Jakarta – Pada suatu sore saya berkendara untuk pulang kampung dengan menyusuri jalan berbukit dan bergunung di wilayah Jawa Tengah. Perhatian saya terganggu dengan banyaknya baliho peraga kampanye politik yang terjejer di pinggir-pinggir jalan. Penglihatan saya tertuju pada satu foto yang sangat saya kenal dengan nama khas dari wilayah Sumatera. Wajah tersebut sangat familier karena sering muncul di layar kaca ketika mengulas isu-isu aktual di salah satu televisi nasional. Ia adalah pekerja media yang sangat senior. Namun, bukan nama dan wajahnya yang menjadi perhatian saya, melainkan slogan yang ia tuliskan yaitu “wani mbelani petani” (berani membela petani). Read more

Negarawan Jalur DPR

Dalam satu bulan terakhir, hampir semua ruang publik tertuju pada kontestasi pemilu 2019. Mulai dari hasil simulasi berbagai lembaga survei, sampai dengan adu gagasan pada debat capres dan cawapres. Di balik hingar-bingar itu, ada satu hal yang juga tidak boleh terlepas dari perhatian publik. Berakhirnya masa jabatan hakim konstitusi Wahiduddin Adams dan Aswanto, mewajibkan DPR untuk menigirimkan dua nama negarawan baru untuk duduk di kursi MK. Read more

Penyelenggaraan Pemilu serentak saat ini sedang memasuki tahapan kampanye. Semua berharap bahwa penyelenggaraan pemilu serentak ini harus terlaksana secara demokratis, bermartabat, serta menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi. Namun upaya untuk mewujudkan pemilu yang demokratis serta bermartabat tidak mudah dan terus berhadapan dengan berbagai tantangan, salah satunya ialah merebaknya kampanye berbau Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan (SARA). Read more

Jangkar Bernegara

Adakalanya dalam praktik berbangsa dan bernegara, terdapat sebuah kondisi dimana setiap cabang-cabang kekuasaan tidak mampu menjawab konflik kepentingan yang lahir dari realitas sosial. Masihkah kita mengingat,  bagaimana bisa dua pucuk lembaga peradilan melahirkan vonis yang bersebrangan? Read more

Penulis: M. Syafi’ie, S.H., M.H.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), Departemen Hukum Tata Negara

Debat Perdana Capres-Cawapres 2019 yang diselenggarakan KPU telah dilaksanakan. Hiruk pikuknya masih terasa sampai saat ini. Salah satu materi hak asasi manusia yang dibahas adalah terkait dengan difabel. Capres-Cawapres Urut 1 (satu) menjelaskan bahwa sejak disahkannya Undang-Undang No.8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, pendekatan dalam melihat difabel sudah berbeda, dari yang awalnya charity (belas kasih) ke arah hak asasi manusia, adanya penyamaan bonus bagi atlet difabel dan non difabel dalam event Asian Para Games 2018, dan masih adanya problem penghormatan sosial kepada difabel. Sedangkan Capres Cawapres Urut 2 (dua) lebih mencontohkan figur Zulfan Dewantara, sosok difabel yang dinilai sukses menciptakan lapangan kerja dan menjadi mentor bisnis online.

Tempo debat yang singkat, dan tidak diprioritaskannya isu difabel bagi para kandidat, berdampak pada bahasan difabel yang hanya berkutat di area yang permukaan. Tidak ada ulasan yang utuh dalam melihat persoalan struktural dan kultural difabel dan bagaimana strategi dan program para kandidat untuk membenahi problem yang akut. Karena itu, debat perdana Capres-Cawapres hanya menyampaikan sedikit pesan yang sangat permukaan, di tengah gundukan dan lapis problem yang menimpa kaum difabel di negara ini.

