Author: M. Syafi’ie, S.H., M.H.

Lecturer in Faculty of Law,  Universitas Islam Indonesia, Departement of Constitutional Law

 

Organisasi masyarakat sipil, salah satunya Perhimpunan Jiwa Sehat saat ini mempermasalahkan beberapa peraturan dan kebijakan yang mendiskriminasi difabel. Salah satu aturan yang digugat tentang pengampuan. Aturan pengampuan diatur pada Pasal 433 KUH Perdata yang berbunyi: “Setiap orang dewasa yang selalu berada dalam keadaan dungu, sakit otak atau mata gelap harus ditaruh di bawah pengampuan, pun jika ia kadang-kadang cakap mempergunakan pikirannya”.

Pengaturan kecakapan hukum lebih jauh tertera pada Pasal 1330 KUH Perdata yang berbunyi, “Tidak cakap untuk berbuat suatu perjanjian adalah: (1) orang-orang yang belum dewasa; (2) mereka yang ditaruh di bawah pengampuan; (3) orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh Undang-Undang da npada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu.

Pasal di atas dikritik dan realitasnya berdampak nyata, dimana difabel biasa ditolak menjadi pihak dalam kontrak perjanjian, asuransi, dan beberapa kontrak keperdataan. Pihak yang selalu diserahkan tanggungjawab umumnya pengampunya, atau keluarga dekatnya. Banyak ironi yang terjadi, khususnya bagi difabel mental yang harta miliknya dikendalikan oleh pengampu, dan si difabel mental tidak memiliki kuasa untuk mengendalikan hartanya sendiri. Akibatnya, harta milik difabel kerap beralih kepemilikan kepada pengampunya.

Kondisi ini menjadi masalah serius, sehingga aturan pengampuan dinyatakan diskriminatif kepada difabel, melanggar human rights, dan secara normatif bertentangan dengan UU No. 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Konvensi Hak-Hak Penyadang Disabilitas. Secara substansi Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas tegas menyatakan bahwa difabel termasuk didalamnya difabel mental memiliki legal capacity, diakui sebagai subyek hukum, tidak boleh didiskriminasi atas dasar disabilitasnya, dan pemerintah wajib menyediakan akses dukungan yang dibutuhkan dalam melaksanakan kapasitas atau kecakapan hukum difabel.

Konvensi Hak-Hak Penyadang Disabilitas mengembangkan sistem baru, yaitu ‘Supported Decision Making atau ‘Sistem Dukungan Dalam Pengamiblan Keputusan’. Sistem ini menegaskan bahwa difabel mental tidak serta merta dihilangkan kapasitas hukumnya dengan jalan pengampuan yang notabene menggunakan model Substituted Decision Making atau Sistem Substitusi dalam Pengambilan Keputusan. Saat ini, idealnya memang ada sistem yang membantu orang-orang dengan hambatan-hambatan tertentu untuk membuat keputusan, dan tidak dihilangkan atau digantikan dengan model subsititusi dalam pengampuan. Apalagi sebagaimana para ahli katakan, difabel mental yang salah satunya  skizofrenia gangguannya pikirannya hanya bersifat kambuhan dan tidak terus menerus.

Telaah kecakapan hukum bagi difabel mental ini menarik untuk dikaji lebih jauh, khususnya bagaimana tinjauan hukum Islam dan konteks maslahat yang perlu diambil dari dua sistem hukum yang tidak harmonis: apakah pengampuan yang menggunakan model substitusi (pengganti) atau sistem dukungan dalam pengambilan keputusan?

KECAKAPAN DALAM ISLAM

Dalam kajian ushul fiqh, kecakapan hukum atau legal capacity dikenal dengan konsep ahliyahyaitu kecakapan menangani suatu urusan. Konsep ahliyah mencakup ahliyah al-wujub (kepantasan seseorang manusia untuk menerima hak-hak dan dikenai kewajiban) dan ahliyah al-ada’ (kecakapan bertindak secara hukum dan pantas dimintai pertanggungjawaban hukum).

Semua orang dalam hukum Islam dinyatakan ahliyah al-wujub, walau pun orang-orang tersebut dinyatakan tidak sempurna (naqish). Contohnya, anak-anak yang berada dalam kandungan ibunya, menurut para pakar telah dinyatakan memiliki memiliki hak, bahkan orang-orang yang dianggap memiliki gangguan kejiwaan (majnun) tetap dianggap memiki hak. Kelompok ahliyyah al-wujub ini ada dua, pertama, ahliyyah wal-wujub an-naqisah yaitu kecakapan seseorang untuk menerima hak, tetapi tidak menerima kewajiban, contohnya bayi dalam kandungan. Kedua, ahliyyah wal-wujub al-kamilah yaitu kecakapan seseorang untuk dikenai kewajiban dan menerima hak sekaligus.

Dalam konteks kecakapan bertindak, dalam fiqh Islam dikatakan bahwa tidak semua orang dapat dikatakan sebagai ahliyyah al-ada’ (cakap bertindak) secara sempurna. Tidak semua orang dinyatakan dapat melakukan tindakan hukum. Mengapa? Karena ada beberapa indikator yang menjadi alasan penghalang seseorang dalam melakukan tindakan hukum. Dalam hukum Islam, orang yang mengalami gangguan jiwa total dan terus menerus dinyatakan tidak memiliki ahliyah al-ada’. Tindakannya tidak menjadi tindakan hukum. Orang-orang yang mengalami gangguan jiwa total dinyatakan tidak memiliki kewajiban menjalankan syari’at dalam Islam. Orang yang diwajibkan menjalankan syariat yang disebut mukallaf indikatornya dewasa dan berakal.

