Tag Archive for: adil

Pidana Mati Bersyarat, Jalan Keluar Moderat

Aman Abdurrahman, pemimpin Jamaah Ansharut Daulah (JAD) dituntut pidana mati oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) Jumat (18/5) atas tuduhan sebagai otak lima kejahatan teorisme di berbagai daerah. Tapi Jaksa menilai tiada suatu hal yang dianggap bisa meringankan Aman. Jaksa menilai penggagas dan pendiri JAD ini sebagai residivis yang membahayakan kehidupan bermasyarakat. Read more

Menjaga Marwah MK Jamaludin Ghafur

Jamaludin Ghafur, SH., MH[1]

 

Untuk merealisasikan misinya mengawal tegaknya konstitusi melalui peradilan konstitusi yang independen, imparsial, dan adil. Serta salah satu misinya yaitu membangun sistem peradilan konstitusi yang mampu mendukung penegakan konstitusi, Mahkamah Konstitusi membutuh orang-orang yang memiliki integritas dan kualitas keilmuan yang tinggi. Selain itu, seluruh elemen yang ada diinternal MK terutama para hakimnya harus mampu menjaga marwah dan kemuliaan lembaga ini agar dapat melahirkan putusan-putusan yang mencerminkan keadilan sebagaimana amanat Pasal 24 ayat (1) UUD 1945.

Sekalipun secara hierarki kelembagaan, MK setara dengan lembaga-lembaga tinggi negara lainnya, tetapi jika dilihat dari tugas dan fungsinya sebagai pengawal konstitusi (hukum tertinggi di republik ini), maka menjaga marwah dan kewibawaan lembaga ini urgensinya melebihi dari lembaga-lembaga lainnya. Sehingga tidak berlebihan kiranya, UUD 1945 mempersyaratkan hakim MK haruslah seorang negarawan (Pasal 24C ayat 5 UUD 1945), sesuatu yang tidak dipersyarakatkan untuk jabatan-jabatan publik lainnya kecuali hanya untuk hakim MK.

Persyaratan ini tentu bukan sesuatu yang berlebihan, mengingat tanggungjawab hakim MK dalam melakukan penafsiran konstitusi yang bukan hanya sekedar secara gramatikal/ tekstual, tetapi juga menggali nilai-nilai moral yang terkandung dalam konstitusi itu sendiri. Hal ini hanya bisa dilakukan oleh mereka yang memiliki keahlian, keluasan ilmu dan kematangan jiwa.

 

Hakim Negarawan

Konstitusi dan peraturan perundang-undangan tidak memberikan defisi tentang makna negarawan. Oleh karenanya, setiap orang dapat saja memberikan kriteria yang berbeda-beda. Namun demikian, setiap orang hampir pasti bersepakat bahwa kriteria minimal dari seorang negarawan, ia adalah orang yang sudah selesai dengan kepentingan dirinya sendiri. Artinya, dia telah mewakafkan diri dan hidupnya hanya untuk kepentingan bangsa dan negara tanpa sedikitpun ingin mengambil keuntungan pribadi dari jabatan yang sedang disandangnya.

Oleh karena jabatan dipandang sebagai amanah dan alat untuk memperjuangkan kepentingan rakyat, maka seorang negarwan tidak akan melakukan segala cara apalagi menghalalkan segala cara demi meraih jabatan-jabatan tertentu. Baginya, jabatan, terlebih sebagai hakim, merupakan mandat yang diberikan rakyat karena keagungan integritas dan keluasan cakrawala keilmuannya. Karena alasan inilah, sekalipun undang-undang dan putusan hakim posisinya sederajad, namun putusan hakim dianggap lebih tinggi nilainya karena kualifikasi seorang hakim berbeda dengan kualfikasi seorang wakil rakyat (DPR) yang berwenang membentuk UU. Menurut A.V. Dicey, moralitas pengadilan jauh lebih tinggi dari moralitas para politisi di parlemen untuk menetapkan suatu hukum. Karena itu, hukum buatan hakim dianggap lebih mencerminkan keadilan dan kebenaran daripada hukum buatan politisi

