Penulis: Ayunita Nur Rohanawati, S.H., M.H.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), Departemen Hukum Administrasi Negara

PEMBAHASAN omnibus law RUU Cipta Kerja kian mem anas di Indonesia. Bidang ketenagakerjaan yang menjadi salah satu pembahasan dalam RUU Cipta Kerja tentu tak lep as dari permasalahan. Pada klaster ketenagakerjaan terdapat degradasi nilai kesejahteraan bagi pekerja di Indonesia, mu atannya tidak lebih baik dari yang diatur dalam regulasi sebe lumnya yaitu Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan atau yang lebih dikenal dengan UUK. Problematika tersebut antara lain mengenai Tenaga Kerja Asing (TKA), Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), alih daya (outsourcing), upah, dan sebagainya.

Pemerintah berkeyakinan, pembentukan RUU Cipta Kerja dengan metode omnibus law ini mampu meningkatkan investasi di Indonesia yang bertujuan untuk meningkatkan perekonomian di Indonesia. Hanya, pemerintah tidak boleh melupakan bahwasanya regulasi di Indonesia disusun dengan mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila didalamnya yang merupakan dasar falsafah negara (philosofische grondslag). Termasuk dalam bidang ketenagakerjaan Indonesia.

Hubungan Industrial Indonesia yang merupakan ruh ketenagakerjaan di Indonesia sejatinya berjalan berlandaskan Pancasila. Ada nilai-nilai Pancasila yang terkandung dan diimplementasikan dalam regulasi ketenagakerjaan Indonesia.

Sila pertama Pancasila diimplementasikan dalam UUK tentang larangan melakukan PHK ketika pekerja sedang melaksanakan kewajiban agama menurut agama dan keyakinan masing-masing. Sila kedua Pancasila, sebagaimana tergambar dalam UUK bahwasanya kedudukan pekerja laki-laki dan perempuan adalah sama. Tidak ada pembedaan hak bagi pekerja laki-laki dan perempuan. Sila ketiga Pancasila, Persatuan Indonesia diimplementasikan dalam UUK pada norma larangan PHK bagi pekerja yang memiliki perbedaan suku dengan pemberi kerja.

Selanjutnya, sila keempat Pancasila menggambarkan bahwasanya pembentukan UUK dilakukan lembaga legislatif sebagai wakil rakyat dan mengakomodasi kepentingan pihakpihak dalam hubungan industrial, yaitu pemerintah, pemberi kerja dan pekerja. Jaminan sosial sebagaimana yang diamanatkan oleh UUD 1945 merupakan perwujudan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial di Indonesia lahir dengan latar belakang untuk mampu menyelenggarakan jaminan sosial bagi seluruh akyat Indonesia tanpa terkecuali, termasuk pekerja.

Founding fathers mencitakan Pancasila sebagai penawar atas segala permasalahan bangsa. Namun hal ini tidak diimplementasikan dengan baik dalam omnibus law RUU Cipta Kerja. Dalam bidang ketenagakerjaan terdapat penurunan nilai kesejahteraan bagi pekerja. Hak bekerja bagi warga negara sebagaimana tercantum dalam Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 mengalami penurunan dalam hal penghapusan jenis pekerja tetap menjadi pekerja kontrak untuk keseluruhan. Selain itu, alih daya bukan lagi untuk jenis pekerjaan noncore melainkan diperbolehkan untuk segala jenis pekerjaan.

Ketidakadilan akan terjadi manakala RUU Cipta Kerja disahkan yang memuat penghapusan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) menjadi Upah Minimum Provinsi (UMP) yang notabene besaran UMP lebih kecil dari UMK. Saat ini diberlakukannya UMK tidak menjamin pemberi kerja taat untuk melaksanakannya, lalu bagaimana jika ada penghapusan? Bagaimana bentuk keadilan bagi pekerja yang telah melaksanakan kewajibannya?

Degradasi nilai kesejahteraan bagi pekerja di Indonesia yang sangat terlihat jelas dalam RUU Cipta Kerja menggambarkan adanya pengesampingan nilai-nilai Pancasila sebagaimana yang dicitakan founding fathers. Hubungan Industrial yang terjalin antara pemerintah, pemberi kerja dan pekerja sejatinya harus berjalan secara harmonis. Pemberi kerja dan pekerja dapat mengimpelmentasikannya dengan melaksanakan hak dan kewajiban masing-masing dengan fair dan baik. Pemerintah dapat mewujudkannya dengan membuat kebijakan yang tidak berat sebelah. Menjadikan Pancasila sebagai pakem utama tanpa meninggalkan satu nilai apapun dari Pancasila. Menjaga bersama Pancasila, demi keutuhan bangsa.

Tulisan ini sudah dimuat dalam rubrik Analisis KR, 3 Oktober 2020.

Penulis: Nurmalita Ayuningtyas Harahap, S.H., M.H.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), Departemen Hukum Hak Administrasi Negara

 

Kontestasi pemilihan kepala daerah (pilkada) tetap akan dilaksanakan tahun ini, di tengah wabah Covid-19. Persiapan penyelenggaraan pilkada yang digelar ini tidak lepas dari beberapa polemik. Salah satunya menyinggung netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN). Pasalnya, masih saja terdapat pelanggaran netralitas. Data yang dihimpun lembaga pengawas norma dan kode etik ASN, yaitu Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) mencatat setidaknya ada 456 ASN yang sudah dilaporkan melanggar netralitas hingga 31 Juli 2020 (KASN.go.id).

Salah satu permasalahan netralitas ini adalah banyaknya ASN yang mencalonkan diri menjadi kepala daerah. Namun belum mengikuti prosedur yang sesuai peraturan perundang-undangan, misalnya belum mundur sebagai ASN. Tidak kalah penting adalah, pada tahun ini jumlah petahana cenderung meningkat dan mendominasi untuk menjadi bakal calon kepala daerah. Realita ini dapat memicu kekhawatiran, yaitu mobilisasi oleh petahana kepada ASN menjadi catatan penting.

Menteri Dalam Negeri telah mencatat banyaknya permintaan mutasi ASN. Terdapat 720 usulan mutasi yang ditolak hingga bulan September. Penolakan tersebut untuk menghindari adanya mutasi atas dasar kepentingan. Disamping itu, masih ditemukan banyaknya ASN yang melakukan kampanye. Lalu bagaimana persoalan terkait dengan pelanggaran netralitas ASN ini ditinjay dari perspektif hukum kepegawaian?

Pengaturan tentang netralitas ASN ini sebenarnya telah diatur dalam berbagai peraturan. Dalam Pasal 2 huruf f dan penjelasannya di UU No. 5 Tahun 2014 dinyatakan tentang asas netralitas, bahwa setiap Pegawai ASN tidak berpihak dari segala bentuk pengaruh manapun dan tidak memihak kepada kepentingan siapapun. Terkait dengan pencalonan sebagai Kepala Daerah bagi ASN sebenarnya telah diatur dalam Pasal 119 dan Pasal 123 ayat (3) UU No. 5 Tahun 2014 tentang ASN. Di kedua pasal ini diaturn, pada intinya ASN harus mengundurkan diri secara tertulis sejak mendaftar sebagai calon.

Lalu, konsekuensi berat apabila tidak mengundurkan diri ini dapat dilihat pada di Pasal 346 ayat (4) Peraturan Pemerintah No 11 Tahun 2017 tentang Manajemen PNS. Apabila PNS tidak mengajukan diri sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) diberhentikan tidak dengan hormat sebagai PNS mulai akhir bulan sejak PNS yang bersangkutan ditetapkan sebagai calon oleh lembaga yang bertugas melaksanakan pemilihan umum.

