Cryptocurrency sebagai Investasi di Era Milenial

Cryptocurrency sebagai Investasi di Era Milenial

Islam menganjurkan bagi umatnya untuk kaya, sebagaimana hadis yang berbunyi “Sa’ad bin Abi Waqqosh ra. mengatakan, Muhammad Rasulullah SAW bersabda ‘ Sesungguhnya Allah mencintai hamba-Nya yang bertakwa, yang kaya (kecukupan), dan yang tidak menampakkannya’. (HR. Muslim dan Ibnu Hibban)”. Dalam kaitannya dengan hadis tersebut, Rasulullah SAW menganjarkan kepada umatnya untuk menjadi pedagang yang jujur agar dapat menjadi kaya dan terhindar dari kefakiran dan kefasikan.

Di era milenial saat ini, selain dengan cara berdagang masyarakat juga dikenalkan dengan bentuk usaha lain yang juga memiliki prospek keuntungan tinggi yaitu investasi. Investasi sendiri dapat dilakukan dengan berbagai cara, mulai dengan cara membeli emas atau properti, melakukan investasi langsung dengan mendirikan suatu perusahaan atau bahkan dengan melakukan investasi tidak langsung dengan menanamkan modal di suatu usaha tertentu.

Perkembangan sistem transaksi online terutama perkembangan financial technology (fintech) yang terjadi memberikan cara baru yang memudahkan masyarakat dalam beriventasi. Salah satu bentuk perkembangan fintech dalam investasi yang sedang berkembang saat ini adalah investasi dalam cryptocurrency seperti misalnya bitcoin, ethereum, ripple, waves, dan lainnya. Salah satu hal yang menarik dari bentuk investasi ini jika dikaji dari aspek hukum Islam adalah mengenai kedudukan cryptocurrency itu sebagai suatu benda, mengingat bahwa salah satu syarat sahnya akad adalah keabsahan objek tersebut sebagai benda yang dibenarkan oleh syar’i.

Dalam fikih Islam, benda sering dipersamakan dengan harta meskipun definisi yang diberikan dapat berbeda. Harta dalam hukum Islam disebut dengan istilah al-mal atau al-amwal (dalam bentuk jamaknya) yang artinya “condong” atau “berpaling” dari satu posisi kepada posisi yang lainnya. Berdasarkan pengertian itu, harta dapat dimaknai sebagai segala sesuatu yang naluri manusia condong atau cenderung kepadanya, dapat diserah terimakan dan orang lain terhalang untuk mempergunakannya. Disisi lain, harta atau benda juga dapat didefinisikan sebagai setiap materi (‘ain’) bernilai yang beredar dikalangan manusia, dapat dikuasai, dapat disimpan, dan dapat diambil manfaatnya menurut kebiasaan. Definisi tersebut memberikan gambaran bahwa unsur-unsur benda adalah: (Ghufron A. Mas’adi, 2002:10-12)

  1. Bersifat materi (‘aniyah), atau mempunyai wujud nyata.
  2. Dapat disimpan untuk dimiliki.
  3. Dapat dimafaatkan.
  4. Uruf (adat kebiasaan) masyarakat memandangnya sebagai harta.

Dikaji berdasarkan unsur pertama, cryptocurrency memang bukan benda yang memiliki wujud. Manusia tidak dapat melihat ataupun menyentuh cryptocurrency secara nyata. Cryptocurrency sendiri lebih kepada formula data komputer yang memiliki format dan karakteristik khusus yang hanya berada di dalam komputer atau jaringan internet, bukan mengacu kepada suatu hak yang dimiliki seseorang sebagaimana yang terkandung dalam surat berharga. Meskipun demikian, tidak terpenuhinya unsur yang pertama tersebut tidak kemudian menyebabkan cryptocurrency tidak dapat dikategorikan sebagai benda. Hal ini sangat terkait dengan hukum dasar muamalah yang bersifat mubah, sehingga perkembangan konsep-konsep benda dalam muamalah boleh saja terjadi. Terlebih lagi jika dikaitkan dengan unsur keempat yaitu urf, kedudukan cryptocurrency sebagai benda lebih disebabkan oleh pengakuan masyarakat atau adat kebiasaan masyarakat yang memang mengakuinya sebagai benda yang dapat diperdagangkan.

