Tag Archive for: pemilu

People Power atau Daulat Rakyat?

Munculnya istilah People Power belakangan ini menarik untuk diperdebatkan, terutama apabila istilah tersebut digunakan sebagai bentuk protes terhadap proses penyelenggaraan pemilu serta dihubung-hubungkan dengan ‘kedaulatan rakyat’. Benarkah people power itu merupakan wujud kedaulatan rakyat? Dalam Ilmu Hukum Tata Negara tidak dikenal istilah People Power. Jika melihat situasi dan kondisi saat ini, istilah people power dapat diterjemahkan sebagai kekuatan rakyat yang konteksnya adalah suatu gerakan rakyat untuk menumbangkan kekuasaan, atau sebuah gerakan perlawanan untuk menunjukkan adanya kezaliman. Read more

Menjelang pemilu bulan April, gelombang ajakan untuk tidak menggunakan hak pilih (baca: golput) terus menggema. Sejumlah lembaga survei dan riset bahkan memprediksi bahwa angka golput dalam pemilu 2019 diprediksi masih tinggi dalam kisaran 20 hingga 30 persen. Prediksi angka golput tersebut jika dikaitkan dengan penyelenggaraan pemilu sebelumnya bisa jadi akan terbukti. Read more

Jangan ‘Hukum’ Parpo-Baru Dua Kali

Partai politik baru pasca putusan MK Nomor 53/PUU-XV/2017 tertutup kemungkinannya untuk mengusung pasangan calon presiden dan wakil presiden. Putusan ini sebagai jawaban atas uji materiil atas Pasal 173 ayat (1), Pasal 173 ayat (3), dan Pasal 222 UU Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu (UU Pemilu). Pasal 173 ayat (1) dan ayat (3) terkait verifikasi ulang partai politik, sementara Pasal 222 berkaitan dengan dukungan partai politik untuk mengusung calon pasangan presiden dan wakil presiden yang hanya dimungkinkan dilakukan oleh parpol lama. Meskipun tidak bulat, Hakim Konstitusi Suhartoyo dan Saldi Isra mengajukan dissenting opinion, putusan ini menolak permohonan pengujian Pasal 222 UU Pemilu sehingga partai politik baru kehilangan kesempatan untuk mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden. Read more

Saatnya Rekonsiliasi

Jamaludin Ghafur, SH., MH[1]

 

Pemilihan Gubernur-Wakil Gubernur Jakarta yang menyedot perhatian masyarakat seluruh nusantara baru saja selesai. Menurut hasil quick count dari beberapa lembaga survey seperti LSI misalnya, perolehan suara pasangan Anies-Sandi adalah 55,41%, mengungguli pasangan Ahok-Djarot yang memperoleh suara 44,59%. Dalam alam demokrasi, pergantian kepemimpinan merupakan sesuatu yang lumrah. Sehingga siapapun kelak yang akan ditetapkan secara resmi oleh KPU sebagai gubernur dan wakil gubernur terpilih layak untuk kita dukung bersama karena itulah hasil pilihan rakyat.

Negara demokratis tidak mentolerir seseorang menjadi pemimpin tanpa batas waktu. Oleh karenanya, pemilu secara regular merupakan sebuah keniscayaan (Pasal 22E ayat (1) UUD 1945). Ada beberapa pertimbangan mengapa pemilu harus dilakukan secara berkala atau regular: Pertama, pendapat atau aspirasi rakyat dalam berbagai aspek kehidupan bermasyarakat bersifat dinamis dan berkembang dari waktu kewaktu. Kedua, kondisi kehidupan masyarakat dapat berubah, baik karena dinamika internasional maupun karena faktor dalam negeri. Ketiga, perubahan aspirasi masyarakat dapat terjadi karena pertambahan jumlah penduduk dan rakyat yang dewasa (Jimly Asshiddiqie:2006).

 

Modal Pembangunan

Namun demikian, harus dipahami bahwa penetapan pasangan calon sebagai pemenang dalam pilkada baru babak awal untuk membuktikan kepada rakyat bahwa dirinya adalah sosok pemimpin sejati. Visi dan misi serta janji-janji yang sering disampaikan selama kampanye harus dikonkritkan dalam bentuk program nyata. Jangan sampai materi kampanye hanya menjadi pemanis pilkada semata yang tidak pernah terealisasi dalam kenyataan. Sehingga pada akhirnya rakyat kembali kecewa.

Hal pertama dan utama yang harus dilakukan oleh Gubernur-Wakil Gubernur Jakarta terpilih adalah mempersatukan seluruh lapisan masyarakat yang selama pilkada sudah terbelah menjadi dua kubu. Angka 44,59% yang diperoleh oleh pasangan Ahok-Djarot secara kuantitatif bukan angka yang kecil. Oleh karenanya, jika pendukung kubu ini tidak dirangkul dan dibiarkan anti-pati dengan pemerintahan yang akan dibangun oleh Anies-Sandi, maka besar kemungkinan pemerintahan yang baru akan gagal dalam mengemban amanah rakyat.

