Tag Archive for: Idul Rishan

Penulis: Dr. Idul Rishan, S.H., LL.M

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), Departemen Hukum Tata Negara

Setelah revisi UU KPK disahkan pada pengunjung 2019, seharusnya pemerintah bersama DPR melakukan evaluasi atas performanya dalam melaksanakan fungsi legislasi. Saat itu, mereka dihujam kritik dan penolakan publik atas perubahan UU KPK. Prosesnya dikebut secara cepat, tanpa partisipasi dan tidak akuntabel.

Tanpa belajar dari proses perubahan UU KPK, sulit untuk memperoleh kembali kepercayaan publik atas produk legislasi yang dihasilkan. Belum lagi pemerintah dihadapkan dengan pandemi Covid-19, yang mengharuskan pembentuk UU segera beradaptasi atas performanya di bidang legislasi diharapkan tetap berjalan secara transparan, partisipatif, dan akuntabel.

Dengan membaca realitas saat ini, tampak kinerja legislasi di bawah standar. Perubahan UU KPK disusul UU Minerba, UU MK, dan UU Cipta Kerja nyatanya melahirkan delegitimasi sosial secara masif di masyarakat.

Tom Ginsburg dan Aziz Huq (2016) memelopori konsep evaluasi performa konstitusi (assessing contitutional performance) unutk memangkas jarak (gap) antara harapan (sollen) dan realitas (sein) pada bunyi teks konstitusi dan performanya di tataran praktis.

Hasil studinyam ada tiga faktor utama yang menyebabkan konstitusi tak dapat perform dengan dalam merespons kepentingan publik: (1) akibat realitas politik, (2) pengaruh kelompok-kelompok penekan, dan (3) faktor-faktor non hukum, seperti teknologi dan birokrasi. Sejalan preposisi Ginsburg dan Hug, kinerja legislasi kita sebenarnya sedang berjalan di luar pakemnya.

Oleh karena itu, tak heran jika kebutuhan evaluasi kinerja legislasi menjadi kian mendesak guna memulihkan performanya untuk kembali berjalan dalam kenormalan baru. Harus diakui, bangunan norma-norma, konstitusi yang mengatur fungsi legislasi dalam UUD meletakkan hubungan Presiden dan DPR dalam mode fifty-fifty formula.

Setiap lembaga diletakkan sebagai pemegang otoritas dalam pelaksaan fungsi legislasi dengan skema persetujuan bersama (mutual approve). Asumsinya diharapkan ada keseimbangan relasi berdasarkan prinsip checks and balances diantara keduanya danlam membahas dan menyetujui RUU. Logikanya sederhana, jika salah satu lembaga oembentuk UU tak mencapai persetujuan, RUU akan ditarik dan tak akan diajukan lagi pada masa itu. Sayangnya, realitas politik saat ini justru tidak menopang bekerjanya fungsi legislasi dengan baik.

Pengaruh oligarki

Tanpa disadari, presiden yang memperoleh dukungan mayoritas parpol di DPR turut memengaruhi kinerja legislasi yang dilakukan secara bersama. Dengan koalisi kepartaian, yang “super gemuk” di DPR hubungan keduanya cenderung kompromistis satu sama lain. Imbasnya, fungsi legislasi berjalan mulus tanpa adanya saling kontrol.

Anasir ini perlu dijadikan bahan evaluasi secara mendalam. Persepsi yang diletakkan para periset hukum dan politik yang menyatakan bahwa koalisi gemuk memperkuat stabilitas politik dan sistem presidensial menjadi relevan dievaluasi kembali. Berkaca pada empat UU terakhir (UU KPK, Minerba, MK, dan Cipta Kerja), koalisi gemuk justru tak lagi jadi solusi, tetapi sebuah ancaman karena dapat mematikan pengawasan politik di DPR atau sebaliknya.

Hal lain yang mempengaruhi menurunnya performa legislasi tak dapat dilepaskan dari kekuatan kelompok-kelompok penekan dalam menentukan isi UU. Mereka bukan pembentuk UU, tetapi mempunyai pengaruh yang cukup kuat dalam menentukan isi pasal yang ditentukan dalam proses legislasi. Dalam analisis Jeffry Winters (2013), mereka umumnya kaum oligark yang cenderung memengaruhi agar produk legislasi lebih kental keberpihakannya kepada kelompok elite dibandingkan kepentingan masyarakat luas.

Pada titik ini, aspek formil pembentukan UU seharusnya bisa menjadi aturan main bagi para pembentuk UU dalam melaksanakan fungsi legislasi. Naskah akademik seharusnya bisa jadi garis pembatas masuknya kepentingan kelompok-kelompok penekan yang akan mempengaruhi isi sebuah pasal dalam UU.

Dalam studi legisprudensi (Luc J Wintgens: 2012), aspek formil merupakan jantung keberhasilan sebuah pembentukan UU. Ia menitikberatkan rasionalitas dalam setiap harapan pembentukan UU. Bahwa proses yang baik itu tak akan pernah mengkhianati hasil. Hal ini yang belum terlihat dalam proses legislasi dalam beberapa UU terakhir. Aspek formil begitu mudah diterabas akibat sikap pragmatis partai, kemudian dibajak oleh kepentingan kaum oligark.

Kemudian faktor nonhukum, seperti birokrasi dan teknologi, juga ikut mempengaruhi performa legislasi dalam satu tahun terkahir. Terputusnya relasi publik untuk mendapatkan informasi di setiap tahapan lehislasi menjadi salah satu problem mendasar dalam praktik legislasi di empat UU terakhir. Proses yang tertutup ini secara langsung memengaruhi minimnya partisipasi publik dalam pembentukan sebuah UU.

Dalam masa pandemi saat ini, pemanfaatan teknologi digital merupakan bagian penting untuk memulihkan kondisi legislasi yang sedang perform di bawah standar. Tentu tak hanya sekadar mendigitalisasi pembahasan di setiaptahapan pembentukan UU, tetapi juga menjaring aspirasi publik guna mengawasi jalannya proses legislasi.

Tulisan ini sudah dimuat dalam KOMPAS, 16 Oktober 2020.

 

Penulis: Dr. Idul Rishan, S.H., LL.M

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), Departemen Hukum Tata Negara

 

Hasil perubahan Undang-undang Mahkamah Konstitusi (MK) yang telah disetujui oleh Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memicu berbagai spekulasi atas performa dan masa depan Mahkamah sebagai pengawal konstitusi. Berbagai kritik muncul sejak rancangan undang-undang ini diinisiasi oleh DPR karena dilakukan secara tergesa-gesa dan tidak partisipatif. Proses legislasinya diklaim irasional dan materi perubahan jauh dari kebutuhan faktual Mahkamah.

Materi perubahan itu perihal perubahan masa jabatan hakim konstitusi yang diperpanjang hingga usia 70 tahun. Aturan ini juga bersifat retroaktif atau berlaku juga bagi hakim saat ini. Dengan begitu, para hakim saat ini akan memegang jabatannya paling cepat sampai 2024 dan paling lama hingga 2034.

Sedari awal pemerintah terlihat gagap memberikan alasan yang rasional untuk memperpanjang masa jabatan hakim. Bahkan dalam pembahasannya hampir tidak ada perdebatan yang muncul mengenail hal ini. Politik hukumnya tampak menjadi sangat kompromistis antara Presiden dan DPR.

Kita tidak bisa memaafkan bahwa substansi hukum dalam undang-undang sangat dipengaruhi oleh berbagai macam faktor termasuk kepentingan politik kekuasaan dan kekuatan-kekuatan lain. Dengan perubahan ini kepentingan politik kekuasaan dengan mudah dapat dijalankan karena undang-undang merupakan alat legitimasi untuk menyalurkan dan mewujudkan kekuatan-kekuatan pemerintah terhadap peradilan.

