Berita mengenai maraknya praktek plagiasi karya ilmiah di Perguruan Tinggi dengan kuantitas hingga 100 orang dosen untuk melakukan kenaikan pangkat dari jenjang lektor, lektor kepala hingga guru besar menjadi sesuatu yang memprihatinkan sekaligus memilukan dalam konteks masa depan pendidikan tinggi di Indonesia. Betapa, tidak perguruan tinggi yang notabene-nya merupakan institusi yang mencetak generasi penerus bangsa dan diharapkan dapat menghasilkan intelektual yang sejati baik dari sisi knowledge maupun integritas telah dinodai dengan perbuatan plagiasi yang dilakukan oleh dosen selaku pendidik di perguruan tinggi.

Oleh karena itu, menjadi sangat wajar manakala terjadi perbuatan plagiasi yang sedemikian rupa ini seharusnya mulai direnungkan kembali bagaimana bangsa ini mensikapi maraknya perbuatan plagiasi.

Plagiasi dan Ketidakjujuran

Plagiasi atau plagiat merupakan sebuah peristilahan yang sangat dikenal dikalangan ilmuwan dan intelektual. Istilah plagiasi sendiri sebenarnya merujuk pada suatu perbuatan dalam konteks pembuatan karya ilmiah yang tidak memperhatikan kaidah-kaidah dan etika penulisan karya ilmiah. Semisal, mengutip pendapat orang dengan tidak menyebutkan sumbernya. Sementara itu, orang yang melakukan perbuatan plagiasi sering disebut dengan plagiator.

Ada hubungan antara perbuatan plagiasi dengan persoalan moralitas bangsa ini. Praktek plagiat dikalangan ilmuwan dan intelektual pada dasarnya merupakan suatu perbuatan yang dianggap tidak beretika/bermoral. Bentuk konkrit dari perbuatan tidak bermoral ini terrepresentasikan dalam hal adanya ketidakjujur ilmuwan atau intelektual atas ilmu yang ia kembangkan.

Apabila diperhatikan bentuk ketida jujuran merupakan basis moral yang kini sangat langka ditemukan di Indonesia. Rasanya di negara ini sangat sulit menemukan orang jujur daripada menemukan orang pintar. Oleh karena itu, menjadi persoalan serius manakala, perbuatan plagiasai ini eskalasinya terus meningkat di Indonesia. Betapa seriusnya persoalan ini karena diyakini dengan maraknya sikap tidak jujur dari kalangan pendidik/dosen dalam membuat karya ilmiah akan berdampak lanjutan pada ketidak jujuran lainnya dalam pengembangan pendidikan di Indonesia. Akibatnya, tidak mengherankan apabila kualitas integritas hasil pendidikan saat ini menjadi sangat rendah.

Maka, tidak mengherankan dalam praktek kehidupan sehari-hari banyak ditemukan masyarakat Indonesia hampir sebagian besar, berikut para penyelenggaraan pemerintahannya saat ini hidupnya penuh dengan kepura-puraan kalau tidak dikatakan mereka hidup dengan penuh ketidakjujuran. Contoh yang paling dekat saat ini, dapat dilihat pada kasus penangkapan ketua MK, di mana ia seorang yang bergelar doktor kemudian tertangkap tangan oleh KPK sedang melakukan korupsi. Padahal, sebelumnya ia nampak garang dengan gejala korupsi yang ada di Indonesia. Ini adalah fakta yang tidak dapat kita abaikan.

Gerakan Sosial Anti Plagiasi

Melihat implikasi dari perbuatan plagiasi terhadap masa depan bangsa yang sangat berbahaya ini, maka harusnya pemerintah dan institusi terkait lainnya, seperti institusi pendidikan harusnya dengan serius melakukan langkah-langkah strategis guna menghilangkan perbuatan plagiasi itu sendiri. Setidaknya perbuatan plagiasi dapat ditekan sedemikian rupa keberadaannya.

Salah satu yang perlu dilakukan dalam konteks ini adalah menjadikan gerakan anti plagisasi sebagai gerakan sosial. Gerakan sosial anti plagiasi merupakan perluasan dari gerakan hukum dan merupakan pengejawantahan dari langkah-langkah strategis dalam menekan perbuatan plagiasi itu sendiri. Adapun gerakan sosial yang dimaksudkan adalah dengan cara mengajak seluruh komponen bangsa ini untuk sepakat menyatakan tidak pada segala bentuk perbuatan plagiasi.

Diharapkan dengan adanya gerakan sosial semacam ini, maka sanksi sosial akan dapat memperberat sanksi hukum. Bagaimanapun, dua sanksi ini dapatlah dijadikan sarana efektif ke depan dalam mencegah perbuatan plagiasi yang telah menjadi akar dari kebobrokan bangsa ini secara moral. Di samping itu, dengan adanya dua macam sanksi ini diharapkan bangsa ini benar-benar dapat mewujudkan apa yang menjadi komitmen para founding fathers bangsa ini, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa dan mensejahterakan masyarakat Indonesia.

 

Budi Agus Riswandi

Direktur Eksekutif Pusat HKI FH UII

 

Masih ingatkah kasus Merek Sulotco Kalosi Toraja Coffee dengan gambar rumah Toraja yang didaftar dan dimiliki oleh IFES Inc. Corporation California dengan Nomor Pendaftaran 74547000. Hal ini tentu, menjadi pembelajaran yang amat luar biasa. Salah satunya, banyak ternyata pihak-pihak asing yang saat ini menaikan daya saing produk mereka melalui pendomplengan atas nama-nama produk-produk khas dan berkualitas bangsa Indonesia. Dari hal ini sangat penting kiranya nama-nama produk khas dan berkualitas ini dapat dilindungi melalui sistem indikasi geografis Indikasi (IG) dalam rangka meningkatkan daya saing produk.

Indikasi Geografis: Tanda Kawasan untuk Produk /Khas

Barangkali selama ini kita sudah mengetahui di Indonesia terdapat beberapa produk yang punya kekhasan dan berkualitas dan hal ini sekaligus menjadi produk unggulan. Beberapa produk tersebut seperti, Salak Pondoh Sleman, Kopi Kitamani Bali, Lada Putih Muntok, Tembakau Mole Sumedang dan banyak lagi yang lainnya. Produk-produk tersebut pada dasarnya merupakan produk yang memiliki potensi didaftarkan IG-nya.

IG merupakan suatu tanda yang digunakan terhadap barang yang memiliki asal geografis tertentu dan juga memiliki kualitas atau reputasi yang ditimbulkan oleh tempat asal tersebut. Pada umumnya IG terdiri dari nama tempat asal barang tersebut. Tujuan dari pendaftaran IG agar produk tersebut dapat dilindungi secara hukum. Perlindungan terhadap IG bersifat kolektif, yaitu merupakan perlindungan yang diberikan terhadap suatu produk yang dihasilkan oleh suatu produk yang dihasilkan oleh suatu wilayah tertentu (Sugiono Moeljopawiro dan Surip Mawardi, 2010).

IG muncul dan lahir beberapa abad yang lalu di Eropa. IG sendiri mencakup pada nama tempat dari asal barang. IG adalah suatu tanda yang digunakan pada barang yang mempunyai asal wilayah spesifik dan memiliki kualitas dan reputasi yang diakibatkan oleh asal tempat (Dora de Teresa, 2003). Di dunia telah banyak produk-produk dengan yang memiliki kualitas dan reputasi disebabkan oleh tempat dimintakan IG. Hal ini seperti; anggur champagne (perancis),  keju parmigiano (italia), brandy pisco (peru)—produk-produk ini telah terdaftar sebagai ig di Indonesia (Riyaldi, 2012).