Permasalahan kedua adalah mobilisasi petahana menjelang pilkada pada ASN. Pasal 71 ayat (2) UU No 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Walikota, menyatakan antara lain, Kepala Daerah tidak boleh melakukan penggatian pejabat 6 (enam) bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan akhir masa jabatan kecuali mendapat persetujuan tertulis dari Menteri. Kemudian ayat (3) pada intinya menyatakan Kepala Daerah dilarang menggunakan kewenangan, program, dan kegiatan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon baik di daerah sendiri maupun di daerah lain dalam waktu 6 (enam) bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan penetapan pasangan calon terpillih. Jika hal itu dilakukan oleh petahana, maka terdapat sanksi pembatalan sebagai calon oleh KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota.

Konsekuensi hukum dari pelanggaran netralitas PNS tersebut adalah hukuman disiplin sedang dan berat. Sesuai dengan Pasal 7 dalam peraturan pemerintah tersebut hukuman disiplin sedang dan ringan berupa penundaan gaji sampai dengan pemberhentian tidak denan hormat.

Penegakan hukum sangat diperlukan untuk mengatasi netralitas tersebut, yaitu dari segi pengawasan maupun pemberian sanksi. Baik dari KASN, Badan Pemilu (Bawaslu), Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK). Tidak terkecuali masyarakat harus terus dapat bersinergi untuk mengawal netralitas ASN.

Tulisan ini telah dimuat dalam Anaslisis KR, Kedaulatan Rakyat, 30 September 2020.

Penulis: M. Syafi’ie, S.H., M.H.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), Departemen Hukum Tata Negara

 

Penyelenggaraan Pilkada serentak 2020 sudah memasuki tahapan penting, yaitu pandaftaran dan penetapan pasangan calon. Tahapan ini akan berlanjut dengan produksi dan pendistribusian logistik, laporan dan audit dana kampanye, kampanye dan debat publik, pembentukan KPPS dan pengumuman DPT, dan puncaknya pemungutan dan rekapitulasi suara pada bulan Desember. Dari proses yang telah dilewati, penting dikemukakan : jangan lupakan lagi difabel. Aksesibilitas fundamental untuk demokrasi.

Pemilu akses sudah kerap disuarakan oleh komunitas rentan, utamanya oleh warga difabel yang selalu terlanggar hak-haknya dalam setiap penyelenggaraan kontestasi politik, baik dalam pemilihan pemimpin di tingkat nasional, provinsi, kabupaten/kota, dan bahkan di level desa. Pelanggaran hak didominiasi hilangnya hak pilih difabel di saat pemungutan suara, dan lebih jauh dihilangkan suara dan perannya dalam setiap tahapan penyelenggaraan pemilihan.

Pilkada tahun ini berpotensi mengulangi pelanggaran hak sama. Dalam sebuah pertemuan, penulis mendengarkan keluh kesah difabel yang belum terdata dalam tahapan Pencocokan dan Penelitian Data Pemilih yang telah dilakukan Petugas Pemutaakhiran Data Pemilih (PPDP). Lebih jauh, difabel menceritakan bahwa PPDP tidak menggali hambatan-hambatan apapun yang nantinya perlu difasilitasi hak dan aksesibilitasnya dalam setiap proses penyelenggaraan Pilkada.

 

Pilkada Akses

Pilkada akses merupakan upaya mendorong proses penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah yang memudahkan semua orang. Aksesibilitas sendiri bermakna segala kemudahan yang disediakan untuk mewujudkan kesamaan kesempatan. Tujuan pokoknya agar setiap orang yang mengalami hambatan dapat mandiri dan berpartisipasi secara penuh dalam setiap prosesnya.

Hambatan secara umum meliputi hambatan mobilitas, penglihatan, pendengaran, wicara, komunikasi, mengingat dan konsentrasi, intelektual, perilaku dan emosi, mengurus diri sendiri, dan atau hambatan lain yang umumnya terjadi pada setiap manusia. Hambatan-hambatan ini semestinya digali dan layak untuk menjadi pijakan bagaimana sarana prasarana dan layanan yang semestinya dibuat aksesibel.

Dalam konteks hukum, ada beberapa aturan yang tegas menjamin aksesibilitas. Pasal 9 UU No. 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Konvensi Hak-hak Penyandang Disabilitas menyatakan bahwa Negara-Negara Pihak wajib mengambil langkah-langkah yang tepat untuk menjamin akses bagi penyandang disabilitas, atas dasar kesamaan dengan warga lainnya, terhadap lingkungan fisik, transportasi, informasi dan komunikasi, serta akses terhadap fasilitas dan jasa pelayanan lain yang terbuka dan tersedia untuk publik. Pasal 29 dinyatakan bahwa Negara-Negara Pihak wajib menjamin kepada penyandang disabilitas hak-hak politik dan kesempatan untuk menikmati hak-hak tersebut atas dasar kesamaan dengan orang lain.

Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas memberikan penegasan yang sama. Pasal 75 ayat (2) dinyatakan bahwa Pemerintah dan Pemerintah Daerah Wajib menjamin hak dan kesempatan bagi Penyandang Disabilitas untuk memilih dan dipilih. Pasal 77 dinyatakan bahwa Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menjamin hak politik penyandang disabilitas dengan memperhatikan keragaman disabilitas, termasuk didalamnya memastikan prosedur, fasilitas, dan alat bantu pemilihan bersifat layak, dapat diakses, serta mudah dipahami dan digunakan.

KPU sendiri telah membuat Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) No. 3 Tahun 2019 tentang Pemungutan dan Penghitungan Suara dalam Pemilihan Umum. Dalam PKPU diatur beberapa hal terkait aksesibilitas, antara lain pemilihan TPS yang harus mudah dijangkau, Pemilih Tuna Netra dalam pemberian suara Pemilu Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden dan Pemilu anggota DPD dapat menggunakan alat bantu tuna netra yang disediakan TPS, dan beberapa yang lain. Namun demikian, PKPU ini berlaku untuk Pemilu, masih menggunakan pendekatan kecacatan dalam melihat difabel, dan belum harmonis dengan Undang-Undang Disabiitas.

Berpijak pada kondisi di atas, sudah seharusnya Penyelenggara Pilkada serentak 2020 memikirkan dengan serius pemenuhan aksesibilitas bagi warga negara yang memiliki hambatan, utamanya difabel yang setiap momen kontestasi politik selalu terpinggirkan. Dalam hal ini, sudah selayaknya KPUD dan Bawaslu Daerah mendengarkan aspirasi kelompok marginal yang ada di wilayahnya.

Tulisan ini telah dimuat dalam Koran Kedaulatan Rakyat, 17 September 2020.

 

Penulis: M. Syafe’i, S.H., M.H.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), Departemen Hukum Tata Negara

Penyelenggaraan Pilkada 2020 sudah melewati tahapan penting, yaitu pendaftaran dan penetapan pasangan calon. Tahapan ini akan berlanjut dengan produksi dan pendistribusian logistik, laporan dan uadit dana kampanye, kampanye dan debat publik, pembentukan KPPS dan pengumuman DPT. Puncaknya pemungutan dan rekapitulasi suara pada bulan Desember. Dari proses yang telah dilewati, penting dikemukakan jangan lupakan lagi difabel. Aksebilitas fundamental untuk demokrasi.

Pemilu akses sudah kerap disuarakan komunitas rentan, utamanya warga difabel yang selalu terlanggar hak-haknya dalam setiap penyelenggaraan kontestasi politik, baik dalam pemilihan pemimpin di tingkat nasional, provinsi, kabupaten/kota, dan bahkan di level desa. Pelanggaran hak didominasi hilangnya hak pilih difabel di saat pemungutan suara.

