MEMPERKUAT DPD?

Jamaludin Ghafur, SH., MH[1]

 

Sejak demokrasi langsung telah digantikan dengan demokrasi perwakilan, saat itu juga ketergantungan rakyat terhadap lembaga perwakilan (parlemen) sangatlah tinggi karena melalui lembaga inilah nasib seluruh rakyat digantungkan. Rakyat yang seharusnya berdaulat penuh, kini posisinya digantikan oleh lembaga perwakilan. Tidak heran jika Robert Dahl menyatakan bahwa tak ada demokrasi di mana rakyat benar-benar memerintah dan bahwa pada kenyataannya yang memerintah selamanya hanyalah segelintir elit.

 

Harapan Baru

Kehadiran Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dalam sistem ketatanegaraan indonesia telah memunculkan banyak harapan agar lembaga ini bisa merubah wajah parlemen kita yang selama ini dilanda krisis legitimasi masyarakat atas kinerja DPR karena kurang begitu membanggakan sebagai wakil rakyat yang hanya menjadi kepanjangan tangan kepentingan parpol daripada berpihak pada kepentingan konstituennya.

Bentuk konkrit dukungan rakyat terhadap DPD agar dapat membawa perubahan di parlemen dapat dilihat dari hasil survey dari berbagai lembaga yang menunjukkan keinginan kuat dari rakyat agar kewenangan dan fungsi DPD diperkuat bahkan disetarakan dengan kekuasaan DPR.

Semua pihak sepakat bahwa salah satu kendala bagi DPD untuk memperjuangkan aspirasi rakyat adalah minimnya kekuasaan yang dimiliki. Dari tiga fungsi yang dimiliki yaitu legislasi, pengawasan, dan anggaran, semuanya bersifat saran dan tidak mengikat.

Tidak heran, sejak awal hal yang terus diperjuangkan oleh DPD adalah penguatan atas peran dan fungsinya. Beberapa cara telah dilakukan seperti mengajukan permohonan judicial review di Mahkamah konstitusi dan mencari dukungan rakyat untuk melakukan amandemen lanjutan terhadap UUD 1945.

Harapan rakyat ini tentu bukan sesuatu yang mengada-ada mengingat secara teori dan praktik, sistem parlemen bikameran di mana di dalamnya ada dua lembaga (DPR dan DPD), membuktikan kualitas hasil keputusannya lebih baik ketimbang parlemen satu kamar (unicameral). Karena pengawasan terhadap pengambilan keputusan dilakukan secara berlapis (double check).

 

Hakikat Lembaga Perwakilan

Harapan ranyat yang sangat tinggi terhadap DPD itu mengalami ujian yang sangat berat. DPD yang diharapkan bisa menjadi lembaga yang bebas dari korupsi dan ajang perebutan kekuasaan secara membabi buta untuk kepentingan pribadi dan kelompok diuji oleh sakndal korupsi yang membelit mantan ketua DPD Irman Gusman dan perkelahian antar anggota DPD yang saling memperebutkan jabatan ketua/pimpinan yang terjadi baru-baru ini.

Penilaian sebagian orang bahwa DPD adalah lembaga yang bersih tidak lebih karena ia merupakan lembaga baru. Seiring perjalanan waktu, DPD ternyata tidak ada bedanya dengan DPR yaitu menjadi lembaga yang hanya sibuk mengurusi urusannya sendiri dan lupa dengan kepentingan rakyat.

Fenomena ini tentu harus menjadi warning bagi kita dalam rangka memperkuat kedudukan DPD. Jangan sampai nasib DPD sama dengan DPR yang menjadi lembaga dengan kewenangan yang powerful tetapi sekaligus menjadi lembaga yang paling korup di negeri ini.

Penyimpangan dan pelanggaran yang terjadi di DPD harus menjadi peringatan bagi kita semua bahwa mengupayakan agar orang-orang yang duduk di DPD adalah benar-benar orang yang tepat dan memiliki komitmet dalam rangka memperjuangkan kepentingan rakyat sebelum memberikan penguatan terhadap fungsi dan peran DPD adalah sesuatu yang tidak dapat ditawar. Karena pada akhirnya yang menentukan baik tidaknya sebuah kewenangan akan sangat ditentukan oleh siapa pemegang kewenangan tersebut.

Oleh karenanya, evaluasi menyeluruh terhadap mekanisme dan persyaratan untuk menjadi anggota DPD penting dilakukan. Guna melakukan control terhadap DPD agar tetap digaris perjuangan yaitu memperjuangkan kepentingan rakyat utamanya daerah. Maka ada dua hal yang perlu dilakukan. Pertama, syarat untuk menjadi anggota DPD tidak boleh hanya bersifat administratif tetapi harus juga memuat syarat substantif seperti mutu keilmuan, pengalaman kepemimpinan, dll.

Kedua, DPD harus dibebaskan dari kepentingan parpol.

Ketiga, harus ada mekanisme recall. Selama ini hanya anggota DPR yang bisa di recall sementara anggota DPD tidak. Jika yang berhak merecall anggota DPR adalah parpol karena ia dicalonkan melalui parpol, maka ke depan perlu dikembangkan mekanisme recall anggota DPD oleh masyarakat dimana ia berasal (dapil). Harapannya, adanya recall ini akan menjadi system control dari masyarakat agar seluruh anggota DPD tetap berada dalam garis konstitusional.

