Tag Archive for: uu

Haruskah Ahok Non-Aktif?

Jamaludin Ghafur, SH., MH[1]

 

Polemik tentang apakah Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) harus non-aktif atau tidak sebagai Gubernur DKI Jakarta kembali mengemuka. Setelah sebelumnya Prof. Dr. Moh. Mahfud MD yang meminta Presiden untuk menonaktifkan Ahok, kini permintaan yang sama disampaikan oleh Pimpinan Pusat (PP) Pemuda Muhammadiyah. Pasalnya, masih aktifnya Ahok sebagai gubernur padahal dirinya sudah berstatus tersangka telah menimbulkan kegaduhan sosial dan kebisingan politik sehingga bangsa Indonesia menjadi tidak produktif.

Akar polemik non-aktif tidaknya Ahok ini sebenarnya berasal dari perbedaan tafsir di antara para pakar hukum dalam memaknai ketentuan Pasal 83 Ayat 1 UU Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, yaitu:“Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah diberhentikan sementara tanpa melalui usulan DPRD karena didakwa melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun…”.

Jaksa dalam dakwaannya menuntut Ahok dengan Pasal 156 KUHP dengan ancaman hukuman paling lama 4 tahun penjara dan Pasal 156 a soal Penodaan Agama yang ancaman hukumannya paling lama 5 tahun penjara.

Moh. Mahfud MD secara tegas mengatakan bahwa Presiden harus menonaktifkan Ahok, jika tidak maka Presiden harus mengeluarkan Perpu untuk mencabut Pasal 83 UU (Pemda). Sementara Refly Harun menyatakan tidak ada alasan untuk menonaktifkan Ahok karena menurut Pasal 83 UU Pemda, kepala/wakil kepala daerah harus non-aktif jika melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 tahun, sementara Ahok diancam paling lama 5 tahun. Ia menambahkan, kalau paling singkat 5 tahun, itu kategori kejahatan berat. Tapi, kalau paling lama 5 tahun, itu masuk kejahatan menengah atau ringan.

 

Rule of Law dan Rule of Ethic

Sebagai pemimpin, status tersangka Ahok dapat dilihat dari dua sudut pandang yaitu hukum (the rule of law) dan etika (the rule of ethic).

Secara hukum, sebagaimana dikemukakan di atas boleh jadi kita masih bisa berdebat dalam memaknai Pasal 83 ayat (1) UU Pemda sehingga pendapat akan menjadi dua yaitu harus non aktif dan tidak harus non aktif.

Bahkan, dalam hukum ada asas praduga tidak bersalah (presumption of innocent). Artinya, siapapun yang didakwa melakukan kejahatan belum tentu yang bersangkutan bersalah. Namun demikian, masyarakat sudah muak dengan asas ini karena dalam praktiknya tidak digunakan secara proporsional, bahkan cenderung digunakan untuk melindungi mereka-mereka yang memiliki kekuasaan ekonomi dan politik untuk berlindung mencari pembenaran atas kesalahan yang mereka lakukan.

Namun secara etika, sangat tidak pantas seorang pemimpin yang melakukan pelanggaran hukum – sekecil apapun ancaman hukumnya – tetap mempertahankan jabatannya. Status tersangka menunjukkan bahwa dirinya gagal memberi tauladan kepada rakyat tentang bagaimana seorang pemimpin menghormati hukum. Jika pemimpin saja boleh tetap mempertahankan jabatannya padahal sedang dalam tuntutan hukum, maka jangan salah jika masyarakat menganggap bahwa melanggar hukum bukan merupakan sebuah kejahatan.

Masyakarat sudah terlalu jenuh dengan jargon bahwa Indonesia sebagai negara hukum dimana hukum adalah panglima tetapi pada saat yang bersamaan masyarakat juga banyak menyaksikan hukum dilecehkan oleh mereka yang punya kuasa dan harta. Efeknya, hukum kemudian banyak dipersepsi orang, hanya tajam ke bawah tapi tumpul ke atas.

Bagi mereka yang mengatakan bahwa Ahok tidak perlu non aktif karena pelanggaran hukum yang dilakukan tergolong kecil yaitu penodaan agama bukan korupsi, merupakan sebuah kesesatan. Tidak ada satu kejahatan sekecil apapun, lebih-lebih jika itu dilakukan oleh seorang pejabat, boleh ditolerir dengan alasan apapun.

