Semarang, Jawa Tengah. (Rabu, 14/11/2018) – program klinik etik dan hukum oleh Komisi Yudisial melibatkan setidaknya 6 Fakultas Hukum di Indonesia. Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia ( FH UII ) salah satu Fakultas Hukum yang masih diberikan kepercayaan oleh Komisi Yudisial (KY) untuk mengikuti program Klinik Etik dan Hukum. Program ini menjadi agenda tahunan di FH UII, sudah tahun ke 3 program ini berjalan di FH UII. Read more
Pos
Klinik Etik dan Hukum FH UII Dokumentasikan Gelar Peradilan Semu untuk Komisi Yudisial
Klinik Etik dan Hukum Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (KEH FH UII) mengadakan peradilan semu pada Sabtu (27/10). Peradilan semu yang dilakukan sebagai salah satu agenda dari program KEH yang bekerja sama dengan Komisi Yudisial (KY) Republik Indonesia. Pelaksanaan peradilan semu tersebut melibatkan 28 mahasiswa peserta program KEH tahun 2018. Read more
Memulihkan Kebijakan Reformasi Peradilan
Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang digelar KPK terhadap empat hakim Pengadilan Negeri (PN) Medan, kembali membawa citra buruk terhadap dunia peradilan di Indonesia. Lebih ironi lagi, empat di antara hakim yang terjaring KPK merupakan Ketua dan Wakil Ketua PN Medan. KPK diberitakan masih akan mengembangkan kasus ini, dan tidak menutup kemungkinan jumlah tersangka kasus korupsi akan bertambah, bahkan sampai melibatkan pejabat pengadilan lainnya seperti Panitera. Fenomena ini menjadi potret buram wajah peradilan yang terus dibelit oleh cengkraman para mafia peradilan. Persoalan ini terus menjadi penyakit laten secara menahun di tubuh MA.
OTT Hakim dan Problem Pengawasan
UNTUK sekian kalinya, lembaga peradilan kembali tergerus integritasnya dengan adanya operasi tangkap tangan (OTT) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap hakim di Pengadilan Negeri (PN) Tangerang, Banten, Senin (12/3).
OTT tersebut menjadi anomali nyata masih adanya oknum hakim pencari uang, bukan sebagai wakil pemberi keadilan. Ironisnya, praktik pelanggaran etika dan hukum dilakukan hakim di tengah kenyataan bahwa hakim dipantau secara kontinu oleh dua lembaga mapan, yaitu Mahkamah Agung (MA) dan Komisi Yudisial (KY). Hal itu pula kiranya semakin memiriskan keberadaan lembaga peradilan kini.
Problem Pengawasan
Lemahnya pengawasan terhadap hakim diduga menjadi titik konvergensi bahwa dua mekanisme pengawasan yang ada saat ini belum bisa dikatakan baik. Asumsi itu tentu dapat dibenarkan mengingat sekitar 42,2% hakim terlibat kasus penyuapan, perselingkuhan 28,9%, indisipliner 11,1%, narkotika 6,7%, memainkan putusan 4,4%, dan lainnya 6,7%.
(Komisi Yudisial, 2017). Data tersebut mengartikan kedua model pengawasan (internal dan eksternal) hakim ternyata masih sama-sama memiliki kelemahan. Salah satu titik lemah pengawasan internal kini dilakukan MA disebabkan pihak yang diberikan fungsi mengawasi merupakan orang mendapat pendidikan tentang profesi yang diawasi.
Dengan kata lain, pengawas merupakan orang-orang yang hanya tahu satu bidang disiplin ilmu, yaitu ilmu hukum. Sementara pengawasan yang orientasinya pada pencegahan, diperlukan disiplin keilmuan lain selain ilmu hukum.
Dengan keadaan demikian, maka ketika mengawasi perilaku atau mengaudit kinerja lembaganya bisa dipastikan tidak berjalan efektif karena miskin ilmu berkenaan dengan pengawasan.
Setali tiga uang, pada level pengawasan eksternal yang dilakukan KY pun dibenturkan dengan kondisi rasio tak seimbang antara jumlah hakim yang diawasi dengan pengawasnya.
Sebab telah menjadi pemahaman kolektif bahwa keberadaan KY memang terpusat di Ibu Kota, sementara sebaran hakim sampai pada tingkat kabupaten/kota. Persoalan pun digenapi dengan jumlah personel terbatas yang dimiliki KY hanya ada tujuh komisioner. Disparitas jumlah antarkeduanya akhirnya berdampak pada KY yang sering mengalami kecolongan dalam mengawasi hakim.
Selain minimnya jumlah personel pengawas KY, persoalan lain masih berkelindan ialah berkenaan dengan paradigma hakim itu sendiri dalam memahami pengawasan etik termaktub dalam Pasal 24B ayat (1) UUD 1945.