Bagaimanapun DPD adalah lembaga yang lahir dari Rahim reformasi. Pembentukannya dilandasi oleh maksud yang sangat mulia yaitu membangun checks and balances di lembaga perwakilan sehingga mutu keputusan yang dikeluarkan oleh lembaga ini akan semakin berkwalitas.

Namun demikian, kepentingan politik dan individu seringkali dapat merusak cita-cita tersebut. Oleh karenanya, membangun sebuah sistem guna menutup sekecil apapun potensi munculnya hal-hal yang dapat merusak marwah lembaga ini sangat penting dilakukan.

Kehadiran DPD merupakan sesuatu yang penting, namun yang tidak kalah penting adalah bagaimana keberadaannya tidak hanya sebentuk kehadiran fisik, tetapi mampu memberikan citra positif wajah parlemen. Jika keberadaannya tidak memerikan kontribusi positif bagi pengembangan demokrasi dan kesejahteraan rakyat, maka penulis berpendapat akan lebih baik jika DPD dibubarkan karena ia hanya memboroskan anggaran negara.

 

[1] Dosen Hukum Tata Negara dan Peneliti pada Pusat Studi Hukum dan Konstitusi FH UII. Kandidat Doktor FH UI Jakarta.

Indonesia Darurat Peraturan

Jamaludin Ghafur, SH., MH[1]

Indonesia sebagai negara hukum mewajibkan semua orang – tidak terkecuali – aparatur pemerintah untuk tidak sewenang-wenang, melainkan harus tunduk pada peraturan hukum yang berlaku. Dari sini, eksistensi peraturan menjadi sangat penting.

Namun demikian, arti penting kehadiran berbagai peraturan tersebut sedang dipersoalkan. Pasalnya, jumlah peraturan yang ada saat ini kurang lebih 60 ribu dianggap terlalu banyak sehingga membingungkan. Terlebih, beberapa isinya saling tumpang tindih bahkan tidak singkron dan saling bertentangan.

Efeknya, hukum yang seharusnya menjadi pelopor bagi perkembangan ekonomi justru menjadi faktor penghambat. Merespon hal ini, Presiden berencana akan membentuk tim reformasi regulasi dengan tugas utama merampungkan obesitas hukum yang sudah akut.

Banyaknya peraturan salah satunya disebabkan oleh anggapan bahwa tugas yang paling penting dari parlemen adalah membuat peraturan (fungsi legislatif). Padahal selain fungsi tersebut, masih ada fungsi lainnya yang juga tidak kalah penting yaitu budgeting dan pengawasan. Ketika fungsi legislatif dianggap sebagai yang paling penting maka tidak dapat dihindari bila salah satu ukuran keberhasilan kinerja dewan adalah seberapa banyak dia memproduk peraturan.

 

Civil Law Tradition dan Common Law Tradition

Selain itu, masifnya pembentukan peraturan juga dipengaruhi oleh sistem hukum yang dianut oleh sebuah negara. Secara tradisional, terdapat dua kelompok tradisi hukum yang utama di dunia, yaitu tradisi hukum kontinental (Civil Law Tradition), dan tradisi hukum anglo-saksis (Common Law Tradition).

Perbedaan keduanya antara lain didasarkan pada peranan hukum perundang-undangan dan yurisprudensi (putusan badan peradilan). Negara-negara yang tergolong ke dalam hukum kontinental menempatkan hukum (peraturan) perundang-undangan sebagai sendi utama sistem hukumnya. Sedangkan negara-negara yang menganut tradisi hukum anglo-saksis menjadikan yurisprudensi sebagai sendi utama sistem hukumnya.

Indonesia sebagai negara yang menganut Sistem Hukum Eropa Kontinental (civil law system), eksistensi peraturan perundang-undangan sangatlah penting, karena bila dikaitkan dengan asas legalitas yang berarti setiap tindakan pemerintah harus memiliki dasar pada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Maka, tanpa adanya dasar wewenang yang diberikan oleh suatu peraturan, segala macam aparat pemerintah tidak akan memiliki wewenang yang dapat mempengaruhi atau mengubah keadaan atau posisi hukum warga masyarakatnya.

 

Landasan Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan

Sekalipun pembentukan peraturan perundang-undangan merupakan konsekwensi dari sistem hukum kontinental yang dianut oleh Indonesia, namun bukan berarti proses pembentukannya dapat dilakukan secara serampangan. UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan telah mengatur bahwa agar peraturan yang dibuat berkualitas maka harus memenuhi tiga landasan: (1) landasan filosofis (filosofische grondslag) yaitu pertimbangan yang menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk mempertimbangkan pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum yang meliputi suasana kebatinan serta falsafah bangsa Indonesia yang bersumber dari Pancasila dan Pembukaan UUD 1945, (2) landasan sosiologis (sociologische grondslag) yaitu pertimbangan yang menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam berbagai aspek, dan (3) landasan yuridis (yuridische grondslag) yaitu pertimbangan yang menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk mengatasi permasalahan hukum atau mengisi kekosongan hukum dengan mempertimbangkan aturan yang telah ada, yang akan diubah, atau yang akan dicabut guna menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat.

