ARUS BALIK DEMOKRASI

Ada semacam persepsi yang menguat bahwa wajah demokrasi dunia  semakin berjalan mundur. Para ilmuan ternama mengidentifikasi gejala kemunduran ini sebagai “arus balik demokrasi”. Kondisi dimana sebuah  negara demokratis, kembali terjebak pada rezim otoriter. Entah disengaja atau tidak, persepsi ini disinyalir semakin melekat pada rezim pemerintahan saat ini. Read more

Pasca penetapan hasil penghitungan suara Pemilihan Umum (Pemilu) 2019 lalu, sejauh ini tercatat sebanyak 340 permohonan perkara perselisihan hasil Pemilu (PHPU) yang dilayangkan ke Mahkamah Konstitusi (MK), dengan rincian 329 perkara Pemilu DPR dan DPRD, 10 perkara Pemilu DPD, dan 1 perkara Pemilu Presiden & Wakil Presiden (www.mkri.id). Membawa “konflik politik” dalam konteks perselisihan hasil Pemilu ke dalam prosedur hukum ini tentu merupakan salah satu aktualisasi prinsip negara hukum yang demokratis. Read more

Segera setelah Komisi Pemilihan Umum (KPU) menetapkan hasil pemilihan umum (Presiden dan Legislatif), KPU memberi ruang bagi para peserta pemilu yang tidak menerima hasil penetapan untuk mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Informasi terakhir, tercatat bahwa terdapat 1 gugatan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Pilpres, dan 329 gugatan PHPU Pileg dengan rincian, 318 permohonan sengketa DPR/DPRD dan 11 permohonan sengketa DPD. Yang menarik, bahwa jumlah sengketa pileg yang diajukan ke MK menurun dibandingkan dengan tahun 2014. Pada pemilu 2014, jumlah permohonan sengketa pileg mencapai 903 permohonan dan dari jumlah tersebut, sebanyak 34 diantaranya diajukan calon anggota DPD. Read more

People Power atau Daulat Rakyat?

Munculnya istilah People Power belakangan ini menarik untuk diperdebatkan, terutama apabila istilah tersebut digunakan sebagai bentuk protes terhadap proses penyelenggaraan pemilu serta dihubung-hubungkan dengan ‘kedaulatan rakyat’. Benarkah people power itu merupakan wujud kedaulatan rakyat? Dalam Ilmu Hukum Tata Negara tidak dikenal istilah People Power. Jika melihat situasi dan kondisi saat ini, istilah people power dapat diterjemahkan sebagai kekuatan rakyat yang konteksnya adalah suatu gerakan rakyat untuk menumbangkan kekuasaan, atau sebuah gerakan perlawanan untuk menunjukkan adanya kezaliman. Read more

Salah satu catatan terhadap penyelenggaraan Pemilihan Umum (pemilu) serentak ialah sunyi dan senyapnya gaung pemilu untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Bahkan dapat dikatakan bahwa pemilu anggota DPD nyaris tidak ada gaung dan jauh dari gegap gempita publik. Celakanya, kondisi ‘sunyi’ ini merata di setiap Provinsi yang menjadi daerah pemilihan pemilu anggota DPD. Read more

MEMBENAHI ATAP MAHKAMAH

Bak peristiwa yang tak berujung, “rompi oranye” kembali membawa catatan merah bagi institusi peradilan di Indonesia. Kali ini OTT KPK melibatkan oknum hakim Pengadilan Negeri Balikpapan atas dugaan kasus suap. Rentetan perilaku korup  terus tumbuh menjadi penyakit laten yang terjadi secara menahun di bawah atap mahkamah. Berdasarkan data yang dirilis pada tahun 2004-2018, 20 hakim telah ditangkap KPK dan diproses secara hukum (Data Rilis KPK: 2018).  Read more

MEMISAHKAN (LAGI) PEMILU SERENTAK

Salah satu karakteristik penyelenggaraan pemilu di Indonesia ialah perubahan cetak biru pemilu yang bisa terjadi secara cepat. Hampir di setiap fase pemilu pasca transisi politik, kita melahirkan undang-undang yang berbeda serta tawaran konsep yang berbeda. Setelah melaksanakan penyelenggaraan pemilu secara serentak, tentu ada banyak catatan dan kelemahan yang perlu dijadikan bahan evaluasi. Read more

Penulis: M. Syafi’ie, S.H., M.H.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), Departemen Hukum Tata Negara

 

Pertarungan politik sepertinya sedang memasuki masa panas-panasnya. Kampanye terbuka telah dilakukan di beberapa tempat, dan semua orang sedang kasak-kusuk tentang kandidat pilihannya. Di arena persaingan para politisi ini, hadir para agamawan yang biasa membawa dalil-dalil agama untuk mendukung kandidatnya, dan dalam banyak kasus merendahkan kandidat yang lain dengan dasar informasi yang salah.

Di satu daerah, ibu-ibu yang datang dari pengajian tiba-tiba bercerita tentang isi pengajian tokoh agama yang isinya menjelek-jelekkan salah satu kandidat Presiden dan Wakil Presiden, di mana jika kandidat tersebut terpilih PKI akan muncul di mana-mana, pernikahan sejenis akan disahkan, dan suara adzan akan dilarang. Pada saat yang lain, Bapak-bapak yang selesai pengajian cerita bahwa ada kandidat Presiden yang beragama non Islam dan berasal dari keturunan Cina sehingga tidak boleh dipilih. Pada kesempatan yang sama, agamawan tersebut meminta jemaahnya agar memilih kandidat tertentu dengan dasar pikiran yang tidak detail.

