Alhamdulillah mahasiswa Fakultas Hukum UII merebut juara III karya tulis ilmiah (KTI) diajang ” Diponegoro Law Fair 2019″ Universitas Diponegoro (Undip) Semarang yang diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas Diponegoro (UNDIP) pada tgl. 25-27 Oktober 2019. adapun Untuk kti juara 3
1. Aprillia Wahyuningsih 2017
2. Putra Adibil Anam 2018
3. Laily Nur Aisah 2018

Mahasiswa Fakultas Hukum UII kembali menorehkan prestasi di kompetisi Diponegoro Law Fair yang diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas Diponegoro dengan tema “Distribusi Keadilan dan Pemanfaatan Sumber Daya Alam”. Dalam kesempatan ini FKPH FH UII mengirimkan dua team yang terdiri dari Kompetisi Debat Nasional dan Karya Tulis Ilmiah. Adapun delegasi dari FH UII untuk Debat Nasional terdiri dari Estri Solikhin 2018, Jihan Sekar Putri 2018, dan Dewi Irawati 2018. Sementara itu, untuk Karya Tulis Ilmiah terdiri dari Aprillia Wahyuningsih 2017, Putra Adibil Anam 2018 dan Laily Nur Aisah 2018.

Dalam debat nasional terdapat 11 mosi yang terkaitg dengan Distribusi dan Pemanfaatan Sumber Daya Alam. Kemudian untuk gagasan yang ditawarkan oleh perwakilan Karya Tulis Ilmiah adalah Percantuman Masyarakat Adat dalam Kontrak Bagi Hasil Gross Split. Untuk kompetisi Karya Tulis Ilmiah FH UII berhasil merebut Juara 3. Tentunya keberhasilan ini tidak terlepas dari bimbingan dan doa para dosen FH UII yang telah meluangkan waktu dan pikirannya untuk perjuangan mahasiswa.

Sebagaimana yang diungkap oleh perwakilan delagasi Aprillia Wahyuningsih “Alhamdulillah. Meskipun Terdapat beberapa kendala dan kesulitan yang dialami dalam proses persiapan kompetisi ini. Tetapi, kesulitan ini juga dibarengi dengan semangat serta kemudahan yang diberikan oleh dosen pembimbing serta teman-teman yang lain sehingga tidak menyurutkan semangat untuk mengukir prestasi.” Di samping itu, harapannya semoga FH UII tidak hanya menorehkan prestasi di kanca Nasional tapi juga dapat berkarya dan berprestasi di tingkat Internasional.

Senin (28/10) Mirani Desi Ekowati, S.E. mengikuti Kompetisi Tendik Akademik Berprestasi Nasional di Convention Center Hall Jakarta Pusat. Bersaing dengan 10 tendi berprestasi lain yang berasal dari Perguruan Tinggi baik negeri maupun swasta. Prestasi yang membanggakan bagi UII yang telah mengantarkan 2 tendik terbaiknya dalam kompetisi kancah nasional.

Mirani Desi bersama Riyanto berangkat ke Jakarta pada Sabtu, 26 Oktober 2019 dengan mengemban amanah mempresentasikan program pengembangan pelayanan Tugas Akhir berbasis Teknologi Informasi.


Penulis: Dr. Idul Rishan, S.H., LL.M

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), Departemen Hukum Tata Negara

 

Jika hasil revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) telah resmi diundangkan, Mahkamah Konstitusi (MK) akan menerima sejumlah permohonan pengujian dari berbagai pihak. Mungkin, mulai dari kelompok akademisi, pegiat antikorupsi, sampai dengan tokoh masyarakat. Meskipun permohonan diajukan dari golongan yang beragam, substansi kerugian konstitusionalnya akan sama. Memohon kepada majelis hakim, agar pasal-pasal revisi UU KPK dinyatakan inkonstitusional dan tidak lagi memiliki kekuatan hukum   secara mengikat. Dalam logika penulis, pengujian revisi UU KPK bukan perkara yang mudah. Meskipun hasil revisi mendapatkan tekanan publik secara masif, pandangan majelis hakim belum tentu sejalan dengan kelompok mayoritas yang menolak revisi UU KPK. Ada sejumlah tantangan yang perlu diperhatikan bagi para pemohon, termasuk dalam membangun logika kerugian konstitusional di MK.