Berdasarkan hal di atas, akar masalah peraturan perundang-undangan di Indonesia bersumber pada tiga hal: Pertama, secara umum pembentukan peraturan perundang-undangan lebih banyak berlandaskan pada aspek filosofis-yuridis dan sangat minim pada kajian sosiologisnya. Padahal tepat tidaknya rumusan peraturan sangat ditentukan oleh kebutuhan masyarakat. Sehingga, kurangnya kajian sosiologis ini menyebabkan beberapa peraturan tidak menjawab persoalan hukum yang dihadapi rakyat. Bahkan dalam konteks tertentu, kehadiran hukum justru menimbulkan problem baru di tengah-tengah masyarakat.

Kedua, kalaupun kajian sosiologisnya sudah cukup memadai, dalam banyak hal dikalahkan oleh kepentingan politik pejabat legislatif dan eksekutif. Sehingga substansi peraturan tidak lagi aspiratif.

Ketiga, tidak singkronnya beberapa peraturan yang ada disebabkan oleh ego sektoral antar instansi pemerintah. Masing-masing instansi membuat peraturan sesuai keinginannya yang tidak jarang bertentangan dengan keinginan instansi lainnya.

Untuk mengatasi hal tersebut, pemerintah harus banyak terjun ke masyarakat dan melihat secara langsung masalah-masalah yang dihadapi masyarakat sehingga substansi peraturan akan kaya secara sosiologis. Selain itu, tenaga ahli di bidang perundangan-undangan harus diperkuat dengan merekrut orang-orang yang berkompeten.

Pada akhirnya, banyaknya jumlah peraturan yang ada sebenarnya tidak jadi soal sepanjang keberadaannya mampu menopang tegaknya Indonesia sebagai negara hukum yang bermartabat dan tentu saja mendukung terhadap tercapainya tujuan bernegara yaitu mensejahterakan rakyatnya. Peraturan akan menjadi masalah jika peningkatan kuantitas tidak diimbangi oleh kwalitas yang baik.

[1] Dosen Hukum Tata Negara dan Peneliti pada Pusat Studi Hukum dan Konstitusi FH UII. Kandidat Doktor FH UI Jakarta.

Absennya Djarot di Pelantikan Gubernur DKI

Jamaludin Ghafur, SH., MH[1]

 

Salah satu yang disoroti publik di tengah gegap gempitanya perayaan pelantikan gubernur/wakil gubernur baru DKI Jakarta adalah ketidakhadiran mantan Gubernur DKI Jakarta Djarot Saeful Hidayat. Pendapat publik terbelah menjadi dua: menyalahkan dan membenarkan. Pendapat pertama menganggap hal itu sebagai sikap yang tidak etis dan bukan merupakan sikap seorang negarawan. Terlebih absennya Djarot karena sedang berlibur. Sementara mereka yang tidak mempersoalkan, berargumen bahwa secara hokum memang tidak ada kewajiban, terlebih serah terima jabatan (sertijab) sudah diwakili oleh Sekda DKI Saefullah sebagai pelaksana harian (Plh).

 

Masa Jabatan Gubernur

Salah satu alasan yang dikemukakan Djarot atas ketidakhadirannya dalam pelantikan tersebut karena menganggap bahwa dirinya per hari minggu (15/10) masa jabatannya sudah berakhir dan telah ditunjuk Plh untuk melaksanakan tugas gubernur. Artinya, sejak hari minggu sampai dilantiknya gubernur yang baru, terjadi kekosongan jabatan gubernur DKI Jakarta sehingga diperlukan Plh untuk mengisi jabatan tersebut.

Hal ini tentu sangat disayangkan karena desain pengaturan tentang masa jabatan gubernur tidak rancang sedemikian rupa agar terjadi kesinambungan antara kepemimpinan sebelumnya ke kepemimpinan berikutnya. Semestinya hokum mengatur bahwa masa jabatan Gubernur yang lama akan berakhir tepat pada saat dilantiknya Gubernur yang baru. Dengan cara seperti ini, ke depan diharapkan tidak akan ada lagi insiden di mana mantan gubernur tidak menghadiri sertijab dan pelantikan gubernur yang baru.

Di lembaga kepresiden, kontinyuitas masa jabatan kepemimpinan ini sudah terjadi karena masa jabatan Presiden yang lama akan berakhir tepat pada saat presiden yang baru dilantik dan disumpah. Sehingga dengan desain pengaturan seperti ini, dapat dipastikan tidak akan terjadi kekosongan kepemimpinan yang memerlukan Plh.

 

Konvensi Ketatanegaraan

Dari sudut peraturan perundang-undanag, memang tidak ada keharusan bagi gubernur lama untuk menghadiri pelantikan gubernur yang baru. Namun demikian, kebiasaan selama ini menunjukkan bahwa seluruh gubernur lama selalu hadir dalam pelantikan gubernur baru. Kebiasaan ini dapat dikategorikan sebagai konvensi ketatanegaraan (constitutional conventions) yang dalam perspektif hokum tata negara (HTN), konvensi merupakan salah satu sumber hokum tata negara. Oleh karenanya, konvensi ketatanegaraan atau kebiasaan ketatanegaraan semacam itu juga dianggap harus ditaati sebagai konstitusi, yaitu dalam makna konstitusi yang tidak tertulis. Konvensi/kebiasaan ketatanegaraan sekalipun sifatnya tidak tertulis, namun dianggap baik dan berguna dalam penyelenggaraan negara menurut undang-undang dasar. Oleh karena itu, meskipun tidak didasarkan atas ketentuan konstitusi tertulis, hal itu tetap dinilai penting secara konstitusional (constitutionally meaningful) (Jimly Asshiddiqie: 2006, 178).

