Pandangan dan Pernyataan Sikap Sivitas Akademika FH UII atas Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja

Pengantar

Saat ini Pemerintah bersama dengan DPR tengah membahas Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja (RUU Cipta Kerja). RUU ini digadang-gadang menjadi regulasi yang mempermudah dan memperlancar jalannya berbagai kegiatan usaha guna meningkatkan investasi serta memperluas lapangan kerja. Tumpang tindih aturan dan ketidakjelasan hukum dalam berbagai UU menjadi persoalan yang menghambat investasi selama ini. Sehingga, UU yang dibuat dengan mekanisme Omnibus law dinilai menjadi jalan keluar menyelesaikan persoalan tersebut.

Pada kenyataannya, RUU Cipta Kerja justru memunculkan polemik di kalangan masyarakat, baik pada kaum cendikia maupun masyarakat pada umumnya. Pemerintah mengklaim RUU ini dalam rangka menambah pintu akses lapangan kerja bagi masyarakat. Namun, masyarakat di pihak lain justru menilai RUU ini syarat dengan agenda memuluskan iklim investasi (dalam kacamata yang negatif) yang berpotensi merusak lingkungan dan melanggar hak-hak buruh.

Berangkat dari meruaknya kontroversi di atas, sivitas akademika Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII) berinisiatif untuk melakukan kajian atas RUU dimaksud. Forum kajian difasilitasi oleh Pusat Studi hukum (PSH) Fakultas hukum UII pada hari Jumat 6 Maret 2020 yang diikuti oleh dosen dan mahasiswa FH UII yang diawali dengan paparan pembuka dari Dr. Zairin Harahap, SH., M.Si (Pakar Hukum Lingkungan dan Hukum Perundang-undangan FH UII) dan Prof. Dr. Ari Hernawan, SH., M.Hum (Pakar Hukum Ketenagakerjaan FH UGM). Forum menghasilkan beberapa temuan yang dirumuskan pada permasalahan RUU Cipta Kerja sebagai berikut:

 

Berbagai Permasalahan Krusial dan Kontroversial RUU Cipta Kerja

1. Permasalahan Teknis Pembentukan Undang-Undang

a. Pilihan Metode Omnibus Law

Sejatinya Omnibus Law merupakan metode dalam pembentukan suatu peraturan perundang-undangan yang belum dikenal di Indonesia. Konsep omnibus law menekankan pada konsolidasi berbagai tema, materi, subjek dan peraturan perundang-undangan pada setiap sektor yang berbeda untuk menjadi satu produk hukum besar dan holistik.

RUU Cipta Kerja yang menggunakan metode omnibus law diklaim oleh pemerintah akan efisien karena akan mengubah, menghapus, atau menetapkan pengaturan baru terhadap beberapa undang-undang (tercatat terdapat 79 UU yang “disasar” oleh RUU Cipta Kerja). Namun demikian, klaim ini belum tentu benar (tepat). Hal ini mengingat belum ada data yang diberikan kepada publik terhadap keberhasilan metode omnibus law di Negara lain.

Selain itu, pembentukan peraturan perundang-undangan, berdasarkan amanat Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 jo Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus mengandung pertimbangan filosofis, yuridis dan sosiologis. Jika ditelaah pada ketiga aspek di atas, sivitas akademika FH UII memberikan catatan sebagai berikut:

Pertama, pada aspek filosofis, ruh atau semangat di balik metode omnibus law dalam RUU Cipta Kerja, semata demi kepentingan investasi bukan dalam rangka harmonisasi berbagai peraturan perundang-undangan. Kedua, pada aspek sosiologis, yang menjadi pertanyaan terbesar adalah apakah masyarakat kita membutuhkan undang-undang ini? Sivitas akademika FH UII memandangnya tidak, atau setidaknya belum membutuhkan (terutama jika dikaitkan dengan isinya yang cenderung mengedepankan kepentingan investasi/pemodal). RUU Cipta Kerja cenderung top-down dan bukan bottom-up dari masyarakat yang membutuhkan pengaturan.