Orang yang dewasa dan sempurna akalnya memiliki kewajiban menjalankan kewajiban syariat Islam. Karena itu, difabel yang sekedar memiliki hambatan penglihatan, pendengaran, wicara, dan mobilitas tidak lepas dari tanggungjawab melaksanakan kewajiban syariat  atau hukum dalam Islam. Dalam hal ini, mereka bisa disebut memiliki kecakapan bertindak (ahliyyah al-ada’).

 Bagaimana dengan difabel mental? Dalam UU No. 8 Tahun 2016, difabel mental terdiri dari dua, yaitu : psikososial diantaranya skizofrenia, bipolar, depresi, aunxitas, dan gangguan kepribadian. Kedua, disabilitas perkembangan yang berpengaruh pada kemampuan interaksi sosial diantaranya autis dan hiperaktif. Merujuk ketentuan ini, difabel mental yang memiliki hambatan paling serius ialah skizofrenia. Namun demikian menurut ahli, skizofrenia ialah gangguan kejiwaan yang biasdanya terjadi dalam jangka panjang. Namun demikian, skizofrenia tidak terjadi secara terus menerus, tetapi bersifat episodik. Fungsi akal pikirannya bisa hilang saat dalam kondisi relaps atau kambuh saja.

Dalam konteks hukum Islam, dewasa dan akal menjadi kunci kecakapan bertindak, saat akal dan kesadaran hilang maka saat itu pula kecakapan bertindak tidak diberikan. Kondisi ini menegaskan karena difabel skizofrenia tidak sepenuh waktunya kehilangan akal, tetapi pada saat relaps (kambuh) saja. Artinya, saat akal pikiran difabel mental tidak relaps, maka pada saat itulah kewajiban hukum wajib ia lakukan, dan pada saat bersaman ia memiliki hak dan dapat dikatakan cakap untuk bertindak (ahliyah al-ada’).

AKTUALISASI MASLAHAT

Dalam kajian usul fiqh, maslahah ditempatkan sebagai bagian metode penggalian hukum Islam yang dikenal dengan maslahah mursalah, dan dalam kajian maqosid syariah, maslahah ditempatkan sebagai motivasi dan tujuan universal daripada hukum Islam, dimana keberadaan hukum Islam di tengah perubahan tempat dan waktu yang silih berganti selalu akan berkontribusi pada pencapaian nilai kemanfaatan untuk kepentingan umat manusia.

Maslahat diartikan dengan faedah, kepentingan, dan kemanfataatan. Pemikir lain mengartikan maslahah dengan sebab atau sumber sesuatu yang baik dan bermanfaat (a cause or source of someting good and beneficial). Maslahah juga sering diartikan dengan kepentingan umum (public interest).

Dalam konteks kecakapan hukum difabel mental, dimana pada Pasal 433 KUH Perdata dinyatakan berada di bawah pengampuan, aturan ini dalam banyak hal telah dikritik karena telah melahirkan kemudaratan, praktik diskrimiminatif, dan melanggar hak-hak difabel. Mendasarkan pada kondisi ini, maka sudah selayaknya sistem pengampuan yang merujuk pada model Substituted Decision Making diubah dan ditranformasi dengan system Supported Decision Making atau Sistem Dukungan dalam Pengambilan Keputusan yang secara konseptual sejalan dengan human rights, nilai maslahat, serta menghargai harkat dan martabat kaum difabel yang rentan.

 

 

This article have been published in Sindo Newspaper, 4 January 2022.

Author: M. Syafi’ie, S.H., M.H.

Lecturer in Faculty of Law,  Universitas Islam Indonesia, Departement of Constitutional Law

 

Pandemi Covid-19 menghantui seluruh umat manusia dunia saat ini. Ribuan orang meninggal. Dampak lainnya bermunculan, salah satunya rasa cemas, takut, stres, dan depresi. ­­­Kementrian Kesehatan mencatat bahwa selama pandemi Covid sampai Juni 2020, setidaknya terdapat 277 ribu kasus kesehatan jiwa di Indonesia. Angka ini mengalami peningkatan dibanding tahun 2019. Pada tahun 2021, WHO menjelang Peringatan Hari Kesehatan Jiwa 10 Oktober merilis data mengejutkan bahwa hampir 1 milyar orang, atau 1 dari 7 manusia dunia terkena gangguan mental.

Data di atas memberikan gambaran bahwa pandemi dengan ragam masalahnya seperti pemutusan hubungan kerja, usaha yang kolaps, informasi Covid-19 yang dramatis, dan beberapa kondisi eksternal lain yang mengakibatkan kekhawatiran berlebih. Kondisi ini juga memperlihatkan bahwa Kesehatan jiwa menjadi penyebab membesarnya jumlah difabel mental di dunia. Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 mendefinisikan difabel mental sebagai orang yang terganggu fungsi pikir, emosi, dan perilaku, antara lain : (a) psikososial diantaranya skizofrenia, bipolar, depresi, anxitas, dan gangguan kepribadian; dan (b) disabilitas perkembangan yang berpengaruh pada kemampuan interaksi sosial diantaranya autis dan hiperaktif.

Membesarnya jumlah difabel mental dengan ragam faktornya menjadi tantangan tersendiri, khususnya bagaimana pemangku kebijakan dapat memastikan interaksi sosial, partisipasi, layanan Kesehatan, dan hak-hak difabel mental dapat terpenuhi. Ada banyak sektor yang harus diperbaiki. Salah satu yang penulis ingin ulas ialah sektor di bidang hukum, di mana saat difabel mental berhadapan hukum, baik sebagai korban, pelaku, dan atau pun saksi, proses hukum harapannya dapat menjamin pemenuhan hak atas peradilan yang fair.