Dalan teori hukum dan pembangunan (Erman Rajagukguk:2003), pengalaman negara-negara maju menunjukkan bahwa untuk mencapai kondisi yang seperti mereka alami saat ini setidaknya melalui tiga tahap pembangunan satu demi satu yaitu: integrasi (unification), industrialisasi (industrialization), dan negara kesejahteraan (social welfare).

Amerika dan negara-negara Eropa adalah contoh negara-negara maju yang sebelumnya pernah dilanda tragedi perpecahan di dalam negeri yang kita kenal dengan perang sipil (civil war), sementara di Eropa muncul berbagai macam revolusi. Keberhasilan mengatasi perpecahan di dalam negerinya inilah yang kemudian menjadi modal berharga mereka untuk menapaki fase selanjutnya yaitu menjadi negara industrial, dan keberhasilan membangun industri membawa mereka kepada negara kesejahteraan.

Dengan demikian, mustahil bagi Indonesia (termasuk pemerintah Jakarta) untuk menciptakan kesejahteraan sosial sebagaimana amanat UUD 1945 jika tidak ditopang oleh kuatnya sektor industri karena melalui kemajuan industri inilah berbagai program negara (pemerintah) dapat memperoleh pembiayaan. Sementara industrialisasi sulit dapat terwujud jika perpecahan di dalam negeri masih menjadi persoalan yang serius.

 

Merawat Kebhinekaan

Jakarta sebagai kota tempat bersemayamnya beragam masyarakat dengan latar belakang agama, ras, suku yang berbeda-beda harus menjadi contoh yang baik bagi kota-kota lainnya dalam merawat kebhinnekaan. Fakta bahwa Indonesia adalah negara yang ditakdirkan oleh Tuhan sebagai negara yang prural dalam banyak aspek merupakan sesuatu yang musti kita terima dengan penuh rasa syukur. Isu SARA yang menyelimuti pelaksanaan pilkada Jakarta harus segera diselesaikan sebagai pintu masuk untuk merajut kembali tali persaudaraan dan persatuan. Oleh karennya, pemerintahan Jakarta yang baru harus berdiri dan bekerja untuk semua rakyat tanpa membeda-bedakan suku, agama, ras dan lain sebagainya. Pemerintah yang baru tidak boleh mempersepsikan diri sebagai kepanjangan tangan dari kelompok tertentu.

Kita harus senantiasa mengingat dan tidak boleh melupakan bahwa kesatuan bangsa Indonesia bersifat etis-historis dan bukan etnik-alami. Sebagaimana diungkapkan oleh Franz Magnis Suseno (1996) bahwa, secara alami – dari sudut bahasa, budaya, letak geografis, penghayatan keagamaan – suku-suku di seantero nusantara tidak merupakan kesatuan. Bahwa mereka sekarang merupakan kesatuan adalah karena kesatuan cita-cita kebangsaan, dan cita-cita itu tumbuh berdasarkan pengalaman sejarah bersama, suatu sejarah penuh pengalaman-pengalaman mendalam: pengalaman ketertindasan dan penderitaan, dan pengalaman perjuangan bersama, kejayaan, bergeloranya semangat, kesatuan bangsa itu hidup dari realitas cita-citanya. Apabila cita-cita yang mendasari perjuangan kemerdekaan bersama tidak tercapai, dasar kesatuan itu berada dalam bahaya longsor.

Dengan kematangan intektualitas dan keluhuran akhlak dan integritas, saya yakin Gubernur-Wakil Gubernur Jakarta terpilih mampu mewujudkan semua ini demi membawa Jakarta yang lebih baik dan bermartabat.

[1] Dosen Hukum Tata Negara dan Peneliti pada Pusat Studi Hukum dan Konstitusi FH UII. Kandidat Doktor FH UI Jakarta.

Tamansiswa (18/8) Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) FH UII dalam rangka memperingai Hari Konstitusi menggelar Diskusi Terbuka dengan judul “Konstitusi sebagai Rumah Rakyat” Jum’at, 18 Agustus 2017 pukul 08.30-11.15 WIB di Ruang Sidang Lt. 3. Diskusi terbuka ini mengundang tiga orang pembicara yaitu Direktur PSHK Anang Zubaidy, SH., M.Hum., Jamaludin Ghofur, SH., MH., dan Maryam  Nur Hidayati, SH. Diskusi dihadiri oleh kalangan mahsiswa S2 dan S1 ilmu hukum, serta pemerhati politik dan ketatanegaraan. Read more

Presidential Threshold

Jamaludin Ghafur, SH., MH[1]

 

Putusan MK nomor 53/PUU-XV/2017 menyatakan Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang mengatur syarat Presidential Threshold (PT) yaitu Pasangan Calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 % (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya, adalah konstitusional karena ketentuan ini dibutuhkan untuk memberi kepastian dukungan parlemen terhadap presiden sebagai salah satu syarat stabilitas kinerja presiden. PT berfungsi untuk memperkuat sistem presidensial.