Pilkada tahun ini berpotensi mengulangi pelanggaran hak sama. Dalam sebuah pertemuan, penulis mendengarkan keluh kesah difabel yang belum terdata dalam tahapan pencocokan dan penelitian data pemilih yang telah dilakukan Petugas Pemutakhiran Data Pemilih (PPDP). Difabel menceritakan, PPDP tidak menggali hambatan-hambatan apapun yang nantinya perlu difasilitasi hak dan aksesbilitasnya dalam setiap proses penyelenggaraan pilkada.

Pilkada Akses

Pilkada akses merupakan upaya mendorong proses penyelenggaraan pemilihan kepala daerah yang memudahkan semua orang. Aksesbilitas sendiri bermakna segala kemudahan yang disediakan untuk mewujudkan kesamaan kesempatan. Tujuan pokoknya agar setiap orang yang mengalami hambatan dapat mandiri dan berpartisipasi secara penuh dalam setiap prosesnya.

Hambatan secara umum meliputi hambatan mobilitas, penglihatan, pendengaran, wicara, komunikasi, mengingat dan konsentrasi, intelektual, perilaku dan emosi. Juga mengurus diri sendiri, dan atau hambatan lain yang umumnya terjadi pada setiap manusia. Hambatan-hambatan ini semestinya digali dan layak untuk menjadi pijakan bagaimana sarana prasarana dan layanan yang semestinya dibuat aksesibel.

Dalam konteks hukum, ada beberapa aturan yang tegas menjamin aksesbilitas. Pasal 9 UU No. 19 Tahun 2021 tentang Pengesahan Konvensi Hak-hak Penyandang Disabilitas menyatakan bahwa Negara-negara pihak wajib mengambil langkah-langkah yang tepat untuk menjamin akses bagi penyandang disabilitas. Atas dasar kesamaan dengan warga lainnya terhadap lingkungan fisik, transportasi, informasi dan komunikasi, serta akses terhadap fasilitas dan jasa pelayanan lain yang terbuka dan tersedia untuk publik.

Undang-undang No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas memberikan penegasan yang sama. Pasal 75 ayat (2) dinyatakan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah wajib menjamin hak dan kesempatannbagi penyandang disabilitas untuk memilih dan dipilih. Pasal 77 dinyatakan bahwa pemerintah dan pemerintah wajib menjamin hak politk penyandang disabilitas dengan memperhatikan keragaman disabilitas.

Pendekatan

KPU sendiri telah membuat Peraturan Komisi Pemiihan Umumn (PKPU) No. 3 Tahun 2019 tentang Pemungutan dan Perhitungan Suara dalam Pemilihan Umum. Dalam PKPU diatur beberapa hal terkait aksesbilitas, antara lain pemilihan TPS yang harus mudah dijangkau, Pemilih Tuna Netra dalam pemberian suara Pemilu Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden dan Pemilu anggota DPD dapat menggunakan alat bantu tuna netra yang disediakan TPS, dan beberapa lain. Namun, demikian, PKPU ini berlaku untuk pemilu, masih menggunakan pendekatan kecacatan dalam melihat difabel.

Berpijak pada kondisi diatas, sudah seharusnya penyelenggara Pilkada 2020 memikirkan dengan serius pemenuhan aksesbilitas bagi warga negara yang memilkiki hambatan. Utamanya difabel yang setiap momen kontestasi politik selalu terpinggirkan. Dalam hal ini, sudah selayaknya KPUD dan Bawaslu Daerah mendengarkan aspirasi kelompok marginal yang ada di wilayahnya.

Tulisan ini pernah dimuat dalam Kedaultan Rakyat, 17 September 2020.

 

 

 

Penulis: Dr. Idul Rishan, S.H., LL.M

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), Departemen Hukum Tata Negara

 

Hasil perubahan Undang-undang Mahkamah Konstitusi (MK) yang telah disetujui oleh Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memicu berbagai spekulasi atas performa dan masa depan Mahkamah sebagai pengawal konstitusi. Berbagai kritik muncul sejak rancangan undang-undang ini diinisiasi oleh DPR karena dilakukan secara tergesa-gesa dan tidak partisipatif. Proses legislasinya diklaim irasional dan materi perubahan jauh dari kebutuhan faktual Mahkamah.

Materi perubahan itu perihal perubahan masa jabatan hakim konstitusi yang diperpanjang hingga usia 70 tahun. Aturan ini juga bersifat retroaktif atau berlaku juga bagi hakim saat ini. Dengan begitu, para hakim saat ini akan memegang jabatannya paling cepat sampai 2024 dan paling lama hingga 2034.

Sedari awal pemerintah terlihat gagap memberikan alasan yang rasional untuk memperpanjang masa jabatan hakim. Bahkan dalam pembahasannya hampir tidak ada perdebatan yang muncul mengenail hal ini. Politik hukumnya tampak menjadi sangat kompromistis antara Presiden dan DPR.

Kita tidak bisa memaafkan bahwa substansi hukum dalam undang-undang sangat dipengaruhi oleh berbagai macam faktor termasuk kepentingan politik kekuasaan dan kekuatan-kekuatan lain. Dengan perubahan ini kepentingan politik kekuasaan dengan mudah dapat dijalankan karena undang-undang merupakan alat legitimasi untuk menyalurkan dan mewujudkan kekuatan-kekuatan pemerintah terhadap peradilan.

Mustahil jika pemerintah tidak memperhitungkan motif penambahan masa jabatan hakim konstitusi ini. Bahkan, pemerintah telah mengkalkulasi jika pada akhirnya undang-undang ini diujikan di Mahkamah, para hakim akan terjebak dalam pusaran konflik kepentingan. Tegasnya, sembilan hakim konstitusi akan mengadili perkara yang menyangkut kepentingan jabatannya sendiri.

Dalam lanskap doktrin yang dicatatkan oleh Spitzer dan Genovese (2005), hubungan pemerintah dan peradilan umumnya dibagi atas dua pola. Pertama, hubungan yang bersifat konfrontatif. Dalam mode ini, hakim-hakim yang duduk di institusi peradilan merupakan kelompok anti-mayoritas yang terbentuk dari hasil seleksi rezim pendahuluannya. Imbasnya interprestasi hakim dalam memutus perkara kerap bersebrangan dengan pemerintah karena peradilan kerap memainkan peran sebagai antitesis kelompok mayoritas. Fase ini sebenarnya pernah dialami oleh MK pada periode 2003-2008. Banyak putusan-putusan MK saat itu lahir untuk mewakili suara kelompok-kelompok minoritas yang hak-haknya dilanggar oleh pemerintah.

Pola kedua, sebaliknya hubungan pemerintah dan peradilan bersifat kooperatif. Dalam mode ini, hakim-hakim yang duduk di institusi peradilan diseleksi untuk menjadi kelompok pro-mayoritas atau sekurang-kurangnya menjadi bagian dari koalisi presidensial. Meskipun proses seleksi dilakukan secara merit, lembaga pengusul sangat paham dengan rekam jejaknya. Calon hakim yang duduk di Mahkamah dipilih karena memiliki preferensi politik yang sama dengan pemerintah.

Singkatnya, pemerintah mencoba berspekulasi untuk mendapatkan sebanyak mungkin dukungan dari institusi peradilan ketika menetapkan kebijakan strategis pemerintah melalui pembentukan undang-undang. Implikasinya, interprestasi para hakim cenderung akan menahan diri terhadap perkara-perkara penting yang melibatkan kepentingan pemerintah. Beberapa diantaranya revisi Undang-Undang Komisi Pemberantas Korupsi, revisi Undang-Undang Mineral dan Batu Bara, serta Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja.

