Tag Archive for: parlemen

MEMPERKUAT DPD?

Jamaludin Ghafur, SH., MH[1]

 

Sejak demokrasi langsung telah digantikan dengan demokrasi perwakilan, saat itu juga ketergantungan rakyat terhadap lembaga perwakilan (parlemen) sangatlah tinggi karena melalui lembaga inilah nasib seluruh rakyat digantungkan. Rakyat yang seharusnya berdaulat penuh, kini posisinya digantikan oleh lembaga perwakilan. Tidak heran jika Robert Dahl menyatakan bahwa tak ada demokrasi di mana rakyat benar-benar memerintah dan bahwa pada kenyataannya yang memerintah selamanya hanyalah segelintir elit.

 

Harapan Baru

Kehadiran Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dalam sistem ketatanegaraan indonesia telah memunculkan banyak harapan agar lembaga ini bisa merubah wajah parlemen kita yang selama ini dilanda krisis legitimasi masyarakat atas kinerja DPR karena kurang begitu membanggakan sebagai wakil rakyat yang hanya menjadi kepanjangan tangan kepentingan parpol daripada berpihak pada kepentingan konstituennya.

Bentuk konkrit dukungan rakyat terhadap DPD agar dapat membawa perubahan di parlemen dapat dilihat dari hasil survey dari berbagai lembaga yang menunjukkan keinginan kuat dari rakyat agar kewenangan dan fungsi DPD diperkuat bahkan disetarakan dengan kekuasaan DPR.

Semua pihak sepakat bahwa salah satu kendala bagi DPD untuk memperjuangkan aspirasi rakyat adalah minimnya kekuasaan yang dimiliki. Dari tiga fungsi yang dimiliki yaitu legislasi, pengawasan, dan anggaran, semuanya bersifat saran dan tidak mengikat.

Tidak heran, sejak awal hal yang terus diperjuangkan oleh DPD adalah penguatan atas peran dan fungsinya. Beberapa cara telah dilakukan seperti mengajukan permohonan judicial review di Mahkamah konstitusi dan mencari dukungan rakyat untuk melakukan amandemen lanjutan terhadap UUD 1945.

Harapan rakyat ini tentu bukan sesuatu yang mengada-ada mengingat secara teori dan praktik, sistem parlemen bikameran di mana di dalamnya ada dua lembaga (DPR dan DPD), membuktikan kualitas hasil keputusannya lebih baik ketimbang parlemen satu kamar (unicameral). Karena pengawasan terhadap pengambilan keputusan dilakukan secara berlapis (double check).

 

Hakikat Lembaga Perwakilan

Harapan ranyat yang sangat tinggi terhadap DPD itu mengalami ujian yang sangat berat. DPD yang diharapkan bisa menjadi lembaga yang bebas dari korupsi dan ajang perebutan kekuasaan secara membabi buta untuk kepentingan pribadi dan kelompok diuji oleh sakndal korupsi yang membelit mantan ketua DPD Irman Gusman dan perkelahian antar anggota DPD yang saling memperebutkan jabatan ketua/pimpinan yang terjadi baru-baru ini.

Penilaian sebagian orang bahwa DPD adalah lembaga yang bersih tidak lebih karena ia merupakan lembaga baru. Seiring perjalanan waktu, DPD ternyata tidak ada bedanya dengan DPR yaitu menjadi lembaga yang hanya sibuk mengurusi urusannya sendiri dan lupa dengan kepentingan rakyat.

Fenomena ini tentu harus menjadi warning bagi kita dalam rangka memperkuat kedudukan DPD. Jangan sampai nasib DPD sama dengan DPR yang menjadi lembaga dengan kewenangan yang powerful tetapi sekaligus menjadi lembaga yang paling korup di negeri ini.