Dengan memperhatikan pada pengertian IG, maka jelaslah bahwa IG itu merupakan tanda yang digunakan untuk produk yang memiliki khas dan berkualitas, dimana tanda tersebut mengacu kepada nama kawasan dari produk tersebut.

Implikasi Sertifikasi IG terhadap Peningkatan Daya Saing Produk

IG pertama kali muncul dalam World Trade Organization (WTO) sebagai bagian  dari Trade Related Aspect of Intellectual Property Rights (TRIPs), khususnya dalam Pasal 22 ayat (1) TRIPs Agreement. IG biasanya digunakan untuk menandai produk yang memiliki kekhasan dan kualitas yang disebabkan oleh faktor geografis, baik faktor alam dan/atau manusia. Untuk diperolehnya IG, maka harus dilakukan pendaftaran.

Pendaftaran IG sendiri merupakan sebuah mekanisme hukum yang dilakukan dengan cara  melakukan pelabelan atas produk ke Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Kementrian Hukum dan HAM dimana untuk mendapatkan label tersebut harus ada suatu standar produk baik dari sisi kelembagaan dan tata kelola serta mutu dan karakteristik produk yang dituangkan dalam buku persyaratan. Buku persyaratan merupakan suatu syarat pendaftaran IG, di mana memiliki fungsi apabila label IG atas suatu produk khas disetujui oleh Dirjen HKI, maka produk khas tersebut harus diproduksi oleh komunitas produk tersebut dengan mengacu kepada buku persyaratan tersebut.

Dengan memperhatikan hal-hal di atas, maka IG pada dasarnya dapat dipersamakan dengan upaya menstandarisasi produk khas suatu daerah/kawasan. Pemahaman ini dapat diketahui karena untuk mendapatkan sertifikat IG, sebuah komunitas produk khas hendaknya terlebih dahulu memiliki standar-standar mutu produk yang dapat menjelaskan kekhasan dari produk tersebut.

Selanjutnya, dengan dilakukan pendaftaran IG atas produk khas dan berkualitas, maka akan diperoleh manfaat sebagai berikut: Pertama, secara makro diharapkan akan meningkatkan kesejahteraan komunitas produk khas dan berkualitas serta masyarakat lainnya yang ada disekitar komunitas produk khas dan berkualitas tadi; Kedua, secara hukum, produk-produk khas dan berkaualitas yang ada di masing-masing daerah dapat dilindungi secara hukum; dan Ketiga, secara mutu dan kualitas, maka produk-produk khas dan berkualitas yang ada di daerah masing-masing akan dapat ditingkatkan lagi daya saingnya.

Wallahu’ala’bis shawab

 

Budi Agus Riswandi

Direktur Eksekutif Pusat HKI UII dan Ketua Umum ASKII

Penulis: Ayunita Nur Rohanawati, S.H., M.H.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), Departemen Hukum Administrasi Negara

PANDEMI yang tak kunjung usai memberikan dampak luar biasa bagi pekerja di Indonesia. Berbagai permasalahan muncul di masing-masing perusahaan tempat pekerja bekerja. Seperti penjatuhan PHK saat pekerja menjadi penyintas Covid-19, tidak dibayarkan upah saat mengalami serangan Covid-19, pemaksaan melakukan pekerjaan saat terjangkit Covid-19 hingga menyebabkan besarnya penularan di lingkungan kerja.

Bahkan tak terpenuhinya hak jaminan sosial bagi pekerja serta hak memperoleh keselamatan dan kesehatan kerja yang layak menyesuaikan kondisi pandemi yang terjadi saat ini. Ketika pekerja menjadi penyintas Covid-19 adalah suatu hak bagi pekerja tersebut untuk beristirahat dan menjadi kewajiban untuk melakukan isolasi guna mencegah penularan virus ini. Perlu diingat bahwasanya yang sedang dihadapi dunia bukan sekadar penyakit biasa, melainkan wabah. Wabah yang mudah menular dari satu orang ke orang yang lain. Sehingga perlu penyikapan khusus terkait dengan kondisi yang saat ini terjadi.

Hukum Ketenagakerjaan Indonesia mengenal sebuah asas no work, no pay yang bermakna jika pekerja tidak bekerja, maka tidak akan mendapatkan upah. Hal ini juga sebagaimana yang termuat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan, pada Pasal 40 ayat (1). Pasal ini dimaksudkan untuk menumbuhkan rasa tanggung jawab pada pekerja atas amanah pekerjaan yang dimilikinya di tempat kerja.

Ketentuan tersebut harus dipahami lebih lanjut sebagaimana yang telah disebutkan dalam pasal-pasal lanjutan tentang adanya pengecualian kondisi terkait pemberlakuan no work, no pay ini. Pada Pasal 40 ayat (2) dan (3) PP No 36 Tahun 2021 disebutkan bahwasanya pengecualian atas no work, no pay tersebut salah satunya dalam kondisi pekerja berhalangan melaksanakan pekerjaan karena sakit sehingga menyebabkan pekerja tidak dapat melakukan pekerjaan. Pengecualian tersebut bermakna, pekerja tetap memperoleh haknya berupa upah walaupun tidak melaksanakan pekerjaan karena kondisi sakit. Sehingga tidak dibenarkan adanya pemberlakuan no work, no pay dalam suatu tempat kerja bagi para pekerja yang menjadi penyintas Covid-19.

Pada kasus-kasus yang terjadi di lapangan terkait kondisi pekerja yang dipaksa tetap bekerja walau sedang terpapar Covid-19 yang dianggap tidak bergejala berat tidak dapat dibenarkan. Karena hal ini sama dengan melenggangkan persebaran virus dan tentunya merugikan banyak pihak termasuk perusahaan itu sendiri.

Pemenuhan alat keselamatan dan kesehatan kerja yang sesuai dengan kondisi pandemi saat ini juga menjadi hal yang sangat penting. Keselamatan yang bermakna kondisi lingkungan kerja yang tidak membahayakan pekerja dalam masa pandemi Covid-19, misalnya dengan memastikan dan menjamin tempat kerja memiliki sirkulasi udara yang baik sehingga dapat meminimalisasi penyebaran virus. Kemudian kondisi keselamatan pekerja dalam melaksanakan pekerjaan di masa pandemi ini dengan menyediakan alatalat yang mencegah penularan virus. Seperti masker, disinfectan spray, handsanitizer, pemberian multivitamin, dan sebagainya.

Regulasi telah mengatur sedemikian rupa tentang pengecualian ketentuan no work, no pay. Hanya saja ketentuan ini belum menjadi sempurna karena tidak ada ancaman sanksi administratif maupun pidana manakala tidak dipatuhi. Hal ini bukan menjadi alasan untuk tidak menegakkan ketentuan. Karena pada UU Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial mengatur mengenai upaya hukum yang dapat ditempuh, manakala terjadi sengketa hubungan industrial. Juga diatur mengenai mekanisme penyelesaian sengketa terkait dengan sengketa hubungan industrial yang terjadi di Indonesia. Termasuk sengketa hubungan industrial yang terjadi saat pandemi ini.

Tulisan ini sudah dimuat dalam rubrik Analisis KR, 29 Juli 2021.