Memang dibandingkan dengan sumber HTN lainnya seperti peraturan perundang-undangan, konvensi ketatanegaraan tidak memiliki kekuatan mengikat yang cukup kuat. Artinya, jika terjadi penolakan oleh pejabat negara dengan tidak lagi melaksanakannya, maka tidak ada sanksi apapun. Bahkan, pembangkangan terhadap konvensi tersebut dapat merubah konvensi/ kebiasaan ketatanegaraan yang telah ada.

Namun demikian, hadirnya konvensi ketatanegaraan sebagai salah satu sumber HTN menandakan bahwa peraturan tertulis saja tidak cukup untuk mengatur perilaku pejabat negara. Di luar itu, ada kebiasan-kebiasan baik (etika) yang mesti diperhatikan yang posisinya juga sama pentingnya dengan peraturan tertulis. Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Ashidiqie dengan tegas menyatakan, baik the rule of law maupun the rule of ethics harus sama-sama menjadi pedoman bagi pejabat negara.

Kehadiran gubernur lama dalam acara pelantikan gubernur baru merupakan konvensi ketatanegaraan yang baik dan oleh karenanya perlu untuk terus dipertahankan karena hal ini dapat mendorong terciptanya kesinambungan atas program-program pemerintahan sebelumnya, menciptakan semangat persatuan dan kesatuan antar para pendukungnya masing-masing setelah sebelumnya dalam proses pilkada masyarakat terkondisikan dalam dua kubu yang saling berhadap-hadapan. Selain itu, sikap ini juga akan menjadi pembelajaran politik yang baik bagi masyarakat bahwa kalah-menang dalam kontestasi pilkada adalah hal biasa.

[1] Dosen Hukum Tata Negara dan Peneliti Pusat Studi Hukum dan Konstitusi FH UII. Kandidat Doktor FH UI Jakarta.

Penyadapan

Jamaludin Ghafur, SH., MH[1]

 

Sidang lanjutan kasus penistaan agama oleh Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) selasa 30/1/2017 menghadirkan saksi KH. Ma’ruf Amin ketua MUI dan sekaligus Rais Aam PBNU. Salah satu hal yang mengemuka dalam persidangan adalah pernyataan Ahok dan tim kuasa hukumnya yang berniat memproses secara hukum KH. Ma’ruf Amin karena dianggap telah berbohong dengan tidak mengakui dirinya telah menerima telepon dari Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada 7 Oktober 2016 yang disinyalir isinya adalah permohonan SBY kepada KH. Ma’ruf Amin untuk meluangkan waktu bertemu dengan Agus dan Sylvi dan minta segera dikeluarkan fatwa tentang penistaan agama. Padahal Ahok dan tim kuasa hukumnya mengklaim memiliki bukti rekaman.

Klaim ini tentu perlu dibuktikan dan ditelusuri darimana Ahok dan tim kuasa hukumnya mendapatkan rekaman tersebut. Hal ini sangat penting karena secara hukum tidak boleh ada aktifitas penyadapan pembicaraan siapapun kecuali untuk kepentingan hukum. Caranyapun harus dilakukan secara legal dan hanya boleh dilakukan oleh penegak hukum.

 

Penyadapan Menurut Hukum

Penyadapan merupakan salah satu cara untuk mencari alat bukti atas sebuah kejahatan. Misalnya, Pasal 12 ayat (1) UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK menyatakan, “Dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c, KPK berwenang melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan”. Hasil dari penyadapan akan berbentuk Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang menurut Pasal 5 ayat (1) UU ITE dapat dijadikan sebagai alat bukti yang sah.

Namun demikian, tidak semua orang dibenarkan melakukan penyadapan. Karenanya, bagi siapa saja yang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atau penyadapan atas Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dalam suatu Komputer dan/atau Sistem Elektronik tertentu milik orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun dan/atau denda paling banyak Rp800.000.000 (Pasal 47 UU ITE).

Putusan MK Nomor 20/PUU-XIII/2015 menyatakan, agar tidak semua orang dapat melakukan penyadapan (termasuk perekaman) maka “informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik” dalam Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 44 huruf b UU ITE dan Pasal 26A UU Tipikor baru bisa dijadikan alat bukti yang sah jika dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum lainnya yang ditetapkan berdasarkan undang-undang. Menurut MK, alat bukti yang diperoleh dengan cara yang tidak sah atau unlawful legal evidence, harus dikesampingkan oleh hakim atau dianggap tidak mempunyai nilai pembuktian oleh pengadilan.

Keharusan penyadapan dilakukan sesuai dengan peraturan dan harus dilakukan oleh penegak hukum sangat terkait dengan asas Indonesia sebagai negara hukum dan perlindungan atas hak asasi manusia. Penyadapan sekalipun sangat berguna untuk mengungkap suatu kejahatan, ia tetap merupakan sebuah tindakan yang melanggar privasi orang lain dan melanggar hak asasi manusia. Karenanya, pelaksanaannya harus sesuai aturan.

 

Keterlibatan Oknum Negara?

Jika pengakuan Ahok dan tim kuasa hukumnya valid, saya menduga penyadapan tersebut kecil kemungkinan dilakukan oleh perorangan karena prosesnya membutuhkan keahlian yang mumpuni dan ketersediaan alat yang sangat canggih dengan harga yang sangat mahal. tanpa adanya keterlibatan oknum penegak hukum. Karena Dugaan ini didasarkan pada kenyataan bahwa negara adalah institusi yang memiliki segalanya (kekuasaan dan fasilitas) untuk melakukan apapun terhadap warga negaranya termasuk penyadapan.

