Kepada Mahasiswa Prodi Hukum Program Sarjana Fakultas Hukum UII yang berencana mengambil Tugas Akhir di semester Ganjil Tahun Akademik 2019/2020 wajib mengambil/melakukan Key In Tugas Akhir. Jika bermasalah untuk melakukan Key-In Tugas Akhir maka wajib menyisakan 4 SKS untuk jatah Mata Kuliah Tugas Akhir tersebut. Dengan kata lain jatah SKS adalah termasuk Mata Kuliah Tugas Akhir tersebut. Sehingga apabila dengan penambahan SKS Tugas Akhir seorang mahasiswa melebihi 24 SKS, maka mahasiswa tersebut tidak dapat mengambil Tugas Akhir pada semester ini.

Berikut kami sampaikan pengumuman prosedur administratif pengajuan Tugas Akhir di Prodi Hukum Program Sarjana FH UII:

Loader Loading...
EAD Logo Taking too long?

Reload Reload document
| Open Open in new tab

Download [167.00 B]

Penulis: Dr. Idul Rishan, S.H., LL.M

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), Departemen Hukum Tata Negara

 

Hampir dipastikan, periode kedua pemerintahan Joko Widodo akan ditopang dengan koalisi “gemuk” di parlemen. Mayoritas partai politik di DPR, akan bahu membahu mensukseskan beberapa program kebijakan yang sudah dicanangkan pada pemerintahan 2019-2024. Dengan koalisi mayoritas, relasi eksekutif dan legislatif diperkirakan akan jauh lebih stabil. Meskipun harus di akui, dukungan mayoritas partai di DPR sebenarnya juga dapat melahirkan ancaman. Bisa di bayangkan, jika mayoritas partai politik di DPR bersekutu dengan pemerintah, maka Presiden tidak hanya menjadi episentrum kekuasaan eksekutif, tetapi juga menjelma sebagai pengendali kekuatan partai-partai politik yang ada di parlemen. Aroma bagi-bagi kekuasaan sudah mulai tercium. Selain soal jatah kabinet, perebutan kursi pimpinan MPR juga menjadi bagian yang tak terpisahkan. Dengan koalisi mayoritas, MPR akan menjadi lembaga strategis dalam masa pemerintahan lima tahun ke depan. Jika koalisi pemerintah benar-benar solid, MPR bisa saja bereksperimen dengan kewenangannya mengubah dan menetapkan UUD.

 

Minoritas- Mayoritas

Jika hendak menarik isu perdebatan ini dalam ranah konseptual, relasi eksekutif -legislatif menjadi wilayah yang cukup menarik dalam sistem presidensil. Kenyataannya, sistem pemerintahan kita pasca transisi politik, cenderung bergerak secara dinamis. Setidaknya ada dua pola relasi eksekutif-legislatif yang selama ini menjadi basis konvensi kenegaraan dalam sistem multi partai.  Pola pertama, bangunan koalisi dengan corak minoritas. Dalam langgam ini, Presiden tidak mendapatkan dukungan dari sebagian besar partai politik yang ada di parlemen. Pembelahan pemerintahan (divided government) sangat dimungkinkan terjadi karena relasi eksekutif dan legislatif cenderung bersifat konfrontatif. Kondisi ini pernah dialami sendiri oleh Presiden Jokowi-JK di awal-awal masa pemerintahan 2014-2019. Dengan dukungan minoritas, Presiden kesulitan membangun program-program pemerintahan. Kondisi ini semakin diperparah dengan desain UUD pasca amandemen yang memberikan begitu banyak delegasi kewenagan kepada DPR berupa pertimbangan dan persetujuan. Pola kedua, bangunan koalisi dengan corak mayoritas. Pada langgam ini, mau tidak mau, Presiden merangkul mayoritas partai politik untuk bergabung pada koalisi pemerintahan. Sedikit beraroma parlementer, karena relasi eksekutif-legislatif melebur jadi satu. (Alferd Stephen & Cindy Skach:1993). Cara ini dipercaya sebagai alternatif membangun stabilitas pemerintahan. Dengan dukungan mayoritas partai politik, kebijakan-kebijakan pemerintah relatif bisa berjalan mulus di parlemen. Termasuk di dalamnya soal keinginan untuk melakukan amandemen kelima UUD.