Penulis: Dr. Idul Rishan, S.H., LL.M

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), Departemen Hukum Tata Negara

 

Berakhirnya masa jabatan hakim ad hoc tindak pidana korupsi di Mahkamah Agung mendorong mahkamah untuk segera mengajukan permohonan pengisian jabatan ke Komisi Yudisial.

Tampak kondisi saat ini akan menjadi sangat sulit bagi Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung mengingat momen permohonan pengajuan hakim ad hoc yang tidak pas dengan tahun penganggaran Komisi Yudisial.

Di satu sisi, ada kesenjangan (gap) antara kebutuhan dan realisasi pengisian jabatan hakim ad hoc di Mahkamah Agung. Di sisi lain, kekosongan kursi hakim ad hoc tindak pidana korupsi (tipikor) yang akan purnatugas pada 22 Juli mendatang jelas akan mengganggu performa Mahkamah Agung.

Sampai sejauh ini, tiga opsi telah disediakan Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung (Kompas, 14/7/2021). Pertama, perpanjangan masa jabatan hakim yang belum berusia 70 tahun tanpa seleksi ulang. Kedua, proses seleksi dilakukan pada tahun 2022. Ketiga, tahapan seleksi sudah mulai dilakukan tahun ini, tetapi pemenuhannya pada awal 2022.

Sampai dengan tulisan ini dibuat, opsi mengerucut pada pilihan ketiga (Kompas,5/7/2021). Artinya, Mahkamah Agung akan mengoptimalkan tiga hakim ad hoc yang ada, sambil menunggu terisinya dua kursi kosong yang diharapkan terpenugi pada awal tahun mendatang.

Berkaca dari kondisi di atas, setidaknya ada dua hal yang perlu diidentifikasi sebagai problem yang menengarai terjadinya krisis hakim di tubuh Mahkamah Agung.

Masa Jabatan

Saat ini pengaturan masa jabatan hakim ad hoc menjadi salah satu hal yang perlu mendapatkan perhatian serius dari pembentuk undang-undang.

Belum jelas apa yang menjadi politik hukum pembedaan pengaturan masa jabatan hakim ad hoc di Mahkamah Agung dan hakim agung. Berdasarkan Undang-Undang Mahkamah Agung, masa jabatan hakim agung ditentukan berdasarkan usia maksimum 70 tahun. Sementara dalam Undang-Undang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, hakim ad hoc memiliki masa jabatan lima tahun dan dapat diangkat kembali untuk satu kali masa jabatan.

Dari aspek hukum positif, kita masih memiliki pekerjaan rumah cukup besar dalam menata jabatan hakim. Di level undang-undang, seharusnya pengaturan tentang jabatan hakim ad hoc perlu didetailkan lebih lanjut. Apakah syarat masa jabatan tertentu juga melekat pada hakim ad hoc di Mahkamah Agung?

Padahal, baik hakim agung maupun hakim ad hoc di Mahkamah Agung melewati proses dan tahapan seleksi yang sama, yaitu Komisi Yudisial, DPR, dan Presiden.

Lebih dari itu, pembedaan hakim agung dan hakim ad hoc di Mahkamah Agung juga menjadi tidak lagi begitu relevan mengingat baik hakim agung maupun hakim ad hoc di Mahkamah Agung memiliki beban kinerja dan tanggung jawab yang sama berdasarkan perintah undang-undang. Konsekuensi atas pembedaan masa jabatan itu mendorong Mahkamah Agung untuk mengajukan kebutuhan hakim ad hoc setiap lima tahun sekali. Dari sisi politik anggaran, kebutuhan di Mahkamah Agung tentu tidak selamanya dapat diikuti dengan ketersediaan anggaran di Komisi Yudisial. Kondisi inilah yang kerap menjadi titik problem yang justru mempersulit pemenuhan kebutuhan hakim di Mahkamah Agung.

Persetujuan DPR

Anasir lain yang menjadi problem pemenuhan kebutuhan hakim di Mahkamah Agung ialah keterlibatan DPR dalam memberikan persetujuan.

Pasal 24A Ayat (3) UUD menyebutkan bahwa “calon hakim agung diusulkan oleh Komisi Yudisial kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk mendapatkan persetujuan sebagai hakim agung oleh Presiden”.

Jika dirunut berdasarkan original intent BAB IX Undang-Undang Dasar Negara (UUDN), kehadiran DPR sebenarnya tidak diperuntukkan melakukan supervise terhadap hasil kinerja Komisi Yudisial. Lagi-lagi pemahaman checks and balances ketatanegaraan kita tidak dapat dimaknai secara tekstual.

Hal ini karena berdasarkan sejarah perumusan Pasal 24A Ayat (3) UUDN, DPR bukanlah episentrum kekuasaan dalam menentukan proses seleksi calon hakim agung.

Ada prinsip kemerdekaan kekuasaan kehakiman yang juga melekat pada pasal 24 Ayat (1) UUDN, yang seharusnya menutup ruang bagi partai politik untuk memilih dan menentukan calon hakim agung. Tujuan utamanya ialah mencegah terjadinya redundancy terhadap cara kerja yang telah dilakukan oleh Komisi Yudisial.

Intensi pelibatan DPR dalam konteks persetujuan sebenarnya tidak dalam kapasitas memilih dan menyeleksi ulang calon yang diusulkan oleh Komisi Yudisial. Sifat bersetujuan itu dalam kapasitas “right to confirm”, bukan dalam bentuk “right to select”.

DPR bisa menggunakan haknya dalam kondisi force majeure, missal proses seleksi yang menyalahi undang-undang, penetapan status tersangka, atau meninggal dunia.

Yang terjadi dalam praktik pascareformasi sebaliknya. Peran DPR kemudian bergeser sebagai lembaga penentu seleksi calon hakim agung dan cenderung mempersulit pemenuhan kebutuhan hakim di tubuh Mahkamah Agung.

RUU Jabatan Hakim

Merespons beberapa problema di atas, tidak ada salahnya untuk kembali membuka opsi penataan melalui RUU Jabatan Hakim. Baik itu menyangkut kedudukan, implikasi uang ditimbulkan dari pembedaan status jabatan hakim, hak dan kewajiban, maupun mendetailkan tata cara pengangkatan hingga pemberhentiannya.

Langkah ini merupakan bagian yang tidak terpisahkan guna mendorong pemenuhan kebutuhan hakim dan kinerja mahkamah yang independent dan akuntabel.

 

Tulisan ini sudah dimuat dalam rubrik Opini Kompas, 19 Juli 2021.

 

 

Penulis: M. Syafi’ie, S.H., M.H.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), Departemen Hukum Tata Negara

 

Warga perantauan mengalami keresahan saat ini. Waktu yang dhabiskan untuk bekerja dan berharap mudik saat liburan terhalang kebijakan pemerintah yang mengeluarkan Addendum Surat Edaran No.13 Tahun 2021 Tentang Peniadaan Mudik Hari Raya Idul Fitri Tahun 1442 Hijriah. Surat Edaran ini mengatur pengetatan persyaratan pelaku perjalanan dalam negeri selama H-14 peniadaan mudik (22 April – 5 Mei 2021) dan H+7 peniadaan mudik (18-24 Mei 2021), sedangkan peniadaan mudik akan berlangsung pada 6-17 Mei 2021.

Kebijakan pengetatan dan peniadaan mudik memunculkan kritik dari berbagai kalangan, utamanya dari para pekerja moda transportasi dan warga yang berharap mudik setelah sekian lama tidak balik kampung halaman. Salah satu pernyataan yang muncul, bukankah mudik adalah hak setiap warga yang keberadaannya dijamin hukum HAM? Sebagian akademisi menyebut larangan mudik adalah pelanggaran HAM, dan sebagian yang lain menyatakan tidak.