Kecurigaan ini tentu baru sebatas dugaan yang perlu dibuktikan kebenarannyanya. Presiden harus memberikan atensi terhadap kasus ini dan memerintahkan kepada aparat penegak hukum untuk mencari kebenarannya. Bila terbukti, tentu ini merupakan suatu tragedi bagi bangsa ini karena negara sudah tidak lagi berfungsi sebagai pelindung, tetapi justru menjadi ancaman terhadap kehidupan masyarakat. Padahal Pasal 28G ayat (1) UUD 1945 menjamin bahwa, “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi”.

Namun bila fiktif, Ahok dan tim kuasa hukumnya telah melakukan kebohongan publik dan perlu diberi sanksi yang tegas. Karena pernyataannya itu telah menimbulkan kegaduhan baru yang berpotensi menggagu stabilitas dan keutuhan bangsa.

Pengusutan secara tuntas atas kebenaran kasus ini menjadi sangat penting untuk memastikan agar setiap orang tidak mudah melontarkan pernyataan yang tidak didasari bukti, dan memastikan bahwa institusi negara berikut fasilitas yang dimiliki tidak digunakan selain hanya demi kepentingan dan perlindungan hak-hak masyarakat. Jika SBY sebagai mantan Presiden disadap secara semena-mena dan illegal, bagaimana dengan kita masyarakat biasa?

Memang kedua belah pihak telah saling memaafkan, hubungan sesame manusia tentu itu sah-sah saja. Namun persoalan hukum yang ada tetap harus diproses. Bagaimanapun Indonesia adalah negara hukum. Jangan sampai hukum dikangkangi oleh kekuatan politik yang justru akan mengulangi tragedy masa lalu sebagaimana terjadi masa masa orde baru.

[1] Dosen Hukum Tata Negara dan Peneliti Pusat Studi Hukum dan Konstitusi FH UII. Kandidat Doktor FH UI Jakarta.

Presidential Threshold

Jamaludin Ghafur, SH., MH[1]

 

Putusan MK nomor 53/PUU-XV/2017 menyatakan Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang mengatur syarat Presidential Threshold (PT) yaitu Pasangan Calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 % (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya, adalah konstitusional karena ketentuan ini dibutuhkan untuk memberi kepastian dukungan parlemen terhadap presiden sebagai salah satu syarat stabilitas kinerja presiden. PT berfungsi untuk memperkuat sistem presidensial.

Pertimbangan MK ini benar bahwa presiden butuh dukungan parlemen agar dapat bekerja secara efektif karena sebagian dari kewenangan presiden membutuhkan pertimbangan dan bahkan persetujuan dari parlemen. Tetapi, menggunakan PT sebagai cara untuk menggalang dukung parlemen adalah sebuah kekeliruan terlebih dalam pemilu yang akan diselenggarakan secara serentak karena keserentakan pemilu esensinya adalah dalam rangka membangun dukungan parlemen melalui coattail effect. Persyaratan PT telah menyebabkan pemilu serentak menjadi tidak bermakna.

 

Salah memaknai Presidential Threshold

Menurut J. Mark Payne (Pipit R. Kartawidjaja: 2016), dalam praktik ketatanegaraan di berbagai negara, Presidential Threshold adalah syarat seorang calon presiden untuk terpilih menjadi presiden, bukan syarat dukungan dalam pencalonan. Misalnya, untuk terpilih menjadi presiden dan wakil presiden harus memperoleh dukungan suara: di Brazil 50 persen plus satu, di Ekuador 50 persen plus satu atau 45 persen asal beda 10% dari saingan terkuat; di Argentina 45 persen atau 40 persen asal beda 10% dari saingan terkuat dan sebagainya.

Di Indonesia, ketentuan semacam ini telah diatur dalam Pasal 6A ayat (3 dan 4) UUD 1945 yaitu, Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang mendapatkan suara lebih dari lima puluh persen dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya dua puluh persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia, dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden. Dalam hal tidak ada pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih, dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum dipilih oleh rakyat secara langsung dan pasangan yang memperoleh suara rakyat terbanyak dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden.

Jadi, makna PT sebagai syarat dukungan pencalonan presiden/wakil presiden yang diatur dalam UU pemilu yang kemudian dinyatakan sah oleh MK sebenarnya merupakan sebuah kekeliruan dan penyimpangan.

 

Presidential Threshold dan Pemilu Serentak

Perubahan pelaksanaan pemilu yang sebelumnya terpisah antara pileg dan pilpres menjadi serentak di tahun 2019 bukan hanya sekedar perubahan waktu pelaksanaan tetapi mengandung nilai dan tujuan yang ingin dicapai. Pertama, menegakkan norma konstitusi. Pasal 22E ayat (2) UUD 1945 dengan tegas mengamanatkan bahwa pileg dan pilpres harus bersamaan. Oleh karenanya, pelaksanaan pileg dan pilpres yang sebelumnya terpisah merupakan pembangkangan konstitusional. Maksud dibalik pengaturan ini adalah untuk memurnikan sistem presidensial di mana pilpres tidak bergantung pada hasil pileg sebagaimana dalam sistem parlementer. Dalam sistem presidensial, mendasarkan pemilihan presiden terhadap hasil pemilu legislatif merupakan sebuah anomali. Sebab, basis legitimasi seorang presiden dalam skema sistem presidensial tidak ditentukan oleh formasi politik parlemen hasil pemilu legislatif. Lembaga presiden dan parlemen dalam sistem presidensial adalah dua institusi terpisah yang memiliki basis legitimasi berbeda. Oleh sebab itu, seharusnya ketentuan PT tidak lagi relevan diterapkan dalam pilpres 2019 karena ketentuan ini menjadikan pilpres tidak lagi independen terhadap hasil pileg.