b. Ketidaksesuaian Antara Judul Dengan Isi

Apabila dibaca bagian konsideran RUU Cipta Kerja, maka substansinya adalah memberikan berbagai kemudahan dan perlindungan berinvestasi. Berbagai kemudahan itu, antara lain adalah di bidang perpajakan, Amdal, dan perizinan. Dengan demikian, antara judul dan isi dari RUU tidak sinkron.

c. Keterbukaan

Persoalan peraturan perundangan mulai muncul sejak proses legislasi, regulasi, implementasi sampai eksekusi. Dalam proses legislasi RUU Cipta Kerja ini perlu dicermati apakah stakeholders atau target groups sudah dilibatkan. Fase legislasi ini sangat penting karena jika kelompok sasaran tidak dilibatkan maka tidak akan ada rasa memiliki dan dampaknya nanti undang-undang tersebut tidak dapat berjalan sesuai dengan tujuan pembentukannya. Pada fase ini perlu dicermati misalnya, di bidang ketenagakerjaan apakah pekerja/serikat pekerja dilibatkan dalam rancangan RUU Cipta (Lapangan) Kerja atau hanya melibatkan investor atau pengusaha, seperti pemberitaan yang selama ini beredar.

Kemudian juga terkait publikasi draft RUU Cipta Kerja dan Naskah Akademiknya yang (diduga) disusulkan setelah adanya penyerahan Draft RUU dari pihak pemerintah kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Ironisnya publikasi draft RUU dan Naskah Akademiknya didapatkan oleh masyarakat tidak berasal dari laman resmi pemerintah.

d. Status Undang-Undang Terkait

RUU Cipta Kerja ini akan mengubah, menghapus, atau menetapkan pengaturan baru terhadsap 79 UU. Berdasarkan pengkajian ditemukan banyak pengaturan yang mendelegasikan ke Peraturan Pemerintah (PP) ditemukan sekitar 500 pasal. Kuat dugaan bahwa hal tersebut akan memberikan kekuasaan legislasi menjadi lebih fleksibel kepada eksekutif (Presiden) melalui PP. Berbagai aturan yang secara substansi bagus baik dalam hal perlindungan, malah banyak didelegasikan melalui PP, tidak diatur secara rigid dalam ketentuan RUU ini.

Dalam RUU Cipta Kerja tidak ada ketentuan yang mengatur status UU sektoral yang muatannya diubah, dihapus, atau ditetapkan pengaturanya yang baru. Hal ini akan berpotensi terjadinya dualisme penguturan dalam UU yang mengatur hal yang sama.

Problem Substansi

a. Kecenderungan Sentralisasi

RUU Cipta Kerja telah menggeser paradigma di dalam UUPLH yang memberikan kewenangan yang proporsional antara Pusat, Provinsi, dan Kabupaten/Kota. RUU Cipta Kerja justru “menumpahkan” kewenangan yang besar kepada Pemerintah Pusat.

Selain itu, RUU Cipta Kerja juga memiliki problem administratif karena menempatkan Pemerintah Pusat (di dalam RUU tegas dinyatakan bahwa Pemerintah Pusat adalah Presiden) sebagai pemberi izin. Padahal, berdasarkan kaida hukum administrasi, tidak tepat jika Presiden diberikan kewenangan memberikan izin. Hal ini berbeda dengan ketentuan di dalam UU PPLH yang membagi peran antara menteri, gubernur dan bupati/walikota dalam pemberian izin, sesuai kewenangannya. Sayangnya, RUU tidak mengatur mengenai pendelegasian wewenang dalam perizinan dimaksud. Bukan hanya itu, kewenangan Pemerintah Pusat (Presiden) juga termasuk dalam memberikan sanksi administrasi.

b. Perlindungan Lingkungan

Pada RUU Cipta Kerja, terdapat perubahan definisi Analisis mengenai dampak lingkungan hidup (AMDAL). RUU Cipta Kerja mendefinsikan AMDAL sebagai kajian mengenai dampak penting pada lingkungan hidup dari suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan untuk digunakan sebagai pertimbangan pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan. Hal ini berarti bahwa AMDAL ditempatkan sebagai pertimbangan sehingga sifatnya menjadi fakultatif.