Mustahil jika pemerintah tidak memperhitungkan motif penambahan masa jabatan hakim konstitusi ini. Bahkan, pemerintah telah mengkalkulasi jika pada akhirnya undang-undang ini diujikan di Mahkamah, para hakim akan terjebak dalam pusaran konflik kepentingan. Tegasnya, sembilan hakim konstitusi akan mengadili perkara yang menyangkut kepentingan jabatannya sendiri.

Dalam lanskap doktrin yang dicatatkan oleh Spitzer dan Genovese (2005), hubungan pemerintah dan peradilan umumnya dibagi atas dua pola. Pertama, hubungan yang bersifat konfrontatif. Dalam mode ini, hakim-hakim yang duduk di institusi peradilan merupakan kelompok anti-mayoritas yang terbentuk dari hasil seleksi rezim pendahuluannya. Imbasnya interprestasi hakim dalam memutus perkara kerap bersebrangan dengan pemerintah karena peradilan kerap memainkan peran sebagai antitesis kelompok mayoritas. Fase ini sebenarnya pernah dialami oleh MK pada periode 2003-2008. Banyak putusan-putusan MK saat itu lahir untuk mewakili suara kelompok-kelompok minoritas yang hak-haknya dilanggar oleh pemerintah.

Pola kedua, sebaliknya hubungan pemerintah dan peradilan bersifat kooperatif. Dalam mode ini, hakim-hakim yang duduk di institusi peradilan diseleksi untuk menjadi kelompok pro-mayoritas atau sekurang-kurangnya menjadi bagian dari koalisi presidensial. Meskipun proses seleksi dilakukan secara merit, lembaga pengusul sangat paham dengan rekam jejaknya. Calon hakim yang duduk di Mahkamah dipilih karena memiliki preferensi politik yang sama dengan pemerintah.

Singkatnya, pemerintah mencoba berspekulasi untuk mendapatkan sebanyak mungkin dukungan dari institusi peradilan ketika menetapkan kebijakan strategis pemerintah melalui pembentukan undang-undang. Implikasinya, interprestasi para hakim cenderung akan menahan diri terhadap perkara-perkara penting yang melibatkan kepentingan pemerintah. Beberapa diantaranya revisi Undang-Undang Komisi Pemberantas Korupsi, revisi Undang-Undang Mineral dan Batu Bara, serta Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja.

Pada titik inilah pemerintahan Jokowi-Ma’ruf mencoba berjudi dengan Undang-Undang MK. Harapannya, pemerintahan mereka yang mendapatkan dukungan kuat di parlemen, akan sejalan dengan interprestasi sembilan hakim konstitusi dalam mengadili dan memutus perkara-perkara strategis yang melibatkan pemerintah. Berdasarkan sejarah politik dan peradilan, demokrasi terpimpin dan Orde Baru pernah membangun strategi yang sama. Pemerintah memperdagangkan pengaruhnya dalam seleksi dan pengangkatan hakim hingga pada akhirnya insititusi peradilan hanya menjadi bagian dari kekuatan politik pemerintah atau lebih dikenal dengan perpanjang tangan pemerintah. Inilah yang menjadi perjudian besar pemerintah terhadap perubahan Undang-Undang MK.

 

Tulisan ini sudah dimuat dalam Koran Tempo, 10 September 2020.

Penulis: Dr. Idul Rishan, S.H., LL.M

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), Departemen Hukum Tata Negara

 

Ada dua poin besar dalam draft revisi UU MK yang menuai kritik dan penolakan dari sejumlah kelompok masyarakat. Pertama, menambah syarat minimal usia untuk menjadi hakim konstitusi dari 47 menjadi 60 tahun. Kedua, mengubah ketentuan aturan masa jabatan hakim  konstitusi dari model periodesasi ke batas usia maksimum 70 tahun. Dalam lanskap politik dan tehnik legislasi, dua kalusul ini cenderung sangat spekulatif. Belum ada satupun hasil studi yang membenarkan bahwa menambah syarat usia hakim konstitusi bisa memengaruhi kualitas interpretasi terhadap sebuah perkara.

Sungguhpun itu dibentuk sebagai syarat, pengaturan batas minimal usia tak lebih dari sebuah kompromi politik. Dan adakalanya, rasionalisasi pilihan angka itu jatuh secara insidentil. Begitu juga dalam konteks masa jabatan hakim konstitusi. Terlalu dini kiranya jika ada persepsi yang menyatakan bahwa pembatasan masa jabatan hakim dengan klausul usia maksimum akan menguatkan independensinya dalam mengadili perkara. Sebab independensi jabatan hakim tidak dipengaruhi dengan syarat usia, melainkan pada prinsip meritokrasi yang melekat dalam proses seleksi dan pengangkatan hakim. Tak heran kiranya, jika masyarakat dibuat bingung dengan kebutuhan revisi UU MK. Apa yang menjadi motif di balik dua kalusul itu? Poin perubahan yang sama sekali tidak substantif, bahkan membuka konflik kepentingan antara hakim konstitusi dan pembentuk undang-undang.

Legislasi

Menjadi menarik bila meletakkan konteks ini jauh lebih luas. Di periode kedua pemerintahan Joko Widodo, fungsi legislasi menjadi anasir yang secara signifikan mendapatkan krisis legitimasi sosial. Begitu masifnya penolakan publik dalam fungsi legislasi (Presiden-DPR) tentu tidak bisa hanya dimaknai sebagai bekerjanya kontrol kewargaan dalam negara demokrasi. Melainkan juga harus dilihat sebagai bentuk pentingnya evaluasi kinerja Presiden dan DPR dalam melaksanakan fungsi legislasi. Berawal dari proses politik yang buruk pada perubahan UU KPK dan juga diikuti dengan perubahan UU Minerba, krisis legitimasi publik kemudian mengerangkai pada pembentukan undang-undang lainnya. Sebut saja RUU Cipta Kerja, sampai dengan yang paling anyar revisi UU MK. Dalam konsepsi hukum dan masyarakat, undang-undang bukan hanya soal legalitas formal melainkan juga legitimasi sosial (Sulistiyowati Irianto:2019). Luc Wintgens: 2012 menuliskan bahwa krisis legitimasi publik terhadap pembentukan undang-undang disebabkan akibat proses legislasi yang buruk baik dari segi prosedur maupun isi dari undang-undang itu sendiri. Rasionalitas publik ditabrak atas dasar kehendak partai, partisipasi publik lemah  dan suara rakyat dibajak dengan kelompok-kelompok penekan yang memiliki kepentingan sektoral atas pembentukan sebuah undang-undang.

Independensi

Studi Larkins dalam  “judicial independence and democratization” membenarkan bahwa pola intervensi pemerintah terhadap lembaga peradilan salah satunya dilakukan dengan proses politik pembentukan undang-undang yang mengatur lembaga peradilan (Christoper M Larkins:1996). Polanya sederhana. Pemerintah memperdagangkan pengaruh dalam materi muatan pembentukan hukum, agar hakim terjebak pada pusaran konflik kepentingan.  Praktik di berbagai negara merefleksikan keadaan yang hampir mirip. Intervensi pemerintah dilakukan dengan proses politik pada revisi undang-undang kekuasaan kehakiman. Hungaria contohnya, pemerintah Orban mengubah aturan dengan menambah jumlah hakim konstitusi dari delapan menjadi lima belas. Kemudian memberikan peran bagi partai penguasa untuk melakukan penunjukan langsung terhadap hakim-hakim yang baru. Demikian juga Polandia. Partai pemenang pemilu menolak calon hakim yang diusulkan oleh partai pendukung pemerintah sebelumnya. Kemudian partai pemenang pemilu mengangkat lima hakim konstitusi yang baru untuk mendelegitimasi calon yang lama. Semua itu dilakukan agar pemerintah dapat memberikan pengaruh terhadap hakim ketika dan akan mengadili perkara yang melibatkan kepentingan pemerintah. Ketika hakim tidak lagi independen, proses peradilan menjadi sangat transaksional.