Kejahatan tentang penistaan agama meruapakan jenis kejahatan yang sama besarnya dengan korupsi karena ia melecehkan Sila Pertama Pancasila yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa dan Pasal 28E (1) UUD 1945 tentang jaminan kebebasan setiap orang untuk memeluk agama dan beribadat menurut agamanya. Padahal dalam sumpahnya, pejabat negara bersumpah bahwa ia akan menjaga dan menegakkan konstitusi.

Singkatnya, secara aturan hukum (the rule of law) kita boleh berbeda pendapat, tetapi secara etik (the rule of ethic), seorang pejabat dengan status terdakwa tetap mempertahankan kedudukannya hanya karena alasan dasar hukumnya debatable merupakan sikap yang sangat tidak dibenarkan.

Rakyat sudah lelah menyaksikan bagaimana hukum selalu dipermainkan sesuai selera mereka yang berkuasa. Slogan bahwa semua orang sama dihadapan hukum hanya isapan jempol belaka. Betapa banyak orang-orang lemah yang jika melakukan pelanggaran hukum langsung ditahan, sementara Ahok tampa alasan yang jelas dibiarkan bebas dan bahkan dengan leluasanya kembali menjabat sebagai Gubernur. Jangan sampai sikap diamnya Presiden dan Menteri Dalam Negeri atas persoalan ini dipersepsi oleh publik bahwa ia sedang melindungi kejahatan.

Nabi Muhammad telah memberi peringantan kepada kita bahwa banyak negeri di masa lalu menjadi binasa salah satu sebabnya adalah karena tiadanya keadilan. Dalam salah satu hadis, Rasul menegaskan, “Sesungguhnya orang-orang yang sebelum kamu telah binasa disebabkan mereka itu melaksanakan hukuman atas orang-orang yang hina dan memaafkan orang-orang yang mulia. Aku bersumpah, demi Allah yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, sekiranya Fatimah, putri muhammad, melakukannya (mencuri), niscaya akan kupotong tangannya”.

 

[1] Dosen Hukum Tata Negara dan Peneliti pada Pusat Studi Hukum dan Konstitusi FH UII Yogyakarta. Kandidat Doktor FH UI Jakarta.

Indonesia Darurat Peraturan

Jamaludin Ghafur, SH., MH[1]

Indonesia sebagai negara hukum mewajibkan semua orang – tidak terkecuali – aparatur pemerintah untuk tidak sewenang-wenang, melainkan harus tunduk pada peraturan hukum yang berlaku. Dari sini, eksistensi peraturan menjadi sangat penting.

Namun demikian, arti penting kehadiran berbagai peraturan tersebut sedang dipersoalkan. Pasalnya, jumlah peraturan yang ada saat ini kurang lebih 60 ribu dianggap terlalu banyak sehingga membingungkan. Terlebih, beberapa isinya saling tumpang tindih bahkan tidak singkron dan saling bertentangan.

Efeknya, hukum yang seharusnya menjadi pelopor bagi perkembangan ekonomi justru menjadi faktor penghambat. Merespon hal ini, Presiden berencana akan membentuk tim reformasi regulasi dengan tugas utama merampungkan obesitas hukum yang sudah akut.

Banyaknya peraturan salah satunya disebabkan oleh anggapan bahwa tugas yang paling penting dari parlemen adalah membuat peraturan (fungsi legislatif). Padahal selain fungsi tersebut, masih ada fungsi lainnya yang juga tidak kalah penting yaitu budgeting dan pengawasan. Ketika fungsi legislatif dianggap sebagai yang paling penting maka tidak dapat dihindari bila salah satu ukuran keberhasilan kinerja dewan adalah seberapa banyak dia memproduk peraturan.

 

Civil Law Tradition dan Common Law Tradition

Selain itu, masifnya pembentukan peraturan juga dipengaruhi oleh sistem hukum yang dianut oleh sebuah negara. Secara tradisional, terdapat dua kelompok tradisi hukum yang utama di dunia, yaitu tradisi hukum kontinental (Civil Law Tradition), dan tradisi hukum anglo-saksis (Common Law Tradition).

