Tag Archive for: tindak pidana

Haruskah Ahok Non-Aktif?

Jamaludin Ghafur, SH., MH[1]

 

Polemik tentang apakah Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) harus non-aktif atau tidak sebagai Gubernur DKI Jakarta kembali mengemuka. Setelah sebelumnya Prof. Dr. Moh. Mahfud MD yang meminta Presiden untuk menonaktifkan Ahok, kini permintaan yang sama disampaikan oleh Pimpinan Pusat (PP) Pemuda Muhammadiyah. Pasalnya, masih aktifnya Ahok sebagai gubernur padahal dirinya sudah berstatus tersangka telah menimbulkan kegaduhan sosial dan kebisingan politik sehingga bangsa Indonesia menjadi tidak produktif.

Akar polemik non-aktif tidaknya Ahok ini sebenarnya berasal dari perbedaan tafsir di antara para pakar hukum dalam memaknai ketentuan Pasal 83 Ayat 1 UU Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, yaitu:“Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah diberhentikan sementara tanpa melalui usulan DPRD karena didakwa melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun…”.

Jaksa dalam dakwaannya menuntut Ahok dengan Pasal 156 KUHP dengan ancaman hukuman paling lama 4 tahun penjara dan Pasal 156 a soal Penodaan Agama yang ancaman hukumannya paling lama 5 tahun penjara.

Moh. Mahfud MD secara tegas mengatakan bahwa Presiden harus menonaktifkan Ahok, jika tidak maka Presiden harus mengeluarkan Perpu untuk mencabut Pasal 83 UU (Pemda). Sementara Refly Harun menyatakan tidak ada alasan untuk menonaktifkan Ahok karena menurut Pasal 83 UU Pemda, kepala/wakil kepala daerah harus non-aktif jika melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 tahun, sementara Ahok diancam paling lama 5 tahun. Ia menambahkan, kalau paling singkat 5 tahun, itu kategori kejahatan berat. Tapi, kalau paling lama 5 tahun, itu masuk kejahatan menengah atau ringan.

 

Rule of Law dan Rule of Ethic

Sebagai pemimpin, status tersangka Ahok dapat dilihat dari dua sudut pandang yaitu hukum (the rule of law) dan etika (the rule of ethic).

Secara hukum, sebagaimana dikemukakan di atas boleh jadi kita masih bisa berdebat dalam memaknai Pasal 83 ayat (1) UU Pemda sehingga pendapat akan menjadi dua yaitu harus non aktif dan tidak harus non aktif.

Bahkan, dalam hukum ada asas praduga tidak bersalah (presumption of innocent). Artinya, siapapun yang didakwa melakukan kejahatan belum tentu yang bersangkutan bersalah. Namun demikian, masyarakat sudah muak dengan asas ini karena dalam praktiknya tidak digunakan secara proporsional, bahkan cenderung digunakan untuk melindungi mereka-mereka yang memiliki kekuasaan ekonomi dan politik untuk berlindung mencari pembenaran atas kesalahan yang mereka lakukan.

Namun secara etika, sangat tidak pantas seorang pemimpin yang melakukan pelanggaran hukum – sekecil apapun ancaman hukumnya – tetap mempertahankan jabatannya. Status tersangka menunjukkan bahwa dirinya gagal memberi tauladan kepada rakyat tentang bagaimana seorang pemimpin menghormati hukum. Jika pemimpin saja boleh tetap mempertahankan jabatannya padahal sedang dalam tuntutan hukum, maka jangan salah jika masyarakat menganggap bahwa melanggar hukum bukan merupakan sebuah kejahatan.

Masyakarat sudah terlalu jenuh dengan jargon bahwa Indonesia sebagai negara hukum dimana hukum adalah panglima tetapi pada saat yang bersamaan masyarakat juga banyak menyaksikan hukum dilecehkan oleh mereka yang punya kuasa dan harta. Efeknya, hukum kemudian banyak dipersepsi orang, hanya tajam ke bawah tapi tumpul ke atas.

