Di akhir masa jabatan pemerintahannya, kabar mengejutkan datang dari Istana Negara. Melalui kuasa hukum tim pemenangan JKW-MA, Yusril Ihza Mahendra menyatakan bahwa Presiden telah menyetujui pembebasan Abu Bakar Ba’asyir. Pada tahun 2011 lalu, Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menjatuhkan vonis bagi Ba’asyir selama 15 tahun penjara. Read more

Penulis: M. Syafi’ie, S.H., M.H.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), Departemen Hukum Tata Negara

 

Di awal tahun, tidak ada salahnya kita mengingat kasus pelanggaran HAM tahun lalu. Setidaknya kasus-kasus yang ada akan memperingatkan pemangku kebijakan agar tidak mengulangi kesalahan di tahun ini. Di hari HAM 2018, Kontras merilis peristiwa pelanggaran HAM yang cukup mengagetkan. Kasus pelanggaran HAM di sektor sumber daya alam (umum) mencapai 194 kasus, okupasi lahan mencapai 65 kasus, kriminalisasi 29 kasus, penembakan atas nama terorisme 15 kasus, penangkapan atas nama terorisme 99 kasus, vonis hukuman mati 21 kasus, penyiksaan (umum) 73 kasus, extrajudicial killing 182 kasus, pelanggaran aksi 32 kasus, pembubaran paksa 75 kasus, pelanggaran di sektor kebebasan beragama dan berkeyakinan 78 kasus, pelarangan aktifitas 28 kasus, intimidasi minoritas 19 kasus, dan persekusi 35 kasus.

Data pemantauan yang dihimpun Kontras memperlihatkan betapa pelanggaran HAM tahun 2018 terbilang sangat besar dan didominasi konflik sumber daya alam dan exstra judicial killing. Pertanyaannya, mengapa peristiwa pelanggaran HAM tersebut masih terjadi? Apakah di Indonesia sedang devisit norma terkait dengan HAM, atau yang bermasalah ialah hilangnya tanggungjawab negara terhadap semangat perlindungan, penghormatan dan pemenuhan HAM?

Terkait dengan norma hukum yang menjamin HAM, pasca jatuhnya rezim Orde Baru norma-norma hukum HAM telah banyak yang disahkan. Kovenan dan sebagian besar konvensi internasional telah diratifikasi lewat perundang-undangan. Norma hukum HAM yang dibuat pemerintah sendiri juga banyak yang telah disahkan. Bahkan UUD 1945 telah menjamin penghormatan dan perlindungan HAM dalam bab yang tersendiri. Walau pun ada beberapa catatan terhadap pengaturan norma hukum HAM, negara Indonesia terbilang cukup maju dalam memproduksi aturan yang menjamin hak asasi manusia.

Letak persoalan suburnya kasus pelanggaran HAM tahun lalu lebih tepat akibat dari lemahnya semangat penyelenggara negara, utamanya ‘aparat keamanan’ dalam menjunjung tinggi prinsip-prinsip HAM dalam menjalankan tugas dan tanggungjawabnya. Seperti kasus kriminalisasi dan okupasi lahan dalam kasus konflik sumber daya alam yang memperlihatkan betapa pemerintah dan aparat keamanan tidak cukup jelas bagaimana prinsip dan standar HAM mesti diutamakan dalam menyelesaikan persoalan. Penembakan, penangkapan, penyiksaan dan extrajudicial killing memperlihatkan betapa aparat kemanan masih mengutamakan pendekatan ‘represif’ dibanding dengan cara persuasi dan penegakan hukum yang fair. Sedangkan kasus intimidasi monoritas, persekusi dan pelarangan aktivitas ibadah memperlihatkan betapa aparat keamanan dan pemerintah cenderung abai dalam menjamin hak atas rasa aman setiap warga negara yang ada di negara bangsa ini.