Perbedaan keduanya antara lain didasarkan pada peranan hukum perundang-undangan dan yurisprudensi (putusan badan peradilan). Negara-negara yang tergolong ke dalam hukum kontinental menempatkan hukum (peraturan) perundang-undangan sebagai sendi utama sistem hukumnya. Sedangkan negara-negara yang menganut tradisi hukum anglo-saksis menjadikan yurisprudensi sebagai sendi utama sistem hukumnya.

Indonesia sebagai negara yang menganut Sistem Hukum Eropa Kontinental (civil law system), eksistensi peraturan perundang-undangan sangatlah penting, karena bila dikaitkan dengan asas legalitas yang berarti setiap tindakan pemerintah harus memiliki dasar pada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Maka, tanpa adanya dasar wewenang yang diberikan oleh suatu peraturan, segala macam aparat pemerintah tidak akan memiliki wewenang yang dapat mempengaruhi atau mengubah keadaan atau posisi hukum warga masyarakatnya.

 

Landasan Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan

Sekalipun pembentukan peraturan perundang-undangan merupakan konsekwensi dari sistem hukum kontinental yang dianut oleh Indonesia, namun bukan berarti proses pembentukannya dapat dilakukan secara serampangan. UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan telah mengatur bahwa agar peraturan yang dibuat berkualitas maka harus memenuhi tiga landasan: (1) landasan filosofis (filosofische grondslag) yaitu pertimbangan yang menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk mempertimbangkan pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum yang meliputi suasana kebatinan serta falsafah bangsa Indonesia yang bersumber dari Pancasila dan Pembukaan UUD 1945, (2) landasan sosiologis (sociologische grondslag) yaitu pertimbangan yang menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam berbagai aspek, dan (3) landasan yuridis (yuridische grondslag) yaitu pertimbangan yang menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk mengatasi permasalahan hukum atau mengisi kekosongan hukum dengan mempertimbangkan aturan yang telah ada, yang akan diubah, atau yang akan dicabut guna menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat.

Berdasarkan hal di atas, akar masalah peraturan perundang-undangan di Indonesia bersumber pada tiga hal: Pertama, secara umum pembentukan peraturan perundang-undangan lebih banyak berlandaskan pada aspek filosofis-yuridis dan sangat minim pada kajian sosiologisnya. Padahal tepat tidaknya rumusan peraturan sangat ditentukan oleh kebutuhan masyarakat. Sehingga, kurangnya kajian sosiologis ini menyebabkan beberapa peraturan tidak menjawab persoalan hukum yang dihadapi rakyat. Bahkan dalam konteks tertentu, kehadiran hukum justru menimbulkan problem baru di tengah-tengah masyarakat.

Kedua, kalaupun kajian sosiologisnya sudah cukup memadai, dalam banyak hal dikalahkan oleh kepentingan politik pejabat legislatif dan eksekutif. Sehingga substansi peraturan tidak lagi aspiratif.

Ketiga, tidak singkronnya beberapa peraturan yang ada disebabkan oleh ego sektoral antar instansi pemerintah. Masing-masing instansi membuat peraturan sesuai keinginannya yang tidak jarang bertentangan dengan keinginan instansi lainnya.

Untuk mengatasi hal tersebut, pemerintah harus banyak terjun ke masyarakat dan melihat secara langsung masalah-masalah yang dihadapi masyarakat sehingga substansi peraturan akan kaya secara sosiologis. Selain itu, tenaga ahli di bidang perundangan-undangan harus diperkuat dengan merekrut orang-orang yang berkompeten.

Pada akhirnya, banyaknya jumlah peraturan yang ada sebenarnya tidak jadi soal sepanjang keberadaannya mampu menopang tegaknya Indonesia sebagai negara hukum yang bermartabat dan tentu saja mendukung terhadap tercapainya tujuan bernegara yaitu mensejahterakan rakyatnya. Peraturan akan menjadi masalah jika peningkatan kuantitas tidak diimbangi oleh kwalitas yang baik.

[1] Dosen Hukum Tata Negara dan Peneliti pada Pusat Studi Hukum dan Konstitusi FH UII. Kandidat Doktor FH UI Jakarta.