Pada titik inilah pemerintahan Jokowi-Ma’ruf mencoba berjudi dengan Undang-Undang MK. Harapannya, pemerintahan mereka yang mendapatkan dukungan kuat di parlemen, akan sejalan dengan interprestasi sembilan hakim konstitusi dalam mengadili dan memutus perkara-perkara strategis yang melibatkan pemerintah. Berdasarkan sejarah politik dan peradilan, demokrasi terpimpin dan Orde Baru pernah membangun strategi yang sama. Pemerintah memperdagangkan pengaruhnya dalam seleksi dan pengangkatan hakim hingga pada akhirnya insititusi peradilan hanya menjadi bagian dari kekuatan politik pemerintah atau lebih dikenal dengan perpanjang tangan pemerintah. Inilah yang menjadi perjudian besar pemerintah terhadap perubahan Undang-Undang MK.

 

Tulisan ini sudah dimuat dalam Koran Tempo, 10 September 2020.

Penulis: Dr. Idul Rishan, S.H., LL.M

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), Departemen Hukum Tata Negara

 

Ada dua poin besar dalam draft revisi UU MK yang menuai kritik dan penolakan dari sejumlah kelompok masyarakat. Pertama, menambah syarat minimal usia untuk menjadi hakim konstitusi dari 47 menjadi 60 tahun. Kedua, mengubah ketentuan aturan masa jabatan hakim  konstitusi dari model periodesasi ke batas usia maksimum 70 tahun. Dalam lanskap politik dan tehnik legislasi, dua kalusul ini cenderung sangat spekulatif. Belum ada satupun hasil studi yang membenarkan bahwa menambah syarat usia hakim konstitusi bisa memengaruhi kualitas interpretasi terhadap sebuah perkara.

Sungguhpun itu dibentuk sebagai syarat, pengaturan batas minimal usia tak lebih dari sebuah kompromi politik. Dan adakalanya, rasionalisasi pilihan angka itu jatuh secara insidentil. Begitu juga dalam konteks masa jabatan hakim konstitusi. Terlalu dini kiranya jika ada persepsi yang menyatakan bahwa pembatasan masa jabatan hakim dengan klausul usia maksimum akan menguatkan independensinya dalam mengadili perkara. Sebab independensi jabatan hakim tidak dipengaruhi dengan syarat usia, melainkan pada prinsip meritokrasi yang melekat dalam proses seleksi dan pengangkatan hakim. Tak heran kiranya, jika masyarakat dibuat bingung dengan kebutuhan revisi UU MK. Apa yang menjadi motif di balik dua kalusul itu? Poin perubahan yang sama sekali tidak substantif, bahkan membuka konflik kepentingan antara hakim konstitusi dan pembentuk undang-undang.

Legislasi

Menjadi menarik bila meletakkan konteks ini jauh lebih luas. Di periode kedua pemerintahan Joko Widodo, fungsi legislasi menjadi anasir yang secara signifikan mendapatkan krisis legitimasi sosial. Begitu masifnya penolakan publik dalam fungsi legislasi (Presiden-DPR) tentu tidak bisa hanya dimaknai sebagai bekerjanya kontrol kewargaan dalam negara demokrasi. Melainkan juga harus dilihat sebagai bentuk pentingnya evaluasi kinerja Presiden dan DPR dalam melaksanakan fungsi legislasi. Berawal dari proses politik yang buruk pada perubahan UU KPK dan juga diikuti dengan perubahan UU Minerba, krisis legitimasi publik kemudian mengerangkai pada pembentukan undang-undang lainnya. Sebut saja RUU Cipta Kerja, sampai dengan yang paling anyar revisi UU MK. Dalam konsepsi hukum dan masyarakat, undang-undang bukan hanya soal legalitas formal melainkan juga legitimasi sosial (Sulistiyowati Irianto:2019). Luc Wintgens: 2012 menuliskan bahwa krisis legitimasi publik terhadap pembentukan undang-undang disebabkan akibat proses legislasi yang buruk baik dari segi prosedur maupun isi dari undang-undang itu sendiri. Rasionalitas publik ditabrak atas dasar kehendak partai, partisipasi publik lemah  dan suara rakyat dibajak dengan kelompok-kelompok penekan yang memiliki kepentingan sektoral atas pembentukan sebuah undang-undang.

Independensi

Studi Larkins dalam  “judicial independence and democratization” membenarkan bahwa pola intervensi pemerintah terhadap lembaga peradilan salah satunya dilakukan dengan proses politik pembentukan undang-undang yang mengatur lembaga peradilan (Christoper M Larkins:1996). Polanya sederhana. Pemerintah memperdagangkan pengaruh dalam materi muatan pembentukan hukum, agar hakim terjebak pada pusaran konflik kepentingan.  Praktik di berbagai negara merefleksikan keadaan yang hampir mirip. Intervensi pemerintah dilakukan dengan proses politik pada revisi undang-undang kekuasaan kehakiman. Hungaria contohnya, pemerintah Orban mengubah aturan dengan menambah jumlah hakim konstitusi dari delapan menjadi lima belas. Kemudian memberikan peran bagi partai penguasa untuk melakukan penunjukan langsung terhadap hakim-hakim yang baru. Demikian juga Polandia. Partai pemenang pemilu menolak calon hakim yang diusulkan oleh partai pendukung pemerintah sebelumnya. Kemudian partai pemenang pemilu mengangkat lima hakim konstitusi yang baru untuk mendelegitimasi calon yang lama. Semua itu dilakukan agar pemerintah dapat memberikan pengaruh terhadap hakim ketika dan akan mengadili perkara yang melibatkan kepentingan pemerintah. Ketika hakim tidak lagi independen, proses peradilan menjadi sangat transaksional.

Kepentingan

Dalam draft revisi UU MK,  Pasal 87 huruf c mengatur apabila hakim konstitusi berakhir masa jabatannya di usia 60, maka hakim yang bersangkutan dapat meneruskan jabatannya hingga usia 70 tahun. Tanpa adanya kejelasan dalam ketentuan peralihan, pasal ini bisa mengancam dan mengakibatkan hakim konstitusi terjebak dalam kubangan konflik kepentingan. Artinya akan ada hakim konstitusi yang dirugikan ataupun diuntungkan dengan ketentuan perubahan UU MK.  Sebagai contohnya Hakim Saldi Isra. Periodesasi jabatannya habis sebelum usia enam puluh tahun. Berbanding terbalik dengan Hakim Aswanto yang periodesasi jabatannya bisa berhenti di usia enam puluh tahun. Dengan merujuk ketentuan revisi pasal a quo akan ada hakim konstitusi yang mungkin saja bisa menjabat hingga dua puluh tahun lamanya. Bisa dibayangkan ketika revisi UU a quo pada akhirnya diujikan di MK, majelis hakim konstitusi tidak hanya mengadili kepentingan lembaganya, melainkan juga mengadili kepentingan jabatannya sendiri. Oleh karena itu revisi UU MK sebaiknya lebih ditujukan untuk mengoptimalisasi pemenuhan hak konstitusional warga negara. Menelaah kebutuhan kelembagaan MK yang jauh lebih substantif dari pada sekedar mengatur usia jabatan hakim. Bukan sebaliknya, momentum revisi UU MK justru hanya menjadi langkah mundur dalam upaya perlindungan hak konstitusional warga negara.

Tulisan ini pernah dimuat dalam detikNews, 16 Juni 2020.