Tantangan Hukum

Salah tantangan serius penanganan difabel mental ialah bagaimana mengenali tingkat kesadaran tindakan difabel saat melakukan tindakan hukum. Difabel mental yang terkatagori depresi dan bipolar mungkin mudah identifikasi dan menilai pertanggungjawabannya, tetapi pasti akan sangat sulit kalau difabel mentalnya terkatagori skizofrenia. Butuh pelibatan ahli untuk menilai, apakah tindakan seorang skizofrenia dalam kondisi relaps (kambuh), dan atau dalam kondisi sadar.

Skizofrenia menurut ahli dikatakan sebagai gangguan kejiwaan yang terjadi dalam jangka panjang. Gangguannya menyebabkan penderitanya mengalami halusinasi (mendengar suara atau melihat hal-hal yang bagi orang lain tidak), delusi/waham (keyakinan yang bagi orang lain tidak berdasar), kekacauan berfikir, dan memperlihatkan perubahan perilaku. Saat dalam kondisi relaps penderita skizofrenia umumnya sulit membedakan antara kenyataan dan pikiran lain yang menyelimutinya.

Dalam kasus pidana, pertanyaan yang mengemuka :  apakah seseorang yang mengalami skizofrenia dapat dimintai pertanggugjawaban hukum? Kapan ia bisa bertanggungjawab? Pasal 44  ayat (1) KUHP berbunyi “Tidak dapat dipidana barangsiapa mengerjakan suatu perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabnkan kepadanya, sebab kurang sempurna akalnya atau sakit berubah akal.”  Ketentuan ini dikenal dengan alasan pemaaf  pelaku tindak pidana karena dianggap kurang sempurna akalnya.

Dalam kasus perdata, pertanyaan yang mengemuka : apakah seseorang skizofrenia, bipolar, anxietas, dan beberapa difabel mental yang lain dianggap cakap melakukan perbuatan hukum? Merujuk pada Pasal 433 KUH Perdata yang berbunyi, “Setiap orang dewasa yang selalu berada dalam keadaan dungu, sakit otak atau mata gelap harus ditaruh di bawah pengampuan, pun jika ia kadang-kadang cakap mempergunakan pikirannya…” Bunyi pasal ini jelas menghilangkan kapasitas hukum difabel skizofrenia, bahkan ragam difabel yang lebih luas. Tidak cukup jelas juga bagaimana mekanisme dan pengawasan pengampuan difabel mental sehingga hak-hak keperdataannya tidak terciderai sebagaimana terjadi pada sebagian besar difabel mental yang hak miliknya diambil alih oleh pengampunya.

Secara umum, substansi pasal KUHP dan KUH Perdata sudah tidak selaras dengan Undang-Undang No. 19/2011 tentang Pengesahan Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas dan Undang-Undang No. 8/2016 tentang Penyandang Disabilitas. Dalam dua regulasi ini sangat tegas bahwa difabel mental dengan ragam hambatannya memiliki legal capacity, diakui sebagai subyek hukum, harus diberlakukan setara di hadapan hukum, dan tidak boleh didiskriminasi atas dasar disabilitasnya.

Pasal 12 Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas menyatakan bahwa negara wajib mengambil Langkah-langkah yang tepat untuk menyediakan akses bagi penyandang disabilitas terhadap bantuan yang mungkin mereka perlukan dalam melaksanakan kapasitas hukum penyandang disabilitas. Saat ini sudah dikembangkan konsep supported decision making, dimana difabel mental tidak serta merta dihilangkan kapasitas hukumnya dengan jalan pengampuan yang tidak jelas kapan berakhirnya, tetapi difabel tersebut semestinya dibantu oleh pihak terpercaya dalam membuat keputusan. Konsep supported decision making dinilai menjadi jalan keluar dimana banyak difabel di Indonesia saat ini telah dimatikan hak-hak keperdataannya.

Tantangan lain saat difabel mental berhadapan hukum ialah pada prosedur acaranya, di mana aparat penegak hukum, baik itu kepolisian, kejaksaan dan hakim di pengadilan harus memastikan pemenuhan akomodasi yang layak. Beberapa hal yang harus dipastikan sesuai Peraturan Pemerintah No. 39/2020 yaitu terkait penilaian personal (profil assessment) yang diajukan kepada dokter atau psikolog/psikiater, penyediaan penerjemah, penyediaan pendamping disabilitas, penyediaan pendamping hukum, pemenuhan layanan dan sarana prasarana yang aksesibel, serta aparat penegak hukum yang menangani kasus harus memahami isu disabilitas.

Tangungjawab berikutnya dan saat ini telah dikawal oleh banyak jaringan aktifis difabel ialah bagaimana prosedur acara yang baru diatur dalam Peraturan Pemerintah semestinya dikembangkan ke dalam peraturan dan kebijakan internal institusi peradilan, baik itu Peraturan Mahkamah Agung, Peraturan Kejaksaan Agung, dan atau Peraturan Kapolri.

This article have been published in Republika Newspaper, 5 November 2021.

Author: Umar Haris Sanjaya, S.H., M.H.

Lecturer in Faculty of Law, Universitas Islam Indonesia, Departement of Private Law

 

Deklarasi pencegahan perkawinan anak yang digagas oleh Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo bersama Pemerintah Kabupaten/kota di Jawa Tengah pada 29 Juni 2019 di Grobogan  patut mendapatkan apresiasi (Koran KR edisi 1 juli 2019). Pencegahan ini dilakukan dalam rangka memperingati Hari Keluarga Nasional dan Hari Anak Nasional di wilayah Jateng. Upaya pencegahan terhadap perkawinan anak tentunya memperhatikan dampak dari terjadinya perkawinan anak dari sisi psikologi, ekonomi, perkembangan dan yang terutama dalam rangka menciptakan ketahanan keluarga. Dampak paling nyata dari perkawinan anak adalah peningkatan perceraian yang selalu meningkat, hal ini dilihat dari data pemerintah kabupaten kota dan berkas masuk di pengadilan bahwa permohonan perceraian didominasi oleh pasangan muda. Tentunya deklarasi tersebut dilataerbelakangi atas dampak perceraian yang meningkat serta demi mewujudkan cita-cita bangsa tentang pembangunan nasional.