Tamansiswa (18/8) Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) FH UII dalam rangka memperingai Hari Konstitusi menggelar Diskusi Terbuka dengan judul “Konstitusi sebagai Rumah Rakyat” Jum’at, 18 Agustus 2017 pukul 08.30-11.15 WIB di Ruang Sidang Lt. 3. Diskusi terbuka ini mengundang tiga orang pembicara yaitu Direktur PSHK Anang Zubaidy, SH., M.Hum., Jamaludin Ghofur, SH., MH., dan Maryam  Nur Hidayati, SH. Diskusi dihadiri oleh kalangan mahsiswa S2 dan S1 ilmu hukum, serta pemerhati politik dan ketatanegaraan. Read more

Penyadapan

Jamaludin Ghafur, SH., MH[1]

 

Sidang lanjutan kasus penistaan agama oleh Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) selasa 30/1/2017 menghadirkan saksi KH. Ma’ruf Amin ketua MUI dan sekaligus Rais Aam PBNU. Salah satu hal yang mengemuka dalam persidangan adalah pernyataan Ahok dan tim kuasa hukumnya yang berniat memproses secara hukum KH. Ma’ruf Amin karena dianggap telah berbohong dengan tidak mengakui dirinya telah menerima telepon dari Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada 7 Oktober 2016 yang disinyalir isinya adalah permohonan SBY kepada KH. Ma’ruf Amin untuk meluangkan waktu bertemu dengan Agus dan Sylvi dan minta segera dikeluarkan fatwa tentang penistaan agama. Padahal Ahok dan tim kuasa hukumnya mengklaim memiliki bukti rekaman.

Klaim ini tentu perlu dibuktikan dan ditelusuri darimana Ahok dan tim kuasa hukumnya mendapatkan rekaman tersebut. Hal ini sangat penting karena secara hukum tidak boleh ada aktifitas penyadapan pembicaraan siapapun kecuali untuk kepentingan hukum. Caranyapun harus dilakukan secara legal dan hanya boleh dilakukan oleh penegak hukum.

 

Penyadapan Menurut Hukum

Penyadapan merupakan salah satu cara untuk mencari alat bukti atas sebuah kejahatan. Misalnya, Pasal 12 ayat (1) UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK menyatakan, “Dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c, KPK berwenang melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan”. Hasil dari penyadapan akan berbentuk Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang menurut Pasal 5 ayat (1) UU ITE dapat dijadikan sebagai alat bukti yang sah.

Namun demikian, tidak semua orang dibenarkan melakukan penyadapan. Karenanya, bagi siapa saja yang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atau penyadapan atas Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dalam suatu Komputer dan/atau Sistem Elektronik tertentu milik orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun dan/atau denda paling banyak Rp800.000.000 (Pasal 47 UU ITE).

Putusan MK Nomor 20/PUU-XIII/2015 menyatakan, agar tidak semua orang dapat melakukan penyadapan (termasuk perekaman) maka “informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik” dalam Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 44 huruf b UU ITE dan Pasal 26A UU Tipikor baru bisa dijadikan alat bukti yang sah jika dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum lainnya yang ditetapkan berdasarkan undang-undang. Menurut MK, alat bukti yang diperoleh dengan cara yang tidak sah atau unlawful legal evidence, harus dikesampingkan oleh hakim atau dianggap tidak mempunyai nilai pembuktian oleh pengadilan.

Keharusan penyadapan dilakukan sesuai dengan peraturan dan harus dilakukan oleh penegak hukum sangat terkait dengan asas Indonesia sebagai negara hukum dan perlindungan atas hak asasi manusia. Penyadapan sekalipun sangat berguna untuk mengungkap suatu kejahatan, ia tetap merupakan sebuah tindakan yang melanggar privasi orang lain dan melanggar hak asasi manusia. Karenanya, pelaksanaannya harus sesuai aturan.

 

Keterlibatan Oknum Negara?

Jika pengakuan Ahok dan tim kuasa hukumnya valid, saya menduga penyadapan tersebut kecil kemungkinan dilakukan oleh perorangan karena prosesnya membutuhkan keahlian yang mumpuni dan ketersediaan alat yang sangat canggih dengan harga yang sangat mahal. tanpa adanya keterlibatan oknum penegak hukum. Karena Dugaan ini didasarkan pada kenyataan bahwa negara adalah institusi yang memiliki segalanya (kekuasaan dan fasilitas) untuk melakukan apapun terhadap warga negaranya termasuk penyadapan.