Oleh: Muhammad Teguh Pangestu[1]

Dari bulan Desember 2019 hingga detik ini, Covid-19 atau virus corona telah menyebar ke 213 negara, termasuk Indonesia. Total jumlah yang positif terkena virus corona berjumlah 7.873.198 kasus. Total jumlah pasien yang meninggal dunia berjumlah 432.477 korban jiwa. Total jumlah pasien yang dinyatakan sembuh berjumlah 4.043.393 pasien.[2]

Covid-19 ini menggangu berbagai sektor, terutama perjanjian atau kontrak. Dengan adanya Covid-19, debitor berdalih terjadinya wanprestasi[3] dikarenakan adanya Covid-19 sehingga Covid-19 dijadikan sebagai alasan force majeure (keadaan kahar). Hal ini dalam kehidupan masyarakat menimbulkan berbagai persoalan. Pertama, apakah Covid-19 dapat dinyatakan sebagai force majeure? Apakah dengan adanya virus corona ini serta merta debitor dapat menunda atau membatalkan perjanjian?

Force majeure telah diatur oleh Pasal 1244 Burgerlijk Wetboek (BW) dan Pasal 1245 BW. Meskipun, force majeure telah diatur dalam BW, namun BW tidak memberikan pengertian force majeure itu sendiri. Pasal 1244 BW mengatur bahwa jika ada alasan untuk itu, si berutang harus dihukum mengganti biaya, rugi, dan bunga jika ia tidak dapat membuktikan bahwa hal tidak atau tidak pada waktu yang tepat dilaksanakannya perikatan itu, disebabkan karena suatu hal yang tidak terduga pun tidak dapat dipertanggungjawabkan padanya, kesemuanya itu pun jika iktikad buruk tidak ada pada pihaknya. Kemudian, Pasal 1245 BW mengatur bahwa tidaklah biaya rugi dan bunga harus digantinya, jika lantaran keadaan memaksa atau lantaran suatu kejadian tidak sengaja si berutang berhalangan memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau lantaran hal-hal yang sama telah melakukan perbuatan yang terlarang.

Meskipun BW tidak memberikan pengertian force majeure, penulis mengartikan force majeure adalah suatu keadaan yang membuat debitor tidak dapat melaksanakan prestasinya atau kewajibannya kepada kreditor, yang dikarenakan terjadinya peristiwa yang berada di luar kehendaknya. Contoh: Covid-19, gempa bumi, kebakaran, banjir, dan lain-lain.

Berdasarkan sifatnya, force majeure memiliki 2 macam, yakni force majeure absolut dan force majeure relatif. Force majeure absolut adalah suatu keadaan debitor sama sekali tidak dapat melaksanakan prestasinya kepada kreditor, yang dikarenakan gempa bumi, banjir, dan adanya lahar.[4] Contoh: Cristiano Ronaldo membeli mobil Honda Civic Turbo di salah satu showroom Honda yang ada di Jakarta. Dalam proses pengiriman, kapal yang mengangkut mobil Honda Civic Turbo tersebut mengalami kebakaran, sehingga mobil Honda Civic Turbo tersebut ikut terbakar juga.

Force majeure relatif adalah suatu keadaan yang menyebabkan debitor masih mungkin untuk memenuhi prestasinya. Namun, pemenuhan prestasi tersebut harus dilakukan dengan memberikan korban yang besar yang tidak seimbang atau menggunakan kekuatan jiwa yang di luar kemampuan manusia atau kemungkinan tertimpa bahaya kerugian yang begitu besar.[5] Contoh: Pada tanggal 5 Agustus 2019, Prof. Dr. Rudhi Sitepu, S.H., M.H. akan memberikan keterangan ahli di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Pengadilan Tipikor). Namun, pada tanggal 4 Agustus 2019, yang bersangkutan sakit demam berdarah dan rawat inap selama 7 (tujuh) hari sehingga tidak dapat memberikan keterangan ahli di Pengadilan Tipikor. Contoh lain: Covid-19. Jika Covid-19 ini berakhir, pihak kreditor dapat menuntut kembali pemenuhan prestasi debitor, meminta ganti rugi, meminta pelaksanaan perjanjian sekaligus meminta ganti rugi, pembatalan perjanjian, atau dalam perjanjian timbal balik, dapat diminta pembatalan perjanjian sekaligus meminta ganti rugi.[6]

Dalam menanggapi Covid-19, Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo, telah membuat dan mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Non-Alam Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) Sebagai Bencana Nasional sebagai dasar hukum force majeure. Hal ini dapat kita perhatikan poin Kesatu Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Non-Alam Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) Sebagai Bencana Nasional. Di mana, poin Kesatu Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Non-Alam Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) Sebagai Bencana Nasional mengatur bahwa menyatakan bencana non-alam yang diakibatkan oleh penyebaran Covid-19 sebagai bencana nasional.

Dari Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Non-Alam Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) Sebagai Bencana Nasional di atas, Covid-19 dapat dinyatakan sebagai force majeure. Namun, dengan adanya Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Non-Alam Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) Sebagai Bencana Nasional, tidak serta debitor dapat menunda atau membatalkan perjanjian.

Dalam disiplin hukum perjanjian, dikenal salah satu asas yang begitu penting. Adapun asas yang dimaksud adalah asas kekuatan mengikatnya perjanjian (Pacta Sunt Servanda). Asas ini bermakna bahwa para pihak yang membuat perjanjian harus melaksanakan perjanjian tersebut. Dalam asas ini, kesepakatan para pihak mengikat sebagaimana layaknya undang-undang bagi para pihak yang membuatnya.[7]

Asas Pacta Sunt Servanda dapat kita temui dalam Pasal 1338 BW. Di mana, Pasal 1338 BW mengatur bahwa setiap perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Berlaku sebagai udnang-undang bagi mereka yang membuatnya berarti bahwa undang-undang mengakui dan memposisikan kedua belah pihak sejajar dengan legislator.[8]

Meskipun posisi para pihak sejajar dengan legislator, namun di antara mereka terdapat perbedaan. Perbedaan tersebut terletak pada daya berlakunya produk yang diciptakan. Produk yang diciptakan legislator berupa undang-undang, dengan seluruh proses dan prosedurnya berlaku dan mengikat secara universal dan bersifat abstrak. Sedangkan, perjanjian yang merupakan produk dari para pihak memiliki daya berlaku terbatas pada para pihak saja dan dengan dibuatnya perjanjian tersebut, para pihak bermaksud untuk melakukan perbuatan konkret.[9]

Dari penjelasan asas Pacta Sunt Servanda di atas, kedua belah pihak hanya melaksanakan perjanjian sesuai klausul perjanjian. Para pihak tidak boleh melaksanakan perjanjian di luar klausul perjanjian.

Pada umumnya, ketentuan force majeure dituangkan dalam klausul perjanjian dengan menguraikan peristiwa apa saja yang termasuk force majeure. Dengan diuaraikannya peristiwa apa saja yang termasuk force majeure dalam klausul perjanjian, para pihak dapat menunda atau membatalkan perjanjian. Dengan demikian, jika para pihak mengkategorikan Covid-19 sebagai force majeure dalam klausul perjanjian, maka salah satu pihak dapat menunda atau membatalkan perjanjian.

Lain halnya, meskipun para pihak menuangkan ketentuan force majeure dalam klausul perjanjian, namun jika Covid-19 tidak dikategorikan sebagai force majeure, maka debitor yang wanprestasi tidak serta merta dapat menunda atau membatalkan perjanjian tersebut dengan alasan Covid-19.

 

DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Agus Yudha Hernoko. 2014. Hukum Perjanjian: Asas Proporsionalitas Dalam Kontrak Komersial. Jakarta. Kencana Prenada Media Group.