Sedangkan definisi AMDAL pada UUPLH adalah kajian mengenai dampak penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan. Hal ini berarti bahwa AMDAL ditempatkan sebagai sesuatu yang diperlukan dalam pemberian izin, sehingga sifat menjadi imperatif.

c. Arah Kebijakan Investor

RUU Cipta Kerja menggunakan logika bahwa dengan masuknya investor, akan membuka lapangan pekerjaan. Sivitas akademika FH UII memandang bahwa masuknya investor ke Indonesia tentu bukan tanpa syarat. Dari perspektif ketenagakerjaan, dua syarat yang biasa diminta investor adalah kenyamanan dan keamanan atas investasi. Hal yang dibutuhkan investor adalah regulasi ketenagakerjaan yang permisif bagi iklim investasi. Sebagai negara berkembang yang basis materialnya adalah industrialisasi, tidak ada pilihan lain kecuali memenuhi tuntutan tersebut.

Munculnya RUU Cipta Kerja ini sangat menggambarkan betapa Negara (pemerintah) lemah di depan investor. Negara dipaksa tunduk pada kepentingan investor dengan mereformasi regulasi (melalui RUU Cipta Kerja) yang menguntungkan investor di satu pihak, dan merugikan tenaga kerja (buruh) di sisi lain.

d. Ketenagakerjaan

RUU Cipta Kerja potensial merugikan hak-hak pekerja. Beberapa hal yang akan memberatkan tenaga kerja berdasarkan RUU Cipta Kerja antara lain: tidak dikenalnya upah minimum kabupaten/kota atau upa sektoral, upah bergantung pada pertumbuhan ekonomi di daerah yang bersangkutan (bukan berdasarkan inflasi), dan penghitungan upah dalam satuan waktu (jam).

Ketentuan-ketentuan di atas akan merugikan pekerja karena: Pertama, penetapan upah minimum hanya di tingka provinsi akan menimbulkan kecemburuan terutama untuk provinsi yang pertumbuhan inflasinya berbeda antara satu kabupaten/kota dengan kabupaten/kota lainnya. Kedua, pengaturan upah dalam satua waktu (per jam) akan mendegradasi perlindungan upah. Ketiga, kenaikan upah minimum memperhitungkan pertumbuhan ekonomi dan tidak menyertakan inflasi berpotensi menyebabkan adanya migrasi buruh ke daerah yang upah minimumnya tinggi. Keempat, RUU Cipta Kerja juga menghilangkan kompensasi akibat PHK berupa uang penggantian hak dan besaran uang penghargaan masa kerja dikurangi dari maksimal 10 bulan upah menjadi hanya 8 bulan upah.

Selain itu, RUU Cipta Kerja juga semakin menumbuhsuburkan system kontrak outsourcing dan PKWT. RUU Cipta Kerja tidak mengatur pembatasan alih daya/outsourcing dan kontrak. PKWT/kontrak dapat saja dikontrak “seumur hidup” tergantung kesepakatan. Perlindungan hukum terhadap buruh outsourcing dan buruh kontrak dalam skema PKWT semakin rentan karena sangat mungkin investor memilih buruh dengan skema kontrak dan outsourcing untuk menghindari risiko ketenagakerjaan dan lebih fleksibel.