Kecurigaan ini tentu baru sebatas dugaan yang perlu dibuktikan kebenarannyanya. Presiden harus memberikan atensi terhadap kasus ini dan memerintahkan kepada aparat penegak hukum untuk mencari kebenarannya. Bila terbukti, tentu ini merupakan suatu tragedi bagi bangsa ini karena negara sudah tidak lagi berfungsi sebagai pelindung, tetapi justru menjadi ancaman terhadap kehidupan masyarakat. Padahal Pasal 28G ayat (1) UUD 1945 menjamin bahwa, “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi”.

Namun bila fiktif, Ahok dan tim kuasa hukumnya telah melakukan kebohongan publik dan perlu diberi sanksi yang tegas. Karena pernyataannya itu telah menimbulkan kegaduhan baru yang berpotensi menggagu stabilitas dan keutuhan bangsa.

Pengusutan secara tuntas atas kebenaran kasus ini menjadi sangat penting untuk memastikan agar setiap orang tidak mudah melontarkan pernyataan yang tidak didasari bukti, dan memastikan bahwa institusi negara berikut fasilitas yang dimiliki tidak digunakan selain hanya demi kepentingan dan perlindungan hak-hak masyarakat. Jika SBY sebagai mantan Presiden disadap secara semena-mena dan illegal, bagaimana dengan kita masyarakat biasa?

Memang kedua belah pihak telah saling memaafkan, hubungan sesame manusia tentu itu sah-sah saja. Namun persoalan hukum yang ada tetap harus diproses. Bagaimanapun Indonesia adalah negara hukum. Jangan sampai hukum dikangkangi oleh kekuatan politik yang justru akan mengulangi tragedy masa lalu sebagaimana terjadi masa masa orde baru.

[1] Dosen Hukum Tata Negara dan Peneliti Pusat Studi Hukum dan Konstitusi FH UII. Kandidat Doktor FH UI Jakarta.

Presidential Threshold

Jamaludin Ghafur, SH., MH[1]

 

Putusan MK nomor 53/PUU-XV/2017 menyatakan Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang mengatur syarat Presidential Threshold (PT) yaitu Pasangan Calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 % (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya, adalah konstitusional karena ketentuan ini dibutuhkan untuk memberi kepastian dukungan parlemen terhadap presiden sebagai salah satu syarat stabilitas kinerja presiden. PT berfungsi untuk memperkuat sistem presidensial.

Pertimbangan MK ini benar bahwa presiden butuh dukungan parlemen agar dapat bekerja secara efektif karena sebagian dari kewenangan presiden membutuhkan pertimbangan dan bahkan persetujuan dari parlemen. Tetapi, menggunakan PT sebagai cara untuk menggalang dukung parlemen adalah sebuah kekeliruan terlebih dalam pemilu yang akan diselenggarakan secara serentak karena keserentakan pemilu esensinya adalah dalam rangka membangun dukungan parlemen melalui coattail effect. Persyaratan PT telah menyebabkan pemilu serentak menjadi tidak bermakna.

 

Salah memaknai Presidential Threshold

Menurut J. Mark Payne (Pipit R. Kartawidjaja: 2016), dalam praktik ketatanegaraan di berbagai negara, Presidential Threshold adalah syarat seorang calon presiden untuk terpilih menjadi presiden, bukan syarat dukungan dalam pencalonan. Misalnya, untuk terpilih menjadi presiden dan wakil presiden harus memperoleh dukungan suara: di Brazil 50 persen plus satu, di Ekuador 50 persen plus satu atau 45 persen asal beda 10% dari saingan terkuat; di Argentina 45 persen atau 40 persen asal beda 10% dari saingan terkuat dan sebagainya.

Di Indonesia, ketentuan semacam ini telah diatur dalam Pasal 6A ayat (3 dan 4) UUD 1945 yaitu, Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang mendapatkan suara lebih dari lima puluh persen dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya dua puluh persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia, dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden. Dalam hal tidak ada pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih, dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum dipilih oleh rakyat secara langsung dan pasangan yang memperoleh suara rakyat terbanyak dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden.