Salah satu pembangunan nasional yang terkait dengan masalah ini adalah pembangunan ketahanan keluarga. Ketahanan keluarga merupakan cita-cita yang menjadi tujuan pada Undang-Undang No. 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga, bahwa suatu pembangunan nasional mencakup semua dimensi yang salah satunya adalah pembangunan keluarga. Salah satu modal pembangunan keluarga adalah penduduk yang berkualitas, kata berkualitas ini bila diutarakan akan mengarah pada beberapa aspek seperti pengendalian angka kelahiran, penurunan kematian, peningkatan ketahanan keluarga dan kesejahteraannya. Sehingga penduduk negara yang berkualitas sisi ketahanannya yang dibentuk dibangun, maka akan berdampak pada peningkatan pembangunan nasional.

Di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) sendiri angka perceraian (pasangan relatif muda) juga mengalami tren peningkatan, khususnya terjadi daerah Gunungkidul. Sebagian besar alasan perceraian tersebut dilatarbelakangi oleh masalah ekonomi. Sebagian besar pihak yang ingin bercerai justru di inisiasi dari pihak istri sebagai penggugat dari pada suami yang menceraikan istrinya.

Pencegahan terhadap perkawinan anak yang digagas di Jawa Tengah perlu diapresiasi dan didorong agar setiap setiap daerah di Indonesia ini memperhatikan gerakan ini. Artinya pemerintah sudah memberikan atensi terhadap masyarakat terhadap perkawinan yang dilakukan masih dibawah umur (belum dewasa). Sejatinya gerakan ini perlu dikawal serta diimplementasikan di jajaran teknis oleh dinas-dinas terkait dijajaran pemerintahan yang berkaitan dengan urusan perkawinan. disamping itu gerakan ini perlu disosialisasikan ke masyarakat kenapa perlu atensi yang terhadap perkawinan anak ? bisa jadi masyarakat justru mempunyai pemahaman yang berkebalikan dari pemerintah tentang perkawinan anak.

Sosialisasi nyata juga perlu di sampaikan kepada Pengadilan Agama dan Kementerian Agama, mengingat lembaga ini yang mengawal dan berwenang terhadap urusan perkawinan bagi agama Islam. jangan hanya berhenti pada ranah deklarasi tetapi Pengadilan Agama memberikan putusan/penetapan dispensasi perkawinan pada pemohon perkawinan anak. Mengingat dispensasi perkawinan adalah produk hukum yang harus dihormati dan dilaksanakan oleh pemerintah. Jangan sampai gerakan yang sudah baik atas tujuan dan manfaatnya, tetapi dalam praktek berkebalikan dengan masih diizinkannya dispensasi perkawinan dari pengadilan agama.

Dispensasi perkawinan adalah produk hukum (penetapan) berdasarkan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 apabila ada penyimpangan perkawinan dari sisi usia perkawinan seperti contohnya adalah perkawinan (anak)  dibawah umur. Hal ini tertuang pada pasal 7 ayat 2 dimana Pengadilan atau pejabat lain yang berwenang dengan alasan sudah di izinkan (ditunjuk) oleh kedua orang tua dari masing-masing pasangan. Tentunya bila ada dispensasi dari pengadilan, maka dispensasi merupakan perintah dari Undang-Undang yang ada pada pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan, sehingga tidak bijak bila dispensasi disimpangi.

Untuk mewujudkan pencegahan perkawinan anak kiranya perlu di duduk bersama antara unsur eksekutif (pemerintah sebagai pemangku kepentingan perkawinan) bersama unsur yudikatif (Pengadilan) dalam memformulasikan ide dan gagasan pada kontek mencegah perkawinan anak. Tidak mungkin dapat mencegah perkawinan anak bila dalam perkawinan anak secara legal boleh dilakukan yang itu semua didasari didalam Undang-Undang.

Sebagai langkah awal, deklarasi pencegahan perkawinan anak ini patut mendapatkan apresiasi tinggi dan tentunya upaya itu menjadi positif sebagai solusi peningkatan ketahanan keluarga. Secara tidak langsung pemerintah daerah provinsi Jawa Tengah sudah dapat mempelopori gerakan ini.

This article have been published in rubric Opini of Kedaulatan Rakyat Newspaper.

Author: Umar Haris Sanjaya, S.H., M.H.

Lecturer in Faculty of Law, Universitas Islam Indonesia, Departement of Private Law

 

Beberapa waku lalu Direktorat Jenderal Pendudukan dan Catatan SIpil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri mengunggah video tentang “bagaimana membuat akta kelahiran” melalui channel YouTubenya. Salah satu materi yang menarik perhatian masyarakat adalah bahwa pasangan yang sudah menikah (secara agama) tapi tidak memiliki buku nikah dapat memiliki kartu keluarga (KK) dengan diberi tanda khusus. Tujuannya adalah memberikan perlindungan bagi anak yang dilahirkan dari nikah siri. Disamping itu alasan lain adalah seorang anak mempunyai hak untuk tahu siapa ayahnya dan dituntut bertanggung jawab terhadap anaknya. Untuk itu Dukcapil akan mencatatkan dan menerbitkan KK bagi yang bersangkutan. Penerbitan KK ini tentunya disertai beberapa syarat-syarat seperti menunjukkan dokumen telah melakukan perkawinan secara agama (siri), melampirkan surat pernyataan tanggung jawab mutlak (SPTJM), pernyataan dua (2) orang saksi dengan melampirkan identitas kependudukan.