Secara hukum, mudik dapat dikatagorikan sebagai hak untuk bebas bergerak dan berpindah dalam satu wilayah negara. Pada Pasal 27 ayat (1) UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM dinyatakan bahwa setiap warga negara Indonesia berhak untuk secara bebas bergerak, berpindah, dan bertempat tinggal dalam dalam wilayah Republik Indonesia. Pada Pasal 12 ayat (1) Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik dinyatakan bahwa setiap orang yang secara sah berada dalam wilayah suatu Negara, berhak atas kebebasan bergerak  dan kebebasan untuk memilih tempat tinggalnya dalam wilayah tersebut.

Aturan di atas secara tidak langsung menyatakan bahwa mudik merupakan hak yang djamin oleh hukum yang levelnya Undang-Undang, dan kovenan sendiri levelnya adalah International Bill of Human Righ karena tingkat universalitas haknya yang sangat tinggi. Dalam General Comment terkait ketentuan ini dinyatakan bahwa kebebasan untuk bergerak merupakan kondisi yang tidak terlepaskan dari pengembangan pribadi seseorang. Kebebasan bergerak berhubungan dengan hak-hak yang lain.

Namun demikian, hak kebebasan bergerak dan berpindah tempat merupakan hak yang bisa dikurangi (derogable rights) dalam situasi darurat, dan bisa dibatasi (limitasi) di masa tenang dan damai. Dasar hukum pembatasan tercantum pada Pasal 29 DUHAM, Pasal 28J UUD 1945, Pasal 12 ayat (3) Kovenan Hak Sipil dan Politik, dan Pasal 70 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM. Beberapa Pasal tersebut mengatur pembatasan hak dengan syarat-syarat yang sangat ketat.

Dalam intrumen hukum HAM, terdapat 3 (tiga) syarat yang harus dipastikan untuk legitimasi satu tindakan pembatasan yang dperbolehkan (permissible restriction). Ketiga syarat ini dikenal three part test (tiga uji elemen),  pertama, setiap pembatasan hak harus diatur oleh hukum (prescribed by law). Para ahli menyatakan bahwa hukum disini ialah undang-undang atau putusan pengadilan. Kedua, pembatasan dilakukan dengan alasan yang sah (legitimate aim), yaitu alasan ketertiban umum, kesehatan masyarakat, moral publik, keamanan nasional, keselamatan publik, hak kebebasan orang lain/reputasi orang lain. Ketiga, pembatasan dperlukan dalam masyarakat demokratis (necessary in a democratic society) dan dilakukan secara proporsional (proportionality).

Larangan mudik dengan demikian sebenarnya adalah pembatasan hak dan mengambil hak warga, tetapi dapat dibenarkan hukum dengan pertimbangan kesehatan masyarakat. Kritik fundamen Addendum Surat Edaran No. 13 Tahun 2021 lebih pada pembatasan hak mudik yang hanya diatur pada setingkat Surat Edaran, padahal hak yang dibatasi dijamin dalam Undang-Undang, dan pembatasan hak oleh hukum haruslah setingkat Undang-Undang dan atau putusan pengadilan.

Pembatasan hak mudik juga cenderung tidak proporsional karena tidak berimbang dan wajar, salah satu contoh yang kerap dikeluhkan warga ialah mengapa mudik dilarang, tetapi tempat wisata dan tempat-tempat perbelanjaan tetap dibolehkan untuk dikunjungi, padahal keduanya sama-sama akan membuka rantai penyebaran Covid-19. Oleh karena itu, sudah selayaknya pemerintah memperbaiki kebijakakan aturan larangan mudik ini serta mencari jalan keluar penanganan covid-19 yang lebih holistik dan proporsional.

Tulisan ini telah dimuat di Koran Kedaulatan Rakyat, 5 Mei 2021.

Penulis: M. Syafi’ie, S.H., M.H.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), Departemen Hukum Tata Negara

 

Penularan Covid-19 terus meningkat. Publik seperti dihadapkan pada ketidakpastian langkah-langkah pemenuhan hak atas kesehatan. Bahkan, pemerintah mulai meragukan kebijakannya sendiri. Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) yang menggantikan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dinilai tidak efektif menghentikan laju penularan. Situasi ini bermakna bahwa penanganan Covid-19 di Indonesia sampai saat ini belum berhasil.

Sejauh ini, sudah banyak peraturan dan kebijakan terkait Covid-19, antara lain : Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 2020 tentang Refocussing kegiatan, realokasi anggaran serta pengadaan barang dan jasa dalam rangka percepatan penanganan Corona Virus Disease 2019, Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Covid-19, Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020 tentang penetapan bencana non alam penyebaran Corona Virus Disease 2019 sebagai Bencana Nasional, Peraturan Pemerintah No. 21 tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease, Keputusan Presiden Nomor 7 Tahun 2020 tentang Gugus Tugas Pencepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019, Keputusan Presiden Nomor 9 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Keputusan Presiden Nomor 7 Tahun 2020 tentang Gugus Tugas Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019.

Selain itu, ada Undang-Undang No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan dan Permenkes No. 9 tahun 2020 yang secara spesifik mengatur tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), Keputusan Menteri kesehatan Nomor HK. 01.07/Menkes/382/2020 tentang Protokol Kesehatan yang diantaranya mengatur kebijakan tentang mencuci tangan, menjaga jarak dan memakai masker, dan yang terakhir Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 01 Tahun 2021 tentang Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Untuk Pengendalian Penyebaran Corona Virus Desease 2019.

Melihat ketentuan di atas, sudah banyak peraturan dan kebijakan yang telah dibuat. Pertanyaannya, mengapa kasus Covid-19 di Indonesia terus meningkat? Pertanyaan ini bisa dijawab bahwa substansi dan struktur hukum tersebut belum berjalan efektif dan belum mampu menjadi sarana pengubah perilaku masyarakat.

 

Hukum Pengubah Perilaku  

Roscoe Pound, tokoh aliran hukum Sociological Jurisprudence mengatakan bahwa hukum semestinya dilihat sebagai suatu lembaga kemasyarakatan yang berfungsi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan sosial. Hukum mesti dipahami sebagai suatu proses (law in action) yang hukum tersebut sama sekali berbeda dengan hukum yang tertulis (law in books). Peraturan dan kebijakan tentang Covid-19 semestinya dilihat dalam konteks ini, bahwa aturan tersebut bukanlah norma-norma tertulis saja, tetapi norma yang harus dihidupkan dan dilekatkan dengan lembaga kemasyarakatan.

Roscoe Pound mengatakan, hukum berkaitan dengan kepentingan-kepentingan dalam masyarakat. Kepentingan tersebut ada 3 (tiga), pertama, public interest yang meliputi kepentingan negara yang tugasnya memelihara hakekat negara dan menjaga kepentingan sosial. Kedua, kepentingan perorangan yang meliputi kepentingan pribadi dan kepentingan dalam rumah tangga. Ketiga, kepentingan sosial yang terkait dengan keamanan umum, moral umum, kemajuan sosial dan kehidupan individu.