Penyimpangan dan pelanggaran yang terjadi di DPD harus menjadi peringatan bagi kita semua bahwa mengupayakan agar orang-orang yang duduk di DPD adalah benar-benar orang yang tepat dan memiliki komitmet dalam rangka memperjuangkan kepentingan rakyat sebelum memberikan penguatan terhadap fungsi dan peran DPD adalah sesuatu yang tidak dapat ditawar. Karena pada akhirnya yang menentukan baik tidaknya sebuah kewenangan akan sangat ditentukan oleh siapa pemegang kewenangan tersebut.

Oleh karenanya, evaluasi menyeluruh terhadap mekanisme dan persyaratan untuk menjadi anggota DPD penting dilakukan. Guna melakukan control terhadap DPD agar tetap digaris perjuangan yaitu memperjuangkan kepentingan rakyat utamanya daerah. Maka ada dua hal yang perlu dilakukan. Pertama, syarat untuk menjadi anggota DPD tidak boleh hanya bersifat administratif tetapi harus juga memuat syarat substantif seperti mutu keilmuan, pengalaman kepemimpinan, dll.

Kedua, DPD harus dibebaskan dari kepentingan parpol.

Ketiga, harus ada mekanisme recall. Selama ini hanya anggota DPR yang bisa di recall sementara anggota DPD tidak. Jika yang berhak merecall anggota DPR adalah parpol karena ia dicalonkan melalui parpol, maka ke depan perlu dikembangkan mekanisme recall anggota DPD oleh masyarakat dimana ia berasal (dapil). Harapannya, adanya recall ini akan menjadi system control dari masyarakat agar seluruh anggota DPD tetap berada dalam garis konstitusional.

Bagaimanapun DPD adalah lembaga yang lahir dari Rahim reformasi. Pembentukannya dilandasi oleh maksud yang sangat mulia yaitu membangun checks and balances di lembaga perwakilan sehingga mutu keputusan yang dikeluarkan oleh lembaga ini akan semakin berkwalitas.

Namun demikian, kepentingan politik dan individu seringkali dapat merusak cita-cita tersebut. Oleh karenanya, membangun sebuah sistem guna menutup sekecil apapun potensi munculnya hal-hal yang dapat merusak marwah lembaga ini sangat penting dilakukan.

Kehadiran DPD merupakan sesuatu yang penting, namun yang tidak kalah penting adalah bagaimana keberadaannya tidak hanya sebentuk kehadiran fisik, tetapi mampu memberikan citra positif wajah parlemen. Jika keberadaannya tidak memerikan kontribusi positif bagi pengembangan demokrasi dan kesejahteraan rakyat, maka penulis berpendapat akan lebih baik jika DPD dibubarkan karena ia hanya memboroskan anggaran negara.

 

[1] Dosen Hukum Tata Negara dan Peneliti pada Pusat Studi Hukum dan Konstitusi FH UII. Kandidat Doktor FH UI Jakarta.

Presidential Threshold

Jamaludin Ghafur, SH., MH[1]

 

Putusan MK nomor 53/PUU-XV/2017 menyatakan Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang mengatur syarat Presidential Threshold (PT) yaitu Pasangan Calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 % (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya, adalah konstitusional karena ketentuan ini dibutuhkan untuk memberi kepastian dukungan parlemen terhadap presiden sebagai salah satu syarat stabilitas kinerja presiden. PT berfungsi untuk memperkuat sistem presidensial.

Pertimbangan MK ini benar bahwa presiden butuh dukungan parlemen agar dapat bekerja secara efektif karena sebagian dari kewenangan presiden membutuhkan pertimbangan dan bahkan persetujuan dari parlemen. Tetapi, menggunakan PT sebagai cara untuk menggalang dukung parlemen adalah sebuah kekeliruan terlebih dalam pemilu yang akan diselenggarakan secara serentak karena keserentakan pemilu esensinya adalah dalam rangka membangun dukungan parlemen melalui coattail effect. Persyaratan PT telah menyebabkan pemilu serentak menjadi tidak bermakna.