Muhammad Teguh Pangestu. 2019. Pokok-Pokok Hukum Kontrak. Makassar. C.V. Social Politic Genius.

Ridwan Khairandy. 2004. Iktikad Baik Dalam Kebebasan Berkontrak. Jakarta. UI Press.

________________. 2014. Hukum Kontrak Indonesia Dalam Perspektif Perbandingan (Bagian Pertama). Yogyakarta. FH UII Press.

Salim H.S. 2019. Hukum Kontrak Teori & Teknik Penyusunan Kontrak. Jakarta. Sinar Grafika.

 

INTERNET

https://www.worldometers.info/coronavirus/. Diakses terakhir pada tanggal 14 Juni 2020.

[1] Penulis adalah lulusan Strata-1 (S-1) Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia dan saat ini berstatus sebagai mahasiswa Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin. Penulis merupakan penulis buku “Pokok-Pokok Hukum Kontrak” dan “Badan Usaha Milik Negara & Status Hukum Kekayaan Negara Berdasarkan UU BUMN”.

[2] https://www.worldometers.info/coronavirus/. Diakses terakhir pada tanggal 14 Juni 2020.

[3] Wanprestasi, ingkar janji, atau cedera janji menurut Ridwan Khairandy adalah suatu kondisi di mana debitor tidak menjalankan kewajibannya atau prestasinya yang telah ditentukan dalam perjanjian. Selain tidak menjalankan prestasinya yang telah ditentukan dalam perjanjian, wanprestasi dapat juga terjadi di mana debitor tidak menjalankan prestasinya yang telah ditentukan dalam undang-undang. Ridwan Khairandy, 2014, Hukum Kontrak Indonesia Dalam Perspektif Perbandingan (Bagian Pertama), Yogyakarta, FH UII Press, hal. 278.

[4] Salim H.S., 2019, Hukum Kontrak Teori & Teknik Penyusunan Kontrak, Jakarta, Sinar Grafika, hal. 102.

[5] Ibid.

[6] Ridwan Khairandy, Op.Cit., hal. 282.

[7] Ridwan Khairandy, 2004, Iktikad Baik Dalam Kebebasan Berkontrak, Jakarta, UI Press, hal. 28.

[8] Agus Yudha Hernoko, 2014, Hukum Perjanjian: Asas Proporsionalitas Dalam Kontrak Komersial, Jakarta, Kencana Prenada Media Group, hal. 127.

[9] Muhammad Teguh Pangestu, 2019, Pokok-Pokok Hukum Kontrak, Makassar, C.V. Social Politic Genius, hal. 89.

Penulis: Ari Wibowo, S.HI., S.H., M.H.

Dosen Fakutas Hukum UII, Departemen Hukum Pidana.

Pada zaman Orde Baru, istllah ‘subversi” dan “makar’ sangat tidak asing di telinga masyarakat, Bagalnrana tidak, delik subversi dan”nnkaLsant ltu sering terucap dari mulut para pejatbat untuk mengancam kelompok tertenru yang dianggap membahayakan kekuasaan. Pascareformasl, kedua istilah tersebut terdengar asing. Bahkan, Benerasi baru barangkall tak mengenalnya, “Subversi” sudah menjadi sejarah hukum yang hanya terdengar dl ruang-ruang kuliah fakultas hukum karena undang-undangnya telah dicabut. lstilah “makar’ nyaris tak pernah diucapkan lagi oleh penguasa meskipun sampai dengan saat lni pengaturannya masih eksis dalam KUHP.

Makar, terutarna yang dlatur dalam Pasal 1 07 KUHP, menl,:di salah satu delik primadona madona bagl penguasa Orde Baru untuk menghabisi musuh politiknya. Tidak jarang aktivis yang kritis dengan kebijakan penguasa dilibas dengan pasal makar karena dianggap punya maksud menggulingkan pem€rlntah yang sah. Lama tak terdengar, saat ini istilah “makar” kembali akrab di telinga publik.

Dalam beberapa kesempatan, menteri pertahanan era Presiden Jokowi kembali memopulerkan istilah “makar” kepada publik terutama saat ada beberapa orang yang menyuarakan ajakan people power.

Masyarakat pun akhlrnya mulai latah, ikut’ikutan rnenggunakan istilah “makar” yang sebenarnya tldak ia pahaml artinya. Seolah dianggap hal biasa, padahal makar merupakan kejahatan serius dengan ancaman pidana berat bagi pelakunya.

lsu makarjuga berpotensi mengakibatkan kegaduhan di tengah masyarakat. Seperti yang terjadi beberapa waktu yang lalu, adanya agenda diskusi bertajuk “Meluruskan Persoalan Pemberhentian Presiden Ditinjau dari Sistem Ketatanegaraan” yang diselenggarakan sekelompok mahasiswa akhirnya dibatalkan karena ada teror kepada narasumber dan penyelenggaranya.

Padahal, darijudulnya, diskusi tersebut sama sekali tidak mengindikasikan adanya upaya makar menggulingkan pemerintah yang sah. Maka, aneh jika peneror menganggapnya sebagai makar, bahkan sampai rnengancam akan membunuh panitia penyelenggaranya.

Adanya keanehan tersebut mendorong publik untuk mencari-cari apa pemicu di balik teror tersebut. Salah satu yang ditemukan dan menjadiviral adalah artikel yang ditulis seorang akadernisi berinisial BPW dengan judul “Gerakan Makar di UGM Saat jokowi Sibuk Atasi Covid-l9”. Dalam tulisannya, BPW menilai bahwa rencana diskusi tersebut adalah makar. Meski diakuinya hanya sebatas opini sederhana, bukan berarti orang bebas dalam beropini. Ada batasan tertentu kapan opini merppakan bagian dari kebebasan berpendapat dan kapan sudah masuk dalam ranah pidana.

Jauh dari Makar

Menurut Abdul Hakirn G Nusantara (1995), hukum pidana politik merupakan sarana hukum untuk melindungi kepentingan negara dari musuh-musuh politiknya yang memiliki maksud mengubah sistem politik dan pemerintahan negara. Perbuatan yang dilarang di dalamnya dikenal dengan sebutan delik atau kejahatan politik. Sekalipun bukan merupakan istilah hukum (juridicatterm), istilah ini sudah sejak lama dikenal dalam perbincangan akadernik dan masyarakat {academic and social term).

Stephen Schafer, misalnya, mengidentifikasi setidaknya ada sembilan jenis kejahatan yang dapat dikategorikan sebagai kejahatan politik, salah satunya kejahatan terhadap negara/keamanan negara. Dalam KUHP, kejahatan terhadap keamanan negara diatur dalam Bab I Buku Kedua yang salah satunya adalah makar.

Dengan melihat konstelasi politik saat ini, pasal makaryang potensial digunakan penguasa atas nama melindungi kepentingan negara adalah pasal 107, yakni makar yang dilakukan dengan maksud menggulingkan pernerintah yang sah. Maksud menggulingkan pemerintah yang sah di sini dapat berupa perbuatan mengubah bentuk pemerintahan dengan cara tidak sah, mengubah tata cara penggantian kepala negara dengan cara tidak sah, atau mengubah sistem pemerintahan dengan cara tidak sah.

Pasal 107 KUHP inilah yang digunakan untuk menjerat beberapa pihak yang menyuarakan ajakan people powerselepas pemilihan presiden dan wakil presiden pada 2019 lalu. Pasal ini pula yang tampaknya oleh BPW dianggap layak digunakan untuk menjerat para pihak yang terlibat dalam penyelenggaraan diskusi hanya karena dalam judulnya menyantumkan frasa “pemecatan presiden”.