Kepentingan penanganan Covid-19 merujuk pemikiran Pound sudah sangat memenuhi dalam dimensi kepentingan pribadi, sosial dan negara. Persoalannya terletak bagaimana peraturan yang ada dapat menggerakkan lembaga pemasyarakatan untuk mendorong tujuan-tujuan sosial dan perorangan di bidang kesehatan. Jika konsep ini dilakukan, peraturan dan kebijakan Covid-19 tentu akan menjadi alat rekayasa masyarakat (law as a tool of social engineering)

Persoalannya, perilaku masyarakat saat ini tidak banyak berubah untuk mentaati protokol kesehatan. Penggunaan masker, menjaga jarak, dan aktifitas cuci tangan tidak ditaati. Kegiatan bergerombol dan mobilitas masyarakat masih sangat tinggi. Situasi ini bermakna bahwa aturan dan kebijakan belum berjalan dengan semestinya. Aparat yang memiliki kewenangan penanganan Covid-19 belum mampu membangun kesadaran yang utuh akan makna penting protokol kesehatan.

Soerjono Soekanto berpendapat, apabila hukum tidak berjalan dengan semesetinya maka harus dicek faktor-faktor yang menjadi penghambatnya, biasanya antara lain terjadi karena faktor pembentuk hukum, penegak hukum, para pencari keadilan, maupun golongan-golongan lain dalam masyarakat. Faktor penghambat harus diidentifikasi.

Salah satu yang biasa jadi faktor penghambat menurut Soerjono Soekanto ialah komunikasi hukum. Hukum yang diharapkan dapat mempengaruhi perubahan perilaku masyarakat harus disebarkan seluas mungkin sehingga melembaga dalam masyarakat. Komunikasi hukum harus dapat dilakukan secara formal dan informal. Cara ini merupakan bagian yang dinamakan difusi, yaitu penyebaran unsur-unsur kebudayaan tertentu di dalam kehidupan masyarakat.

Pada pokoknya ketaatan hukum sangat dipengaruhi oleh dua faktor, pertama, tujuan hukum harus identik dengan tujuan/aspirasi anggota-anggota masyarakat. Makna lainnya, taatnya masyarakat pada hukum karena terdapatnya perasaan keadilan dan kebenaran dalam hukum. Kedua, adanya kekuasaan yang imperatif melekat pada hukum dengan sanksi apabila ada orang yang melanggarnya.

Berangkat dari pemikiran di atas, terbayang dalam pikiran kita bahwa ada banyak faktor hukum dan dimensi sosial politik yang mempengaruhi lemahnya ketaatan hukum masyarakat dalam mematuhi protokol kesehatan. Sebagian besar masyarakat masih belum menangkap kebenaran protokol kesehatan sebagai sesuatu yang penting, dan pada sisi yang lain penegakan hukum masih sangat lemah.

Tentu masih banyak faktor lain yang bisa diidentifikasi dan ditemukan akar masalahnya. Mengubah perilaku masyarakat tidak mudah, apalagi didalamnya ada dimensi sosial keagamaan. Butuh multi pendekatan untuk menciptakan kesadaran akan makna penting mentaati kebijakan protokol kesehatan. Kegagalan penanganan Covid-19 saat ini lebih pada konteks ini : tidak fokus pada pokok masalah, sentralistik, bahasa kebijakan yang tidak membumi, dan kebijakan yang selalu berubah-ubah sehingga cenderung membingungkan masyarakat bahkan pemerintah sendiri.

Tulisan ini telah dimuat pada Koran Sindo, 10 Februari 2021.

Penulis: Anang Zubaidy, S.H., M.H.

Dosen Fakultas Hukum UII, dari Departemen Hukum Tata Negara sekaligus Direktur Pusat Studi Hukum FH UII.

 

JUMLAH kasus positif Covid-19 di Indonesia beberapa hari ini menunjukkan angka yang sangat mengkhawatirkan. Sepekan terakhir tercatat penambahan jumlah kasus positif Covid-19 berada di atas 5.000 orang per hari. Bahkan, pada tanggal 3 Desember 2020 terjadi lonjakan jumlah kasus positif yang sangat signifikan, yakni sebanyak 8.369 orang positif Covid-19. Pertambahan jumlah kasus positif ini membuat Presiden Joko Widodo mengungkap kekecewaannya dalam rapat terbatas. Menurutnya, penanganan Covid-19 memburuk.

Kondisi seperti ini tak ayal membuat banyak kalangan semakin mengkhawatirkan pelaksanaan pilkada 9 Desember 2020. Secara serentak, pilkada kali ini akan digelar di 270 daerah provinsi dan kabupaten/kota di Indonesia dengan 100 juta lebih pemilih yang telah ditetapkan oleh KPU. Sebuah jumlah orang yang terlibat yang tidak bisa dikatakan sedikit.

Beberapa kalangan termasuk penulis, telah menyarankan agar pelaksanaan pilkada serentak tahun ini ditunda sampai dengan ditemukannya vaksin Covid-19. Namun, para pengambil kebijakan (Pemerintah, DPR, dan KPU) tidak bergeming dengan berbagai desakan yang datang dan tetap melaksanakan pilkada di tengah pandemi yang sedang melanda.

Ibarat nasi sudah menjadi bubur. Salus populi suprema lex esto, keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi. Maka, perlu langkah-langkah untuk memastikan pelaksanaan pilkada tetap berjalan sambil diupayakan langkah agar tidak ada kluster baru kasus positif Covid-19 Peraturan KPU No 6 Tahun 2020, KPU tampaknya sudah merumuskan berbagai langkah antisipasi agar pilkada tidak menjadi kluster baru. Berdasarkan beleid ini, langkah pencegahan penularan diupayakan melalui penerapan protokol kesehatan seperti menjaga jarak, pengecekan suhu tubuh, hingga disinfektasi peralatan-peralatan yang sering dipakai pada setiap tahapan pilkada. Namun, sebagaimana diketahui banyak pihak, kepatuhan terhadap protokol kesehatan pada tahapan pilkada yang sudah tak seindah didengungkan. Masih banyak ditemukan pelanggaran.

Pelanggaran itu bisa saja terjadi karena kurangnya kesadaran masyarakat akan pentingnya hukum. Bisa pula karena belum adanya pemahaman yang memadai dari masyarakat sebagai akibat
sosialisasi yang dilakukan pembentuk hukum belum maksimal. Adalah benar bahwa dalam hukum dikenal asas presumptio iures de iure (asas asas yang menganggap semua orang tahu hukum) atau yang bisa dikenal dengan fiksi hukum. Namun, asas ini tidak berdiri sendiri melainkan membutuhkan instrumen pendukung yakni sudah sejauhmana upaya sosialisasi telah dilakukan oleh organ negara yang bertugas untuk itu agar masyarakat patuh.

Jika dilihat dari optik teoritik, terdapat 2 (dua) madzhab teori kepatuhan yang dikenal dengan madzhab pemaksaan dan madzhab konsensus (Soerjono Soekanto). Dalam madzhab teori
pemaksaan, kepatuhan hukum muncul dari efektivitas dalam proses pemaksaan. Sedangkan pada madzhab teori konsensus, kepatuhan hukum muncul dari efektivitas melalui internalisasi
dalam masyarakat.