Problem Struktural dan Kultural

Di dunia nyata, kita sangat mudah menemukan bagaimana peminggiran kaum difabel yang terjadi cukup sistemik. Di level struktural, kita masih menemukan peraturan, kebijakan dan aktor pemangku kebijakan yang secara langsung dan tidak langsung diskriminatif kepada difabel. Diantaranya terkait regulasi persyaratan jasmani dan rohani dalam rekruetmen tenaga kerja yang mengakibatkan banyak difabel tidak lolos tes administratif kesehatan; Pasal 433 buku 1 KUH Perdata yang menempatkan sebagian difabel sebagai orang yang tidak cakap hukum, tetapi dalam prakteknya hampir semua difabel dianggap tidak cakap hukum dalam membuat perjanjian hubungan keperdataan, serta aturan hukum KUHAP yang digunakan para penegak hukum sudah tidak cukup dijadikan dasar bagaimana difabel yang berhadapan dengan hukum semestinya diproses dan diadili secara fair.

Problem yang tidak kalah penting adalah aktor struktural pemerintahan yang umumnya masih belum bisa berinteraksi dan melayani difabel dengan selayaknya. Akibatnya, banyak program dan kebijakan yang dikeluarkan pemangku kebijakan tidak tepat dan secara langsung terkatagori diskriminatif. Salah satu program yang tergambar ialah terkait dengan pembangunan sarana prasarana publik yang setiap tahun pasti diadakan, baik pembangunan kantor pemerintahan atau pun fasilitas jalan publik. Setiap sarana prasarana yang dibangun umumnya tidak aksesibel sebab partisipasi difabel dalam pengambilan dan pelaksanaan program sangat lemah, dan pada sisi yang lain tidak banyak pemangku kebijakan yang memahami hambatan-hambatan dasar difabel.

Sektor problem yang tidak kalah akut terjadi di level kultural, di mana kita masih menemukan praktek penghinaan kepada kelompok difabel dengan sebutan kecacatan; pelecehan berupa kekerasan, pemerkosan, dan tindak asusila yang proses hukumnya belum adil; pengabaian terhadap penyelesaian kasus hukum karena kesaksian difabel berhadapan dengan hukum yang dianggap lemah, sampai dengan kekerasan berupa pemasungan yang umumnya menimpa difabel skizofrenia.

Secara umum bisa kita katakan bahwa pelanggaran hak difabel terhimpit dari problem struktural berupa hilangnya pemahaman dan kesadaran dasar pemangku kebijakan bagaimana negara seharusnya memenuhi hak-hak kaum difabel, dan pada sisi yang lain difabel termarginalkan dalam lingkungan sosial terus menerus terjadi.

Pasca Debat

Setelah perhelatan debat pertama yang menegangkan itu, hal penting yang perlu ditagih kepada para Capres dan Cawapres adalah harapan untuk menarasikan lebih detail hambatan-hambatan utama difabel di semua sektor hak dan kemudian menjelaskan terobosan produktif program-program yang harapannya dapat menyelesaikan problem existing yang menimpa kaum difabel saat ini.

Untuk menarasikan hambatan-hambatan utama yang terjadi, penting rasanya para kandidat Capres-Cawapres 2019 untuk mendengar, menjaring aspirasi komunitas, dan melibatkan aktivis difabel untuk mendiskusikan problem utama difabel dengan lebih serius. Pelibatan penuh aktivis difabel sangat penting agar para kandidat tidak kehilangan basis sosial dan menjadikan isu ini hanya sebagai pemanis di saat musim kampanye.

Tulisan ini telah dimuat dalam Koran Kedaulatan Rakyat,  1 Februari 2019.

Menjelang pemilu bulan April, gelombang ajakan untuk tidak menggunakan hak pilih (baca: golput) terus menggema. Sejumlah lembaga survei dan riset bahkan memprediksi bahwa angka golput dalam pemilu 2019 diprediksi masih tinggi dalam kisaran 20 hingga 30 persen. Prediksi angka golput tersebut jika dikaitkan dengan penyelenggaraan pemilu sebelumnya bisa jadi akan terbukti. Read more