Kepentingan

Dalam draft revisi UU MK,  Pasal 87 huruf c mengatur apabila hakim konstitusi berakhir masa jabatannya di usia 60, maka hakim yang bersangkutan dapat meneruskan jabatannya hingga usia 70 tahun. Tanpa adanya kejelasan dalam ketentuan peralihan, pasal ini bisa mengancam dan mengakibatkan hakim konstitusi terjebak dalam kubangan konflik kepentingan. Artinya akan ada hakim konstitusi yang dirugikan ataupun diuntungkan dengan ketentuan perubahan UU MK.  Sebagai contohnya Hakim Saldi Isra. Periodesasi jabatannya habis sebelum usia enam puluh tahun. Berbanding terbalik dengan Hakim Aswanto yang periodesasi jabatannya bisa berhenti di usia enam puluh tahun. Dengan merujuk ketentuan revisi pasal a quo akan ada hakim konstitusi yang mungkin saja bisa menjabat hingga dua puluh tahun lamanya. Bisa dibayangkan ketika revisi UU a quo pada akhirnya diujikan di MK, majelis hakim konstitusi tidak hanya mengadili kepentingan lembaganya, melainkan juga mengadili kepentingan jabatannya sendiri. Oleh karena itu revisi UU MK sebaiknya lebih ditujukan untuk mengoptimalisasi pemenuhan hak konstitusional warga negara. Menelaah kebutuhan kelembagaan MK yang jauh lebih substantif dari pada sekedar mengatur usia jabatan hakim. Bukan sebaliknya, momentum revisi UU MK justru hanya menjadi langkah mundur dalam upaya perlindungan hak konstitusional warga negara.

Tulisan ini pernah dimuat dalam detikNews, 16 Juni 2020.

Penulis: Dr. Idul Rishan, S.H., LL.M

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), Departemen Hukum Tata Negara

Suara keras Fraksi Partai Demokrat terhadap skandal Jiwasraya semakin tajam ke arah pembentukan Pansus hak angket. Intensitas tekanan itu menguat setelah perusahaan “pelat merah” tersebut diperkirakan mengalami kerugian fantastis lebih dari 10 Triliun. Upaya Demokrat menggulirkan hak angket Jiwasraya bisa jadi disebabkan oleh dua logika yang saling bertautan. Jikalau meletakkan ini dalam kerangka logika hukum, maka skandal Jiwasraya harus dibuka secara terang di hadapan publik. Penyelidikan itu semata-mata dilakukan untuk menilai apakah persoalan ini murni akibat urusan bisnis, ataukah akibat kelalaian pemerintah. Namun jikalau meletakannya dalam kerangka politik, bisa jadi ini bentuk perlawanan Demokrat terhadap rezim. Pasalnya, Jokowi sempat mengungkapkan bahwa kerusakan di perusahaan itu telah terjadi sejak satu dekade lalu. Spekulasi politik demikian tentu tidak bisa diabaikan. SBY tak mau kehilangan momentum untuk memperbaiki citranya. Terlepas dari spekulasi itu, hal mendasar yang perlu direspons ialah seberapa relevankah angket untuk mengupas skandal di Jiwasraya ?

Jika menyemai kembali fungsi pengawasan politik parlemen, hak angket merupakan konsekuensi logis untuk menormalkan keterpisahan relasi eksekutif-legislatif dalam sistem presidensial. Dalam praktik kenegaraan, hak angket tumbuh dan berkembang dalam tradisi politik yang mengagungkan pentingnya kontrol parlemen terhadap pemerintah. Parlemen hadir sebagai “watcher” atas segala kebijakan yang diambil dan sedang  dilaksanakan pemerintah. Kebutuhan pengawasan melalui hak angket menjadi kian penting untuk menyelidiki kebijakan strategis pemerintah yang dinilai bertentangan dengan hukum positif dan berdampak secara luas. Dalam analisis Burke, ketika presiden kembali terpilih di periode kedua, pengawasan politik parlemen berada pada puncak ekskalasi. (John Burke:2009). Burke mengambil sampel pemerintahan di U.S. Data menunjukan, hasil penyelidikan parlemen di periode kedua pemerintahan kerap berujung pada pintu pemakzulan. Periode kedua kerap memunculkan banyak skandal, korupsi, dan melemahnya sektor ekonomi. Dalam tradisi perpolitikan U.S., para akademikus juga menyebutnya dengan istilah kutukan periode kedua “the second terms curse”.

Sekiranya cukup relevan dengan kondisi saat ini. Di awal periode kedua pemerintahan, Jokowi dihujam begitu banyak kritik dan skeptisme publik. Tak salah jika parlemen memainkan peran penting sebagai penyeimbang untuk melakukan penyelidikan atas kebijakan-kebijakan pemerintah yang berdampak secara luas. Namun cukup ironis. Berbicara hak angket DPR merupakan sesuatu yang sifatnya utopis. Peran DPR dalam melaksanakan fungsi pengawasan telah terdistorsi sejak awal. Budaya kepartaian yang buruk, menyebabkan partai politik di parlemen diikat bukan atas kesamaan preferensi kebijakan, melainkan melalui ikatan pragmatisme. Koalisi diikat melalui basis take and gift hanya untuk memaksimalkan kekuasaan “office seeking” (Burhanudin Muhtadi:2019). Di periode pertama pemerintahan Jokowi-JK, langkah untuk melakukan interpelasi dan angket kerap menuai kebuntuan. Sebut saja usulan pembentukan pansus terhadap kenaikan harga bahan bakar minyak, pengangkatan dan pemberhentian Arcandra Tahar sebagai Menteri Energi Sumber Daya Mineral, justru direduksi dengan kekuatan mayoritas pendukung pemerintah di DPR. Satu-satunya yang lolos pada tingkat Pansus ialah angket terhadap KPK. Begitu banyak energi yang telah terkuras namun hasilnya juga absurd.

Selain soal syarat formil yang tidak mudah, substansi angket cenderung gembos dan tak terpakai (useless). Angket akan kencang di awal namun lama kelamaan akan mengalami pembusukan. Jokowi telah mengunci sekuritas politik dengan koalisi gemuk di DPR. Hanya PKS dan PAN yang sejauh ini konsisten memainkan peran oposisi. Itupun hanya menguasai 16.4% suara di DPR. Sisanya Partai Demokrat yang memiliki persentase kursi sekitar 9.4%. Sementara 75% kursi dikuasai oleh partai koalisi pemerintah. Relasi Presiden dan DPR “blended” sehingga roda pengawasan politik cenderung tidak objektif bahkan macet. Sekalipun PKS, PAN, dan Demokrat berada pada poros oposisi, hasil angket akan digembosi pada tingkat paripurna. UU MD3 mensyaratkan keputusan politik hak angket terhadap Jiwasraya harus diambil lebih dari 1/2 jumlah anggota DPR dan keputusan diambil dengan persetujuan lebih dari 1/2 jumlah anggota DPR yang hadir.

Gagalnya usul interpelasi, angket, ataupun menyatakan pendapat DPR tentu tidak akan lepas dari peran lobi yang dilakukan pemerintah kepada parpol koalisi di DPR. Sikap partai yang cenderung akan membenarkan semua keinginan pemerintah, tidak lebih dari sebuah pilihan untuk tetap bertahan pada jalur kekuasaan. Gagalanya fungsi pengawasan melalui hak angket menjadi penanda bahwa koalisi kepartaian bisa mempermainkan dan menegasikan logika publik. Demokrasi membusuk. Persis seperti preskripsi yang dituliskan Chomsky. Cara instan untuk mengunci sekuritas politik ialah dengan cara membeli “mereka” (Noam Chomsky:2016). Peran dan objektivitas DPR sebagai sebagai pengawas melemah akibat tawaran jabatan, bantuan, imbalan, dan juga bisa jadi karena bisnis.