Tidak sesederhana itu. KUHP memang tidak memberikan definisi mengenai makar (aanslag). Namun, Pasal 87 KUHP menjelaskan bahwa “makar untuk melakukan suatu perbuatan” dianggap ada apabila niat untuk itu telah ternyata dengan dilakukannya perbuatan permulaan pelaksanaan.

Dalam berbagai literatur hukum pidana, suatu perbuatan dlkatakan sudah sampai pada tahap perrnulaan pelaksanaan jika perbuatannya benar-benar telah mendekatkan pada delik yang dituju atau dimaksud dan harus tidak ada keraguan lagi bahwa apa yang telah dilakukan ditujukan atau diarahkan untuk mewujudkan delik yang diinginkan.

Dari ciri tersebut, agenda diskusiyang akan membahas pemberhentian presiden sangat jauh dari makar karena sama sekali tidak ada perbuatan yang dekat dengan upaya menggulingkan presiden secara tidak sah. Bahkan, indikasi niat ke arah sana saja belum ada. Apalagi, dalam judul diskusi jelas disebutkan “ditinjau dari sistem ketatanegaraan” dan dalam UUD 1945 menrang ada pengaturan mengenai pemakzulan presiden sehingga mendiskusikannya merupakan hal yang wajar.

Perlu Ada Pelajaran

Dalam kasus teror terkait agenda diskusi pemberhentian presiden, setidaknya ada dua pihak yang bisa diproses secara hukum. Pertama, pihak peneror. Kedua, BPW. Pihak peneror dapat dikenakan ketentuan Pasal 45B7uncro Pasal 29 UU ITE yang mengatur perbuatan dengan sengaja dan tanpa hak mengirimkan informasi elektronik dan atau dokumen elektronik yang berlsi ancaman kekerasan atau menakuti-nakuti yang ditunjukkan secara pribadi. Karena peneror melakukan perbuatannya menggunakan telepon seluler dan nomor yang digunakan sudah pasti tidak aktif lagi, tentu akan ada hambatan untuk melacaknya.

Meski ada hambatan, hal ini menjadi tantangan bagi pihak kepolisian untuk menemukan penerornya. Terlebih, dalam pesan yang sudah tersebar, peneror mengaku berasal dari salah satu ormas keagamaan besar di lndonesia. Pengakuan tersebut sangat konyol dan secara nalar nyaris mustahil ada peneror yang ‘Jujur” menyebut afiliasinya. Selain itu, ormas tersebut belakangan ini banyak menunjukkan sikap kritis terhadap pemerintah, mulai dari RUU minerba, RUU cipta lapangan kerja, RUU revisi UU KPK, hingga kebijakan pemerintah dalam
penanganan pandemi Covid-19.

Dari sinilah publik mulai berasumsi ada campur tangan penguasa di balik aksi teror tersebut. Terlebih, pola teror semacam ini pernah identik dengan penguasa pada era Orde Baru. Asumsi publik tersebut dapat ditepis jika kepolisian berhasil menangkap pelakunya, apalagi jika di pengadilan dapat dibuktikan bahwa aksi tersebut steril clari campur tangan penguasa. Namun, sebaliknya, jika kepolisian gagal menangkap pelakunya, bukan mustahil asumsi itu akan semakin menguat, seperti yang terjadi pada kasus penyiraman air keras terhadap penyidik KPK Novel Baswedan, dan pada gilirannya akan menurunkan martabat pemerintah di mata publik.

Adapun untuk BPW, artikelnya sudah mengarah pada ujaran kebencian sehingga masuk ke ranah pidana. la bisa dikenai Pasal 45A ayat (2) juncto Pasal 28 ayat (2) UU ITE atas perbuatannya yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan SARA.

Pasal tersebut dirumuskan sebagai delik formil. Artirrya, tidak harus telah menimbulkan akibat tertentu, tetapi cukup ada unsur kehendak untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan. Ada juga inclikasi bahwa artikel itu menjadi pemicu terjadinya tindakan teror kepada narasumber dan penyelenggara diskusi. Meskipun semua itu nanti bergatung pada pembuktian di pengadilan, paling tidak fakta dan indikasi yang ada dapat menjadi dasar bahwa BPW layak untuk diproses secara hukum.

Proses hukum terhadap dua pihak tersebut penting dilakukan. Jika pengadilan menyatakan bersalah, pidana yang dijatuhkan nantinya bukan sebagai bentuk pembalasan, melainkan untuk kebaikan pelaku sendiri dan masyarakat. Sebagaimana dikatakan Plato: “nemo prudents punit, quia peccatum, sed ne peccetur’ (seorang bijak tidak menghukum karena dilakukannya dosa, tetapi agar tidak lagi dilakukan dosa). Jadi, melakukan proses hukum dalam kasus ini merupakan jalan kemuliaan.

 

Tulisan ini sudah dimuat dalam REPUBLIKA.co.id,  2 Juni 2020.

Sumber gambar: https://assets.rappler.com/

Tanggal 10 Desember 1948 adalah tonggak sejarah hak asasi manusia di dunia dengan disahkannya Universal Declaration of Human Rights (UDHR). Sehingga pemenuhan, perlindungan dan penghormatan mesti dijalankan oleh bangsa yang beradab. Termasuk Indonesia yang sudah meratifikasi beberapa konvenan tentang hak aasi manusia (HAM) mulai dari konvensi hak sipil politik, hak ekonomi sosial dan budaya, dan yang lain. Oleh karena itu sudah sepatutnya Indonesia yang besar dan multikultural menjunjung tinggi hak asasi manusia.

Sejak disahkannya deklarasi universal hak asasi manusia ada beberapa hal yang seharusnya menjadi tolok ukur penyelenggaraan negara khususnya pemerintahan agar hak asasi manusia betul-betul hidup di tengah masyarakat. Yaitu perlindungan dari negara terhadap warga negara dari gangguan pihak ketiga, pemenuhan kebutuhan warga negara yang meliputi hak sosial, ekonomi, dan budaya dari penghormatan terhadap hak-hak dasar warga negara untuk hidup aman, damai dan tenteram. Hak asasi manusia menjadi perbincangan yang sangat hangat di masyarakat di era modern sehingga seluruh lini kehidupan yang berhubungan dengan tanggung jawab negara selalu dikorelasikan dengan hak asasi manusia. Hal ini akibat sejarah umat manusia pada masa lampau yang penuh kekerasan dan kekejaman penguasa.

Implementasi hak asasi manusia dewasa ini belum sampai pada substansi. Seperti yang dikatakan oleh Alfridson, banyak persoalan hak asasi manusia sekarang ini bukan lagi pada pengakuan hak tersebut, tetapi memiliki lebih banyak untuk menyelesaikan masalah dalam implementasi hak itu sendiri seperti pemenuhan dan perlindungan. Sehingga perlu tindakan lebih dari negara untuk membumikan hak asasi manusia di Indonesia.

Indonesia sebagai negara demokrasi sudah selayaknya mengimplementasikan hak asasi manusia dalam segala lini kehidupan bernegara dan tidak hanya sebatas pengakuan dalam konstitusi sehingga cita-cita Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang disusun oleh founding fathers kita dapat tercapai dan bisa dirasakan oleh segenap warga negara Indonesia. Penegakan hak asasi manusia harus tercermin dari segala lini, baik itu di pemerintahan atau masyarakat. Pertama, dalam pemerintahan penegakan hak asasi manusia paling tidak yang menjadi cerminan adalah perlindungan dan pemenuhan penegakan hukum yang tidak boleh membeda-bedakan warga negara di depan hukum, serta beberapa kebijakan yang diambil oleh penyelenggara negara yang berwenang tidak boleh melanggar hak warga negara. Kedua, penegakan hak asasi manusia dalam masyarakat implementasinya adalah penghormatan terhadap sesama warga negara.