Bagi mereka yang mengatakan bahwa Ahok tidak perlu non aktif karena pelanggaran hukum yang dilakukan tergolong kecil yaitu penodaan agama bukan korupsi, merupakan sebuah kesesatan. Tidak ada satu kejahatan sekecil apapun, lebih-lebih jika itu dilakukan oleh seorang pejabat, boleh ditolerir dengan alasan apapun.

Kejahatan tentang penistaan agama meruapakan jenis kejahatan yang sama besarnya dengan korupsi karena ia melecehkan Sila Pertama Pancasila yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa dan Pasal 28E (1) UUD 1945 tentang jaminan kebebasan setiap orang untuk memeluk agama dan beribadat menurut agamanya. Padahal dalam sumpahnya, pejabat negara bersumpah bahwa ia akan menjaga dan menegakkan konstitusi.

Singkatnya, secara aturan hukum (the rule of law) kita boleh berbeda pendapat, tetapi secara etik (the rule of ethic), seorang pejabat dengan status terdakwa tetap mempertahankan kedudukannya hanya karena alasan dasar hukumnya debatable merupakan sikap yang sangat tidak dibenarkan.

Rakyat sudah lelah menyaksikan bagaimana hukum selalu dipermainkan sesuai selera mereka yang berkuasa. Slogan bahwa semua orang sama dihadapan hukum hanya isapan jempol belaka. Betapa banyak orang-orang lemah yang jika melakukan pelanggaran hukum langsung ditahan, sementara Ahok tampa alasan yang jelas dibiarkan bebas dan bahkan dengan leluasanya kembali menjabat sebagai Gubernur. Jangan sampai sikap diamnya Presiden dan Menteri Dalam Negeri atas persoalan ini dipersepsi oleh publik bahwa ia sedang melindungi kejahatan.

Nabi Muhammad telah memberi peringantan kepada kita bahwa banyak negeri di masa lalu menjadi binasa salah satu sebabnya adalah karena tiadanya keadilan. Dalam salah satu hadis, Rasul menegaskan, “Sesungguhnya orang-orang yang sebelum kamu telah binasa disebabkan mereka itu melaksanakan hukuman atas orang-orang yang hina dan memaafkan orang-orang yang mulia. Aku bersumpah, demi Allah yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, sekiranya Fatimah, putri muhammad, melakukannya (mencuri), niscaya akan kupotong tangannya”.

 

[1] Dosen Hukum Tata Negara dan Peneliti pada Pusat Studi Hukum dan Konstitusi FH UII Yogyakarta. Kandidat Doktor FH UI Jakarta.

Amar Putusan MK Tidak Melegalkan Zina dan LGBT

Taman siswa (28/12) pasca putusan MK yang menolak permohonan uji materi pasal 284, pasal 285, dan pasal 292 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Tuntutan ini diajukan oleh seorang pegawai negeri sipil, Euis Sunarti bersama sejumlah pihak. Seperti diketahui ketiga pasal terebut mengatur soal kejahatan terhadap kesusilaan. Read more

David-L-Tobing
David-L-Tobing

FH-UII. Permasalahan yang dihadapi oleh konsumen di Indonesia sebenarnya cukup kompleks. Oleh karena itu dibutuhkan suatu upaya untuk mencari solusi dan upaya hukum yang dapat ditempuh guna meningkatkan perlindungan terhadap konsumen di Indonesia. Hal ini disampaikan dalam Studium General tentang Perlindungan Konsumen pada tanggal 17 Juni 2014 lalu oleh David M.L. Tobing, SH., M.Kn di Ruang Sidang Utama Lantai III Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Jl. Tamansiswa 158 yang dihadiri oleh 150 peserta yang terdiri Dosen, Mahasiswa dan beberapa Instansi terkait.

Selaku komisioner Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) RI, beliau juga menjelaskan mengenai berbagai permasalahan konsumen di Indonesia dari ranah peraturan perundang-undangan hingga ranah prakteknya.