Tulisan ini pernah dimuat dalam rubrik Pendapat, KORAN TEMPO, 10 Februari 2020.

Penulis: Dr. Idul Rishan, S.H., LL.M

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), Departemen Hukum Tata Negara

Presiden Jokowi telah menegaskan bahwa wacana tiga periode masa jabatan presiden jelas akan menjadi jebakan baginya. Ia juga menambahkan bahwa wacana mengembalikan pemilihan presiden melalui MPR ibarat sebuah ilusi. Sebagai presiden yang dipilih secara langsung, ia  menegaskan komitmennya untuk menjaga denyut demokrasi. Bola liar amandemen UUD akan menjadi ujian bagi presiden dalam mengendalikan manuver partai koalisi di parlemen.   Gejala ini persis dialami pemerintahan SBY di periode kedua. Bahwa “koalisi gemuk” belum tentu dapat menjamin stabilitas pemerintahan. Realitasnya, political good will presiden bisa jadi akan terus bersebrangan dengan political interest partai pendukung di parlemen. Termasuk dalam menyikapi wacana amandemen kelima UUD.

Amandemen Ke-5

Sampai dengan tulisan ini dibuat, belum tampak roadmap dari pemerintah atas materi dan cara perubahan yang akan diusung. Tepatnya, wacana ini masih menjadi konsumsi para elit partai politik (parpol) yang cenderung mewakili warna kepentingannya masing-masing. Alih-alih menjadi sarana untuk membatasi kekuasaan, wacana amandemen konstitusi dikhawatirkan berubah menjadi alat untuk memperluas daya kekuasaan. Sebagai norma dasar bernegara, amandemen UUD wajib disandarkan pada nilai moralitas konstitusi (moral reading). Bahwa perubahan UUD bukan hanya aktivitas pembentukan norma, tetapi juga menyangkut etika, moral, dan semangat pembatasan kekuasaan (Ronald Dworkin:1996). Sejalan dengan teorisasi Dixon bahwa praktik perubahan konstitusi wajib disandarkan pada pembatasan atas materi dan aturan main perubahannya (Rosalind Dixon :2011).

Satu hal yang tak boleh luput diperhatikan oleh pemerintah dalam wacana amandemen kelima UUD. Bahwa kondisi kebutuhan perubahan UUD di era transisi politik dan era saat ini jelas memiliki sifat dan pendekatan yang berbeda. Disadari atau tidak, UUD yang diubah empat kali direntang waktu tahun ’99-02 ialah perubahan yang dilakukan secara insidentil (by accident). Preposisi di atas dibangun atas dua studi berbobot yang pernah dilakukan Denny Indrayana dan Valina S. Subekti (2008) atas praktik perubahan UUD di masa transisi.

Akibat kerusakan sosial dan politik yang ditimbulkan pada tahun ‘98, perubahan UUD saat itu tidak didasarkan roadmap atau kedalaman cetak biru yang mumpuni. Dibuat secara tergesa-gesa, dan proses pembahasannya dipaksakan selesai pada tahun 2001-2002. Hampir tak ada guidance pada saat itu. Satu-satunya konsep perubahan hanya didasarkan pada lima kesepakatan dasar.  Tidak mengubah pembukaan, mempertahankan NKRI, perkuat sistem presidensil, meniadakan pasal penjelasan, dan perubahan dilakukan secara adendum.

Kondisi demikian dapat dimaklumi. Sebab, secara konseptual Wheare menuliskan bahwa perubahan insidentil bisa saja dilakukan akibat kondisi mendesak (some primary forces) seperti rezim kolaps dan krisis sosial (K.C. Wheare: 2005). Menariknya studi Indrayana mencatatkan, bahwa meskipun dibuat dengan proses yang kacau, namun hasilnya jauh lebih demokratis (Denny Indrayana:2005). Ada prinsip konstitusionalisme yang kuat dalam hasil perubahan UUD. Pembatasan kekuasaan menjadi nafas perubahan UUD, sehingga seluruh cabang-cabang kekuasaan bergerak dengan prinsip saling imbang dan saling kontrol (checks and balances).

Kondisinya tentu jauh berbeda dengan saat ini. Usul perubahan tentu tidak bisa muncul secara insidentil seperti di tahun ‘99. Apalagi konstruksi norma pada Pasal 3 ayat (1) UUD menentukan bahwa MPR mempunyai kewenangan untuk “mengubah dan menetapkan” UUD. Konsekuensinya, secara elektoral parpol akan menjadi penyumbang terbesar atas arah politik hukum amandemen kelima UUD. Analisis Crouch menjadi relevan untuk dipertimbangkan. Bahwa kompromi politik dan kepentingan partai masih akan mendominasi proses perubahan UUD (Harold Crouch:2010). Apalagi kekuatan politik pemerintah saat ini ditopang dengan koalisi gemuk alias mayoritas partai politik. Namun jika melihat konstruksi norma pada Pasal 37 UUDN RI, “playmaker” perubahan UUD ada pada kuasa MPR. Bola akan berada di tangan MPR bukan di tangan presiden. Perlu tidaknya perubahan itu dilakukan, semua ada di tangan elit parpol. Sebagai pemegang kedaulatan, rakyat akan menjadi wasit atas wacana amandemen kelima.

Dengan peta politik demikian, maka sirkulasi antara elit parpol dan publik harus dibuka. Sejalan dengan pemikiran Mahfud bahwa  karakter produk hukum akan ditentukan oleh tipe konfigurasi politiknya (Mahfud MD:1993).  Jika partisipatif, maka akan menghasilkan produk hukum yang responsif. Namun sebaliknya. Jika elitis, maka karakter produk hukumnya akan bersifat menindas. Tentu pertanyaan yang kemudian muncul ialah, seberapa seriuskah geliat parpol menjaring aspirasi publik dalam mengusung amandemen kelima ? Pada titik ini, tentu dibutuhkan feasibility study yang disertai dengan kedalaman cetak biru terhadap materi muatan yang diusulkan untuk diubah, ditambah atau dipertahankan. Hal  itu dibutuhkan sebagai syarat formil, guna melihat akseptabilitas  publik atas pentingnya kebutuhan perubahan itu dilakukan. Dengan kata lain, jika amandemen kelima benar-benar akan digulirkan, pendekatannya tentu tidak lagi dilakukan secara “by accident” melainkan dilakukan secara “by design”. Memperhatikan kematangan konsep, cara, dan daya guna perubahannya. Jika tidak, maka wacana amandemen kelima  ini akan terus menggelinding laiknya bola liar.

Tulisan ini sudah dimuat dalam Kedaulatan Rakyat, 6 Desember 2019.

Penulis: Dr. Idul Rishan, S.H., LL.M

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), Departemen Hukum Tata Negara

 

Jika mencermati hasil perubahan UU KPK (UU Nomor 19 tahun 2019), maka arah politik hukumnya jelas. Mengubah simpul kelembagaan KPK dari lembaga independen, menjadi lembaga pemerintah. Dalam Pasal 3 revisi UU KPK disebutkan bahwa, “Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga negara dalam rumpun kekuasaan eksekutif yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun”. Tegasnya, pasal a quo dapat dikatakan sebagai “jantung” atas hasil perubahan UU KPK. Melalui ketentuan tersebut, tak ubahnya KPK sebagai mandataris Presiden.