Aktivitas pencatatan bagi nikah siri mendapatkan KK menjadi terobosan hukum baru yang difasilitasi oleh Dukcapil. Tentunya Dukcapil melakukan terobosan ini bukan tanpa sebab salah satunya mengikuti perintah Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VII/2010. Putusan ini menggambarkan salah satu solusi bahwa anak dapat dihubungkan dengan orang tuanya bila perkawinan orang tuanya dapat dibuktikan kebenarannya (benar-benar menikah secara agama). Putusan ini jelas mengakui dan memberikan perlindungan hak terhadap anak yang dilahirkan karena nikah siri karena anak tidak boleh menjadi korban akibat perkawinan orang tuanya. Bahkan bila anak hasil nikah siri tidak diakui oleh ayahnya, tetapi bila dapat dibuktikan secara ilmu pengetahuan atau teknologi (Tes DNA) maka anak tersebut mempunyai hubungan keperdataan dengan ayahnya. Tentunya pengakuan semacam ini tidak lahir dengan sendirinya, melainkan perlu penetapan dari pengadilan.

Disamping itu Dukcapil sebagai lembaga pencatat juga menjalankan perintah Undang-Undang No. 23 Tahun 2006 jo 24 tahun 2013 Tentang Administrasi Kependudukan dimana tugas pokoknya adalah mencatatkan peristiwa penting penduduk Indonesia kedalam database kependudukan. Perkawinan dan kelahiran adalah contoh  peristiwa penting yang diakui di Indonesia, sehingga harus dicatatkan kedalam database, tetapi implementasi pencatatan ini seyogyanya harus sejalan dengan syarat-syarat yang ada pula pada peraturan pelaksanaan tentang perkawinan. Persyaratan pemberian KK pada nikah siri memiliki essensi yang hampir sama dengan pencatatan perkawinan hanya saja pelaporanya dilakukan setelah nikah siri dan diberi tanda khusus bahwa itu belum tercatat.

Menilik beberapa alasan sejarah lahirnya Undang-Undang Perkawinan di Indonesia adalah semangat perlindungan hukum bagi kaum wanita dan anak-anak. Perlindungan dari kesewenangan oknum laki-laki ketika melakukan : perkawinan, perceraian, dan poligami sehingga lahirlah syarat-syarat (administrasi) yang cukup ketat untuk melakukannya. Kesemua syarat tertera jelas pada Undang-Undang dan Peraturan pelaksanaannya, sehingga perkawinan yang memenuhi syarat maka para pihak akan mendapat pengakuan dan perlindungan dari negara. Ada benang merah yang kuat mengapa syarat administrasi melakukan perkawinan itu ketat, karena ketika hendak bercerai pasangan ini akan melalui proses yang ketat juga. Indonesia adalah negara yang menganut asas “mempersulit perceraian” sehingga pasangan yang hendak bercerai harus mampu menunjukkan keinginan bercerai termasuk pembagian tanggung jawab terhadap anak. Patut diuji terobosan Dukcapil ketika pasangan nikah siri itu bercerai, apakah dapat dituntut secara hukum hak dan kewajiban si ayah meskipun telah menggunakan SPTJM.

Sebagai lembaga yang berwenang memberikan KK di Indonesia sebaiknya Dukcapil juga mengajak Kementerian Agama dan Pengadilan untuk selalu mensosialisasikan pentingnya penetapan perkawinan nikah siri (isbat nikah) kepada pelaku nikah siri. Sinergi yang positif diantara masing-masing lembaga seperti memfasilitasi memberikan akses kemudahan tempat, prosedur, biaya, waktu yang singkat hingga dilakukan secara terpusat pada salah satu lembaga dengan mekanisme yang mudah sehingga menarik minat pelaku nikah siri untuk menetapkan perkawinan. Hal ini justru lebih sejalan dengan semangat perlindungan hukum perkawinan, karena tidak hanya memperhatikan tanggung jawab anak, tetapi juga terhadap isteri.

This article have been publsihed in rubric Analisis KR of Kedaulatan Rakyat Newspaper, 20 October 2021.

 

Author: Ayunita Nur Rohanawati, S.H., M.H.
Lecture in Faculty of Law, Universitas Islam Indonesia, Departement of Public Administration Law

Pandemi covid-19 dan globalisasi mewarnai kondisi bangsa saat ini. Saat globalisasi dahsyat menjalar ke seluruh masyarakat dunia, pandemi hadir dan semakin mengobrak abrik kondisi masyarakat dunia, termasuk Indonesia. Dampak dari pandemi yang terjadi bagi masyarakat Indonesia, khusunya pekerja di sektor swasta sangat besar, terutama bagi pekerja yang bekerja di perusahaan yang tidak mampu mempertahankan hingga harus melakukan pemutusan hubungan kerja dengan pekerjanya. Selain itu juga muncul berbagai permasalahan terkait disahkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, selanjutnya disebut UUCK, di mana salah satu ketentuan yang diatur di dalamnya ialah diperbolehkannya melakukan kesepakatan upah antara pemberi kerja dan pekerja.

Hukum Ketenagakerjaan lahir dalam posisi di antara hukum publik dan hukum privat. Hal ini terlihat dari hukum ketenagakerjaan yang di dalamnya memuat tentang hubungan kerja di mana hubungan tersebut didasarkan pada sebuah perjanjian kerja antara pekerja dan pengusaha. Relasi yang terjalin antara pengusaha dan pekerja tersebut merupakan relasi yang sifatnya privat, namun dalam relasi yang terjalin ini perlu diketahui bahwasanya ada ketimpangan kedudukan antara dua belah pihak yang terlibat dalam perjanjian kerja ini. Adanya ketimpangan tersebut perlu dinetralisir dengan hadirnya pemerintah dalam relasi privat yang terjalin. Kehadiran pemerintah ini menjadi salah satu bentuk proteksi bagi pekerja yang memiliki kedudukan yang lebih rentan dalam sebuah relasi kerja.

