagi anak adalah nalar objektif bagi kelangsungan dan keberlanjutan bangsa. Perlindungan bagi anak juga merupakan investasi bagi masa depan bangsa.

Pada Pasal 1 Konvensi ditegaskan bahwa anak adalah setiap orang yang berusia di bawah 18 tahun. Dengan demikian, usia 16 tahun sebagaimana diatur pada Undang-Undang tentang Perkawinan adalah usia anak-anak. Oleh karena itu, kebolehan anak usia 16 tahun menikah dengan demikian merupakan contoh nyata bahwa negara telah membiarkan terjadinya pelanggaran terhadap hak anak.

Hak anak yang paling utama adalah hak atas pendidikan. Anak usia 16 tahun seyogianya baru menikmati pendidikan pada jenjang sekolah menengah atas. Mereka berhak untuk menikmati masa anak-anaknya dengan menimba pengetahuan sebanyak-banyaknya demi untuk menjalani masa depan mereka. Pendidikan yang baik adalah prasyarat akan hadirnya kondisi kehidupan yang layak bagi mereka di masa depan. Membolehkan anak untuk menikah adalah sama dengan merampas masa depan mereka.

Pemerintah Indonesia juga telah mengesahkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang kemudian diubah menjadi Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014. Berdasarkan Undang-Undang ini, tegas pula dinyatakan bahwa anak adalah setiap orang yang berusia di bawah 18 tahun. Persoalan yang terjadi adalah keterlambatan melakukan harmonisasi terhadap undang-undang lain terkait usia anak-anak.

Dua peraturan tersebut menegaskan bahwa prinsip penting yang menjadi dasar dari seluruh kebijakan bagi anak adalah kepentingan terbaik bagi anak (the best interest of the child). Prinsip ini dimaknai sebagai anak adalah subjek dari seluruh kebijakan yang akan berlaku atau berdampak pada diri mereka. Prinsip turunan yang sangat penting adalah prinsip untuk didengar pendapatnya. Anak-anak adalah subjek yang memiliki opini atas diri mereka. Adalah tindakan keliru jika orang dewasa selalu berpikir bahwa merekalah yang memiliki otoritas untuk selalu memutuskan semua hal bagi anak.

Berapa Usia Ideal Menikah?

Terlepas dari berbagai ekspresi ketidakpuasan atas putusan MK, dapat dipahami bahwa MK tidak menentukan angka batasan minimal bagi anak untuk menikah. MK berpendapat bahwa tindakan tersebut merupakan tindakan legislasi yang menjadi tugas DPR. Pertanyaannya, bagaimana sebaiknya Dewan menentukan batas usia minimal bagi anak untuk menikah?

Secara normatif, Konvensi Hak Anak dan Undang-Undang tentang Perlindungan Anak dapat dijadikan sebagai rujukan. Namun demikian, ketentuan normatif tersebut tidak wajib menjadi rujukan satu-satunya. Angka 18 tahun sebagaimana diatur pada peraturan perundang-undangan yang telah ada dijadikan patokan minimal dan justru jangan sampai angka yang dibuat oleh DPR bersama pemerintah berada di bawah angka tersebut. Penentuan angka minimal harus dilakukan dengan pendekatan yang multiperspektif

Setidak-tidaknya ada dua pendekatan yang wajib digunakan, yaitu perspektif kesehatan dan perspektif psikologis. Perspektif kesehatan membantu memberikan patokan mengenai kesiapan fisik seorang anak untuk menikah. Pandangan akademik ilmiah diperlukan untuk menguji dan memberikan patokan mengenai kondisi biologis tubuh anak yang secara alamiah dinyatakan siap menjalani proses pembuahan.

Selain itu, analisis dan riset akademik ilmiah dari para psikolog juga diperlukan untuk memberi gambaran dan patokan mengenai kesiapan aspek psikologis setiap orang dinyatakan siap menikah. Dengan pendekatan yang multidisiplin dan bersandar pada prinsip terbaik bagi anak, maka kebijakan penentuan usia minimal bagi orang yang akan menikah sebenarnya adalah tindakan untuk memastikan bangsa Indonesia akan semakin baik di masa depan.

Eko Riyadi dosen Fakultas Hukum dan Direktur Pusat Studi HAM Universitas Islam Indonesia
(mmu/mmu-harian online detik)