Jadi, makna PT sebagai syarat dukungan pencalonan presiden/wakil presiden yang diatur dalam UU pemilu yang kemudian dinyatakan sah oleh MK sebenarnya merupakan sebuah kekeliruan dan penyimpangan.

 

Presidential Threshold dan Pemilu Serentak

Perubahan pelaksanaan pemilu yang sebelumnya terpisah antara pileg dan pilpres menjadi serentak di tahun 2019 bukan hanya sekedar perubahan waktu pelaksanaan tetapi mengandung nilai dan tujuan yang ingin dicapai. Pertama, menegakkan norma konstitusi. Pasal 22E ayat (2) UUD 1945 dengan tegas mengamanatkan bahwa pileg dan pilpres harus bersamaan. Oleh karenanya, pelaksanaan pileg dan pilpres yang sebelumnya terpisah merupakan pembangkangan konstitusional. Maksud dibalik pengaturan ini adalah untuk memurnikan sistem presidensial di mana pilpres tidak bergantung pada hasil pileg sebagaimana dalam sistem parlementer. Dalam sistem presidensial, mendasarkan pemilihan presiden terhadap hasil pemilu legislatif merupakan sebuah anomali. Sebab, basis legitimasi seorang presiden dalam skema sistem presidensial tidak ditentukan oleh formasi politik parlemen hasil pemilu legislatif. Lembaga presiden dan parlemen dalam sistem presidensial adalah dua institusi terpisah yang memiliki basis legitimasi berbeda. Oleh sebab itu, seharusnya ketentuan PT tidak lagi relevan diterapkan dalam pilpres 2019 karena ketentuan ini menjadikan pilpres tidak lagi independen terhadap hasil pileg.

Kedua, praktik di berbagai negara, pemilu serentak memunculkan terjadinya coattail effect di mana keterpilihan presiden akan mempengaruhi keterpilihan parlemen nasional. Artinya, besar kemungkinan partai yang memenangkan pilpres sekaligus juga akan memenangkan pileg. Dengan demikian, dukungan dari parlemen akan secara otomatis diperoleh oleh presiden/wakil presiden terpilih. Karenanya, dasar argumentasi MK bahwa PT dibutuhkan untuk menguatkan sistem presidensial karena presiden mendapat kepastian adanya dukungan dari parlemen juga tidak tepat karena mekanisme pemilu serentak itu sendiri sudah akan secara otomatis menciptakan dukungan tersebut.

Selain PT tidak sesuai dengan maksud dan tujuan dari pelaksanaan pemilu serentak, ketentuan ini juga melanggar prinsip keadilan pemilu (electoral justice), di mana setiap peserta pemilu punya hak pencalonan (candidacy right) yang sama. Pemberlakuan PT menjadikan partai politik baru yang belum menjadi peserta Pemilu 2014 otomatis kehilangan hak mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden. Padahal, adil adalah salah satu asas yang mesti ada dalam pelaksanaan pemilu sebagaimana tercantum dalam Pasal 22E ayat (1) UUD 1945, Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali.

 

[1] Dosen Hukum Tata Negara dan Peneliti pada Pusat Studi Hukum dan Konstitusi FH UII. Kandidat Doktor FH UI Jakarta.