 

Logika Pengujian

Dalam logika pengujian, ada dua alasan yang menjadi basis utama pengujian undang-undang di MK. Pertama, ialah alasan formil. Melihat keabsahan prosedur pembentukan rancangan undang-undang itu dilakukan. Kemudian kedua, ialah alasan materil. Melihat kesesuaian materi muatan undang-undang terhadap norma yang lebih tinggi (dalam hal ini UUD). Secara formil, proses pembentukan revisi UU KPK dinilai cacat formil karena dikebut hanya dalam tiga belas hari, dan tidak berada pada daftar prioritas prolegnas. Tidak heran jika para pegiat antikorupsi menyebut bahwa pembentukan dan pembahasan revisi UU KPK cenderung dilakukan secara “ugal-ugalan”. Minus partisipasi, naskah akademik yang tidak transparan, dan tajam akan kepentingan parpol. Jika merujuk UU Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Pasal 45 mensyaratkan setiap RUU baik dari DPR dan Presiden disusun berdasarkan program legislasi nasional. Di samping itu, Pasal 44 juga mengatur bahwa  setiap RUU yang diusulkan wajib disertai dengan naskah akademik. Namun perlu diperhatikan.  Di saat yang sama, akhir masa bakti anggota DPR 2014-2019 juga mengesahkan revisi UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Dalam revisi UU yang baru, diatur dalam Pasal 23 ayat (2) bahwa dalam keadaan tertentu DPR atau Presiden dapat mengajukan RUU di luar Prolegnas. Dengan alasan keadaan luar biasa, konflik, bencana alam, atau keadaan tertentu lainnya, yang memastikan adanya urgensi nasional. Kehadiran pasal ini, membuka ruang bagi DPR dan Presiden,  untuk mengusulkan dan membahas secara cepat RUU atas alasan kondisi tertentu. Konsekuensinya, hal ini akan membawa tantangan baru bagi pemohon atas dalil-dalil formil yang akan diajukan di MK.

Selain tantangan pada asepk formil, para pemohon juga akan dihadapkan dengan sejumlah tantangan pada aspek materil. Para pemohon akan dihadapkan pada situasi yang tidak mudah, mengingat KPK tidak memperoleh legitimasi kewenangan secara langsung berdasarkan UUD. Ia dibentuk berdasarkan UU, yang pada prinsipnya merupakan sebuah kebijakan politik hukum terbuka (open legal policy). Sifat pengujian di MK tentu akan bersandar pada kesesuaian norma lebih rendah terhadap norma yang lebih tinggi. Dalam yurisprudensi MK, ada empat putusan yang menyatakan bahwa meskipun KPK dibentuk berdasarkan UU, tetapi KPK mempunyai sifat penting dalam struktur ketatanegaraan (constitutional importance).  Sebagaimana tertuang dalam Putusan No 012-016-019/PUU-IV/2006, Putusan No 37-39/PUU-VIII/2010, Putusan No 5/PUU/IX/2011, dan Putusan MK No 49/PUU-XI/2013. Bahwa KPK merupakan badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman, sebagaimana bunyi Pasal 24 ayat (3) UUDN RI. Tantangan yang kemudian muncul ialah, dalam Putusan terakhir MK No 36/PUU-XV/2017, majelis mengubah pendiriannya dengan menyatakan bahwa KPK bercorak eksekutif, karena alasan melaksanakan fungsi eksekutif. Artinya ini akan menjadi tantangan tersendiri bagi para pemohon untuk membangun silogisme konstitusional, bahwa pasal-pasal kontroversial dalam revisi UU KPK bertentangan dengan UUD. Selain aspek formil materil, tantangan lain yang perlu diperhatikan ialah perihal imparsialitas hakim konstitusi. Dalam prinsip independensi peradilan, para majelis hakim tidak boleh terpengaruh dengan besarnya tekanan publik atas perkara yang disidangkan (Contini & Mohr:2007). Bisa jadi, gelombang penolakan mahasiswa secara masif tidak akan memengaruhi pendirian hakim dalam memeriksa dan memutus perkara. Logika sederhananya, pengujian undang-undang yang menuai begitu banyak penolakan publik, belum tentu bertentangan dengan norma yang lebih tinggi.