Iluastrasi Beberapa Kasus

Konfllik sumber daya alam tahun lalu dan beberapa masih berlangsung saat ini antara lain terjadi di Tumpang Pitu, kasus Tambang Emas di Simpang Tonang, Pembangunan Waduk Sepat, Pembangunan Panas Bumi di Gunung Talang, konflik Serat Rayon di Sukoharjo dan konflik pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di Indramayu. Dari konflik yang terjadi, setidaknya 29 kasus yang di proses di pengadilan dan ironisnya aktivis lingkungan yang sebagian besar warga pemilik lahan ditetapkan sebagai pelaku kriminal. Bahkan, kriminalisasi tidak hanya menimpa aktivis lingkungan dan warga, tetapi menimpa para ahli yang berpendapat sesuai dengan kepakaran ilmunya. Ahli yang terancam hukum ialah Guru Besar Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB) Bambang Hero Suharjo yang digugat atas atas kasus kebakaran hutan dan lahan di area PT JJP. Kasus serupa menimpa Basuki Basis, seorang ahli lingkungan hidup IPB yang digugat karena kesaksiannya dalam kasus yang ditangani KPK terkait kerusakan lingkungan karena pemberian idzin salah satu usaha pertambangan.

Kasus pelanggaran HAM di sektor sumber daya alam lain terjadi Yogyakarta, yakni okupasi tanah dengan dasar kepentingan umum dalam pembangunan Bandara New Yogyakarta International Airport (NYIA). Demi memperlancar pembangunan bandara, pihak pengembang dan pemerintah melakukan penggusuran paksa dan mengabaikan standar pembangunan yang berbasis HAM. Pengosongan lahan warga dilakukan dengan cara-cara paksa dan tidak menghormati warga yang telah lama tinggal di lokasi. Komnas HAM menyebut pengosongan lahan warga tidak didasarkan pada semangat kemanusiaan dan melanggar terhadap norma-norma HAM yang telah menjadi hukum di Indonesia. Kasus yang okupasi lahan yang serupa juga terjadi di Desa Sidodadi Serdang dan Kota Binjai, di mana lahannya dialihfungsikan menjadi perkebunan tebu yang selanjutnya akan diolah perusahaan.

Di sektor hak sipil politik, kasus extrajudicial killing dengan cara tembak tempat ternyata massif terjadi. Kontras menemukan setidaknya terdapat 236 orang meninggal. Kasus ini ditengarai akibat pernyataan Kapolri yang memerintahkan kepada jajarannya agar bertindak tegas dan melakukan tembak mati kepada jambret, begal dan pengedar narkoba. Di lapangan, pernyataan Kapolri ternyata salah diterjemahkan dan berakibat banyaknya kasus pembunuhan di luar hukum. Banyak orang terbunuh tanpa proses hukum yang dapat dipertanggungjawabkan.

Butuh Kemauan Pemegang Kekuasaan

Kasus pelanggaran HAM yang menjadi catatan menahun dan belum ada progresifitasnya sampai awal tahun ini adalah terkait penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Pemerintah lewat Menko Polhukum Wiranto pernah berinisiatif membentuk Tim Gabungan Terpadu dan mengadakan pertemuan dengan keluarga korban pada 31 Mei 2018 di Istana Negara. Namun demikian, dalam pertemuan tersebut terkonfirmasi ketidakmauan pemerintah untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu lewat jalur pengadilan dan muncul rencana yang semata non hukum, yaitu penyelesaian lewat rekonsililasi. Dalam perjalanannya, inisiatif ini tidak mengalami perkembangan dan tidak ada kemauan yang kuat untuk menyelesaikan kasus dan memulihkan hak-hak korban dan keluarganya.

Kasus pelanggaran HAM berat masa lalu dan beberapa kasus pelanggaran HAM lain berkelindan dengan besarnya informasi hoax dan berita-berita buruk yang secara langsung dan tidak langsung memperkuat stigma, persekusi, ujaran kebencian dan dorongan untuk menghancurkan kelompok-kelompok yang minoritas. Kriminalisasi atas nama pencemaran nama baik seperti yang diatur dalam KUHP dan pelanggaran terhadap Undang-Undang ITE juga semakin tidak terkendali arah penegakannya.

Di awal tahun ini, problem perlindungan dan penghormatan hak asasi manusia masih menjadi persoalan serius di negara ini. Butuh politicall will pemegang kekuasaan untuk memperbaiki keadaan dan menjadikan standar HAM sebagai basis setiap kebijakan dan implementasi program pembangunan. Termasuk kemauan pemerintah untuk menyelesaikan pelanggaran berat HAM masa. Tanpa itu, pemerintah pusat atau pun daerah akan selalu tercatat sebagai pelanggar HAM dari ke tahun.