Mengingat secara hierarkis kelembagaannya berada di bawah kuasa presiden, maka KPK berwarna eksekutif. Tak heran jika manajemen kepegawaian di KPK wajib bercorak eksekutif. Mulai dari status penyidik, sampai dengan promosi mutasi yang tunduk pada regulasi Aparatur Sipil Negara. Bukan hanya soal kepegawaian, kehadiran Pasal 3 juga menginisiasi lahirnya pasal-pasal lain yang menyangkut Dewan Pengawas. Perangkat ini mempunyai kewenangan yang superior, bahkan dibekali kuasa “pro justisia”. Bila tak ada aral membentang, perangkat inipun akan dibentuk melalui kuasa presiden. Meskipun dalam pasal a quo diberikan “irah-irah” independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, kenyataannya sulit untuk dibenarkan. Relasi kuasa yang bersifat vertikal dengan presiden, cenderung membuat KPK berayun menjadi ‘depeden’.

Cabang Ke-4

Dalam perkembangannya, revisi UU KPK menjadi simbol dekadensi terhadap praktik demokrasi di Indonesia. Betapa tidak, dibentuknya KPK merupakan kritik atas lemahnya independensi Kepolisian dan Kejaksaan dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Mengingat Kepolisian dan Kejaksaan secara hierarkis berada di bawah kuasa eksekutif, maka KPK hadir sebagai lembaga independen. Baer menuliskan bahwa kehadiran lembaga independen muncul sebagai trigger atas cara kerja lembaga konvensional yang dinilai tak lagi efektif (Susan Baer:1988). Tesis Baer diperkuat oleh Ackerman yang menyatakan bahwa lembaga independen merupakan gejala otokritik terhadap pemisahan kekuasaan secara konvensional antara eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Ackerman melihat kecenderungan Amerika yang telah mengadopsi pemisahan kekuasaan berdasar empat cabang yakni eksekutif, legislatif, yudisial dan organ independen (Bruce Ackerman:2000). Demikian halnya selepas transisi politik bergulir di Indonesia.  Studi Mochtar  mencatatkan bahwa ketidakpercayaan publik terhadap lembaga negara yang telah ada, mendorong lahirnya lembaga independen untuk melaksanakan tugas dan diidealkan memberikan kinerja baru yang lebih terpercaya (Zainal Mochtar:2016).

Dengan menempatkan KPK di bawah kuasa Presiden, justru menjadi sangat kontraproduktif terhadap respon percepatan kebutuhan demokrasi. Sudah menjadi rahasia umum, korupsi di sektor eksekutif menjadi agenda yang tak luput dari kinerja KPK selama ini. Suap di pelbagai sektor kementerian, hingga korupsi kepala daerah seolah menjadi penanda bahwa kekuasaan eksekutif menjadi anasir yang terus memberikan ancaman dari perilaku elit politik. Bisa dibayangkan, sebagai institusi yang berada di bawah kuasa presiden, KPK bisa terjebak pada konflik kepentingan. Bahkan, studi berbobot yang pernah dilakukan Madril menjadi sangat menarik. Madril mencatatkan tak ada lembaga di bawah kuasa presiden yang kinerja dan prestasinya baik dalam memberantas korupsi. Sebagai contoh Badan Pengawas Kegiatan Aparatur Negara (Bapekan) di bawah Soekrano dan Operasi Tertib (Opstib) di bawah Soeharto (Oce Madril:2018).

Penafsiran MK

Kembali dalam perdebatan pembentukan Pasal 3. Dalam beberapa jajak pendapat media cetak dan elektronik, pembentuk undang-undang mengklaim bahwa politik hukum Pasal 3 perubahan UU KPK merupakan tindak lanjut atas putusan MK Nomor 36/PUU-XV/2017. Bila kembali membuka riwayat putusan MK, ada empat putusan lainnya yang juga memberikan penafsiran atas kedudukan dan independensi kelembagaan KPK. Di antaranya,  Putusan No 012-016-019/PUU-IV/2006, Putusan No 37-39/PUU-VIII/2010, Putusan No 5/PUU-IX/2011dan Putusan No 49/PUU-XI/2013. Empat putusan sebagaimana disebutkan di atas berada pada satu nafas yang sama. Bahwa KPK merupakan lembaga independen, dan mempunyai sifat penting dalam struktur kekuasaan negara. Membaca kondisi demikian, lantas putusan mana yang harus diikuti ? hemat penulis, putusan 36/PUU-XV/2017 tidak sepenuhnya dapat dijadikan alasan pembenar pembentukan Pasal 3 perubahan UU KPK.

Ada dua alasan yang mendasari. Pertama, perkara ini tidak menguji pasal-pasal dalam UU KPK terhadap UUD, melainkan  menguji Pasal 79 ayat (3) UU MD3 terhadap Pasal 28D ayat (1) UUDN RI Tahun 1945. Ihwal pengajuan perkara ini semata-semata untuk memperluas kewenangan DPR untuk melaksanakan fungsi pengawasan melalui hak angket, bukan dalam konteks perubahan format kelembagaan KPK. Mengingat KPK melaksanakan fungsi-fungsi eksekutif, hak angket dapat digulirkan sepanjang tidak mendistorsi fungsi penyelidikan, penyidikan dan penuntutan. Kedua, dalam teori interpretasi konstitusi, Strauss mempopulerkan penafsiran “living constitution”. Strauss menuliskan bahwa dalam konteks penemuan hukum,  majelis hakim dimungkinkan mengubah pendiriannya atas putusan-putusan sebelumnya, sepanjang menyebutkan alasan perubahan dalam amar putusannya (David A Strauss:2011). Dalam Putusan No 36/PUU-XV/2017, tak ada satupun alasan di dalam amar putusan (ratio decidendi) yang menegaskan bahwa majelis mengubah pendiriannya atas empat putusan terdahulu. Sehingga dengan menempatkan KPK di bawah kuasa Presiden, pembentuk undang-undang cenderung bersandar pada basis teoritik yang ringkih. Mencermati sejumlah pertimbangan di atas, tentunya pasal 3 perubahan UU KPK menjadi materi yang laik diujikan di Mahkamah Konstitusi.

 

Tulisan ini pernah dimuat dalam rubrik Pendapat, KORAN TEMPO, 5 November 2019.


Penulis: Dr. Idul Rishan, S.H., LL.M

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), Departemen Hukum Tata Negara

 

Jika hasil revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) telah resmi diundangkan, Mahkamah Konstitusi (MK) akan menerima sejumlah permohonan pengujian dari berbagai pihak. Mungkin, mulai dari kelompok akademisi, pegiat antikorupsi, sampai dengan tokoh masyarakat. Meskipun permohonan diajukan dari golongan yang beragam, substansi kerugian konstitusionalnya akan sama. Memohon kepada majelis hakim, agar pasal-pasal revisi UU KPK dinyatakan inkonstitusional dan tidak lagi memiliki kekuatan hukum   secara mengikat. Dalam logika penulis, pengujian revisi UU KPK bukan perkara yang mudah. Meskipun hasil revisi mendapatkan tekanan publik secara masif, pandangan majelis hakim belum tentu sejalan dengan kelompok mayoritas yang menolak revisi UU KPK. Ada sejumlah tantangan yang perlu diperhatikan bagi para pemohon, termasuk dalam membangun logika kerugian konstitusional di MK.