Pengawasan etik hakim oleh KY rupanya dipandang oleh sebagian hakim hanya sebagai sampiran yang seolah kurang berkonsekuensi pada karier dan martabat hakim. Menurut penulis, hakim justru lebih merasa terawasi dan takut pada lembaga seperti KPK ketimbang KY itu sendiri. Padahal esensi dari pengawasan etik, derajatnya lebih tinggi ketimbang pengawasan hukum.
Pada ranah ini, maka pengawasan oleh KY sering menjadi tidak efektif. Terlebih produk pengawasan KY yang hanya berupa rekomendasi tentu kecil kemungkinan bermetamorfosis menjadi hukuman mematikan bagi sang hakim.
Dua Langkah
Guna mengurai benang kusut problem pengawasan hakim di atas, maka setidaknya perlu dilakukan dua langkah. Pertama, pada level pengawasan eksternal oleh KY, maka optimalisasi peran KY Penghubung di daerah mutlak dilakukan. Sebagaimana ditentukan dalam Pasal 3 ayat (2) UU Nomor 18 Tahun 2011 tentang Komisi Yudisial bahwa KY dapat mengangkat penghubung di daerah sesuai dengan kebutuhan.
Dalam praktiknya, KY Penghubung di daerah yang telah terbentuk kurang lebih sebanyak 11 (sebelas) KY Penghubung. Hanya kiprah KY Penghubung belum begitu terlihat taringnya. Ada sejumlah faktor sangat mungkin menjadi penyebabnya di antaranya: 1) atribusi kewenangan pada KY Penghubung yang setengah hati; 2) dukungan (support) anggaran yang kurang memadai; 3) kapasitas sumberdaya manusia (SDM) yang minim.
Berpijak pada uraian di atas, maka keberadaan KY Penghubung daerah perlu dilakukan penguatan kelembagaan yang meliputi aspek kewenangan, porsi SDM yang memadai dengan mempertimbangkan luas daerah, dan pendanaan yang proporsional.
Khusus berkenaan dengan kewenangan, maka perlu diperkuat pada level kewenangan pemantauan dan pengawasan terhadap perilaku hakim serta tindak lanjut aduan atau laporan masyarakat. Dalam konteks itu, maka kewenangan KY pusat sesungguhnya tidak seluruhnya didesentralisasikan pada KY Penghubung daerah.
Filosofi dibentuknya KY Penghubung daerah sesungguhnya merupakan kesadaran penuh dari pembentuk undang-undang yang jika hanya mengandalkan KY pusat tentu pengawasan hakim sulit dijalankan secara efektif. Oleh karena itu, undang-undang membuka peluang dibentuknya KY Penghubung daerah sebagai organ bantu dalam mengefektifkan kerja KY pusat melakukan pengawasan hakim.
Atas spirit tersebut, maka memaksimalkan peran KY Penghubung dengan terlebih dahulu menguatkan kelembagaannya tentu menjadi keniscayaan dalam menjawab problem pengawasan hakim saat ini.
Kedua, pada lingkup pengawasan internal, kiranya perlu memasukkan unsur atau pihak yang paham berkenaan dengan manajemen kelembagaan organisasi ke dalam tubuh badan pengawasan hakim di MA. Hal ini perlu dilakukan sebagai antitesa atas tesis “jeruk makan jeruk” (hakim mengawasi hakim). Masuknya unsur atau ahli itu diharapkan akan terbangun kolaborasi antara ahli hukum dan manajemen kelembagaan organisasi sehingga dapat terpola model pengawasan efektif yang bermuara pada pencegahan.
Melalui dua langkah di atas diharapkan nanti kredibilitas hakim akan terjaga dan praktik korupsi dalam wujudnya suap dan sejenisnya tidak lagi terulang. Karena hadirnya hakim adalah betul-betul sebagai Wakil Sang Maha Adil. Semoga.
Sebuah Opini oleh Ali Rido, S.H., M.H., OTT Hakim dan Problem Pengawasan
Peneliti Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia
Artikel ini terbit di Koran Sindo edisi Rabu, 14 Maret 2018
OTT Hakim dan Problem Pengawasan
UNTUK sekian kalinya, lembaga peradilan kembali tergerus integritasnya dengan adanya operasi tangkap tangan (OTT) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap hakim di Pengadilan Negeri (PN) Tangerang, Banten, Senin (12/3). Read more

Fakultas Hukum
Gedung Moh. Yamin
Universitas Islam Indonesia
Jl. Taman Siswa No. 158 Yogyakarta
Telepon: +62 274 379178 ext.
Faks: +62 274 377043
Email: fh[at]uii.ac.id