Penulis menilai, ketidakpatuhan peserta pilkada terjadi karena, baik pemaksaan maupun konsensus belum optimal berjalan. Dalam kaitannya dengan pemaksaan, pelaksanaan protokol kesehatan dalam pelaksanakan setiap tahapan pilkada (setidaknya) belum disertai dengan pelaksanaan sanksi yang memberikan efek jera bagi para pelanggar. Demi mengurangi dampak negatif pelaksanaan pilkada di tengah pandemi, sekali lagi, penegakan hukum protokol kesehatan harus dilakukan. Pelaksanaan yang menyisakan tahap pemungutan suara, penghitungan suara, dan penetapan pemenang masih sangat potensial memunculkan kerumunan dan potensial menjadi kluster baru. Tentu bukan itu yang diharapkan. Perlu kerja sama semua pihak (penyelenggara pilkada, pengawas, peserta, dan masyarakat) untuk bersama-sama menyelenggarakan pilkada dengan pelaksanaan protokol kesehatan yang ketat. Jika perlu, berlakukan sanksi yang tegas dan sesuai dengan koridor hukum atas setiap pelanggaran oleh siapapun tanpa pandang bulu.

Tulisan ini sudah dimuat dalam rubrik Analisis KR, 7 Desember 2020.

Penulis: M. Syafi’ie, S.H., M.H.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), Departemen Hukum Tata Negara

Salah satu fenomena yang menarik perhatian saat berkumpul dengan komunitas difabel ialah sebutan atau panggilan yang dinilai stigmatif. Sebutan tersebut antara lain penyandang cacat, orang berkebutuhan khusus, dan penyandang ketunaan. Dalam percapakapan sosial masyarakat kerap muncul panggilan yang tidak menyenangkan, yaitu kata budheg (orang dengan gangguan pendengaran), gagu (orang dengan gangguan bicara),  pengkor (kelainan bentuk kaki), Cah Nyeng (orang dengan gangguan mental), dan beberapa sebutan yang lain.

Sebutan lain yang saat ini cukup populer ialah difabel dan penyandang disabilitas. Difabel merupakan singkatan dari bahasa Inggris different ability people atau diferently abled people, yaitu orang-orang yang dikatagori memiliki kemampuan berbeda dengan manusia pada umumnya. Istilah lainnya ialah differently able, yang secara harfiah berarti sesuatu yang berbeda. Sedangkan secara terminologi, difabel adalah setiap orang yang mengalami hambatan dalam aktifitas keseharian maupun partisipasinya dalam masyarakat karena desain sarana prasarana publik yang tidak universal dan lingkungan sosial yang masih hidup dengan ideologi kenormalan.

Sedangkan penyandang disabilitas merupakan Sebutan yang dikemukakan dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, yaitu setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga Negara lainnya berdasarkan kesamaan hak.

Dari sekian sebutan di atas, difabel dianggap sebagai panggilan yang lebih nyaman, sopan, dan umum dalam percapakan komunitas. Sebutan difabel dinilai sejalan dengan ideologi yang memanusiakan, yaitu memberlakukan difabel sesuai harkat dan martabatnya sebagai manusia yang notabene merupakan bagian dari keragaman umat manusia.

Panggilan difabel tidak lepas dari tokoh bernama Mansour Fakih. Menurutnya, keberadaan difabel tidak lepas dari konstruksi sosial yang sangat destruktif. Konstruksi sosial melekatkan difabel dengan sebutan normal atau cacat. Istilah cacat memiliki makna ideologis yang berarti ketidakmampuan (disabilities), invalid dalam arti tidak normal, atau istilah yang menghadirkan cara pandang bahwa difabel tidak menjadi manusia seutuhnya, dan atau tidak sepenuhnya.

Konstruksi sosial yang melemahkan difabel menurut Mansour Fakih adalah ideologi kenormalan. Ideologi ini menjadi basis segala gagasan dan perilaku sosial masyarakat yang menciptakan kelas antar manusia yang dengan mudah bisa dikatakan normal atau tidak normal. Ideologi kenormalan dalam konteks ini lebih jauh menjadi penyokong cara pandang sosial yang penuh stigma serta menjadi basis banyaknya kebijakan diskriminatif yang berakibat pada eksklusi difabel dalam ruang publik.

Pertarungan Cara Pandang

Fenomena ragam sebutan difabel kalau dilacak ternyata tidak bisa lepas dari  ideologi dan paradigma yang melatari penyebutnya. Setidaknya terdapat empat paradigma yang saat ini berkembang, yaitu paradigma model budaya, model medis, model sosial, dan model hak asasi manusia.

Pertama, model budaya. Pendekatan ini berkembang sangat awal, dimana keberadaan difabel selalu dikaitkan keyakinan sebab akibat antara baik dan buruk. Misal di masyarakat Yunani dan Romawi yang diceritakan sangat menuhankan keperkasaan dan kesempurnaan, sehingga kelainan atau ketidaksempuraan harus dihilangkan. Konon di masa itu, anak-anak bayi yang baru lahir harus diperlihatkan kepada para sesepuh kota atau hakim tua (Gerousia) untuk diuji kesempurnaan fisiknya. Di masa itu pula diceritakan bahwa bayi-bayi yang sakit-sakitan, lemah, dan difabel dibuang dengan cara dihanyutkan di Sungai Tiber. Problem budaya melihat anak difabel saat ini masih terjadi. Tindakan tabu orang tua saat hamil seperti mengadu ayam, menangkap belut, mengadu ular, dan beberapa aktifitas yang lain diyakini sebagian masyarakat sebagai penyebab lahirnya anak-anak difabel.

Kedua, model medis. Pendekatan ini menyatakan bahwa esensi disabilitas adalah penyakit individu (individual pathology), dimana lewat cara ini kemudian bisa dibedakan mana difabel yang dianggap tidak bisa mengoperasikan teknologi baru, dan non difabel yang dianggap bisa mengoperasikan teknologi baru. Lewat pendekatan ini, maka perlu ada pemisahan  difabel dan non difabel untuk justifikasi pemerintah membantu difabel lewat program-program belas kasihan (charity) dan mendorong program-program rehabilitasi difabel agar bisa mandiri, sehat, dan normal secara jasmani dan rohani.

Ketiga, model sosial. Pendekatan ini menyatakan bahwa persoalan disabilitas terletak pada faktor yang lebih luas dan bersifat eksternal. Persoalan difabel tidak terletak pada kekurangan fisik dan atau mental seseorang, melainkan lebih pada faktor lingkungan sosial yang menindas dan meminggirkan keberadaan difabel. Pendekatan sosial mengkritik pendekatan medical model dan model budaya  karena telah menjadi penyebab marginalisasi difabel yang secara kultural dan struktural dianggap sebagai orang yang sakit, tidak normal, dan bermasalah karena mengalami kekurangan fisik atau mental (impairment).

Keempat, model hak asasi manusia. Pendekatan ini merupakan pengembangan dari pendekatan sosial model yang menghendaki penghormatan terhadap harkat dan martabat difabel, otonomi individu difabel, penghilangan segala bentuk diskriminasi terhadap difabel, meletakkan difabel sebagai bagian dari keragamaan manusia dan kemanusiaan, serta memastikan negara agar bertanggungjawab terhadap penghormatan (to respect), perlindungan (to protect), dan pemenuhan (to fulfill) hak-hak difabel.

Berpijak pada empat paradigma, pendekatan dan ideologi di atas, sebutan-sebutan yang memojokkan difabel merupakan ekspresi dari pendekatan budaya dan medis. Sebutan-sebutan negatif tersebut semestinya dihapuskan karena secara umum telah bertentangan dengan hukum hak asasi manusia yang telah mengatur dengan sedemikian rupa hak-hak difabel, khususnya Undang-Undang No. 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Convention on The Rights of Persons With Disabilities. Dalam hal ini, pemerintah Indonesia sebagai pemangku tanggungjawab (duty holder) semestinya mengambil langkah-langkah agar tidak ada lagi sebutan-sebutan yang menghancurkan harkat dan martabat difabel.