Cerita beberapa Jemaah pengajian membuat hati miris karena apa yang dikatakan para tokoh agama sumbernya adalah berita hoax dan tidak dapat dibenarkan secara hukum dan moral untuk disampaikan kepada khalayak umum, khususnya para jemaah pengajian yang notabene hadir dengan kesucian hati dan pikiran untuk mempelajari pesan-pesan agama yang lurus dan mencerahkan. Informasi hoax yang dijadikan sumber ceramah memperlihatkan betapa agamawan bukanlah sosok yang bersih virus berita bohong yang saat ini bertebaran di media sosial, seperti facebook, whatsapp, dan youtube.

Pada sisi yang lain, dukungan politik agamawan pada kandidat tertentu semestinya juga ditopang oleh informasi yang detail dan utuh, utamanya terkait visi misi, tawaran program dan pertimbangan yang bersifat substantif, yakni pentingnya memilih pemimpin yang berintegritas yang harapannya dapat membawa bangsa Indonesia menjadi negara yang berkeadilan, makmur, dan terbebas dari sistem yang koruptif.

Politik Agamawan

Agamawan tidak bisa dipisahkan dari suara agama, apa pun yang dilakukan agamawan, baik perkataan dan tindakannya selalu akan dikaitkan dengan ekspresi keagamaan. Karena itu, mandat penting agar pemeluk agama tidak berprilaku kacau merupakan tanggungjawab utama para agamawan. Ketika terjadi kekacauan di internal pemeluk agama, maka yang harus diperiksa pertama adalah cara pandang dan perilaku para agamawannya yang kita tahu sangat rutin memberikan doktrin keyakinan agama.

Konteks kontestasi politik juga demikian, kisruh pemeluk agama karena adanya perbedaan preferensi politik, yang harus diperiksa pertama adalah cara pandang dan perilaku politik agamawannya. Pertanyaannya, apakah para agamawan sudah memberikan pendidikan politik yang baik dan benar kepada jemaahnya? Atau, yang mereka lakukan adalah menyebarkan politik kebencian dan adu domba yang secara langsung dan tidak langsung akan mendorong disharmoni sosial dan retaknya relasi bernegara kedepannya.

Disinilah letak penting mengapa para agamawan harus memiliki pengetahuan dan pemahaman politik yang paripurna, di mana ada keniscayaan agar mereka secara utuh memahami ajaran agama dalam konteks hubungan sosial masyarakat (muamalah), bernegara (siyasah), dan dalam hal bagaimana agama semestinya menjadi penguat persaudaraan antar manusia (ukhuwah insaniyah/basyariah) dan  persaudaraan sebangsa (ukhuwah wathaniyah). Dalam hal ini, agamawan dituntut tidak hanya ahli dalam hal ceramah dan pengetahuan agama yang bersifat ritual, tetapi lebih jauh memahami ajaran agama secara holistik.

Politik agamawan dengan demikian tidak bisa dimaknai secara sempit sekedar dukung mendukung, atau sekedar mengeluarkan dalil-dalil agama untuk mendukung kandidat tertentu, lebih jauh para agamawan punya tanggungjawab agar berpolitik sesuai dengan tuntunan agama yang luhur, terhormat, dan mulia. Saat politik luhur ini dijalankan, maka ajaran agama tetap akan berada di posisinya yang suci, dan para pemeluk agama akan memahami kontestasi politik bukan lagi sebagai ruang permusuhan dan perang antar sesama anak bangsa, tetapi lebih substantif menjadi ruang untuk secara sungguh-sungguh mencari pemimpin yang berkualitas.

Tantangan

Menghadirkan perilaku politik agamawan yang luhur tentu tidaklah mudah, mengingat ada begitu banyak tantangan di negari ini, utamanya terjadinya tarik menarik yang terus menerus antara politik dan agama, dan para agamawan pada sisi yang lain. Agamawan yang mejadi bagian kekuasaan biasanya akan selalu membela perilaku kekuuasaan, sebaliknya agamawan yang berada di luar kekuasaan umumnya akan mengkritik kekuasaan.

Di tengah tarik menarik tersebut, agamawan dimana pun posisinya idealnya dituntut untuk menjadi manusia yang harapannya dapat melampaui kepentingan diri sendiri, kelompok dan menghindari pertarungan politik yang bersifat sesaat. Agamawan dituntut untuk lebih mengamalkan pesan-pesan agung agama yang suci dengan selalu mendorong kebaikan dan kebajikan di tengah-tengah umat manusia yang beragam.

Tulisan ini telah dimuat pada Koran Jawa Pos, 28 Maret 2019.

 

Pemilu 2019 memang berbeda dengan pemilu tahun tahun sebelumnya. Perbedaan itu terkait dengan keserentakan pemilu, tingkat kerumitan aspek praktis kepemiluan, dan riuh rendahnya isu seputaran pemilu. Perbedaan paling menyita perhatian publik adalah isu terakhir. Read more

Pemilihan umum serentak sebentar lagi. Pada tanggal 17 April 2019 rakyat Indonesia akan terfasilitasi hak pilihnya, baik Presiden-Wakil Presiden, Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), serta Dewan Perwakilan Rakyat Derah (DPRD), Provinsi dan Kabupaten/Kota. Begitu pentingnya pemilihan kepemimpinan Indonesia ini, penting mengingat kembali bagaimana praktek pemenuhan hak pilih difabel dalam kontestasi pemilihan telah lewat, sekaligus mempertanyakan bagaimana kesiapan Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang beberapa hari lalu telah melakukan simulasi pemungutan suara. Read more