Tulisan ini telah dimuat dalam Koran SINDO, 10 Januari 2019.

 

Melihat tema seminar nasional ini, “Mewujudkan Penegakan Hukum dan Penyelenggaraan Peradilan Tipikor Berperikemanusiaan dan Berperikeadilan”, yang diselenggarakan oleh Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, mungkin ada yang bertanya:, Apakah itu berarti bahwa penegakan hukum dan penyelenggaraan peradilan tindak pidana korupsi selama ini tidak, atau kurang, berperikemanusiaan dan berperikeadilan? Read more

Jakarta – Pertengahan bulan yang lalu Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan bahwa ketentuan yang menyatakan usia anak perempuan 16 tahun dibolehkan menikah dinyatakan inkonstitusional. MK memerintahkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersama pemerintah untuk melakukan revisi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawainan khususnya pasal mengenai batas usia perkawinan. Sayangnya, putusan MK tidak memberikan ketentuan usia minimal yang diharapkan. Read more

Berdasarkan Keputusan Badan Kehormatan (BK) Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Ratu Hemas diberhentikan sementara sebagai senator DPD. Badan Kehormatan mengambil langkah tegas, sebab Ratu Hemas dinilai melanggar etika dan profesionalisme sebagai seorang senator. Ketidakhadirannya dalam beberapa rapat paripurna sebenarnya bukan tanpa alasan.  Baginya,  kepemimpinan Osman Sapta Odang di DPD tidak memiliki legitimasi yang absah. Ratu Hemas merujuk pada Putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 20/PHUM/2017. Dalam putusannya, MA menyatakan masa jabatan pimpinan DPD bukan 2,5 tahun melainkan 5 tahun. Tanpa disadari, kisruh ini  kembali membuka pertarungan lama antara dua kubu. Read more

Penulis: M. Syafi’ie, S.H., M.H.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), Departemen Hukum Tata Negara

Komisi Pemilihan Umum (KPU) hampir pasti menolak keberatan salah satu partai dan beberapa orang yang mempertanyakan atas masuknya orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) dalam daftar pemilih tetap (DPT). KPU menyatakan memiliki landasan yang kuat untuk memasukkan ODGJ dalam daftar pemilih. Namun, ada persyaratan tambahan yang harus dilengkapi ODGJ ketika mau memilih, yaitu harus memiliki surat keterangan sehat dari dokter.

Respon penulis terhadap KPU ada dua, pertama, apresiasi karena lembaga ini telah menghormati hak politik dan kewarganegaraan ODGJ, yang di dalam UU No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas telah dimasukkan sebagai bagian dari difabel mental. Kedua, persyaratan surat sehat dari dokter sebagai bagian pemenuhan hak pilih difabel mental perlu didiskusikan lebih jauh. Persyaratan sehat jasmani dan rohani bagi difabel sudah lama menjadi momok menakutkan, dalam praktek persyaratan ini berdampak pada diskriminasi dan penghilangan hak-hak difabel.

Terkait dengan hak pilih difabel –dalam hal ini salah satunya ODGJ– secara spesifik hak ini telah dijamin dalam Undang-Undang yang secara spesifik mengatur hak-hak difabel. Dalam Pasal 13 UU No. 8 Tahun 2016 dinyatakan bahwa hak politik bagi difabel diantaranya adalah hak memilih dan dipilih dalam jabatan; memilih partai politk dan/atau individu yang menjadi peserta dalam pemilihan umum; berperan serta aktif dalam sistem pemilihan umum pada semua tahap dan/atau bagian penyelenggaraannya; memperoleh akesibilitas sarana prasarana penyelenggaraan pemilihan umum, pemilihan gubernur, bupati/walikota, dan pemilihan kepala desa atau nama lain; dan memperoleh pendidikan politik.

Begitu pentingnya hak politik bagi difabel, maka Pasal 75 ayat (1) dan (2) Undang-Undang ini memandatkan kewajiban kepada pemerintah pusat dan daerah untuk menjamin agar difabel dapat berpatitisipasi secara efektif dan penuh dalam kehidupan politik, dan menjamin hak dan kesempatan difabel untuk memilih dan dipilih. Pemerintah pusat dan daerah yang dalam hal ini tanggungjawabnya dijalankan oleh KPU dan KPUD agar memperhatikan keragaman disabilitas dan memastikan prosedur, fasilitas dan alat bantu pemilihan bersifat layak, dapat diakses, mudah dipahami dan dapat digunakan oleh difabel.