 

Logika Pengujian

Dalam logika pengujian, ada dua alasan yang menjadi basis utama pengujian undang-undang di MK. Pertama, ialah alasan formil. Melihat keabsahan prosedur pembentukan rancangan undang-undang itu dilakukan. Kemudian kedua, ialah alasan materil. Melihat kesesuaian materi muatan undang-undang terhadap norma yang lebih tinggi (dalam hal ini UUD). Secara formil, proses pembentukan revisi UU KPK dinilai cacat formil karena dikebut hanya dalam tiga belas hari, dan tidak berada pada daftar prioritas prolegnas. Tidak heran jika para pegiat antikorupsi menyebut bahwa pembentukan dan pembahasan revisi UU KPK cenderung dilakukan secara “ugal-ugalan”. Minus partisipasi, naskah akademik yang tidak transparan, dan tajam akan kepentingan parpol. Jika merujuk UU Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Pasal 45 mensyaratkan setiap RUU baik dari DPR dan Presiden disusun berdasarkan program legislasi nasional. Di samping itu, Pasal 44 juga mengatur bahwa  setiap RUU yang diusulkan wajib disertai dengan naskah akademik. Namun perlu diperhatikan.  Di saat yang sama, akhir masa bakti anggota DPR 2014-2019 juga mengesahkan revisi UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Dalam revisi UU yang baru, diatur dalam Pasal 23 ayat (2) bahwa dalam keadaan tertentu DPR atau Presiden dapat mengajukan RUU di luar Prolegnas. Dengan alasan keadaan luar biasa, konflik, bencana alam, atau keadaan tertentu lainnya, yang memastikan adanya urgensi nasional. Kehadiran pasal ini, membuka ruang bagi DPR dan Presiden,  untuk mengusulkan dan membahas secara cepat RUU atas alasan kondisi tertentu. Konsekuensinya, hal ini akan membawa tantangan baru bagi pemohon atas dalil-dalil formil yang akan diajukan di MK.

Selain tantangan pada asepk formil, para pemohon juga akan dihadapkan dengan sejumlah tantangan pada aspek materil. Para pemohon akan dihadapkan pada situasi yang tidak mudah, mengingat KPK tidak memperoleh legitimasi kewenangan secara langsung berdasarkan UUD. Ia dibentuk berdasarkan UU, yang pada prinsipnya merupakan sebuah kebijakan politik hukum terbuka (open legal policy). Sifat pengujian di MK tentu akan bersandar pada kesesuaian norma lebih rendah terhadap norma yang lebih tinggi. Dalam yurisprudensi MK, ada empat putusan yang menyatakan bahwa meskipun KPK dibentuk berdasarkan UU, tetapi KPK mempunyai sifat penting dalam struktur ketatanegaraan (constitutional importance).  Sebagaimana tertuang dalam Putusan No 012-016-019/PUU-IV/2006, Putusan No 37-39/PUU-VIII/2010, Putusan No 5/PUU/IX/2011, dan Putusan MK No 49/PUU-XI/2013. Bahwa KPK merupakan badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman, sebagaimana bunyi Pasal 24 ayat (3) UUDN RI. Tantangan yang kemudian muncul ialah, dalam Putusan terakhir MK No 36/PUU-XV/2017, majelis mengubah pendiriannya dengan menyatakan bahwa KPK bercorak eksekutif, karena alasan melaksanakan fungsi eksekutif. Artinya ini akan menjadi tantangan tersendiri bagi para pemohon untuk membangun silogisme konstitusional, bahwa pasal-pasal kontroversial dalam revisi UU KPK bertentangan dengan UUD. Selain aspek formil materil, tantangan lain yang perlu diperhatikan ialah perihal imparsialitas hakim konstitusi. Dalam prinsip independensi peradilan, para majelis hakim tidak boleh terpengaruh dengan besarnya tekanan publik atas perkara yang disidangkan (Contini & Mohr:2007). Bisa jadi, gelombang penolakan mahasiswa secara masif tidak akan memengaruhi pendirian hakim dalam memeriksa dan memutus perkara. Logika sederhananya, pengujian undang-undang yang menuai begitu banyak penolakan publik, belum tentu bertentangan dengan norma yang lebih tinggi.

Penalaran Hakim

Terlepas dari segala tantangan yang akan di hadapi para pemohon, hal yang tidak kalah pentingnya ialah mengurai metode penalaran yang akan digunakan para hakim di mahkamah.   Disadari atau tidak, sembilan hakim di MK memiliki preferensi ilmiah yang berbeda-beda. Sebagaimana dituliskan Dahl, bahwa preferensi ilmiah menjadi dasar  keyakinan hakim dalam menjatuhkan vonisnya (Robert Dahl:1963). Tidak heran jika dalam sebuah perkara pengujian undang-undang di MK, adakalanya putusan tidak di ambil secara bulat. Ada yang dissenting, bahkan mungkin ada yang concurrent. Masing-masing akan memiliki basis keyakinan dan interpretasi yang berbeda (Keith E. Whittington:1999). Bagi para penganut judicial restraint, beberapa ketentuan norma undang-undang dan putusan peradilan, menjadi dasar utama menegakkan pertimbangan hukum. Sementara bagi para penganut  judicial activism, hakim bisa saja melampaui beberapa ketentuan tertulis dalam hukum positif. Para hakim bersikap aktif dalam melakukan penemuan hukum. Bahkan tidak menuntut kemungkinan, menghasilkan suatu penerobosan hukum dengan memperhatikan rasa keadilan yang berkembang di masyarakat. Perdebatan dua kelompok itu yang akan mewarnai pertimbangan sembilan hakim konstitusi dalam pengujian revisi UU KPK. Dengan melihat komposisi hakim konstitusi saat ini, penulis merasa bahwa putusan nanti tidak akan jatuh secara bulat.

Tulisan ini pernah dimuat dalam REPUBLIKA, 14 Oktober 2019.

Penulis: Dr. Idul Rishan, S.H., LL.M

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), Departemen Hukum Tata Negara

 

Apakah benar, jika Presiden menetapkan Perppu KPK, maka ia berpotensi besar untuk di impeach atau diberhentikan dalam masa jabatannya. Langkah ini kerap dihubung-hubungkan bahwa jika Presiden mengeluarkan Perppu, sama halnya Presiden tak serius dan tak menghormati DPR sebagai pengusul dan pembahas revisi UU KPK.  Bahkan, sebagian politisi menilai jika tidak cermat,  Perppu KPK bisa menjadi “jebakan batman” bagi Jokowi. Alias pintu masuk untuk menggulingkan posisinya sebagai Presiden. Narasi itu telah  berseliwiran di ruang publik. Tatkala menjadi pembenar, bahwa Perppu tidak bisa dikeluarkan karena alasan itu. Tulisan singkat ini, mencoba mendudukan kembali stigma yang berkembang di masyarakat. Memahami kembali apa dan bagaimana Perppu, serta pengaruhnya dengan wacana impeachment.