Tanpa Kontrol

Dengan bangunan koalisi mayoritas, pintu amandemen konstitusi menjadi sangat terbuka lebar. Siasat amandemen ini bisa dianalogikan seperti lempengan uang koin. Di satu sisi bisa memperkuat percepatan kebutuhan demokrasi, namun disisi lain, bisa menjadi jebakan otoritarianisme. Perlu diingat bahwa  proses perubahan UUD bisa berjalan tanpa kontrol. Jika melihat prosedur dan beberapa syarat formil perubahan UUD, kelembagaan MPR merupakan forum joint session anggota DPR dan anggota DPD. Secara kuorum DPD bisa saja tidak dapat menjadi penyeimbang kekuatan mayoritas partai politik yang ada di DPR. Mengingat berdasarkan jumlah, anggota DPR terdiri dari 575 orang dan anggota DPD hanya sejumlah 136 orang. Sementara Pasal 37 UUD mensyaratkan 1/3 jumlah anggota untuk usul perubahan, dihadiri sekurang-kurangnya 2/3 dan 50% plus satu untuk persetujuan perubahan. Dalam peta politik demikian, perubahan UUD sangat ditentukan pada kekuatan mayoritas partai politik pendukung pemrintah di DPR. Agenda amandemen ini tentu bisa menjadi bola liar, sebab materi perubahan  UUD cenderung bersifat sangat kompromistis. Sebut saja soal gagasan perubahan yang sudah semakin mengkristal pada penguatan kelembagaan MPR dalam menetapkan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN).

Komisi Konstitusi

Dengan menyerahkan semata-mata pada kekuatan politik mayoritas, tentu akan menghasilkan kompromi politik yang sangat sektoral. MPR sebagai lembaga yang berwenang mengubah dan menetapkan UUD, sarat terjebak dengan konflik kepentingan. Apalagi jika materi perubahannya menyangkut soal penguatan kelembagaannya sendiri. Jika benar amandemen UUD akan digulirkan pada periode kedua pemerintahan Joko Widodo, ada baiknya memperhitungkan pembentukan Komisi Konstitusi. Badan khusus yang dibentuk secara independen dan bersifat non partisan untuk mengkaji materi perubahan UUD. Belajar dari Spanyol, Filipina dan Thailand, perubahan konstitusinya dilakukan melalui spesial konvensi dengan pembentukan komisi khusus. Langkah ini dibangun agar usulan dan hasil perubahan konstitusi tidak bias dari kekuatan politik pemerintah a quo. (David G. Timbermand,ISEAS:1999). Pentingnya membentuk komisi konstitusi dalam perubahan UUD, pada dasaranya dipengaruhi oleh alasan paradigmatik.  Partai politik berdiri pada basis untuk merebut dan mempertahankan kekuasaaan, sementara konstitusi berpijak pada basis pembatasan kekuasaan. Memberikan peran mayoritas kepada partai politik terhadap perubahan UUD, sama artinya memberikan kesempatan partai politik untuk merebut atau mempertahankan kekuasaannya.  Itu sebabnya agenda perubahan UUD perlu dikaji dengan basis rasionalitas yuridis, sosiologis dan filosofis. Bahwa perubahan itu memang benar-benar dibutuhkan guna membangun percepatan demokratisasi. Jika tidak, gagasan amandemen ini bisa membawa pemerintahan Jokowi-Ma’ruf pada jebakan otoritarianisme.

Tulisan ini sudah dimuat dalam rubrik Pendapat, KORAN TEMPO, 13 Agustus 2019.

Sehubungan dengan adanya penambahan kelas pada Mata Kuliah Semester 1 bagi Mahasiswa Baru Prodi Hukum Program Sarjana Fakultas Hukum UII Tahun 2019 maka berikut kami sampaikan revisi versi 1.0 Jadwal Kuliah Semester Ganjil Tahun Akademik 2019/2020.

Loader Loading...
EAD Logo Taking too long?