Penalaran Hakim

Terlepas dari segala tantangan yang akan di hadapi para pemohon, hal yang tidak kalah pentingnya ialah mengurai metode penalaran yang akan digunakan para hakim di mahkamah.   Disadari atau tidak, sembilan hakim di MK memiliki preferensi ilmiah yang berbeda-beda. Sebagaimana dituliskan Dahl, bahwa preferensi ilmiah menjadi dasar  keyakinan hakim dalam menjatuhkan vonisnya (Robert Dahl:1963). Tidak heran jika dalam sebuah perkara pengujian undang-undang di MK, adakalanya putusan tidak di ambil secara bulat. Ada yang dissenting, bahkan mungkin ada yang concurrent. Masing-masing akan memiliki basis keyakinan dan interpretasi yang berbeda (Keith E. Whittington:1999). Bagi para penganut judicial restraint, beberapa ketentuan norma undang-undang dan putusan peradilan, menjadi dasar utama menegakkan pertimbangan hukum. Sementara bagi para penganut  judicial activism, hakim bisa saja melampaui beberapa ketentuan tertulis dalam hukum positif. Para hakim bersikap aktif dalam melakukan penemuan hukum. Bahkan tidak menuntut kemungkinan, menghasilkan suatu penerobosan hukum dengan memperhatikan rasa keadilan yang berkembang di masyarakat. Perdebatan dua kelompok itu yang akan mewarnai pertimbangan sembilan hakim konstitusi dalam pengujian revisi UU KPK. Dengan melihat komposisi hakim konstitusi saat ini, penulis merasa bahwa putusan nanti tidak akan jatuh secara bulat.

Tulisan ini pernah dimuat dalam REPUBLIKA, 14 Oktober 2019.

Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia bekerjasama dengan Universitas Muhammadiyah Magelang (UM Magelang) menyelenggarakan International Synposium bertajuk The 1st Borobudur International Symposium 2019 (BIS2019), pada hari Rabu 16 Oktober 2019. Berlokasi di Ballroom Grand Artos Hotel &Convention , Magelang Symposiym dibagi menjadi dua sub; yang pertama 1st Borobudur International Symposium on Applied Sciences and Engineering (1st BIS ASE) dan 1st Borobudur International Symposium on Humanities, Economics, and Social Sciences (1st BIS HESS ).
Fakultas Hukum Universita Islam Indonesia menjadi saah satu co host dalam peyelenggarakan BIS 2019. Menurut Sekretaris Program Studi Hukum Program Internasional Fakultas Hukum UII, Dodik Setiawan Nur Heriyanto, S.H.,LL.M., Ph.D, bentuk kerjasama antara UII dengan UM Magelang adalah sebagai penyelenggara BIS 2019. Fakultas Hukum menjadi co host dalam penyelenggaraan BIS 2019 tercantum dalam Memorandum of Understanding (Mou).
Menurut Dodik Setiawan, ada dua hal yang mendasari terjadinya kerjasama Fakultas Hukum dengan UM Magelang. Pertama Fakultas Hukum UII ingin meningkatkan jumlah publikasi dosen di tingkat internasional. Melalui BIS 2019, khusunya 1st BIS HESS, pengumpulan karya tulis nantinya akan dipublikasikan melalui proses index dan website sains Yang kedua, kerjasama ini diharapkan menjadi salah satu langkah untuk meningkatkan jaringan kerjasama antara Fakultas Hukum UII dengan Universitas lain di seluruh Indonesia. “ Penambahan jaringan kerjasama dengan Universitas yang ada di Indonesia, “kata Dodik Setiawan.