Ada dua realitas pemilu yang menjadi karakteristik pemilu pada masa orde baru: Pertama, hasil pemilu yang sudah bisa diprediksi jauh sebelum penyelenggaraan pemilu dilaksanakan. Golkar, sudah bisa dipastikan akan menjadi pemenang lalu caleg baik di tingkat pusat maupun daerah juga bisa direkayasa siapa yang akan menjadi pemenang. Tentu saja yang dianggap dapat “bekerja sama” dengan pemerintah orde baru dalam berbagai penyimpangan konstitusionalnya. Kedua, pelanggaran (baca: kecurangan) hanya dilakukan secara vertikal, yaitu atas kehendak atau paling tidak restu dari pemerintah pusat. Hampir tidak ada lembaga negara lain yang dapat menjadi penyeimbang pemerintah untuk menjadi pengontrol. Apalagi secara kelembagaan KPU tidaklah independen, melainkan berada di bawah pemerintah pusat. Read more

Ada dua realitas pemilu yang menjadi karakteristik pemilu pada masa orde baru: Pertama, hasil pemilu yang sudah bisa diprediksi jauh sebelum penyelenggaraan pemilu dilaksanakan. Golkar, sudah bisa dipastikan akan menjadi pemenang lalu caleg baik di tingkat pusat maupun daerah juga bisa direkayasa siapa yang akan menjadi pemenang. Tentu saja yang dianggap dapat “bekerja sama” dengan pemerintah orde baru dalam berbagai penyimpangan konstitusionalnya. Kedua, pelanggaran (baca: kecurangan) hanya dilakukan secara vertikal, yaitu atas kehendak atau paling tidak restu dari pemerintah pusat. Hampir tidak ada lembaga negara lain yang dapat menjadi penyeimbang pemerintah untuk menjadi pengontrol. Apalagi secara kelembagaan KPU tidaklah independen, melainkan berada di bawah pemerintah pusat. Read more

Harus kita akui, dibandingkan dengan dua periode awal dulu, kinerja Mahkamah Konstitusi (MK) nyaris selalu menurun. MK dengan berbagai kontraversi putusannya sempat menjadi harapan masyarakat Indonesia, karena independensi dan komitmennya terhadap kedaulatan rakyat serta hak asasi manusia. Apapun putusan yang diambil, karena melalui persidangan yang sangat terbuka, perdebatan panjang dan filosofis sehingga putusan itu selalu bisa diterima karena masyarakat yakin tidak ada kepentingan subjektif di dalamnya, itulah hasil keyakinan dari masing-masing hakim MK. Read more

Penulis: Dr. Idul Rishan, S.H., LL.M

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), Departemen Hukum Tata Negara

 

KABAR mengejutkan datang dari lstana Negara. Melalui kuasa hukum ilm pemenangan JKW-MA’ Yusril lhza Mahendra menyatakan bahwa Presiden telah menyetu.iui pembebasan Abu Bakar Baasyir Pada tahun 2011 lalu, Puhrsan Pengadilan Negeri Jakarta Selalan menjatuhkan vonis bagi Baasyir selama 15 tahun penjara. Pria sepuh ini dinyatakan terbukti merencanakan dan menggalang dana untuk pelatihan kelompok teroris di Provinsi Aceh. Melalui Yusril dikabarkan, pembebasan Baasyir dilandaskan atas pertimbangan kemanusiaan. Alasan usia yang sudah cukup tua di tambah dengan riwayat medis, akan menjadi dasar utama bagi Presiden Jokowi untuk mengambil dan menetapkan kebijakan. Bahkan tak tanggung-tanggung, menurut Yusril pembebasan Baasyir akan direalisasikan dalam beberapa pekan ke depan tanpa embal-embel syarat. Kehendak politik ini kemudian berubah menjadi eJek bola salju snowbaball effect. Bagi kubu lawdn, langkah petaliana disinyalir erat hubungannya dengan kepentingan politik. Apalagi ada anash yang berkembang bahwa, petahana mulai menyisir dan merangkul simpatisandari kelompok puritan. Untuk mengakhiri petdebatan itu, sekiranya cukup penting untuk mendudukkan persoalan guna memahami kuasa Presiden dalam mengambil kebijakan terhadap seorarE narapidana.