Dengan demikian, tindakan Ketua MK Arief Hidayat yang disinyalir melakukan lobi-lobi politik dengan DPR agar dirinya terpilih kembali sebagai hakim MK dengan alasan apapun tidak dapat dibenarkan. Sebagai calon incumbent, semestinya ia tidak perlu melakukan lobi-lobi politik apapun karena jika dirinya memiliki prestasi-prestasi yang gemilang, otomatis akan dipercaya lagi menjadi hakim MK. Aktifitas lobi-lobi politik ini justru mengindikasikan hal yang sebaliknya bahwa yang bersangkutan tidak memiliki prestasi yang prestisius sehingga untuk memperoleh kembali jabatannya harus melakukan tindakan-tindakan yang berpotensi melanggar etika hakim.Belajar dari Pengalaman

Dalam usianya yang hampir memasuki tahun ke-15 ini, banyak hal telah terjadi di lembaga peradilan konstitusi ini baik prestasi maupun petaka. Semua prestasi tentu tidak perlu dibicarakan karena memang demikianlah sepatutnya. Namun terhadap berbagai kekurangan perlu dievaluasi agar dapat diperbaiki dan tidak terulang kembali. Diantara hal-hal negatif yang menimpa lembaga ini, tertangkapnya dua mantan hakim MK yaitu Akil Muhtar dan Patrialis Akbar oleh KPK karena terlibat kasus korupsi merupakan mega skandal yang memporak-porandakan kewibawaan mahkamah.

Tentu ada banyak faktor kenapa hal itu terjadi, namun satu hal yang perlu dicermati adalah bahwa proses dan mekanisme seleksi hakim MK yang berjalan selama ini belum sepenuhnya memberikan jaminan bahwa hakim terpilih adalah sosok yang ideal. Bahkan, penetapan Patrialis Akbar sebagai hakim MK pernah digugat ke pengadilan tata usaha negara karena prosesnya dianggap tidak transparan dan penuh barter politik.

Proses seleksi hakim MK merupakan pintu masuk utama untuk menjaring calon-calon yang berkualitas. Apabila dilevel ini terjadi penyimpangan dan intervensi politik, maka rasa-rasanya sulit mengharapkan calon hakim MK terpilih adalah seorang negarawan. Oleh karenanya, agar kejadian-kejadian buruk yang terjadi di masa lalu tidak terulang lagi, penting untuk memastikan bahwa desas-desus adanya lobi-lobi politik atas terpilihnya kembali Arief Hidayat sebagai hakim MK perlu ditelusuri kebenarannya. Dewan etik MK perlu menindaklanjuti dengan melakukan pemeriksaan untuk membutikan benar tidaknya kecurigaan publik bahwa ada aroma tidak sedap dalam kasus ini.

 

[1] Dosen Hukum Tata Negara dan Peneliti pada Pusat Studi Hukum dan Konstitusi FH UII. Kandidat Doktor FH UI Jakarta.

Presidential Threshold

Jamaludin Ghafur, SH., MH[1]

 

Putusan MK nomor 53/PUU-XV/2017 menyatakan Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang mengatur syarat Presidential Threshold (PT) yaitu Pasangan Calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 % (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya, adalah konstitusional karena ketentuan ini dibutuhkan untuk memberi kepastian dukungan parlemen terhadap presiden sebagai salah satu syarat stabilitas kinerja presiden. PT berfungsi untuk memperkuat sistem presidensial.

Pertimbangan MK ini benar bahwa presiden butuh dukungan parlemen agar dapat bekerja secara efektif karena sebagian dari kewenangan presiden membutuhkan pertimbangan dan bahkan persetujuan dari parlemen. Tetapi, menggunakan PT sebagai cara untuk menggalang dukung parlemen adalah sebuah kekeliruan terlebih dalam pemilu yang akan diselenggarakan secara serentak karena keserentakan pemilu esensinya adalah dalam rangka membangun dukungan parlemen melalui coattail effect. Persyaratan PT telah menyebabkan pemilu serentak menjadi tidak bermakna.