Fakultas Hukum UII mengirimkan enam paper untuk berpartisipasi di BIS 2019. Enam paper yang dikirimakn merupakan manifestasi gagasan dari sivitas akademika dan dosen FH UII. Dosen yang berpartisipasi diantarnya Dr. Budi Agus Riswandi, SH., MH., Dodik Setiawan Nur Heriyanto, SH., MH., LL.M., Ph.D., Prof. Ni’matul Huda, SH., M.Hum., Mahrus Ali, SH., MH., Bagya Agung Prabowo, SH., MH., Ph.D., and Siti Ruhama Mardhatillah, SH., MH.

BIS 2019 diselenggarakan dalam tiga bagian. Bagian pertama adalah sesi meja bundar/round table, yang kedua sesi pembukaan yang kemudian dilanjutkan dengan seminar Internasional. Yang terahir adalah sesi kedua round table.

Dalam sesi seminar internasional menghadirkan pakar dari seluruh negeri. Pembicara utama pada seminar internasional adalah Prof. Tony Lucey, Ph.D. dari Curtin University, Australia, Rajesh Ranolia, B.Com., MBA dari Institut Nasional Teknologi Informasi, India, dan Prof. Ts DR. Noreffendy Tamaldin dari Universiti Teknik Malaysia Malaysia Melaka, Malaysia.
Acara ini dihadiri oleh ratusan pembicara dari berbagai perguruan tinggi. Para pembicara dibagi menjadi beberapa kelompok kecil dan menempati meja bundar. Konsep meja bundar cukup baru. Pembicara mempresentasikan dan menanggapi makalah satu sama lain yang dipimpin oleh moderator.

 

 

Disampaikan kepada para Mahasiswa Prodi Hukum Program Sarjana (PHPS) FH UII Tahun Angkatan 2019 dan 2018 berikut disampaikan pembagian kelompok taklim yang harus dijalani sebanyak 12 kali pertemuan pada semester ini. Untuk itu kepada para mahasiswa diharapkan segera bergabung, atau mencari informasi terkait dengan mualim di nomor sekretariat 0821-3489-6500.


Daftar Kelompok Taklim Angkatan Tahun 2019

 

Loader Loading...
EAD Logo Taking too long?

Reload Reload document
| Open Open in new tab

Daftar Kelompok Taklim Angkatan Tahun 2018 (Beberapa Penggantian Mualim)

 

Loader Loading...
EAD Logo Taking too long?

Reload Reload document
| Open Open in new tab


Daftar Mualim dan Link Group WA

 

Loader Loading...
EAD Logo Taking too long?

Reload Reload document
| Open Open in new tab

 

Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII) mengadakan International Student Colloquium (ISC) pada Sabtu, 12 Oktober 2019. Acara ISC yang mengusung tema Student’s Role in Law and Political Discourse: Digital Era Perspective tersebut dihadiri oleh empat orang pembicara, empat pemakalah, dan sekitar 100 mahasiswa FH UII. Acara tersebut merupakan hasil kerja sama antara Judicial Council of International Program (JCI) dan Program Internasional FH UII. Read more

Penulis: Dr. Idul Rishan, S.H., LL.M

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), Departemen Hukum Tata Negara

 

Apakah benar, jika Presiden menetapkan Perppu KPK, maka ia berpotensi besar untuk di impeach atau diberhentikan dalam masa jabatannya. Langkah ini kerap dihubung-hubungkan bahwa jika Presiden mengeluarkan Perppu, sama halnya Presiden tak serius dan tak menghormati DPR sebagai pengusul dan pembahas revisi UU KPK.  Bahkan, sebagian politisi menilai jika tidak cermat,  Perppu KPK bisa menjadi “jebakan batman” bagi Jokowi. Alias pintu masuk untuk menggulingkan posisinya sebagai Presiden. Narasi itu telah  berseliwiran di ruang publik. Tatkala menjadi pembenar, bahwa Perppu tidak bisa dikeluarkan karena alasan itu. Tulisan singkat ini, mencoba mendudukan kembali stigma yang berkembang di masyarakat. Memahami kembali apa dan bagaimana Perppu, serta pengaruhnya dengan wacana impeachment.