Substansi hukum di Indonesia tentang perlindungan konsumen diakomodir dalam UU No. 8 Tahun 1999 yang mengatur mengenai perlindungan konsumen baik secara preventif maupun secara represif. Selain dalam UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, UU tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga mengatur mengenai konsumen, namun dengan definisi yang berbeda. Dalam UU perlindungan konsumen, konsumen mencakup setiap orang (individu) yang memakai barang dan/atau jasa, sedangkan dalam UU OJK, konsumen adalah individu dan badan hukum, namun hanya terdiri atas konsumen pada lingkup tertentu, yaitu pada lembaga jasa keuangan. Akan tetapi, struktur hukum dan budaya hukum di Indonesia tentang perlindungan konsumen masih belum mendukung perlindungan terhadap konsumen yang efektif.

UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen sejatinya telah mengatur mengenai hak-hak konsumen seperti hak untuk didengar pendapat dan keluhannya, hak untuk mendapatkan informasi yang jelas, benar dan jujur, hak untuk dilayani secara benar, dan sebagainya. Akan tetapi, masih banyak pelaku usaha yang sering abai untuk memenuhi hak-hak sebagaimana diatur di dalam UU perlindungan konsumen tersebut. Oleh karena itu, seringkali terjadi sengketa antara konsumen dan perlindungan konsumen Dalam menyelesaikan sengketa tersebut, konsumen dapat menghubungi lembaga perwakilan konsumen ataupun lembaga penyelesaian sengketa. Lembaga perwakilan konsumen berwenang sebatas untuk menerima pengaduan dan memfasilitasi perdamaian antara kedua belah pihak, seperti BPKN (Badan Perlindungan Konsumen Nasional), Direktorat Permberdayaan Konsumen, LPKSM seperti YLKI, lembaga mediasi perbankan, Badan Mediasi Asuransi Indonesia dan OJK. Untuk menyalurkan pengaduan, BPKN menyediakan call center dengan nomor 153, sehingga konsumen dapat sewaktu-waktu menghubungi BPKN ketika menghadapi permasalahan. Sedangkan lembaga yang berwenang untuk menyelesaikan sengketa yakni Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) dan Pengadilan Negeri atau Arbitrase. Selain upaya tersebut, konsumen juga dapat melapor kepada polisi ketika terjadi tindak pidana. Hal ini pernah dilakukan dalam kasus pencurian pulsa sebesar Rp. 90.000,00 oleh provider PT. Telkomsel yang dilakukan oleh Bapak David M.L. Tobing. Hal tersebut akhirnya dapat mengubah kebiiakan, yakni Menkominfo melarang provider melakukan layanan berbayar tanpa seizin dari konsumen.

Akan tetapi, sikap konsumen di Indonesia sayangnya cenderung bersikap “nerimo” (pasrah) jika hak-hak sebagai konsumen dilanggar. Hal ini dibuktikan oleh riset pada tahun 1992 dan 2001 yang diselenggarakan oleh FH UI dan Departemen Perdagangan, bahwa konsumen Indonesia adalah konsumen yang pasrah dan tidak mau melakukan upaya hukum. Sikap pasrah ini disebabkan diantaranya karena masyarakat kita yang tidak suka konflik, access to justice yang berbelit-belit dan mahalnya proses pencarian keadilan, sehingga konsumen cenderung diam ketika haknya dilanggar oleh pelaku usaha. Oleh karena itu, masyarakat dihimbau untuk bersikap kritis dan mengupayakan hak-haknya yang dilanggar. Selain itu, diharapkan proses pencarian keadilan dapat diakses masyarakat lebih mudah dan murah, sebab kenyataan, BPSK yang seharusnya menyelesaikan perkara dalam waktu singkat, bisa sampai tiga atau empat tahun. Sehingga, konsumen dapat lebih mudah memperoleh keadilan dan dapat mendorong pelaku usaha meningkatkan pemenuhan hak-hak konsumen. | Materi Studium Generale |