Norma hukum yang secara khusus juga menjamin hak pilih difabel adalah UU No. 19 Tahun 2011 tentang 2011 tentang Pengesahan Konvensi Hak-hak Penyandang Disabilitas. Pasal 29 Konvensi ini menegaskan bahwa negara harus menjamin hak politik difabel dan memastikan difabel menikmati hak-hak tersebut atas dasar kesetaraan dengan orang-orang lain. Karena itu negara wajib menjamin prosedur, fasilitas, dan materi yang memadai, dapat diakses, mudah dipahami dan digunakan. Termasuk adalah jaminan untuk untuk memilih secara rahasia.

Pernah Menjadi Polemik

Hak pilih ODGJ pernah ditiadakan secara hukum pada tahun 2015. Peniadaan secara struktural ini kemudian dikasuskan di Mahkamah Konstitusi. Pada waktu itu, Perhimpunan Jiwa Sehat yang dipimpin Jenny Rosanna Damayanti, Pusat Pemilihan Umum Akses Penyandang Cacat (PPUA PENCA) yang dipimpin Arini, dan Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (PERLUDEM) yang dipimpin Titi Anggraini melakukan judicial review pasal 57 ayat (3) huruf a UU No. 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas UU No. 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota.

Pasal 57 ayat (3) huruf a menyatakan bahwa salah satu persyaratan warga negara Indonesia yang bisa didaftar sebagai pemilih adalah orang yang sedang “tidak terganggu jiwa/ingatannya”. Ketentuan ini oleh para pemohon dinilai berpotensi menghilangkan hak seorang warga negara untuk terdaftar sebagai pemlih dan memberikan suaranya dalam penyelenggaraan pemilihan. Pasal ini dinilai merugikan hak konstitusional yang telah dijamin pada Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa segala warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan, dan Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.

Setelah dilakukan pemeriksaan permohonan dan alat bukti diantaranya mendengarkan keterangan saksi, mendengarkan keterangan ahli dan keterangan para pihak, Mahkamah Konstitusi lewat Putusan Nomor 135/PUU-XIII/2015 menyatakan mengabulkan permohonan untuk sebagian. Pasal 57 ayat (3) huruf a dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang frasa “terganggu jiwa/ingatannya” tidak dimaknai sebagai “mengalami gangguan jiwa dan/atau gangguan ingatan permanen yang menurut bidang kesehatan jiwa telah menghilangkan kemampuan seseorang untuk memilih dalam pemilihan umum”

Membaca Putusan Mahkamah Konstitusi yang kita kenal sebagai pelindung konstitusi (the guardian of constitution), pengawal dan pelindung hak-hak konstitusional warga negara maka kita akan mengerti bahwa ODGJ tidak bisa digeneralisasi dan tidak semua ODGJ tidak memiliki hak pilih. Keputusan Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa pada prinsipnya ODGJ memiliki hak pilih sepanjang ‘gangguan jiwa atau ingatan’ tidak permanen. Keputusan Mahkamah Konsitusi ini didasarkan pada pendapat professional di bidang kesehatan bahwa hilangnya ingatan atau gangguan jiwa yang permanen bisa dimaknai juga menghilangkan kemampuan seseorang untuk memilih dalam pemilihan umum.

Merujuk pada putusan Mahkamah Konsitutusi, maka sudah selayaknya KPU-KPUD memikirkan bagaimana cara mengidentifikasi permanen atau tidaknya seorang ODGJ dan bagaimana cara yang tepat memfasilitasi hak pilih difabel ODGJ. Terkait hal ini, sudah selayaknya KPU-KPUD mengajak diskusi aktifis dan pendamping difabel mental yang ada di Indonesia. Tujuan besarnya adalah menampung bagaimana cara mengenali difabel mental yang ternyata tidak tunggal, belajar bagaimana cara yang tepat untuk berinteraksi, dan terpenting menelaah bagaimana model fasilitasi yang harus dipersiapkan oleh para petugas pemilihan umum. Hal ini penting agar tidak terjadi diskriminasi berulang-ulang kepada difabel mental yang diberikan hak pilihnya.