Perppu

Lazimnya sistem presidensial, kuasa pembentukan Perppu selalu diserahkan kepada Presiden sebagai pemegang kuasa pemerintahan. Jika merujuk konvensi, Perppu dikenal sebagai jalur konstitusional untuk membentuk regulasi secara cepat. Disebut cepat dan sederhana, karena dalam proses pembentukannya, ia tidak perlu mengakomodasi ragam kepentingan partai yang ada di parlemen (Ann Seidman:2002). Tak heran jika Pasal 22 UUDN mengatur bahwa  “Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang”. Soal ihwal kegentingan yang memaksa, MK telah memberikan kriteria normatif dalam Putusan Nomor 138/PUU-VII/2009. Melalui interpretasinya, MK menetapkan tiga syarat. Kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah secara cepat, kekosongan hukum akibat ketiadaan undang-undang, atau ada namun dianggap tidak memadai, dan keadaan tidak dapat diatasi  dengan prosedur biasa karena akan membutuhkan waktu yang cukup lama. Tiga hal itu telah dilimitasi oleh MK. Namun perlu diingat, ketika putusan di jatuhkan, sembilan hakim konstitusi berada dalam satu paradigma yang sama. Bahwa kegentingan atau kebutuhan yang mendesak, tetap berada pada wilayah subjektivitas Presiden. Tak ada institusi lain yang bisa menilai situasi kegentingan memaksa, kecuali Presiden. Karena sifatnya yang subjektif, maka objektivikasinya, diserahkan pada parlemen. Selaras dengan intensi ayat (2) dan ayat (3) Pasal 22 UUDN. Perppu harus mendapatkan persetujuan DPR dalam persidangan berikutnya untuk menjadi undang-undang. Jika tidak, maka Perppu itu harus dicabut. Intensi pasal tersebut menempatkan DPR sebagai penyeimbang, sekaligus melaksanakan fungsi kontrol terhadap kebijakan presiden (checks and balances). Selain fungsi crosscheck yang bisa dilakukan oleh DPR, MK juga bisa melakukan fungsi korektif melalui kewenangan judicial review.  Kanal-kanal ini tersedia secara konstitusional, untuk menutup sifat abuse presiden dalam menetapkan peraturan. Kembali pada soal Perppu KPK. Mungkin dalam logika awam, “kegentingan yang memaksa” sebagaimana dimaksud dirasa telah cukup. Ada tiga kondisi saat ini yang bisa dijadikan alasan pertimbangan menetapkan Perppu. Pertama, akibat tekanan publik yang terjadi secara masif dan kontinyu, bahkan telah memakan korban jiwa. Kedua, revisi undang-undang KPK yang tidak sejalan dengan cita-cita pemberantasan korupsi. Ketiga, tidak lagi dapat ditangani dengan prosedur biasa, mengingat pembahasan undang-undang akan memakan waktu yang relatif lama. Tetapi sekali lagi, ini soal subjektivitas Jokowi. Jika ia berani mengambil opsi Perppu, rasanya tidak berlebihan bila publik akan menilai Jokowi sebagai presiden, yang memiliki komitmen kuat dalam agenda pemberantasan korupsi.