Reload Reload document
| Open Open in new tab

Download [167.00 B]

Jadwal MK sesuai Nama MK Program Reguler

Loader Loading...
EAD Logo Taking too long?

Reload Reload document
| Open Open in new tab

Download [167.00 B]

Jadwal MK sesuai Nama MK Program Internasional (Interpro)

Loader Loading...
EAD Logo Taking too long?

Reload Reload document
| Open Open in new tab

Download [167.00 B]

Rencana Jadwal Ujian Semester Ganjil Tahun Akademik 2019/2020
Kelas Reguler Prodi Hukum Program Sarjana

Loader Loading...
EAD Logo Taking too long?

Reload Reload document
| Open Open in new tab

Download [167.00 B]


Rencana Jadwal Ujian Semester Ganjil Tahun Akademik 2019/2020
Program Internasional Prodi Hukum Program Sarjana
Loader Loading...
EAD Logo Taking too long?

Reload Reload document
| Open Open in new tab

Download [167.00 B]

BUKU

NARASUMBER SEMINAR

PENILAIAN REVIEW

  • Politik Bantuan Asing Corporatoctracy Amerika oleh Prof. Dr. Abdul Ghofur Anshori, S.H., M.H. [ unduh ]
  • Implementasi Kepatuhan Syariah dalam Perbankan Islam (Syariah) Studi Perbandingan antara Malaysia dan Indonesia oleh Prof. Dr. Abdul Ghofur Anshori, S.H., M.H. [ unduh ]

Berikut disampaikan kepada civitas akademika Prodi Hukum Program Sarjana FH UII menyesuaikan kalender akademik dan menyesuaikan beberapa agenda Fakultas Hukum UII. Diinformasikan bahwa key-in Semester Ganjil Tahun Akademik 2019/2020 sedianya diagendakan tanggal 22 Agustus 2019 pada revisi ini ditetapkan sesuai kalender akademik UII yaitu tanggal 23 Agustus 2019.

Terkait dengan jadual dan informasi mata kuliah dibuka juga dimungkinkan akan mengalami perubahan karena dimungkinkan ada perubahan jumlah kelas pada beberapa mata kuliah. Untuk itu dimohon kepada para mahasiswa agar dapat mengupdate informasi terbaru pada web site resmi FH UII.

Loader Loading...
EAD Logo Taking too long?

Reload Reload document
| Open Open in new tab

Download [167.00 B]

Sehubungan dengan adanya kegiatan Pra Peradilan yang diselenggarakan oleh LEM Fakultas Hukum UII dan terkait dengan ketenangan dan ketertiban dalam pelaksanaan Ujian Remidiasi Semester Genap T.A. 2018/2019, maka jadwal ujian Remidiasi tanggal 22 Agustus 2019 disatukan di tanggal 21 Agustus 2019 pada jam VI dan V. Untuk itu kepada semua pihak mohon kerjasamanya demi kelancaran kedua kegiatan tersebut. Demikian atas perhatiannya diucapkan terimakasih.

Loader Loading...
EAD Logo Taking too long?

Reload Reload document
| Open Open in new tab

Download [167.00 B]

PROGRAM INTERNASIONAL

Loader Loading...
EAD Logo Taking too long?

Reload Reload document
| Open Open in new tab

Download [167.00 B]

Daftar MK Ditawarkan Program Reguler

Loader Loading...
EAD Logo Taking too long?

Reload Reload document
| Open Open in new tab

Download [167.00 B]

Daftar MK Ditawarkan Program Internasional

Loader Loading...
EAD Logo Taking too long?

Reload Reload document
| Open Open in new tab

Download [167.00 B]

Taman Siswa (2/8), Fakultas Hukum UII menyelenggarakan acara pisah sambut Kepala Divisi (Kadiv) dan Kepala Urusan (Kaur) Periode 2014-2019 dan 2019-2023. Acara diselenggarakan di Ruang Sidang Utama Lt. 3 Gd. Prof. Moh Yamin, Fakultas Hukum UII. Hadir para pimpinan dan seluruh jajaran Kadiv dan Kaur baik yang baru maupun pejabat lama.

Read more