 

Salah memaknai Presidential Threshold

Menurut J. Mark Payne (Pipit R. Kartawidjaja: 2016), dalam praktik ketatanegaraan di berbagai negara, Presidential Threshold adalah syarat seorang calon presiden untuk terpilih menjadi presiden, bukan syarat dukungan dalam pencalonan. Misalnya, untuk terpilih menjadi presiden dan wakil presiden harus memperoleh dukungan suara: di Brazil 50 persen plus satu, di Ekuador 50 persen plus satu atau 45 persen asal beda 10% dari saingan terkuat; di Argentina 45 persen atau 40 persen asal beda 10% dari saingan terkuat dan sebagainya.

Di Indonesia, ketentuan semacam ini telah diatur dalam Pasal 6A ayat (3 dan 4) UUD 1945 yaitu, Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang mendapatkan suara lebih dari lima puluh persen dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya dua puluh persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia, dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden. Dalam hal tidak ada pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih, dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum dipilih oleh rakyat secara langsung dan pasangan yang memperoleh suara rakyat terbanyak dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden.

Jadi, makna PT sebagai syarat dukungan pencalonan presiden/wakil presiden yang diatur dalam UU pemilu yang kemudian dinyatakan sah oleh MK sebenarnya merupakan sebuah kekeliruan dan penyimpangan.

 

Presidential Threshold dan Pemilu Serentak

Perubahan pelaksanaan pemilu yang sebelumnya terpisah antara pileg dan pilpres menjadi serentak di tahun 2019 bukan hanya sekedar perubahan waktu pelaksanaan tetapi mengandung nilai dan tujuan yang ingin dicapai. Pertama, menegakkan norma konstitusi. Pasal 22E ayat (2) UUD 1945 dengan tegas mengamanatkan bahwa pileg dan pilpres harus bersamaan. Oleh karenanya, pelaksanaan pileg dan pilpres yang sebelumnya terpisah merupakan pembangkangan konstitusional. Maksud dibalik pengaturan ini adalah untuk memurnikan sistem presidensial di mana pilpres tidak bergantung pada hasil pileg sebagaimana dalam sistem parlementer. Dalam sistem presidensial, mendasarkan pemilihan presiden terhadap hasil pemilu legislatif merupakan sebuah anomali. Sebab, basis legitimasi seorang presiden dalam skema sistem presidensial tidak ditentukan oleh formasi politik parlemen hasil pemilu legislatif. Lembaga presiden dan parlemen dalam sistem presidensial adalah dua institusi terpisah yang memiliki basis legitimasi berbeda. Oleh sebab itu, seharusnya ketentuan PT tidak lagi relevan diterapkan dalam pilpres 2019 karena ketentuan ini menjadikan pilpres tidak lagi independen terhadap hasil pileg.

Kedua, praktik di berbagai negara, pemilu serentak memunculkan terjadinya coattail effect di mana keterpilihan presiden akan mempengaruhi keterpilihan parlemen nasional. Artinya, besar kemungkinan partai yang memenangkan pilpres sekaligus juga akan memenangkan pileg. Dengan demikian, dukungan dari parlemen akan secara otomatis diperoleh oleh presiden/wakil presiden terpilih. Karenanya, dasar argumentasi MK bahwa PT dibutuhkan untuk menguatkan sistem presidensial karena presiden mendapat kepastian adanya dukungan dari parlemen juga tidak tepat karena mekanisme pemilu serentak itu sendiri sudah akan secara otomatis menciptakan dukungan tersebut.

Selain PT tidak sesuai dengan maksud dan tujuan dari pelaksanaan pemilu serentak, ketentuan ini juga melanggar prinsip keadilan pemilu (electoral justice), di mana setiap peserta pemilu punya hak pencalonan (candidacy right) yang sama. Pemberlakuan PT menjadikan partai politik baru yang belum menjadi peserta Pemilu 2014 otomatis kehilangan hak mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden. Padahal, adil adalah salah satu asas yang mesti ada dalam pelaksanaan pemilu sebagaimana tercantum dalam Pasal 22E ayat (1) UUD 1945, Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali.

 

[1] Dosen Hukum Tata Negara dan Peneliti pada Pusat Studi Hukum dan Konstitusi FH UII. Kandidat Doktor FH UI Jakarta.