Impeachment

Kemudian soal ancaman impeachment. Ada satu hal yang perlu diingat dalam membedakan ciri sistem parlementer dan ciri sistem presidensial. Dalam sistem parlementer, perdana menteri dapat diberhentikan dalam masa jabatannya akibat kebijakan yang tidak populis. Artinya seorang perdana menteri sangat mungkin di impeach karena alasan politis. Berbeda halnya dengan sistem presidensial. Presiden hanya dapat diberhentikan dalam masa jabatannya karena alasan hukum (Alferd Stephen & Cindy Skach:1993). Sebagaimana telah diatur secara limitatif dalam Pasal 7A UUDN, baik itu perbuatan yang berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, perbuatan tercela, atau tindak pidana berat lainnya. Selain soal alasan hukum, syarat formil impeachment juga diatur dengan prosedur yang super ketat. Bahkan situasinya akan terasa semakin sulit, bila melihat sistem multipartai ekstrim yang diadopsi selepas era transisi politik. Presiden terpilih akan membangun koalisi mayoritas untuk mendapatkan legitimasi politik yang kuat di parlemen (Djayadi Hanan:2014). Konsekuensi logisnya,  partai-partai pendukung cenderung akan memuluskan kebijakan-kebijakan pemerintah di hadapan parlemen. Termasuk menjaga dan melindungi presiden, dari ancaman pasal impeachment.  Membaca kondisi di atas, tentunya cukup sulit membenarkan bahwa Perppu KPK dapat bermuara pada wacana impeachment. Saat ini, kita hanya membutuhkan keyakinan Presiden untuk mendorong dikeluarkannya Perppu KPK. Para simpatisannya tidak perlu takut dengan wacana impeachment. Begitu juga para anggota DPR yang menilai opsi Perppu tidak begitu tepat untuk dikeluarkan. Saluran konstitusional telah tersedia untuk menilai keabsahan Perppu. Baik itu melalui jalur legislative review di DPR, maupun melalui jalur judicial review di MK.

 

Tulisan ini pernah dimuat dalam rubrik Opini Jawa Pos, 4 Oktober 2019.

 

Mahasiswa Fakultas Hukum UII kembali menorehkan prestasi di kompetisi constitusional Law Festival Nasional yang diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas Brawijaya bekerjasama dengan Mahkamah Konstitusi RI. Dalam kesempatan ini FH UII mengirimkan dua team di cabang artikel ilmiah dan legal drafting yang keduanya berhasil masuk ke final. Adapun delegasi dari FH UII untuk Legal Drafting terdiri dari Elfian Fauzy 2017, Taufiqurrahman 2017, Kanza Latunhi Rayes 2016, Reza Zubarita 2016, dan Zihan Tasya Maharani 2017. Sementara itu, untuk Artikel Ilmiah terdiri dari Rahmadina Bella 2017, Yustika 2017, dan Arrival 2018. Gagasan yang ditawarkan oleh tiap perwakilan untuk Legal Drafting berkaitan dengan Rancangan Undang-Undang tentang Peradilan Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota dan untuk Artikel Ilimah Penguatan Putusan MK dalam Sistem Hukum Nasional.

Untuk kompetisi Legal Drafting FH UII berhasil merebut Juara 2 dan Berkas Terbaik. Tentunya keberhasilan ini tidak terlepas dari bimbingan dan doa para dosen FH UII yang telah meluangkan waktu dan pikirannya untuk perjuangan mahasiswa. Sebagaimana yang diungkap oleh perwakilan delagasi Taufiqurrahman “alhamdulillah tentunya saya dan temen-teman mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada bapak/ibu dosen FH UII karena telah membantu menyumbangkan ide dan gagasan untuk delagasi sehingga kami berhasil menorehkan prestasi dikanca Nasional, dan juga kepada Bapak Allan yang telah menemani kami saat di Brawijaya, semoga segala kebaikan beliau menjadi amal jariyah, Amin Ya Allah.” Di samping itu, harapannya semoga FH UII tidak hanya menorehkan prestasi di kanca Nasional tapi juga di Internasional.

Berikut disampaikan informasi Pembimbing Tugas Akhir Prodi Hukum Program Sarjana FH UII Semester Ganjil T.A. 2019/2020 sebagaimana tabel di bawah, lengkap seluruh departemen.

Loader Loading...
EAD Logo Taking too long?