 

Salah memaknai Presidential Threshold

Menurut J. Mark Payne (Pipit R. Kartawidjaja: 2016), dalam praktik ketatanegaraan di berbagai negara, Presidential Threshold adalah syarat seorang calon presiden untuk terpilih menjadi presiden, bukan syarat dukungan dalam pencalonan. Misalnya, untuk terpilih menjadi presiden dan wakil presiden harus memperoleh dukungan suara: di Brazil 50 persen plus satu, di Ekuador 50 persen plus satu atau 45 persen asal beda 10% dari saingan terkuat; di Argentina 45 persen atau 40 persen asal beda 10% dari saingan terkuat dan sebagainya.

Di Indonesia, ketentuan semacam ini telah diatur dalam Pasal 6A ayat (3 dan 4) UUD 1945 yaitu, Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang mendapatkan suara lebih dari lima puluh persen dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya dua puluh persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia, dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden. Dalam hal tidak ada pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih, dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum dipilih oleh rakyat secara langsung dan pasangan yang memperoleh suara rakyat terbanyak dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden.

Jadi, makna PT sebagai syarat dukungan pencalonan presiden/wakil presiden yang diatur dalam UU pemilu yang kemudian dinyatakan sah oleh MK sebenarnya merupakan sebuah kekeliruan dan penyimpangan.

 

Presidential Threshold dan Pemilu Serentak

Perubahan pelaksanaan pemilu yang sebelumnya terpisah antara pileg dan pilpres menjadi serentak di tahun 2019 bukan hanya sekedar perubahan waktu pelaksanaan tetapi mengandung nilai dan tujuan yang ingin dicapai. Pertama, menegakkan norma konstitusi. Pasal 22E ayat (2) UUD 1945 dengan tegas mengamanatkan bahwa pileg dan pilpres harus bersamaan. Oleh karenanya, pelaksanaan pileg dan pilpres yang sebelumnya terpisah merupakan pembangkangan konstitusional. Maksud dibalik pengaturan ini adalah untuk memurnikan sistem presidensial di mana pilpres tidak bergantung pada hasil pileg sebagaimana dalam sistem parlementer. Dalam sistem presidensial, mendasarkan pemilihan presiden terhadap hasil pemilu legislatif merupakan sebuah anomali. Sebab, basis legitimasi seorang presiden dalam skema sistem presidensial tidak ditentukan oleh formasi politik parlemen hasil pemilu legislatif. Lembaga presiden dan parlemen dalam sistem presidensial adalah dua institusi terpisah yang memiliki basis legitimasi berbeda. Oleh sebab itu, seharusnya ketentuan PT tidak lagi relevan diterapkan dalam pilpres 2019 karena ketentuan ini menjadikan pilpres tidak lagi independen terhadap hasil pileg.

Kedua, praktik di berbagai negara, pemilu serentak memunculkan terjadinya coattail effect di mana keterpilihan presiden akan mempengaruhi keterpilihan parlemen nasional. Artinya, besar kemungkinan partai yang memenangkan pilpres sekaligus juga akan memenangkan pileg. Dengan demikian, dukungan dari parlemen akan secara otomatis diperoleh oleh presiden/wakil presiden terpilih. Karenanya, dasar argumentasi MK bahwa PT dibutuhkan untuk menguatkan sistem presidensial karena presiden mendapat kepastian adanya dukungan dari parlemen juga tidak tepat karena mekanisme pemilu serentak itu sendiri sudah akan secara otomatis menciptakan dukungan tersebut.

Selain PT tidak sesuai dengan maksud dan tujuan dari pelaksanaan pemilu serentak, ketentuan ini juga melanggar prinsip keadilan pemilu (electoral justice), di mana setiap peserta pemilu punya hak pencalonan (candidacy right) yang sama. Pemberlakuan PT menjadikan partai politik baru yang belum menjadi peserta Pemilu 2014 otomatis kehilangan hak mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden. Padahal, adil adalah salah satu asas yang mesti ada dalam pelaksanaan pemilu sebagaimana tercantum dalam Pasal 22E ayat (1) UUD 1945, Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali.

 

[1] Dosen Hukum Tata Negara dan Peneliti pada Pusat Studi Hukum dan Konstitusi FH UII. Kandidat Doktor FH UI Jakarta.