Pertimbangan MK ini benar bahwa presiden butuh dukungan parlemen agar dapat bekerja secara efektif karena sebagian dari kewenangan presiden membutuhkan pertimbangan dan bahkan persetujuan dari parlemen. Tetapi, menggunakan PT sebagai cara untuk menggalang dukung parlemen adalah sebuah kekeliruan terlebih dalam pemilu yang akan diselenggarakan secara serentak karena keserentakan pemilu esensinya adalah dalam rangka membangun dukungan parlemen melalui coattail effect. Persyaratan PT telah menyebabkan pemilu serentak menjadi tidak bermakna.

 

Salah memaknai Presidential Threshold

Menurut J. Mark Payne (Pipit R. Kartawidjaja: 2016), dalam praktik ketatanegaraan di berbagai negara, Presidential Threshold adalah syarat seorang calon presiden untuk terpilih menjadi presiden, bukan syarat dukungan dalam pencalonan. Misalnya, untuk terpilih menjadi presiden dan wakil presiden harus memperoleh dukungan suara: di Brazil 50 persen plus satu, di Ekuador 50 persen plus satu atau 45 persen asal beda 10% dari saingan terkuat; di Argentina 45 persen atau 40 persen asal beda 10% dari saingan terkuat dan sebagainya.

Di Indonesia, ketentuan semacam ini telah diatur dalam Pasal 6A ayat (3 dan 4) UUD 1945 yaitu, Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang mendapatkan suara lebih dari lima puluh persen dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya dua puluh persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia, dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden. Dalam hal tidak ada pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih, dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum dipilih oleh rakyat secara langsung dan pasangan yang memperoleh suara rakyat terbanyak dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden.

Jadi, makna PT sebagai syarat dukungan pencalonan presiden/wakil presiden yang diatur dalam UU pemilu yang kemudian dinyatakan sah oleh MK sebenarnya merupakan sebuah kekeliruan dan penyimpangan.

 

Presidential Threshold dan Pemilu Serentak

Perubahan pelaksanaan pemilu yang sebelumnya terpisah antara pileg dan pilpres menjadi serentak di tahun 2019 bukan hanya sekedar perubahan waktu pelaksanaan tetapi mengandung nilai dan tujuan yang ingin dicapai. Pertama, menegakkan norma konstitusi. Pasal 22E ayat (2) UUD 1945 dengan tegas mengamanatkan bahwa pileg dan pilpres harus bersamaan. Oleh karenanya, pelaksanaan pileg dan pilpres yang sebelumnya terpisah merupakan pembangkangan konstitusional. Maksud dibalik pengaturan ini adalah untuk memurnikan sistem presidensial di mana pilpres tidak bergantung pada hasil pileg sebagaimana dalam sistem parlementer. Dalam sistem presidensial, mendasarkan pemilihan presiden terhadap hasil pemilu legislatif merupakan sebuah anomali. Sebab, basis legitimasi seorang presiden dalam skema sistem presidensial tidak ditentukan oleh formasi politik parlemen hasil pemilu legislatif. Lembaga presiden dan parlemen dalam sistem presidensial adalah dua institusi terpisah yang memiliki basis legitimasi berbeda. Oleh sebab itu, seharusnya ketentuan PT tidak lagi relevan diterapkan dalam pilpres 2019 karena ketentuan ini menjadikan pilpres tidak lagi independen terhadap hasil pileg.

Kedua, praktik di berbagai negara, pemilu serentak memunculkan terjadinya coattail effect di mana keterpilihan presiden akan mempengaruhi keterpilihan parlemen nasional. Artinya, besar kemungkinan partai yang memenangkan pilpres sekaligus juga akan memenangkan pileg. Dengan demikian, dukungan dari parlemen akan secara otomatis diperoleh oleh presiden/wakil presiden terpilih. Karenanya, dasar argumentasi MK bahwa PT dibutuhkan untuk menguatkan sistem presidensial karena presiden mendapat kepastian adanya dukungan dari parlemen juga tidak tepat karena mekanisme pemilu serentak itu sendiri sudah akan secara otomatis menciptakan dukungan tersebut.

Selain PT tidak sesuai dengan maksud dan tujuan dari pelaksanaan pemilu serentak, ketentuan ini juga melanggar prinsip keadilan pemilu (electoral justice), di mana setiap peserta pemilu punya hak pencalonan (candidacy right) yang sama. Pemberlakuan PT menjadikan partai politik baru yang belum menjadi peserta Pemilu 2014 otomatis kehilangan hak mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden. Padahal, adil adalah salah satu asas yang mesti ada dalam pelaksanaan pemilu sebagaimana tercantum dalam Pasal 22E ayat (1) UUD 1945, Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali.

 

[1] Dosen Hukum Tata Negara dan Peneliti pada Pusat Studi Hukum dan Konstitusi FH UII. Kandidat Doktor FH UI Jakarta.