Pesan Agama

Pertanyaan yang tidak kalah penting, sebenarnya bagaimana pandangan agama, utamanya agama Islam terhadap sebutan-sebutan yang negatif kepada difabel? Pertanyaan ini mengemuka mengingat masyarakat Indonesia mayoritas beragama Islam dan dinilai memegang teguh budaya ketimuran.

Dalam agama Islam, stigma dan diskriminasi terhadap difabel merupakan tindakan yang haram atau tidak diperbolehkan secara hukum. Dalam ajaran Islam, kedudukan semua manusia sama, baik itu difabel-non difabel, kaya-miskin, budak-majikan, laki-laki-perempuan, yang membedakan hanyalah tingkat ketaqwaan seseorang (Qs. Al-Hujarot : 13).  Taqwa sendiri kalau ditelaah banyak berkaitan dengan pesan-pesan agar setiap orang Islam dapat berkembang menjadi pribadi yang berprilaku terpuji, baik hubungannya dengan Allah maupun dengan relasi sosial kemasyarakatan yang sangat luas.

Dalam ajaran Islam juga disebutkan bahwa Allah tidak melihat pada tubuh dan bentuk rupa seseorang, tetapi Allah melihat kepada hati umat mereka. Hal ini memperlihatkan bahwa kemuliaan seseorang di sisi Allah tidaklah diukur karena bentuk fisik dan rupa sebagaimana telah menjadi alat peminggiran kelompok difabel selama ini, tetapi Allah melihat hati dan kebaikan-kebaikan yang muncul akibat hati seseorang yang bersih.

Ajaran Islam lebih luas memperlihatkan bahwa agama ini menentang segala praktek ketidakadilan, dehumanisasi, dan setiap hal yang bertentangan dengan nilai-nilai etik dan profetik. Karena itu, sebutan-sebutan yang negatif, buruk, dan bernuansa kutukan haruslah ditinggalkan. Umat beragama, khususnya orang-orang Islam haruslah menyebarkan sebutan, pandangan dan perilaku yang menguatkan kelompok difabel.

Tulisan ini telah dimuat dalam Koran SINDO, 4 November 2020.

Penulis: Dr. Idul Rishan, S.H., LL.M

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), Departemen Hukum Tata Negara

Setelah revisi UU KPK disahkan pada pengunjung 2019, seharusnya pemerintah bersama DPR melakukan evaluasi atas performanya dalam melaksanakan fungsi legislasi. Saat itu, mereka dihujam kritik dan penolakan publik atas perubahan UU KPK. Prosesnya dikebut secara cepat, tanpa partisipasi dan tidak akuntabel.

Tanpa belajar dari proses perubahan UU KPK, sulit untuk memperoleh kembali kepercayaan publik atas produk legislasi yang dihasilkan. Belum lagi pemerintah dihadapkan dengan pandemi Covid-19, yang mengharuskan pembentuk UU segera beradaptasi atas performanya di bidang legislasi diharapkan tetap berjalan secara transparan, partisipatif, dan akuntabel.

Dengan membaca realitas saat ini, tampak kinerja legislasi di bawah standar. Perubahan UU KPK disusul UU Minerba, UU MK, dan UU Cipta Kerja nyatanya melahirkan delegitimasi sosial secara masif di masyarakat.

Tom Ginsburg dan Aziz Huq (2016) memelopori konsep evaluasi performa konstitusi (assessing contitutional performance) unutk memangkas jarak (gap) antara harapan (sollen) dan realitas (sein) pada bunyi teks konstitusi dan performanya di tataran praktis.

Hasil studinyam ada tiga faktor utama yang menyebabkan konstitusi tak dapat perform dengan dalam merespons kepentingan publik: (1) akibat realitas politik, (2) pengaruh kelompok-kelompok penekan, dan (3) faktor-faktor non hukum, seperti teknologi dan birokrasi. Sejalan preposisi Ginsburg dan Hug, kinerja legislasi kita sebenarnya sedang berjalan di luar pakemnya.

Oleh karena itu, tak heran jika kebutuhan evaluasi kinerja legislasi menjadi kian mendesak guna memulihkan performanya untuk kembali berjalan dalam kenormalan baru. Harus diakui, bangunan norma-norma, konstitusi yang mengatur fungsi legislasi dalam UUD meletakkan hubungan Presiden dan DPR dalam mode fifty-fifty formula.

Setiap lembaga diletakkan sebagai pemegang otoritas dalam pelaksaan fungsi legislasi dengan skema persetujuan bersama (mutual approve). Asumsinya diharapkan ada keseimbangan relasi berdasarkan prinsip checks and balances diantara keduanya danlam membahas dan menyetujui RUU. Logikanya sederhana, jika salah satu lembaga oembentuk UU tak mencapai persetujuan, RUU akan ditarik dan tak akan diajukan lagi pada masa itu. Sayangnya, realitas politik saat ini justru tidak menopang bekerjanya fungsi legislasi dengan baik.

Pengaruh oligarki

Tanpa disadari, presiden yang memperoleh dukungan mayoritas parpol di DPR turut memengaruhi kinerja legislasi yang dilakukan secara bersama. Dengan koalisi kepartaian, yang “super gemuk” di DPR hubungan keduanya cenderung kompromistis satu sama lain. Imbasnya, fungsi legislasi berjalan mulus tanpa adanya saling kontrol.

Anasir ini perlu dijadikan bahan evaluasi secara mendalam. Persepsi yang diletakkan para periset hukum dan politik yang menyatakan bahwa koalisi gemuk memperkuat stabilitas politik dan sistem presidensial menjadi relevan dievaluasi kembali. Berkaca pada empat UU terakhir (UU KPK, Minerba, MK, dan Cipta Kerja), koalisi gemuk justru tak lagi jadi solusi, tetapi sebuah ancaman karena dapat mematikan pengawasan politik di DPR atau sebaliknya.

Hal lain yang mempengaruhi menurunnya performa legislasi tak dapat dilepaskan dari kekuatan kelompok-kelompok penekan dalam menentukan isi UU. Mereka bukan pembentuk UU, tetapi mempunyai pengaruh yang cukup kuat dalam menentukan isi pasal yang ditentukan dalam proses legislasi. Dalam analisis Jeffry Winters (2013), mereka umumnya kaum oligark yang cenderung memengaruhi agar produk legislasi lebih kental keberpihakannya kepada kelompok elite dibandingkan kepentingan masyarakat luas.

Pada titik ini, aspek formil pembentukan UU seharusnya bisa menjadi aturan main bagi para pembentuk UU dalam melaksanakan fungsi legislasi. Naskah akademik seharusnya bisa jadi garis pembatas masuknya kepentingan kelompok-kelompok penekan yang akan mempengaruhi isi sebuah pasal dalam UU.

Dalam studi legisprudensi (Luc J Wintgens: 2012), aspek formil merupakan jantung keberhasilan sebuah pembentukan UU. Ia menitikberatkan rasionalitas dalam setiap harapan pembentukan UU. Bahwa proses yang baik itu tak akan pernah mengkhianati hasil. Hal ini yang belum terlihat dalam proses legislasi dalam beberapa UU terakhir. Aspek formil begitu mudah diterabas akibat sikap pragmatis partai, kemudian dibajak oleh kepentingan kaum oligark.