Kedua, praktik di berbagai negara, pemilu serentak memunculkan terjadinya coattail effect di mana keterpilihan presiden akan mempengaruhi keterpilihan parlemen nasional. Artinya, besar kemungkinan partai yang memenangkan pilpres sekaligus juga akan memenangkan pileg. Dengan demikian, dukungan dari parlemen akan secara otomatis diperoleh oleh presiden/wakil presiden terpilih. Karenanya, dasar argumentasi MK bahwa PT dibutuhkan untuk menguatkan sistem presidensial karena presiden mendapat kepastian adanya dukungan dari parlemen juga tidak tepat karena mekanisme pemilu serentak itu sendiri sudah akan secara otomatis menciptakan dukungan tersebut.

Selain PT tidak sesuai dengan maksud dan tujuan dari pelaksanaan pemilu serentak, ketentuan ini juga melanggar prinsip keadilan pemilu (electoral justice), di mana setiap peserta pemilu punya hak pencalonan (candidacy right) yang sama. Pemberlakuan PT menjadikan partai politik baru yang belum menjadi peserta Pemilu 2014 otomatis kehilangan hak mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden. Padahal, adil adalah salah satu asas yang mesti ada dalam pelaksanaan pemilu sebagaimana tercantum dalam Pasal 22E ayat (1) UUD 1945, Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali.

 

[1] Dosen Hukum Tata Negara dan Peneliti pada Pusat Studi Hukum dan Konstitusi FH UII. Kandidat Doktor FH UI Jakarta.

Lembaga Perwakilan

Jamaludin Ghafur, SH., MH[1]

Sejumlah isu dalam RUU Pemilu  sampai saat ini masih menjadi perdebatan. Salah satunya adalah usulan untuk menambah jumlah kursi DPR periode 2019-2024. Pada periode sekarang (2014-2019) kursi DPR berjumlah 560, lebih banyak 10 kursi dibandingkan periode sebelumnya yang berjumlah 550. Jika usul penambahan kursi ini diterima, maka jumlah anggota DPR mendatang pastinya akan lebih gemuk lagi.

Hakikat Perwakilan

Menambah jumlah anggota tentu sah-sah saja sepanjang hal itu sesuai kebutuhan. Namun hal yang sangat mendesak untuk ditambah dan perbaiki oleh DPR sebenarnya bukan jumlah personel tetapi kinerja yang baik terutama kepiawainanya dalam mendengar dan menterjemahkan aspirasi rakyat ke dalam berbagai kebijakan.

Jimly Asshiddiqie (2006) menyebut setidaknya ada 4 (empat) fungsi lembaga perwakilan yaitu fungsi legislasi, pengawasan, deliberatif dan resolusi konflik, dan fungsi perwakilan. Diantara keempatnya, Asshiddiqie menyebut fungsi yang paling pokok adalah fungsi perwakilan (representasi). Dalam hubungan itu, ia membedakan antara pengertian representation in presence dan representation in ideas. Pengertian pertama bersifat formal, yaitu keterwakilan yang dipandang dari segi kehadiran fisik. Sedangkan, pengertian yang kedua bersifat substantif, yaitu perwakilan atas dasar aspirasi atau idea.

Dalam pengertian yang formal, keterwakilan itu sudah dianggap ada apabila secara fisik dan resmi, wakil rakyat yang terpilih sudah duduk di parlemen. Akan tetapi, secara substansial, keterwakilan rakyat itu sendiri baru dapat dikatakan tersalur apabila kepentingan nilai, aspirasi, dan pendapat rakyat yang diwakili benar-benar telah diperjuangkan dan berhasil menjadi bagian dari kebijakan yang ditetapkan oleh lembaga perwakilan rakyat yang bersangkutan, atau setidak-tidaknya aspirasi mereka itu sudah benar-benar diperjuangkan sehingga mempengaruhi perumusan kebijakan yang ditetapkan oleh parlemen.

Jikaccara fisik sudah hadir sejak Indonesia merdeka, tidak demikian dengan representasi ide. Hasil survey dari berbagai lembaga selalu menunjukkan DPR konsisten sebagai lembaga yang paling tidak kredibel di mata rakyat. Bahkan sejak reformasi, DPR tidak pernah absen dari jeratan korupsi, kasus teranyar adalah skandal korupsi e-KTP. Hal ini mengonfirmasi bahwa DPR hanya hadir secara secara fisik tetapi tidak secara idea. Oleh karenanya, alasan menambah jumlah anggota DPR demi kepentingan rakyat merupakan sebuah ilusi.

Demokrasi Kaum Penjahat

Apa yang terjadi di DPR sebagai salah satu pilar demokrasi semakin menegaskan bahwa demokrasi kita baru berjalan sebatas prosedural dan belum menjadi demokrasi yang substantif.