Seiring dengan permasalahan globalisasi dan pandemi covid-19 yang berdatangan, memunculkan berbagai macam regulasi baru yang menyesuaikan kondisi tersebut, dalam bidang ketenagakerjaan muncul permasalahan baru yang meresahkan pekerja terkait adanya sebuah “kesepakatan upah”. Mengapa sebuah kesepakatan upah menjadi sebuah masalah baru? Jika dikupas dari sudut pandang hukum ketenagakerjaan, upah adalah salah satu unsur yang disepakati dalam sebuah perjanjian kerja, selain pekerjaan dan perintah. Hal tersebut sebagaimana yang disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, atau yang dikenal dengan UUK.

Hanya saja yang perlu diingat bahwasanya, upah yang disepakati sebagaimana dimaksud dalam UUK bukan tanpa batasan dan bukan murni dari kehendak para pihak dalam hubungan kerja seperti layaknya perjanjian biasa. Dalam sebuah perjanjian kerja, upah adalah hal inti yang menjadi tujuan pekerja dalam bekerja, demi mencapai kesejahteraan pekerja dan keluarganya. Oleh karena itu, terdapat pengaturan terkait upah minimum. Tujuan dari upah minimum ini ialah untuk memberikan batas bawah dari jumlah pemberian upah yang dilakukan oleh pengusaha pada pekerja, atau disebut sebagai jaring pengaman.

Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan mengatur tentang kesepakatan upah ini berlaku bagi pelaku usaha mikro kecil yang tidak lagi diwajibkan menerapkan upah minimum sebagai batasan pengupahan yaitu dengan batasan 50% dari rata-rata konsumsi masyarakat di tingkat provinsi dan nilai upah yang disepakati paling sedikit 25% di atas garis kemiskinan di tingkat provinsi. Lebih lanjut disebutkan data-data sebagaimana dimaksudkan di atas adalah data yang bersumber dari lembaga yang berwenang di bidang statistik.

Lalu bagaimanakah pengukuran yang dapat dilakukan dengan gambaran yang diberikan pasal dalam PP Pengupahan terbaru tersebut? Hal tersebut masih menjadi tanda tanya besar. Pemerintah sebagai pihak yang dapat memberikan rasa aman bagi pekerja dalam menjalin sebuah hubungan kerja dengan pengusaha, hendaknya dalam hal ini perlu memberikan sebuah gambaran teknis yang tegas yang dapat dilaksanakan terkait dengan penerapan regulasi tersebut dalam wujud regulasi yang dapat dipaksakan pelaksanaannya dan terdapat sanksi jika ada pelanggaran atas regulasi pengupahan tersebut. Jika sebuah aturan tentang upah tidak diimbangi dengan keberadaan sanksi maka akan membuka peluang terjadinya pelanggaran yang berakibat tidak terpenuhinya hak pekerja yang paling fundamental dan tentunya berpengaruh terhadap kesejahteraan pekerja dan keluarga yang ingin dicapai.

This article have been published in rubric Analisis KR, of Kedaulatan Rakyat newspaper, 08 October 2021.

 

Author: Dr. Jamaludin Ghafur, S.H., M.H.

Lecturer in Faculty of Law, Universitas Islam Indonesia, Departement of Constitutional Law

“Membiarkan AD/ART yang tak bisa tersentuh oleh hukum sebagaimana yang terjadi selama ini telah terbukti memberi kesempatan dan peluang bagi penguasa parpol untuk memperlakukan parpol sesuai dengan selera para elitenya”

Advokat kondang Yusril Ihza Mahen dra membuat sebuah gebrakan dengan mengajukan permohonan pengujian peraturan (judicial review ) ke Mahkamah Agung. Adapun objek yang diuji adalah Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) Partai Demokrat.

Langkah ini boleh dibilang cukup radikal dan revolusioner mengingat berdasarkan hukum positif yang saat ini berlaku, AD/ART partai bukan merupakan salah satu jenis peraturan perundang-undangan karena tidak dibuat oleh lembaga ataupejabat negara.

Sebagaimana termaktub dalam UU Nomor 12 Tahun 2011, yang dimaksud dengan peraturan perundang-udangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan di bentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. Namun apakah sebuah peraturan yang tidak dibuat oleh pejabat dan lembaga negara secara otomatis akan serta merta dapat dilabeli sebagai bukan peraturan perundang-undangan?

AD/ART Partai sebagai “Peraturan Perundang-Undangan”

Secara teori dan praktik, undang-undang (UU) sebagai produk kesepakatan bersamaan tara Presiden dan DPR sudah pasti tidak akan mungkin mengatur satu hal dengan sangat terperinci dan detail karena hal itu akan menyebabkan terlalu tebalnya produk sebuah UU sehingga akan sulit menyesuaikan dengan perkembangan kebutuhan hukum masyarakat.

Selain itu parlemen sebagai lembaga legislatif utama tidak punya cukup banyak waktu untuk secara detail memberikan perhatian atas segala urusan teknis mengenai materi muatan suatu UU.

Pada umumnya UU hanya berisi kerangka dan garis besar kebijakan yang penting-penting sebagai parameter. Sementara hal-hal yang bersifat lebih teknis-operasional biasanya akan diperintahkan untuk diatur lebih lanjut dengan instrumen peraturan di bawahnya.

Dalam perspektif teori perundang-undangan, pelimpahan kekuasaan atau kewenangan dari pembentuk UU kepada lembaga lain untuk mengatur lebih lanjut suatu materi muatan UU tertentu disebut dengan delegasi (delegation of the rule making power).