Pada sisi yang lain, analisis normatif hak pilih difabel dan tinjauan putusan Mahkamah Konstitusi di atas memberikan pesan agar tidak ada lagi pihak yang mempertanyakan hak pilih difabel ODGJ. Sama dengan manusia pada umumnya, ODGJ juga memiliki hak pilih. Lebih jauh, hak ini merupakan sarana bagi komunitas difabel mental untuk memperbaiki nasib mereka dengan memilih pemimpin yang memikirkan hak-hak mereka yang tercerabut. Selama ini, keberadaan mereka disingkirkan dalam pikiran dan wacana publik, dan tidak pernah diperhatikan dengan serius oleh pemangku kebijakan, sehingga banyak di antara mereka harus menjadi korban kekerasan di jalanan, diperkosa oleh orang-orang tidak bertanggungjawab, dan dipermainkan dalam dalam beberapa momen kekerasan. Pertanyaannya, betulkah hak pilih akan menjawab problem dan hak-hak kaum ODGJ? Belum tentu. Tapi hak ini adalah sarana awal pengakuan eksistensi kaum paling marginal di negeri ini.

Tulisan ini telah dimuat dalam Koran SINDO.

Sejak mantan Wakil Gubernur DKI Jakarta Sandiaga Salahuddin Uno mengundurkan diri pada 9 Agustus 2018, sampai saat ini penggantinya masih misteri.

Partai Gerindra dan PKS sebagai partai yang memiliki hak me ngu sulkan dua nama kandidat wagub baru un tuk dipilih melalui DPRD DKI Ja karta belum bersepakat hingga saat ini. Kekosongan posisi wagub dalam waktu yang lama dan dibiarkan tanpa kejelasan seperti saat ini mengindikasikan satu hal, yakni bahwa secara keta ta ne ga raan posisi wakil kepala daerah sesung guhnya tidak penting. Setidak nya ada tiga alasan yang dapat dijadikan parameter bahwa posisi wakil kepala daerah tidak begitu urgen. Pertama, tidak terdapat dampak apapun dari kekosongan kursi wagub DKI yang cukup lama. Read more

Penguatan Sistem Pengawasan

Hingga Oktober 2018, setidaknya ada sembilan belas (19) kepala daerah yang ditangkap KPK karena kasus korupsi. Kasusnya beragam, mulai dari menjual jabatan, suap pelaksanaan proyek, dan suap meloloskan APBD, setidaknya tiga modus perkara di atas yang paling banyak dilakukan. Bahkan di satu daerah, ada 41 dari 45 wakil rakyat melakukan korupsi jamaah bersama dengan kepala daerah. Kondisi ini, tentu dapat dilihat dari banyak perspektif, ongkos politik yang mahal, moral pemimpin yang bobrok, budaya masyarakat yang tidak mendukung, dan lain sebagainya. Tulisan ini akan melihatnya dari sistem pengawasan yang lemah. Read more

Kampanye Pemilu dan Janji Politik

Jakarta -Di antara 11 tahapan pemilu, tahapan kampanye seharusnya menjadi hal yang paling penting bagi rakyat. Melalui kampanye para calon presiden dan wakil presiden serta calon anggota legislatif memberitahukan kepada warga masyarakat tentang apa yang akan dilakukannya jika kelak dirinya terpilih. Bagi rakyat, informasi ini menjadi sangat penting sebagai referensi dalam menentukan pilihan pada hari pencoblosan kelak. Read more

Integritas Hakim

Dunia peradilan kembali dilanda persoalan integritas para hakimya. Dua berita mengejutkan di akhir tahun ini menjadi refleksi bersama betapa integritas hakim semakin rusak dan susah untuk diharapkan tegak. Pertama, baru saja Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan Operasi tangkap tangan terhadap Hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Dalam OTT tersebut, Ketua Majelis Hakim dan satu hakim anggota menerima suap berkaitan dengan perkara perdata yang sedang ditanganinya terkait pembatalan perjanjian akuisisi PT Asia Pacific Mining Resources dan PT Citra Lampia Mandiri. Kedua, terbongkarnya kasus perselingkuhan antara Hakim dengan pegawai pengadilan yang terjadi di Pengadilan Negeri Bali. Meski kasus perselingkuhan ini telah dilaporkan ke Mahkamah Agung, tetapi sampai saat ini belum ada tindak lanjutnya. Read more