Olle Tornquist, seorang pengamat kawakan perkembangan politik di Indonesia, pernah meramalkan kemungkinan datangnya hantu “demokrasi kaum penjahat”. Dalam bentuk seperti ini, demokrasi hanya akan terjadi secara formal, tetapi tidak diiringi oleh partisipasi rakyat yang sungguh-sungguh dalam pemilu dan dalam pembentukan kebijakan pemerintahan (Liddle: 2001)

Bagi Sartori, “kesalahan paling elementer dan naif” para pelaku demokrasi prosedural adalah cenderung “mereduksi demokrasi dengan namanya” sehingga terjebak dalam apa yang dia sebut “demokrasi etimologis”. (Pabotinggi:2007)

 

Harapan Rakyat

UU Pemilu masa depan harus bisa menggaransi bahwa demokrasi Indonesia tidak akan pernah jatuh ke tangan “kaum penjahat”. Oleh karenanya, perdebatan dalam RUU Pemilu tentang hal-hal yang tidak mengarah pada pembentukan demokrasi substantif harusnya dihindari dan fokus hanya pada bagaimana menghasilkan anggola legislatif yang berkwalitas. Untuk hal ini, beberapa hal berikut seharusnya menjadi perhatian serius para perancang RUU Pemilu yaitu: Pertama, memastikan bahwa penyelenggara pemilu adalah orang-orang independen dan berintegritas sehingga wacana untuk memasukkan perwakilan parpol sebagai anggota KPU merupakan langkah yang kontraproduktif.

Kedua, memastikan bahwa seluruh sengketa dan pelanggaran pemilu dapat diselesaikan secara bermartabat. Pengalaman selama ini, beberapa pelanggaran pemilu tidak dapat diselesaikan dengan baik karena hambatan prosedur dan perilaku tidak professional aparat penegak hukum.

Ketiga, sistem pemilu yang tidak selalu berubah sehingga membingungkan masyarakat. Oleh karenanya, wacana untuk merubah sistem pemilu terbuka menjadi setengah terbuka atau tertutup hanya akan membingungkan pemilih. Dalil bahwa modifikasi sistem pemilu diperlukan untuk menghasilkan anggota DPR yang berkwalitas sangat mengada-ada. Apapun sistem pemilunya, jika para calonnya tidak kompeten maka hasilnyapun tidak akan jauh berbeda.

Keempat, pengetatan syarat calon anggota DPR. Selama ini, syarat untuk menjadi anggota DPR lebih banyak bersifat administratif dan tidak substantif. Efeknya, penghuni DPR lebih banyak selebritas, pebisnis, atau sosok berpengaruh lain yang cuma mengandalkan ketenaran dan uang, tetapi minim pengetahuan, apalagi kemampuan, di bidang politik. Jangankan memperjuangkan kepentingan rakyat, tugas pokok sebagai wakil rakyat pun mereka tak paham. Harusnya, mutu keilmuan, integritas pribadi, dan komitmen memperjuangkan kepentingan nasional harus menjadi syarat mutlak calon anggota DPR.

[1] Dosen Hukum Tata Negara dan Peneliti pada Pusat Studi Hukum dan Konstitusi FH UII. Kandidat Doktor FH UI Jakarta.

Karya Ilmiah: Inda Rahadiyan, S.H., M.H.

Jurnal Hukum Ius Quia Iustum:

  • Kedudukan BUMN Persero Sebagai Separate Legal Entity Dalam Kaitannya Dengan Pemisahan Keuangan Negara Pada Permodalan BUMN, Jurnal Hukum Vol 20 No. 4 – Oktober 2013.
  • Peran dan Tanggung Jawab Lembaga Penjamin Simpanan dalam Penanganan dan Penyelamatan Bank Gagal Berdampak Sistemik.
  • Bentuk Hubungan Hukum Para Pihak dan Tanggung Jawab Agen dalam Penyelenggaraan Branchless Banking di Indonesia.

Jurnal Defendonesia

  • Peluang dan Tantangan atas Keikutsertaan Indonesia Pada Masyarakat Ekonomi ASEAN.
  • Keikutsertaan Indonesia Pada Masyarakat Ekonomi ASEAN dan Implikasinya Terhadap Pengaturan Penggunaan Tenaga Kerja Asing. 
  • Menimbang Posisi Indonesia dalam Kontrak Karya Freeport : Problematika Hukum-Sosial serta Kemungkinan Solusinya.

BUKU

  • Hukum Pasar Modal di Indonesia: Pengawasan Pasar Modal Pasca Terbentuknya Otoritas Jasa Keuangan
  • Pokok-Pokok Hukum Pasar Modal di Indonesia

Hakim MK Negarawan oleh Jamaludin Ghafur

Jamaludin Ghafur[1]

 

Satu-satunya jabatan yang secara eksplisit disebutkan dalam UUD 1945 harus diisi oleh sosok negarawan adalah jabatan Hakim Mahkamah Konstitusi (MK). Pasal 24C ayat (5) UUD 1945 menegaskan bahwa Hakim konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan, serta tidak merangkap sebagai pejabat negara. Dalam konteks bernegara, negarawan tentu merupakan kualifikasi tertinggi dalam sebuah persyaratan sebagai pejabat publik.