Dalam konteks ini, salah satu alasan pembentukan AD/ART parpol karena hal tersebut merupakan perintah dari UU. Ada banyak materi muatan dalam UU Parpol yang aturan terperincinya didelegasikan untuk diatur lebih lanjut dalam AD/ART.  Sebagai contoh, Pasal 15 ayat (1) UU Parpol berbunyi: “Kedaulatan Partai Politik berada di tangan anggota yang dilaksanakan menurut AD dan ART”. Pasal 22 berbunyi, “Kepengurus n partai politik di setiap tingkatan dipilih secara demokratis melalui musyawarah sesuai dengan AD dan ART.” Sementara Pasal 29 mengamanatkan agar rekrutmen anggota parpol, bakal calon anggota DPR dan DPRD, bakal calon presiden dan wakil presiden serta bakal calon kepala daerah dan wakil kepala daerah dilakukan secara demokratis dan terbuka sesuai dengan AD dan ART.

Oleh karena fungsi dari AD/ART parpol adalah menerjemahkan dan mengelaborasi lebih detail ketentuan-ketentuan yang ada dalam UU, sudah selayaknya untuk memperlakukan dan memposisikan AD/ART sebagai bagian dari peraturan perundang-undangan di bidang ke partaian dalam arti luas. Ten tang hal ini, Kennet Janda (2005), seorang ilmuwan parpol kenamaan asal Amerika Serikat, menyatakan bahwa yang dimaksud dengan hukum kepartaian adalah peraturan hukum baik yang ditetapkan oleh pemerintah (external rules) maupun peraturan yang dibuat oleh parpol (internal rules).

Kebutuhan Pengujian

Parpol sejatinya adalah instrumen penting dalam negara demokrasi. Begitu sakralnya peran parpol sampai-sampai ada yang berpendapat bahwa demokrasi kontemporer adalah demokrasi partai (Katz: 1980).

Namun kehadiran parpol hanya akan memberi kontribusi positif bagi pelembagaan demokrasi apabila parpol dikelola secara demokratis dan profesional. Salah satu ciri pe nge lolaan parpol yang profesional ditandai dengan terjadinya de personalisasi dalam arti urusan pribadi para pengurusnya tidak dicampuradukkan de ngan urusan parpol sebagai organisasi.

Sayangnya yang terjadi di Indonesia saat ini adalah parpol hanya diposisikan sebagai sarana pemuas ambisi dan ke pentingan politik para elite dan pemimpinnya, bukan menjadi instrumen atau alat demokratisasi. Parpol dikelola secara oligarkis dan bahkan personalistik dengan melanggengkan suksesi kepemimpinannya berdasarkan sistem warisan.

Implikasinya, banyak ke pemimpinan dalam parpol yang kemudian menampilkan karakter yang tidak demokratis dan diktator yang sering kali melakukan intimidasi politik terhadap anggota dan para kadernya dengan memanfaatkan otoritas dan pengaruhnya yang sangat besar. Sebagian dari para pemimpin parpol telah menjadi simbol dari otoritarianisme itu sendiri, sesuatu yang sebenarnya ingin dikikis habis oleh gerakan reformasi.

Semua ini terjadi karena AD/ART sebagai konstitusi parpol yang seharusnya berfungsi secara maksimal dalam memberikan perlindungan dan jaminan hukum atas hak-hak anggota justru hanya berisi hal-hal yang mengakomodasi kepentingan penguasa partai. Akibatnya para kader dan ang gota menjadi tidak berdaya di hadapan elite dan ketua umum. Padahal, menurut UU, anggota adalah pemegang kedaulatan dalam partai.

Untuk memastikan bahwa anggota benar-benar berdaulat, berbagai ketentuan yang membelenggu dan merugikan kader dan anggota yang termuat dalam AD/ ART parpol harus diakhiri. Caranya adalah de ngan mem buka peluang bagi siapapun yang merasa dirugikan hak-haknya untuk mengujinya ke muka pengadilan, yaitu di Mahkamah Agung.

Dibukanya peluang untuk men-judicial review AD/ART partai merupakan upaya untuk memberi perlindungan yang maksimal terhadap kepentingan anggota, masyarakat, dan bahkan demi menjaga kepentingan bangsa dan negara yang lebih luas, yaitu dalam rangka meningkatkan dan memperkuat kualitas demokrasi.

Membiarkan AD/ART yang tak bisa tersentuh oleh hukum sebagaimana yang terjadi selama ini telah terbukti memberi kesempatan dan peluang bagi penguasa parpol untuk memperlakukan parpol sesuai dengan selera para elitenya sehingga cita-cita untuk me lembagakan parpol menjadi jauh panggang dari api. Jika hal ini terus dibiarkan, harapan masyarakat terhadap semakin membaiknya proses beremokrasi hanya akan menjadi mimpi di siang bolong.

 

This article have been published in OPINI rubric, of SINDO newspaper, 28 September 2021.

Author: Dr. Siti Anisah, S.H., M.Hum.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), Departemen Hukum Perdata

Pemerintah dan Otoritas Jasa Keuangan(OJK) telah menerbitkan sejumlah peraturan untuk mengatasi persoalan dampak ekonomi akibat pandemic covid-19. Namun secara umum persoalan perekonomian masih belum dapat teratasi secara menyeluruh.

Masih terdapat debitur yang gagal bayar dan menjadikan para pihak (khususnya kreditur) lebih memilih melakukan penyelesaian hukum melalui Kepailitan dan PKPU. Hal ini tampak dari naiknya jumlah permohonan pernyataan pailit dan PKPU pada tahun 2020 yakni total 642 perkara jika dibandingkan tahun 2019 yakni 459 perkara. Pilihan kreditur ini antara lain didorong oleh keberadaan pranata hukum Kepailitan dan PKPU yang memberikan kemudahan bagi kreditur untuk menyelesaikan persoalan piutang mereka dengan waktu yang cepat dan syarat yang relatif mudah.