Perppu

Lazimnya sistem presidensial, kuasa pembentukan Perppu selalu diserahkan kepada Presiden sebagai pemegang kuasa pemerintahan. Jika merujuk konvensi, Perppu dikenal sebagai jalur konstitusional untuk membentuk regulasi secara cepat. Disebut cepat dan sederhana, karena dalam proses pembentukannya, ia tidak perlu mengakomodasi ragam kepentingan partai yang ada di parlemen (Ann Seidman:2002). Tak heran jika Pasal 22 UUDN mengatur bahwa  “Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang”. Soal ihwal kegentingan yang memaksa, MK telah memberikan kriteria normatif dalam Putusan Nomor 138/PUU-VII/2009. Melalui interpretasinya, MK menetapkan tiga syarat. Kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah secara cepat, kekosongan hukum akibat ketiadaan undang-undang, atau ada namun dianggap tidak memadai, dan keadaan tidak dapat diatasi  dengan prosedur biasa karena akan membutuhkan waktu yang cukup lama. Tiga hal itu telah dilimitasi oleh MK. Namun perlu diingat, ketika putusan di jatuhkan, sembilan hakim konstitusi berada dalam satu paradigma yang sama. Bahwa kegentingan atau kebutuhan yang mendesak, tetap berada pada wilayah subjektivitas Presiden. Tak ada institusi lain yang bisa menilai situasi kegentingan memaksa, kecuali Presiden. Karena sifatnya yang subjektif, maka objektivikasinya, diserahkan pada parlemen. Selaras dengan intensi ayat (2) dan ayat (3) Pasal 22 UUDN. Perppu harus mendapatkan persetujuan DPR dalam persidangan berikutnya untuk menjadi undang-undang. Jika tidak, maka Perppu itu harus dicabut. Intensi pasal tersebut menempatkan DPR sebagai penyeimbang, sekaligus melaksanakan fungsi kontrol terhadap kebijakan presiden (checks and balances). Selain fungsi crosscheck yang bisa dilakukan oleh DPR, MK juga bisa melakukan fungsi korektif melalui kewenangan judicial review.  Kanal-kanal ini tersedia secara konstitusional, untuk menutup sifat abuse presiden dalam menetapkan peraturan. Kembali pada soal Perppu KPK. Mungkin dalam logika awam, “kegentingan yang memaksa” sebagaimana dimaksud dirasa telah cukup. Ada tiga kondisi saat ini yang bisa dijadikan alasan pertimbangan menetapkan Perppu. Pertama, akibat tekanan publik yang terjadi secara masif dan kontinyu, bahkan telah memakan korban jiwa. Kedua, revisi undang-undang KPK yang tidak sejalan dengan cita-cita pemberantasan korupsi. Ketiga, tidak lagi dapat ditangani dengan prosedur biasa, mengingat pembahasan undang-undang akan memakan waktu yang relatif lama. Tetapi sekali lagi, ini soal subjektivitas Jokowi. Jika ia berani mengambil opsi Perppu, rasanya tidak berlebihan bila publik akan menilai Jokowi sebagai presiden, yang memiliki komitmen kuat dalam agenda pemberantasan korupsi.

Impeachment

Kemudian soal ancaman impeachment. Ada satu hal yang perlu diingat dalam membedakan ciri sistem parlementer dan ciri sistem presidensial. Dalam sistem parlementer, perdana menteri dapat diberhentikan dalam masa jabatannya akibat kebijakan yang tidak populis. Artinya seorang perdana menteri sangat mungkin di impeach karena alasan politis. Berbeda halnya dengan sistem presidensial. Presiden hanya dapat diberhentikan dalam masa jabatannya karena alasan hukum (Alferd Stephen & Cindy Skach:1993). Sebagaimana telah diatur secara limitatif dalam Pasal 7A UUDN, baik itu perbuatan yang berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, perbuatan tercela, atau tindak pidana berat lainnya. Selain soal alasan hukum, syarat formil impeachment juga diatur dengan prosedur yang super ketat. Bahkan situasinya akan terasa semakin sulit, bila melihat sistem multipartai ekstrim yang diadopsi selepas era transisi politik. Presiden terpilih akan membangun koalisi mayoritas untuk mendapatkan legitimasi politik yang kuat di parlemen (Djayadi Hanan:2014). Konsekuensi logisnya,  partai-partai pendukung cenderung akan memuluskan kebijakan-kebijakan pemerintah di hadapan parlemen. Termasuk menjaga dan melindungi presiden, dari ancaman pasal impeachment.  Membaca kondisi di atas, tentunya cukup sulit membenarkan bahwa Perppu KPK dapat bermuara pada wacana impeachment. Saat ini, kita hanya membutuhkan keyakinan Presiden untuk mendorong dikeluarkannya Perppu KPK. Para simpatisannya tidak perlu takut dengan wacana impeachment. Begitu juga para anggota DPR yang menilai opsi Perppu tidak begitu tepat untuk dikeluarkan. Saluran konstitusional telah tersedia untuk menilai keabsahan Perppu. Baik itu melalui jalur legislative review di DPR, maupun melalui jalur judicial review di MK.

 

Tulisan ini pernah dimuat dalam rubrik Opini Jawa Pos, 4 Oktober 2019.

 

Penulis: Dr. Idul Rishan, S.H., LL.M

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), Departemen Hukum Tata Negara

 

Apakah sudah diperhitungkan rencana amandemen terbatas UUD yang sudah semakin mengkristal pada romantisme GBHN? Adakah studi kelayakan yang telah memberikan preposisi bahwa Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional kita bermasalah sehingga tidak relevan lagi untuk digunakan? Seberapa dalam cetak biru yang telah disusun MPR, metode risetnya apa, sehingga GBHN menjadi laik diterapkan kembali sebagai kerangka dasar pembangunan nasional. Sungguhpun sudah dipikirkan secara matang, bagaimana dengan proses dan mekanisme perubahannya?

Sejumlah pertanyaan di atas, mengirimkan pesan bahwan wacana amademen terbatas perlu dikonstruksikan secara komprehensif. Dibangun melalui konsep yang kuat, serta memperhatikan sejumlah ekses yang kemungkinan dapat ditimbulkan. Jika tidak, proyek besar ini bisa kebablasan dan justru menambah sengkarut problem ketatanegaraan.

Dalam ketentuan hukum positif saat ini, beberapa perangkat regulasi pada dasarnya telah mengakomodir arah pembangunan dan haluan bernegara. Misalnya Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN, UU No 25 Tahun 2004) dan Rancana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP UU No 17 Tahun 2007). Bahkan secara lebih detail, arah pembangunan juga diderivasikan lagi melalui Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) yang meliputi pembangunan nasional, bidang, dan wilayah.

Jika hendak memahami arah politik hukum pembangunan nasional pascatransisi politik, sebenarnya tidak terlihat garis demarkasi yang tajam antara politik pembangunan era orde baru dengan politik pembangunan saat ini. Melalui perangkat SPPN, RPJPN, dan RPJMN, pembangunan nasional juga dapat dialkukan secara terukur dan sistematis. Artinya, secara materiil hampir tidak ada pembedaan cara kerja pada model pembangunan bergaya GBHN dengan model SPPN dan RPJP. Setidaknya, titik pembedaan itu hanya pada aspek formalnya saja.

Jika arag pembangunan nasional di era orde baru diterapkan MPR, maka arah pembagunan nasional saat ini ditetapkan Presiden dan DPR melalui kerangka legislasi nasional. Pilihan politik hukum demikian tidak lahir tanpa basis rasionalitas politik yang kuat. Laiknya sebuah silogisme hukum, ada beberapa alasan mengapa GBHN tidak lagi relevan diterapkan pascatransisi politik.

Pertama, soal kesepakatan dasar perubahan UUD di era transisi. Saat itu, semua partai politik sepakat bahwa agenda perubahan UUD dilandaskan pada semangat memperkuat sistem presidensiil (Valina Singka:2008). Dengan mempertahankan model pembangunan melalui GBHN, sistem pemerintahan akan jauh berayun pada gaya parlementer. Seluruh pertanggungjawaban politik akan diserakan ke MPR. Tidak menutup kemungkinan MPR akan kembali menjadi pemegang kendali atas kuasa rakyat.

Kedua, masa jabatan presiden yang limitatif tidak akan kompatibel dengan model pembagunan GBHN. Sebagai sebuah produk politik, upaya perubahan terhadap materi muatan GBHN menjadi sangat mungkin terjadi. Perkembangan koalisi kepartaian sangat dinamis, menyebabkan GBHN menjadi sangat sulit diterima dan diterapkan pada pemerintahan berikutnya.

Ketiga, dengan menerapkan model pembangunan berbasis GBHN, ada berbagai macam implikasi yang ditimbulkan terhadap sistem hukum nasional. Mulai dari posisi tawar GBHN terhadap hierarki perundang-undnagan sampai dengan model pengujian norma hukum yang bisa saja bertentangan dengan GBHN. Membaca sejumlah tantangan di atas, maka keinginan melakukan amandemen terbatas bisa saja melebar menjadi isu yang tak terbatas.