Dalam wilayah peraturan perundang-undangan, pada dasarnya tidak dikenal istilah ‘pembebasan tanpa syarat’ bagi seorang narapidana. Dalam hukum positif di lndonesia, UU Pemasyarakatan hanya mengenal istilah’pembebasan bersyarat’. Pembebasan ini dilakukan manakala seorang ‘pesakitan’ telah menjalani masa pidana paling singkat 2/3 (dua per tiga) masa hukuman.
Dengan ketentuan2/3 (dua per tiga) masa pidana tersebut paling sedikit I (sembilan) bulan.

Melihat ketentuan norma tersebut, tanpa kebijakan Presiden, secara matematis Baasyir dengan sendirinya telah memenuhi kriteria untuk bebas bersyarat sejak Desember 2018. Opsi ini bisa dipenuhi manakala Baasyir menyanggupi untuk menyatakan ikrar secara tertulis untuk setja pada NKRI dan berjanji tidak akan melakukan tildak pidana terorisme. Menjadi pertanyaan kemudian ialah, apakah Presiden mempunyai kewenangan mutlak untuk membebaskan Baasyir tanpa syarat? Jawabannya tentu tidak!!

Dalam konteks pembebasan Baasyir, UUD telah melimiiasi ruang gerak Presiden hanya dalam dua bentuk opsi. Pertama melalui grasi yang diberikan berupa perubahan nganan, pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan pidana kepada terpidana yang diberikan oleh Presiden. Kedua, melalui amnesti yang diberikan berupa pengampunan hukuman yang diberikan Presiden kepada seseorang atau sekelompok orang yang telah melakukan tindak pidana tertentu. (Francesca Lessa, &LeighA. Payne, Annesly in tle Age of Human Rights Ac:countability: Compantive and lnternational Pespectives: Cambridge,2012)

Pada opsi pertarna, grasi dapat diberikan ketika Baasyir atau melalui kuasa hukumnya secara khusus mengajukan permohonan terlebih dahulu kepada Presiden. Permohonan kemudian akan diperlimbangkan Presiden setelah berkonsultasi dengan Mahkamah Agung. Pada opsi kedua sedikit berbeda. Baasyir dan kuasa hukumnya tjdak pedu melakukan permohonan kepada Presiden. Amnesti bisa diberikan atas pertimbangan Presiden setelah teriebih dahulu berkonsultasi dengan Oewan PeMakihn Rakyat.

Namun patut diingat, opsi ini cenderung jauh lebih beral. Minimnya regulasi dalam menakar kriteria pemberian amnesti menjadi tantar€an terbesar dalam opsi ini. Apalagi, preseden mencatat bahwa pemberian amnesti hanya pernah dilakukan pada pelaku kejahatan politik ketika negara berada pada fase transisi.

Terlepas dari beberapa bentangan empirik di atas, perlu dipahami bahwa masing-maisng opsi tersebut tidak mendudukan Presiden sebagai otoritas tunggal dalam pelaksanaan kebijakan.

Kita semua tahu, pasca reformasi Presiden tidak lagi diberikan ruang yang cukup longgardalam pemberian grasi dan amnesti. Masing-masing opsi tersebut diatur dengan prinsip pembahsan kekuasaan yang cukup ketat. Presiden wajib berkonsultasi dan mendengarkan pertimbangan MA maupun DPR dalam melaksanakan perannya sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan. Soal pilihan kebijakan apa yang hendak ditempuh, itu menjadi wilayah kekuasaan presiden.

Tetapi paling tidak, Presiden perlu cermat dalam memilah opsi-opsi yang tersedia. Di satu sisi Presiden dihadapkan pada soal kemanusiaan. Namun disis lain dituntut untuk memiliki komitmen yang kual dalam pencegahan dan penanggulangan terorisme.

 

Tulisan ini telah dimuat dalam Analisis KR, Kedaulatan Rakyat, 23 Januari 2019.