Tahun Baru IKP FH UII Lantik Pengurus Baru
Tahun Baru IKP FH UII Lantik Pengurus BaruTamsis, ( ) Jurnal Hukum Edisi Oktober 2015 ini akan menyajikan berbagai persoalan hukum up to date yang beragam, antara lain tentang perlindungan Indikasi Geografis terhadap Damar Mata Kucing (Shorea Javanica) sebagai upaya pelestarian hutan di Kabupaten Pesisir Barat Propinsi Lampung. Pendaftaran indikasi geografis menjadi syarat mutlak agar produk lokal mendapat perlindungan. Damar Mata Kucing (shorea javanica) kini tengah menghadapi penurunan populasi, perubahan situasi dan kondisi masyarakat serta degradasi luas areal lahan. Pembatasan penebangan pohon Damar Mata Kucing sejatinya sudah dilakukan melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor S.459/Menhut-VI/2010, namun belum efektif. Pemahaman atas manfaat pendaftaran Indikasi Geografis oleh stakeholder dan masyarakat berperan penting agar repong damar tetap bertahan hidup dan dilindungi.
Artikel lainnya menyoroti tentang asas legalitas dalam Hukum Acara Pidana: kritikan terhadap Putusan MK tentang Praperadilan. Pentingnya asas legalitas (prosesuil) dalam penyelenggaraan hukum acara pidana dilandaskan pada pertimbangan untuk mencegah kesewenang-wenangan penguasa, in casu, pejabat penegak hukum pidana. Putusan MK dalam pengujian KUHAP telah memperluas lingkup praperadilan dan mengambil alih peran pembuat undang-undang. Satu hal yang terbaca di balik pertimbangan putusan tersebut adalah semangat MK untuk mengembangkan mekanisme pengawasan atas kinerja penyidik dalam penegakan hukum pidana. Sekalipun di sini sudut pandang yang dipilih adalah adanya asas legalitas prosesuil yang pada prinsipnya juga mengacu pada konsep negara hukum. Tujuannya adalah terselenggaranya due process ataupun fair trial penegakan hukum pidana yang sejalan dengan hukum, berkeadilan dan berwibawa.
Di samping kedua artikel tersebut, artikel selanjutnya mengkaji tentang konseling sebagai sanksi pidana tambahan pada Tindak Pidana KDRT. Sebagian besar Putusan KDRT di Pengadilan Negeri Yogyakarta dan Pengadilan Negeri Bantul dari tahun 2010-2014 hanya menggunakan Pasal 44 ayat (1) dan Pasal 44 ayat 4 UU PKDRT dalam memutuskan perkara KDRT. Pidana tambahan berupa konseling belum pernah ada karena tuntutan/dakwaan dari Jaksa hanya menggunakan Pasal 50 huruf b Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang PKDRT. Padahal, penerapan pidana tambahan konseling akan efektif jika diterapkan double track system dengan memaksimalkan kedua jenis sanksi secara proposional.
Materi lain yang dikaji adalah tentang pengaturan dan penegakan hukum pengupahan dalam sistem hukum ketenagakerjaan. Pada hakikatnya, pekerja dengan pengusaha dalam proses produksi, mempunyai kedudukan yang sama atau sejajar berdasarkan perjanjian kerja atau perjanjian kerja bersama. Pengaturan dan penegakan hukum pengupahan dalam upaya mewujudkan kesejahteraan sosial pekerja telah dijamin oleh Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 28 UUD NRI Tahun 1945. Tetapi, UUK dengan praktik labour market system dan PHK sepihak oleh pengusaha telah melemahkan amanat konstitusi.
Akhir kata, kami tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada mitra bestari yang telah berkenan mengoreksi artikel jurnal hukum dan kepada penulis yang kritis menyikapi berbagai fenomena penegakan hukum di Indonesia. Semoga Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM ini dapat menambah cakrawala keilmuan, pengetahuan, dan wawasan bagi pembaca yang budiman.

Pembukaan Program PKPA FH UII 2015

Pembukaan Program PKPA FH UII 2015Tamansiswa, Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) FH UII menghadirkan pengajar tamu pada Senin 21 September 2015. Bertempat di Ruang Audiovisual FH UII, PKPA mengundang Shalih Mangara, SH., MH yang merupakan ketua Komisi Pendidikan Khusus Profesi Advokat (KP2AI) dan juga sebagai Dewan Pimpinan Nasional PERADI

Pada kesempatan tersebut, Shalih Mangara SH., MH menyampaiakan materi dihadapan 129 peserta PKPA tentang asal-usul dan pengertian Advokat, yang mana pengertian Advokat menurut UU No.18 Tahun 2003 tentang Advokat ( selanjutnya disebut UU No.18 Tahun 2000 dan UU No.18/2003 atau UU Advokat, dalam pasal 1 angka 1 dikatakan ” Advokat adalah orang berprofesi memberikan jasa hukum memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan UU ini”.