Kemudian faktor nonhukum, seperti birokrasi dan teknologi, juga ikut mempengaruhi performa legislasi dalam satu tahun terkahir. Terputusnya relasi publik untuk mendapatkan informasi di setiap tahapan lehislasi menjadi salah satu problem mendasar dalam praktik legislasi di empat UU terakhir. Proses yang tertutup ini secara langsung memengaruhi minimnya partisipasi publik dalam pembentukan sebuah UU.

Dalam masa pandemi saat ini, pemanfaatan teknologi digital merupakan bagian penting untuk memulihkan kondisi legislasi yang sedang perform di bawah standar. Tentu tak hanya sekadar mendigitalisasi pembahasan di setiaptahapan pembentukan UU, tetapi juga menjaring aspirasi publik guna mengawasi jalannya proses legislasi.

Tulisan ini sudah dimuat dalam KOMPAS, 16 Oktober 2020.

 

Penulis: M. Syafi’ie, S.H., M.H.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), Departemen Hukum Tata Negara

 

RUU Cipta Kerja akhirnya disahkan dalam rapat paripurna DPR. RUU ini sejak tahap perencanaan telah dikritik banyak kalangan, utamanya para akademisi yang menilai  adanya cacat serius pada aspek metodologi, paradigma, dan substansi pengaturannya. Secara metodologi undang-undang ini menggunakan pendekatan omnibus law yang dalam teknis penyusunannya melingkupi banyak bidang sehngga akan berdampak pada perubahan dan penghapusan sekitar 79 Undang-Undang terkait yang notabene memiliki muatan filosofi dan pertimbangan sosilogis yang berbeda.

Pada aspek paradigmatik, Undang-Undang Cipta Kerja berorientasi pada tujuan bisnis dan investasi. Cara pandang ini adalah bagian dari ideologi kapitalisme dan neoliberal yang diantara cirinya ialah penghilangan semua hal yang menghambat kepentingan investasi, liberalisasi perdagangan, privatisasi Badan Usaha Milik Negara, membuka kran tanpa batas investasi asing,, dan deregulasi dengan cara mengurangi  peran, tanggungjawab dan pengawasan pemerintah.

Pada aspek substansi, sudah pasti Undang-Undang ini meletakkan kepentingan investasi dan investor sebagai hal yang utama. Dalam hal ini yang sangat terlihat ialah sentralisasi peridzinan, aktor dan kran investasi diperbesar/diperluas, penghapusan dan pengurangan beberapa jaminan hak para pekerja, minimalisasi sanksi pelanggar lingkungan hidup, dan pemberian akses yang lebih mudah untuk alih fungsi lahan.

Beberapa catatan di atas sudah terdengar saat pembahasan RUU Cipta Kerja. Pengesahan RUU dan adanya reaksi penentangan yang sangat besar dari kalangan buruh, aktifis, dan akademisi ini bermakna bahwa tidak ada akomodasi yang cukup baik dari pemerintah dan parlemen untuk memperbaiki rancangan undang-undang. Pengesahan RUU Cipta Kerja oleh parlemen mengulangi kesalahan pengesahan Undang-Undang No. 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang No.30 Tahun 2002 tentang  Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang No. 3 Tahun 2020 tentang Perubahan UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral Batubara, dan Undang-Undang No. 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.

 

Minus Kepercayaan

Pengesahan beberapa Undang-Undang oleh parlemen dan mendapat perlawanan dari masyarakat dan akademisi memperlihatkan betapa serius permasalahan politik legislasi hukum di Indonesia. Pemerintah dan parlemen sekedar memaksakan kehendak untuk membuat hukum dan merusak secara total kepercayaan publik tentang makna agung penormaan hukum dan dalam skala yang panjang mendorong masyarakat  untuk melawan dan menyepelekan aturan hukum.

Satjipto Rahardjo pernah mengatakan, hukum tidak berlaku karena ia memiliki otoritas untuk mengatur, melainkan karena hukum tersebut diterima oleh masyarakat. Pernyataan ini menjelaskan betapa penting bagi pemerintah dan parlemen yang memiliki otoritas untuk membuat hukum agar tidak menafikan pertimbangan filosofis dan sosiologis daripada  hukum.

Dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dan Undang-Undang No. 15 Tahun 2019 tentang Perubahan Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 menegaskan tentang makna penting naskah akademik yang didalamnya harus menghadirkan analisis secara detail landasan filosofis, sosiologis, dan yuridis. Naskah akademik Undang-Undang Cipta Kerja dalam ketiga aspek tersebut masih menuai kritik dan mendapatkan banyak masukan substantif dari kalangan masyarakat dan akademisi.

Pada aspek filosofis, sebuah perundang-undangan yang dibuat harus menghadirkan pertimbangan atau alasan yang menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk harus memasukkan pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum yang meliputi suasana kebatinan, serta falsafah bangsa yang bersumber pada Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.

Pada aspek sosilogis, sebuah perundang-undangan yang dibuat harus menghadirkan pertimbangan atau alasan yang menggambarkan bahwa peraturan yang dibuat semata-mata untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam berbagai aspeknya. Dalam hal ini, Undang-Undang tentang Pembentukan Perundang-undangan menyebut bahwa pertimbangan landasan sosiologis terkait dengan fakta empiris mengenai perkembangan masalah dan kebutuhan masyarakat dan negara. Sebuah peraturan tidak boleh melahirkan dampak-dampak merusak bagi tatanan masyarakat dan negara.

Pada aspek yuridis, sebuah  undang-undang yang dibuat harus memastikan bahwa ada pertimbangan atau alasan yang memperlihatkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk mengatasi pertamasalahan hukum atau untuk mengisi kekosongan hukum dengan mempertimbangkan hukum yang telah ada. Dalam hal ini, harus dipastikan bahwa Undang-Undang yang akan dibuat tidak berbenturan dengan norma-norma pokok, utamanya terhadap Undang-Undang Dasar 1945.

Landasan filosofis, sosilogis dan yuridis selalu menjadi dasar dalam pembuatan perundang-undangan. Dalam hal ini, pembuatan Undang-Undang baru akhirnya harus dirancang dengan sangat serius dan melibatkan banyak kalangan, utamanya masyarakat yang menjadi pihak atau korban langsung dari sebuah aturan. Catatan serius Undang-Undang-Undang Cipta Kerja ialah proses pembahasan dan pengessahannya yang berlangsung cepat, minimnya partisipasi masyarakat, tidak mempertimbangkan masukan masyarakat dan akademisi, dan pengesahannya dilakukan dalam suasana yang sangat dipaksakan.

Pencapaian Hukum

Satjipto Rahardjo mengatakan, hukum itu tertanam ke dalam dan berakar dalam masyarakat. Hukum merupakan pantulan masyarakatnya. Hukum tidak berada di dunia yang abstrak, tetapi sebenarnya berada dalam kenyataan masyarakat. Karena itu, sebuah Undang-Undang semestinya tidak dilihat semata pencapaian hukum (legal achievment), tetapi lebih serius harus dilihat sebagai pencapaian sosial (sosiological achievment) dan dampak sosial (sociological impact).

Pengesahan RUU Cipta Kerja, perubahan Undang-Undang KPK, Perubahan UU Minerba dan perubahan Undang-Undang Mahkamah Konstitusi merupakan capaian tersendiri dalam pembuatan hukum di era pemerintaham dan perlemen periode ini. Namun demikian, perlu dipikirkan dampak sosial dan capaian yang terjadi : apakah konstruktif atau desktruktif  untuk penghargaan para pekerja, lingkungan yang sehat, dan tata kelola bernegara yang bertanggungjawab.

 

Tulisan ini telah dimuat di Koran Kompas, 14 Oktober 2020.