Reload Reload document
| Open Open in new tab

Selanjutnya bagi para mahasiswa yang mengambil Mata Kuliah Tugas Akhir diwajibkan hadir dalam kegiatan Pembekalan Metodologi Penelitian sebagaimana undangan dan informasi sebagai berikut:

Loader Loading...
EAD Logo Taking too long?

Reload Reload document
| Open Open in new tab

Program Studi Magister Ilmu Hukum, Magister Kenotariatan dan Program Studi Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia telah memulai perkuliahan Semester Ganjil Tahun Akademik 2019/2020 pada 27 September 2019 dengan menerima total 97 mahasiswa.

Dalam sambutan pembukanya pada Kuliah Pembukaan yang menandai dibukanya tahun akademik 2019/2020, Dekan Fakultas Hukum Dr. Abdul Jamil, S.H., M.H. menyampaikan selamat datang dan selamat berdiskusi di lingkungan Pascasarjana fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia. Menurutnya mahasiswa yang dapat melanjutkan pendidikan di Pascasarjana Fakultas Hukum UII merupakan orang-orang pilihan, yang jika tidak benar-benar pandai secara akademik maka adalah orang yang beruntung karenaUII benar-benar melakukan seleksi untuk mendapatkan input yang baik.

Dengan mengangkat tema  “Peluang & Tantangan Hukum Profetik Bagi Pengembangan Hukum Nasional di Era Digital” Kuliah Pembukaan bagi ketiga prodi kali ini menghadirkan pembicara Dr. Artidjo Alkostar, S.H., LL.M., dan Prof. Jawahir Thontowi, S.H., Ph.D. dan moderator Dr. M. Syamsudin, S.H., M.Hum. Ketiganya merupakan pengajar tetap di ketiga prodi.

Dalam presentasinya Dr. Artidjo Alkostarmenyampaikan bahwa hukum profetik yang berprionsip pada illahi tidak lepas dari risalah kenabian, di mana yang dicari adalah kebenaran hakiki. Hukum profetik dan hukum sekuler memiliki perbedaan dimensi di mana jika Hukum sekulr dimensi terakhirnya adalah alam maka hukum profetik dimensi terakhirnya adalah rahmatanlil’alamin. Oleh karena itu mantan hakim agung ini berharap bahwa dengan dimensi tersebut hukum profetik bisa menjadi inspirasi dalam menyelesaikan permasalahan-permasalahan hukum yang ada di masyarakat.

Sementara itu Prof. Jawahir Thontowi, mengupas tentang teori hukum inklusif yang menurutnya merupakan pemikiran paradigmatik baru, dan tidak serta-merta hadir sebagai pemikiran tunggal, melainkan terbebntuk dan dipengaruhi pemikiran hukum global. Teori ini dibangun dalam landasan filosofis yang terdiri dari hakikat kebenaran ontologis, disusun dengan metode akademik, epistimologis serta teruji secara aksiologi dalam dunia empirik., dan konstruksi teoritisnya didasarkan pada lima proporsi yaitu hukum yang mengandung kebenaran dan keadilan akan hadir ketika pendekatan non –linier atau interkoneksiantara ilmu-ilmu lain.

Kedua perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sejak dulu hingga kini, karena adanya atmosfir kebebasan berfikir yang kreatif dan inovatif. Ketiga kenyataan bahwa hukum yang hidup dalam masyarakat bersember pada hukum agama menjadi ciri inklusif sebagai anti-tesis dari hukum positivistik yang memisahklan antara fenomena empirik masyarakat dengan aspek keagamaan. Keempat akibat proposisi hukum inklusif yang membuat hukum nasional tidak otonom karena pengaruh global dari hukum dan hukum hak asasi manusia internasional, dan yang terakhir adalah unifikasi hukum nasional dalam pendekatan geografis dan geopolitik tidak selalu menghasilkan imbas yang sama mensejahterakan dan memakmurkan masyarakat, maka hukum inklusif hadir untuk menjawab ketimpangan dan mempercepat kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat karena tidak hanya menggunakan satu instrumen hukum yang sama. (Humas)