Selanjutnya, beliau juga memaparkan tentang sejarah organisasi Advokat yang bermula dari yang mana jumlah Advokat sangatlah terbatas, dan hanya ditemukan di kota-kota yang memiliki Landroad (Pengadilan Negeri) dan raad Van Justitie ( Dewan Pengadilan).

Pada angkatan XXXI tahun 2015 jumlah peserta PKPA FH UII berjumlah 129 peserta dari para lulusan Fakultas Hukum di 29 Universitas negri dan swasta di Indonesia seperti UII, UAJY,UP 45 Makasar, Univ.Samratulangi, Univ. Lambung Mangkurat , Univ. Brawijaya dan lain-lannya.

jurnal-hukum-ius-quia-iustum-no-4-vol-21-oktober-2014
jurnal-hukum-ius-quia-iustum-no-4-vol-21-oktober-2014
Assalamu’alaikum wr wb.
Memasuki bulan Oktober 2014, Indonesia telah mendapatkan Presiden dan Wakil Presiden terpilih hasil pilpres pada bulan Juli lalu. Berkaitan dengan peristiwa tersebut, Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM Volume 21 Nomor 4 Oktober 2014 kali ini hadir dengan menyajikan beragam isu, diantaranya menyoroti seputar dinamika momentum pesta demokrasi Indonesia. Artikel pertama mengangkat permasalahan seputar inkompatibilitas sistem pemilu dengan prinsip sistem pemerintahan presidensial di Indonesia. Desain sistem pemilu di Indonesia pasca reformasi terus mengalami perubahan yang signifikan. Paket UU pemilu yang menganut demokrasi majoritarian, dianggap tidak sesuai dengan sistem pemerintahan presidensial, apalagi jika dihadapkan pada realitas sistem multipartai. Peran DPR yang semakin bertambah kuat (superbody) berpotensi menyebabkan sistem pemerintahan presidensial berjalan tidak efektif.
Artikel selanjutnya masih membahas politik hukum sistem pemilu legislatif dan presiden tahun 2009 dan 2014 dalam Putusan Mahkamah Konstitusi. Lahirnya undang-undang pemilu tidak terlepas dari konfigurasi politik yang tercermin dalam sistem dan pelaksanaannya. Pasang surut perubahan substansi pasal pada paket UU pemilu menandai perubahan arah politik hukumnya. Putusan Mahkamah setidaknya memperlihatkan bahwa penegakan demokrasi substansial lebih diutamakan dibandingkan dengan demokrasi proseduralnya.
Artikel ketiga berisi kajian tentang pengisian jabatan hakim. Secara teoretis, Jabatan Hakim Agung dan Hakim Konstitusi bukanlah jabatan politik. Namun praktiknya, senantiasa terdapat dimensi politik dalam proses pengisian jabatan Hakim Agung dan Hakim Konstitusi tersebut. Adanya sejumlah persyaratan dan mekanisme pengisian Hakim Agung dan Hakim Konstitusi yang sangat kompleks, ternyata tidak mampu menghasilkan hakim yang berkualitas dan kredibel. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu sikap pengekangan diri guna menjaga reputasi kekuasaan kehakiman.
Beralih pada permasalahan selanjutnya mengenai asuransi tanggung jawab produk dan perlindungan terhadap konsumen. Konsekuensi dari perdagangan bebas yang paling nyata berupa kompetisi yang fair di antara produsen dan keseimbangan antara kepentingan produsen dengan konsumen. Kualitas produk menjadi indikator utama bagi konsumen, sedangkan biaya produksi yang rendah menjadi kepentingan utama produsen. Namun keseimbangan demikian sangatlah rentan. Kehadiran asuransi tanggung jawab produk sejatinya dapat memberikan jaminan kepada konsumen untuk penggantian kerugian yang dialaminya.
Akhirnya, besar harapan kami agar sejumlah artikel ini dapat menambah wawasan dan pengetahuan para pembaca sekalian. Tak lupa, kami haturkan terima kasih kepada mitra bestari yang berkenan memberikan saran dan rekomendasi yang konstruktif pada Jurnal Hukum ini dan juga kepada para penulis yang telah berupaya konsisten dalam berkarya untuk memperbaiki penegakkan hukum di negeri tercinta, Indonesia. Selamat membaca Wabillahittaufiq wal hidayah
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

| Daftar Isi | Abstrak |