Mengenai TKA (Tenaga Kerja Asing), RUU Cipta Kerja berpotensi memuluskan penggunaan TKA karena pengguna TKA tidak perlu ijin Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing dari Pusat termasuk untuk jenis pekerjaan seperti misalnya vokasi, start up, kunjungan bisnis dan lain-lain. Dengan demikian, investor asing berpotensi membawa tenaga kerja dari negara asalnya.

e. Ketentuan Pidana

RUU Cipta Kerja banyak mengubah sanksi pidana dalam UUPLH menjadi sanksi administrasi. Jika RUU Cipta Kerja ini disahkan, bukan tidak mungkin kerusakan lingkungan yang lebih besar akan terjadi. Hal ini tentu akan merugikan generasi yang akan datang sebagai pewaris sah atas sumber daya alam Indonesia.

Selain itu, RUU Cipta Kerja juga mengatur ketentuan pidana yang secara konseptual tidak tepat. Sebagai contoh, Pasal 59 yang mengubah ketentuan Pasal 297 Undang-Undang Pelayaran yang memuat sanksi pidana (kurungan 2 tahun) sebagai akibat dari tidak dilaksanakannya sanksi administrasi (denda). Padahal, sanksi pidana semestinya dijatuhkan karena adanya pelanggaran perbuatan yang dinyatakan sebagai delik, bukan karena tidak dilaksanakannya sanksi adminitrasi.

RUU Cipta Kerja menghilangkan beberapa pasal bermuatan pidana ketenagakerjaan dalam UU Ketenagakerjaan. Misalnya, ancaman pidana bagi pengusaha yang tidak membayar upah minimum. Disamping itu terjadi degradasi yang dalam UU Ketenagakerjaan diancam sanksi pidana menjadi ancaman sanksi administratif, misalnya bagi pengusaha yang tidak memperbaharui Peraturan Perusahaan.

Simpulan dan Sikap

Berdasarkan hasil kajian atas RUU Cipta Kerja di atas, sivitas akademika FH UII menyimpulkan dan mengambil sikap sebagai berikut:

Pertama, sivitas akademika FH UII menyimpulkan bahwa RUU Cipta Kerja memiliki problem prosedur pembentukan dan substansial yang cukup serius. Problem prosedur pembentukan dan substansial tersebut berpotensi menggiring RUU Cipta Kerja pada pertentangan secara konstitusional. Negara semestinya melindungi segenap dan seluruh tumpah darah Indonesia, salah satunya melalui pembentukan undang-undang. Namun, RUU Cipta Kerja justru jauh dari itu bahkan berpotensi melanggar hak-hak warga masyarakat yang dijamin oleh konstitusi.

Kedua, berdasarkan kesimpulan di atas, sivitas akademika FH UII meminta dan menuntut kepada Pemerintah dan DPR untuk tidak melanjutkan pembahasan RUU Cipta Kerja. Sivitas akademika FH UII memandang penting bagi Pemerintah dan DPR untuk menyempurnakan beberapa undang-undang sektoral, daripada menyusun undang-undang dengan menggunakan metode omnibus law yang belum terbukti keberhasilannya di Negara lain dan sangat potensial merusak sistem perundang-undangan di Indonesia.

Ketiga, sivitas akademika FH UII akan tetap konsisten mengawal proses pembahasan RUU Cipta Kerja ini. Pun, jika RUU ini disahkan, sivitas akademika FH UII akan menempuh jalan konstitusional untuk menuntut pembatalannya.

Keempat, menghimbau kepada seluruh masyarakat Indonesia (terutama kaum muda/mahasiswa) untuk senantiasa bersama mengawasi kerja legislasi yang saat ini berjalan antara Pemerintah dan DPR.

Demikian pandangan dan pernyataan sikap sivitas akademika FH UII ini disampaikan. Semoga menjadi bahan pertimbangan bagi Pemerintah dan DPR.

Semoga Allah meridloi UII. Aamiin…

 

Yogyakarta, 12 Maret 2020
Atas nama sivitas akademika FH UII

ttd
Dr. Abdul Jamil, SH., MH.
Dekan FH UII