Tertangkapnya hakim konstitusi Patrialis Akbar oleh KPK atas dugaan menerima suap dalam perkara pengujian undang-undang menyadarkan publik bahwa tidak semua hakim MK adalah seorang negarawan. Sejak MK berdiri pada tahun 2003, kasus hukum yang menjerat hakim MK bukan baru kali ini saja terjadi. Ada sejumlah kasus hukum dan etik yang pernah terjadi sebelumnya yaitu kasus suap Akil Mochtar mantan Ketua MK yang telah divonis penjara seumur hidup; pelanggaran kode etik oleh Mantan Hakim Konstitusi Arsyad Sanusi; dan Ketua MK saat ini Arief Hidayat pernah dinyatakan terbukti melanggar kode etik butir ke-8 soal kepantasan dan kesopanan sebagai hakim konstitusi karena memberikan memo kontroversial kepada mantan Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Widyo Pramono.

 

MK dan Cita Supremasi Hukum

MK adalah anak kandung reformasi. Lembaga ini dilahirkan saat Indonesia mengalami transisi demokrasi. Sebelum MK lahir, kekuasaan kehakiman di Indonesia hanya dijalankan oleh Mahkamah Agung (MA). Banyaknya mafia peradilan di tubuh MA saat itu menjadi alasan mengapa Indonesia membutuhkan lembaga peradilan lain selain MA. Maka dibentuklah MK yang diberi tugas untuk menangani berbagai soal ketatanegaraan. Harapannya, MK dapat menjadikan hukum berdiri tegak sebagai panglima dalam mengawal perjalan bangsa di mana pada masa rezim pemerintahan sebelumnya hukum selalu di kalahkan oleh kepentingan-kepentingan politik. Melalui lembaga ini, bangsa Indonesia berharap agar keadilan dan hak-hak masyarakat dapat terlindungi.

Di periode pertama dan kedua,di bawah kepemimpinan Jimly Asshiddiqie dan Moh. Mahfud MD, harapan akan tegaknya supremasi hukum di Indonesia perlahan namun pasti mulai menunjukkan titik terang. Banyak putusan-putusan MK yang diapresiasi oleh publik karena putusannya dianggap mewakili rasa keadilan masyarakat. MK pada masa itu pernah menjadi salah satu lembaga penegak hukum yang dihormati dan berwibawa di mata masyarakat.

sayangnya, spirit perjuangan itu tidak dapat dilanjutkan oleh generasi berikutnya. Sebagian hakim pengganti tidak lagi memegang teguh nilai-nilai dan prinsip mulia yang telah dibangun dan diwariskan oleh para pendahulunya. Sejarah perjalanan MK berikutnya bukan lagi sejarah tentang prestasi dan kegigihan untuk menegakkan supremasi konstitusi, tetapi MK telah menjadi lembaga yang tidak lagi ada bedanya dengan lembaga-lembaga penegak hukum lainnya yang mulai kerasukan mafia-mafia peradilan. Bahkan sebagian mafia itu berasal dari internal hakim MK.

 

Evaluasi Mekanisme Seleksi Hakim MK

Lolosnya seseorang yang tidak memiliki predikat negarawan sebagai hakim MK salah satu faktornya karena ketidak jelasan prosedur dan mekanisme seleksi hakim MK. Secara konstitusional, ada tiga lembaga yang memiliki kewenangan untuk memilih hakim MK yaitu Mahkamah Agung, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Presiden. Namun demikian, ketiga lembaga tersebut tidak memiliki standar yang baku tentang tatacara seleksi hakim MK. Tidak mengherankan jika proses pemilihan hakim MK selalu berbeda dari waktu ke waktu. Praktik pengusulan, pemilihan, dan pengangkatannya masih bersifat ‘trial and error’.

Di DPR, meskipun proses uji kelayakan dilakukan terbuka namun tidak pernah menjelaskan apa indikator penilaian dan argumentasi terpilihnya seseorang sebagai hakim MK. Seleksi calon hakim MK jalur Presiden dilakukan secara tidak konsisten. Masa pemerintahan SBY, ditunjuk langsung oleh Presiden. Sementara pada era Jokowi membentuk panitia seleksi. Sementara di Mahkamah Agung (MA), mekanisme rekrutmen calon hakim MK sangat tertutup baik dari segi siapa yang boleh mendaftar dan mekanisme seleksinya. Akibatnya, calon hakim konstitusi dari MA selalu berasal dari internal mereka yang kualifikasinya tidak pernah diketahui oleh publik.

Agar tercipta parameter yang jelas terkait kelayakan calon hakim konstitusi, ada beberapa hal yang harus dilakukan: Pertama, MA, DPR, dan Presiden harus membentuk peraturan bersama yang mengatur tentang Pedoman Kelayakan Hakim Konstitusi. Kedua, membentuk mekanisme yang sinergis dengan tahapan yang sama di dalam masing-masing lembaga agar tidak ada unsur pembeda antara seleksi melalui MA, DPR atau Presiden; ketiga, membentuk tim seleksi di masing-masing lembaga, dan oleh masing-masing lembaga dengan keanggotaan yang bersifat independen; keempat, melembagakan mekanisme fit and proper test sebagai sarana bagi publik untuk ikut berpartisipasi menjadikan proses seleksi hakim konstitusi transparan dan akuntabel.

[1] Penulis adalah Dosen Hukum Tata Negara dan Peneliti pada Pusat Studi Hukum dan Konstitusi (PSHK) FH UII