Selain itu, hal yang harus diperhatikan dari investasi menggunakan cryptocurrency adalah mengenai proses transaksi yang dilakukan dan bagaimana proses terjadinya keuntungan yang ditawarkan kepada investor. Dalam hukum Islam, kehalalan suatu transaksi setidaknya disebabkan oleh terhindarnya transaksi itu dari tiga hal, yaitu riba, maysir, dan gharar.

Secara bahasa riba berarti tumbuh subur, tambahan (Al-Ziyadah), berkembang (An-Nuwuw), meningkat (Al-Irtifa’), & membesar (Al-’uluw). Riba dapat dimaknai sebagai tambahan yang disyaratkan dalam transaksi bisnis atau utang piutang tanpa adanya padanan (’iwad) yang dibenarkan syari’ah atas penambahan tersebut (Zainuddin Ali, 2010:88). Investasi cryptocurrency bukanlah jenis investasi yang didasarkan atas utang piutang, oleh karena itu pada umumnya terlanggarnya larangan riba dalam bentuk investasi ini akan relatif kecil, kecuali jika para pihak memang sengaja mendesain transaksi yang mengandung riba di dalamnya.

Maysir adalah perjudian, atau gambling. Semua yang mengandung unsur judi (gambling) atau untung-untungan adalah dilarang. Sementara gharar adalah ketidakjelasan, atau sesuatu yang samar. Ketidakjelasan itu dapat karena objek, harga, dan/atau waktunya. Hingga saat ini, kedua larangan inilah yang belum dapat terjawab dengan jelas jika mengkaji investasi yang menggunakan cryptocurrency. Cryptocurrency memiliki nilai jual yang fluktuatif, naik dan turunnya nilai jual tersebut terjadi dengan sangat cepat tanpa ada penjelasan yang jelas, bahkan rumor saja dapat berpengaruh terhadap nilai jual ini. Keadaan ini seolah-olah memposisikan investor dalam permainan gambling atau perjudian. Dalam satu waktu investor memiliki potensi untung, sedangkan di waktu yang lain investor berpotensi rugi yang hanya didasarkan pada peruntungan karena tidak ada mekanisme dan penyebab yang jelas dalam menentukan fluktuasi harga cryptocurrency tersebut.

Ketidakjelasan yang terkandung dalam investasi cryptocurrency di atas juga dapat melanggar larangan gharar. Dalam konsep muamalah, suatu transaksi yang dilakukan oleh seseorang haruslah jelas dan tidak mengandung ketidakjelasan, seperti misalnya dalam transaksi jual beli ijon yang membeli buah pada suatu batang yang bahkan belum berbunga. Transansi seperti ini tentu saja memiliki ketidakjelasan yang sangat tinggi karena para pihak belum mengetahui objek yang akan dibeli baik dari aspek jumlah, kualitas maupun keberhasilan panen dari tanamana tersebut (harus dipahami, dasar pelarangan gharar adalah karena adanya ketidakjelasan, dengan demikian jika dalam transaksi tersebut ketidakjelasan itu dapat dihilangkan misalnya dengan ilmu pengetahuan maka larangan gharar juga dapat hilang).

Berdasarkan ha-hal tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa investasi dengan menggunakan cryptocurrency adalah haram jika dalam investasi itu mengandung unsur maysir dan gharar sebagaimana dijelaskan di atas. Namun umat Islam tidak boleh berhenti di satu titik dan menolak perkembangan yang terjadi. Hukum Islam adalah hukum yang belaku sepanjang masa, oleh karena itu umat Islam wajib menegakannya dengan berbagai macam perkembangan yang terjadi saat ini agar kemaslahatan selalu tercurah kepada umat Islam terutama di era Milenial ini. Wallahu a’lam bishawab.

released from uii news