 

Oleh: Mahrus Ali

Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia & Staf Forum Kajian dan Penulisan Hukum (FKPH) FH UII

Pertanyaan yang ada saat ini yakni bagaimana keadaan pekerja informal yang harus tetap bekerja meski dengan keadaan yang mencekam seperti ini? Seruan #dirumahaja sekarang gempar di berbagai media sosial.

Virus Covid-19 atau sering disebut dengan Virus Corona beberapa waktu terakhir telah meresahkan masyarakat, khususnya masyarakat yang mempunyai mobilitas tinggi dalam menjalani kegiatan sehari-harinya. Selain itu, per 20 Maret 2020 terdapat 369 orang sudah dinyatakan positif Virus Corona dan terdapat 32 orang meninggal dunia.

Kasus tersebut tentu menuntut pemerintah agar bergerak dengan cepat dalam menanggulangi Virus Corona ini. Pada tanggal 17 Maret 2020, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (KemenPAN-RB) resmi mengeluarkan Surat Edaran No.19/2020 yang memungkinkan PNS untuk bekerja dari rumah dalam rangka pencegahan penyebaran Virus Corona. Surat Edaran (SE) ini sebagai tindak lanjut dari pengarahan Presiden Joko Widodo terkait penanganan penyebaran Virus Corona, terutama untuk PNS.

Tindakan ini tentu merupakan langkah yang solutif dalam pencegahan penyebaran Virus Corona. Namun, disamping itu terdapat hal yang terlewatkan oleh pemerintah. Pekerja formal dan PNS boleh saja mendapatkan himbauan untuk Work From Home (WFH) dan sekolah maupun kampus juga telah melakukan kebijakan untuk meliburkan para peserta didiknya serta memilih untuk kuliah online melalui fasilitas internet.

Tetapi, kebijakan seperti halnya SE hanya berlaku bagi instansi-instansi formal saja, terlihat masih ada beberapa masyarakat yang masih saja melakukan kegiatan produksi dan melakukan pekerjaan lainnya.

Pertanyaan yang ada saat ini yakni bagaimana keadaan pekerja informal yang harus tetap bekerja meski dengan keadaan yang mencekam seperti ini? Seruan #dirumahaja sekarang gempar di berbagai media sosial. Seruan tersebut merupakan ajakan sesama masyarakat pengguna media sosial untuk melakukan seluruh kegiatannya di rumah saja tanpa harus bepergian dengan maksud mencegah terjadinya penyebaran virus covid-19.

Ditambah lagi, saat ini desakan masyarakat kepada pemerintah agar segera melakukan lockdown atau kunci sementara ramai terdengar. Sehingga nantinya apabila hal tersebut benar-benar diaminkan oleh pemerintah, maka seluruh kegiatan masyarakat akan dihentikan dan seluruh tempat umum akan ditutup.

Kebijakan ini tentu berdampak besar bagi pekerja informal, yang mana mereka dituntut agar tetap bekerja diluaran sana. Sebagai contoh beberapa pedagang kaki lima yang memang harus berjualan untuk memenuhi kebutuhannya atau pekerja informal lainnya yang memang harus tetap bekerja diluaran sana, karena apabila tidak bekerja mereka tidak akan mendapat pemasukan.

Padahal banyak risiko yang harus mereka tanggung dengan keadaan seperti ini, Sehingga ada beberapa hal yang mengancam pekerja informal. Di sinilah pemerintah dinilai kurang siap dalam mengeluarkan suatu kebijakan dengan kelengkapan instrumen yang mendukung karena masih ada beberapa masyarakat yang malah mengalami kesulitan, terutama dalam bekerja yang dialami oleh pekerja informal.

 

Risiko yang lebih besar dalam penularan Virus Covid-19

Dengan melakukan banyak aktivitas diluar sana, pekerja informal tentu tidak dapat menghindari kontak dengan orang lain. Selain itu ada beberapa pekerja, seperti halnya pengemudi becak atau transportasi umum lainnya yang harus berinteraksi langsung dengan para pemakai jasanya.

Tentu saja hal ini sangat berisiko karena tak ada yang dapat menjamin kesehatan orang-orang tersebut. Sehingga bisa saja para pekerja ini malah akan terkena virus tersebut, dan bahkan dapat juga menulari keluarga dan kerabatnya apabiala nanti mereka akan sampai rumah. Bahkan ini merupakan suatu hal yang membahayakan dan dapat menjadi sarana dalam penyebaran virus tersebut. Keadaan yang berbeda dengan pekerja formal yang mana kesehatannya lebih terjamin daripada pekerja informal, karena mereka mendapatkan waktu libur atau dapat mengerjakan pekerjaannya di rumah.

 

Tidak Adanya Jaminan Pengupahan bagi Pekerja Informal

Para pegawai formal dengan adanya kebijakan pemerintah yang mana meminta seluruh pekerja dan bahkan anak sekolah libur seharusnya patut bersyukur apabila dibandingkan dengan beberapa pekerja informal.

Meskipun para pekerja tidak melakukan pekerjaan sebagaimana mestinya ataupun ada beberapa pakerja harus melakukan pekerjaannya dirumah, setidaknya mereka telah mendapatkan kepastian akan upah yang akan tetap mereka terima.

Pengaturan ini tertuang pada Surat Edaran Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia Nomor M/3/HK.04/III/2020 tentang Perlindungan Pekerja/Buruh dan Kelangsungan Usaha dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan Covid-19. Namun, untuk para pekerja informal tidak ada sama sekali jaminan terhadap hal tersebut. Sehingga mereka tetap harus bekerja demi mencukupi kebutuhan sehari-hari meski dengan keadaan yang penuh risiko. Selain tidak ada jaminan pengupahan, jaminan terhadap keselamatan dan kesehatan kerja juga tidak ada.

Padahal Negara sendiri memiliki kewajiban dalam menjamin hak seluruh warga negara tanpa terkecuali demi terwujudnya suatu keadilan sosial. Hal tersebut terdapat pada sila kelima Pancasila.

Di sinilah Peran Negara harus turut andil besar yang mana seruan mengenai WFH dan #dirumahaja untuk tidak hanya menjadi suatu seruan saja, masyarakat harus menuntut adanya langkah kongkrit yang dilakukan oleh negara itu sendiri. Hal ini dilakukan dengan menyiapkan instrumen yang mana dapat menjamin mengenai pelindungan-pelindungan bagi seluruh lapisan masyarakat, sehingga tidak hanya menjadi seruan-seruan semata.

Oleh karena itu, negara juga harus segera mengeluarkan peraturan untuk melindungi hak pekerja informal, yakni dengan mengeluarkan kebijakan melalui produk hukum yang mana mengharuskan seluruh pekerja informal untuk sementara menonaktifkan kegiatannya.

Adapun hal tersebut dengan tetap memberikan tunjangan atau pemenuhan kebutuhan pokok selama para pekerja informal tidak melakukan pekerjaannya sebagai bentuk jaminan sosial, hal ini juga merupakan bantuan dari pemerintah karna keadaan ini dapat dikatakan sebagai bencana. Tentu kebijakan tersebut hanya diberlakukan di beberapa daerah yang memang terdampak oleh Virus Covid-19 ini.

 

Penulis: Aprillia Wahyuningsih

Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia dan Staf Forum Kajian dan Penulisan Hukum (FKPH FH UII)