Terlepas dari rentetan panjang yang mungkin biosa ditimbulkan, tidak kalah penting ialah mengawal bagaimana proses pembuatan itu akan dilakukan. Sebuah konstitusi yang demokratis tidak akan mungkin dihasilkan melalui proses politik yang kolutif. Seperti disematkan Bianc, bahwa proses itu akan menentukan hasil perubahan konstitusi. (Bonime Blanc: 1987). Perlu diingat setelah perubahan UUD, MPR merupakan lembaga yang berwenang mengubah dan menetapkan UUD. Ia tak lagi sebatas lembaga yang menetapkan, tetapi juga menjadi bagian dalam proses perubahan UUD. Imbasnya peranan partai politik menjadi sangat dominan.

Dengan peta politik demikian, MPR bisa saja terdistorso dengan konflik kepentingan. Sebab, materi muatan amandemen justru menyangkut kepentingan kelembagaannya sendiri. Ada baiknya proyek besar untuk MPR itu perlu dipertimbangkan kembali. Biar bagaimanapun, konstitusi merupakan norma fundamental. Ia hidup dan berkembang dalam praktik berbangsa dan bernegara. Bukan komoditas kepentingan golongan yang bersifat sektoral.

Penulis: Dr. Idul Rishan, S.H., LL.M

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), Departemen Hukum Tata Negara

 

Hampir dipastikan, periode kedua pemerintahan Joko Widodo akan ditopang dengan koalisi “gemuk” di parlemen. Mayoritas partai politik di DPR, akan bahu membahu mensukseskan beberapa program kebijakan yang sudah dicanangkan pada pemerintahan 2019-2024. Dengan koalisi mayoritas, relasi eksekutif dan legislatif diperkirakan akan jauh lebih stabil. Meskipun harus di akui, dukungan mayoritas partai di DPR sebenarnya juga dapat melahirkan ancaman. Bisa di bayangkan, jika mayoritas partai politik di DPR bersekutu dengan pemerintah, maka Presiden tidak hanya menjadi episentrum kekuasaan eksekutif, tetapi juga menjelma sebagai pengendali kekuatan partai-partai politik yang ada di parlemen. Aroma bagi-bagi kekuasaan sudah mulai tercium. Selain soal jatah kabinet, perebutan kursi pimpinan MPR juga menjadi bagian yang tak terpisahkan. Dengan koalisi mayoritas, MPR akan menjadi lembaga strategis dalam masa pemerintahan lima tahun ke depan. Jika koalisi pemerintah benar-benar solid, MPR bisa saja bereksperimen dengan kewenangannya mengubah dan menetapkan UUD.

 

Minoritas- Mayoritas

Jika hendak menarik isu perdebatan ini dalam ranah konseptual, relasi eksekutif -legislatif menjadi wilayah yang cukup menarik dalam sistem presidensil. Kenyataannya, sistem pemerintahan kita pasca transisi politik, cenderung bergerak secara dinamis. Setidaknya ada dua pola relasi eksekutif-legislatif yang selama ini menjadi basis konvensi kenegaraan dalam sistem multi partai.  Pola pertama, bangunan koalisi dengan corak minoritas. Dalam langgam ini, Presiden tidak mendapatkan dukungan dari sebagian besar partai politik yang ada di parlemen. Pembelahan pemerintahan (divided government) sangat dimungkinkan terjadi karena relasi eksekutif dan legislatif cenderung bersifat konfrontatif. Kondisi ini pernah dialami sendiri oleh Presiden Jokowi-JK di awal-awal masa pemerintahan 2014-2019. Dengan dukungan minoritas, Presiden kesulitan membangun program-program pemerintahan. Kondisi ini semakin diperparah dengan desain UUD pasca amandemen yang memberikan begitu banyak delegasi kewenagan kepada DPR berupa pertimbangan dan persetujuan. Pola kedua, bangunan koalisi dengan corak mayoritas. Pada langgam ini, mau tidak mau, Presiden merangkul mayoritas partai politik untuk bergabung pada koalisi pemerintahan. Sedikit beraroma parlementer, karena relasi eksekutif-legislatif melebur jadi satu. (Alferd Stephen & Cindy Skach:1993). Cara ini dipercaya sebagai alternatif membangun stabilitas pemerintahan. Dengan dukungan mayoritas partai politik, kebijakan-kebijakan pemerintah relatif bisa berjalan mulus di parlemen. Termasuk di dalamnya soal keinginan untuk melakukan amandemen kelima UUD.

Tanpa Kontrol

Dengan bangunan koalisi mayoritas, pintu amandemen konstitusi menjadi sangat terbuka lebar. Siasat amandemen ini bisa dianalogikan seperti lempengan uang koin. Di satu sisi bisa memperkuat percepatan kebutuhan demokrasi, namun disisi lain, bisa menjadi jebakan otoritarianisme. Perlu diingat bahwa  proses perubahan UUD bisa berjalan tanpa kontrol. Jika melihat prosedur dan beberapa syarat formil perubahan UUD, kelembagaan MPR merupakan forum joint session anggota DPR dan anggota DPD. Secara kuorum DPD bisa saja tidak dapat menjadi penyeimbang kekuatan mayoritas partai politik yang ada di DPR. Mengingat berdasarkan jumlah, anggota DPR terdiri dari 575 orang dan anggota DPD hanya sejumlah 136 orang. Sementara Pasal 37 UUD mensyaratkan 1/3 jumlah anggota untuk usul perubahan, dihadiri sekurang-kurangnya 2/3 dan 50% plus satu untuk persetujuan perubahan. Dalam peta politik demikian, perubahan UUD sangat ditentukan pada kekuatan mayoritas partai politik pendukung pemrintah di DPR. Agenda amandemen ini tentu bisa menjadi bola liar, sebab materi perubahan  UUD cenderung bersifat sangat kompromistis. Sebut saja soal gagasan perubahan yang sudah semakin mengkristal pada penguatan kelembagaan MPR dalam menetapkan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN).

Komisi Konstitusi

Dengan menyerahkan semata-mata pada kekuatan politik mayoritas, tentu akan menghasilkan kompromi politik yang sangat sektoral. MPR sebagai lembaga yang berwenang mengubah dan menetapkan UUD, sarat terjebak dengan konflik kepentingan. Apalagi jika materi perubahannya menyangkut soal penguatan kelembagaannya sendiri. Jika benar amandemen UUD akan digulirkan pada periode kedua pemerintahan Joko Widodo, ada baiknya memperhitungkan pembentukan Komisi Konstitusi. Badan khusus yang dibentuk secara independen dan bersifat non partisan untuk mengkaji materi perubahan UUD. Belajar dari Spanyol, Filipina dan Thailand, perubahan konstitusinya dilakukan melalui spesial konvensi dengan pembentukan komisi khusus. Langkah ini dibangun agar usulan dan hasil perubahan konstitusi tidak bias dari kekuatan politik pemerintah a quo. (David G. Timbermand,ISEAS:1999). Pentingnya membentuk komisi konstitusi dalam perubahan UUD, pada dasaranya dipengaruhi oleh alasan paradigmatik.  Partai politik berdiri pada basis untuk merebut dan mempertahankan kekuasaaan, sementara konstitusi berpijak pada basis pembatasan kekuasaan. Memberikan peran mayoritas kepada partai politik terhadap perubahan UUD, sama artinya memberikan kesempatan partai politik untuk merebut atau mempertahankan kekuasaannya.  Itu sebabnya agenda perubahan UUD perlu dikaji dengan basis rasionalitas yuridis, sosiologis dan filosofis. Bahwa perubahan itu memang benar-benar dibutuhkan guna membangun percepatan demokratisasi. Jika tidak, gagasan amandemen ini bisa membawa pemerintahan Jokowi-Ma’ruf pada jebakan otoritarianisme.

Tulisan ini sudah dimuat dalam rubrik Pendapat, KORAN TEMPO, 13 Agustus 2019.