Celah Hukum UU Kepailitan dan PKPU

Perkembangan penerapan Undang-Undang  No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU (selanjutnya disebut UU Kepailitan dan PKPU) di Lembaga Jasa Keuangan (LJK) pada masa Pandemi Covid-19 ini telah menimbulkan tren jumlah perkara kepailitan dan PKPU yang cenderung meningkat signifikan. Data Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) pada seluruh Pengadilan Niaga (Jakarta Pusat, Semarang, Surabaya, Makassar, dan Medan) menunjukkankenaikan jumlah perkara kepailitan dan PKPU.

Selain disebabkan oleh pandemi Covid-19 yang mempengaruhi kemampuan debitur untuk membayar utang, kenaikan perkara itu juga akibat ketidakpastian pengaturan mengenai kepailitan dan PKPU di LJK. Bentuk ketidakpastian itu berupa tumpang tindih antar peraturan yang satu dengan peraturan lainnya, dan terdapat aturan yang membuka peluang pailit lebih mudah. Celah hukum ini menjadikan pernyataan pailit dan PKPU selama pandemi covid-19 sebagai jalan pintas (short-cut) untuk menagih utang.

Secara khusus permasalahan hukum Kepailitan dan PKPU di  LJK berkenaan dengan isu legal standing dari pemohon pernyataan pailit dan PKPU. Isu legal standing terjadi karena adanya perbedaan penafsiran mengenai pihak yang dapat mengajukan permohonan pernyataan paili dan PKPU untuk LJK. Satu sisi, ada pendapat yang berhak untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit dan PKPU adalah OJK, sedangkan sisi lainnya pihakyang mengajukannya adalah kreditor.

Kewenangan OJK tersebut lahir tidak dari UU Kepailitan dan PKPU. Dalam UU Kepailitan dan PKPU kewenangan OJK itu melekat pada Bank Indonesia, Menteri Keuangan, dan BAPEPAM. Sejak 31 Desember 2012 melalui ketentuan peralihan UU No. 21 Tahun 2011 tentang OJK, pihak yang berhak mengajukan permohonan pernyataan pailit dan PKPU LJK beralih kepada OJK.

Praktiknya ini menyisakan ketidakpastian. Misalnya kewenangan pengaturan dan pengawasan perbankan masih ada di BI dan OJK. Selanjutnya untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit dan PKPU LJK oleh kreditur terjadi karena pemberlakuan Undang-Undang Administrasi Pemerintahan yang menyatakan bahwa apabila masyarakat atau kreditur meminta persetujuan kepada OJK dan dalam waktu sepuluh hari tidak memberikan jawaban, maka OJK dianggap setuju untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit dan PKPU LJK.

Optimalisasi LAPS-LJK untuk Penyelesaian Utang Piutang

Banyak perusahaan LJK yang terdampak pandemi covid-19 harus berjuang untuk dapat mempertahankan going concern perusahaan. Ini semakin berat bila memiliki utang atau kewajiban terhadap pihak lain. Pihak lain pun akan kesulitan bila ia tidak segera menerima pembayaran atas piutangnya. Bila mengandalkan bekerjanyan UU Kepailitan dan PKPU sebagai primum remedium, ini menjadi kontraproduktif. Mempertahankan going concern perusahaan LJK seharusnya masih menjadi prioritas. Mengingat halangan berprestasi yang dihadapi oleh debitur pada saat pandemi disebabkan oleh adanya kejadian di luar kemampuan debitur (change of circumstances) dan masih ada potensi kondisi perusahaan LJK dapat diperbaiki setelah pandemi covid-19 terlewati. Dengan demikian, seharusnya upaya hukum kepailitan ini hanya ditempuh sebagai upaya terakhir (ultimum remedium) terhadap debitur dalam hal ada ketidakmampuan untuk pemenuhan prestasi.

Pandemi covid-19 tidak kunjung berakhir, dan upaya penanggulangannya pun belum optimal, sementara itu dampak nyata terhadap kesulitan atau kemampuan membayar debitur sudah terjadi. Untuk itu upaya penyelesaian utang piutang seyogiyanya ditempuh melalui musyawarah mufakat, atau alternatif penyelesaian sengketa lainnya, sebagai media sharing the pain untuk memperoleh win-win solution. 

Upaya preventif yang dapat dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan untuk dapat ikut menjaga kelangsungan usaha di LJK dari ancaman permohonan pernyataan pailit adalah dengan cara memaksimalkan upaya penyelesaian sengketa dengan memaksimalkan peran dari Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa (LAPS). OJK telah menerbitkan Peraturan OJK Nomor 1/2014 tentang Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa di Sektor Jasa Keuangan (POJK LAPS).

Peraturan OJK tersebut disusul keluarnya Keputusan OJK Nomor Kep-01/D.07/2016 tanggal 21 Januari 2016 yang mengesahkan pembentukan 6 (enam) Lembaga APS yaitu:Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Perbankan Indonesia (LAPSPI); Badan Arbitrase Pasar Modal Indonesia (BAPMI); Badan Mediasi dan Arbitrase Asuransi Indonesia (BMAI); Badan Arbitrase dan Mediasi Perusahaan Penjaminan Indonesia (BAMPPI); Badan Mediasi Pembiayaan dan Pegadaian Indonesia (BMPPI); Badan Mediasi Dana Pensiun (BMDP).

Salah satu persyaratan sengketa yang dapat diselesaikan oleh LAPS adalah sengketa perdata yang timbul di antara para pihak sehubungan dengan kegiatan di sektor industri jasa keuangan. Dengan memaksimalkan peran LAPS untuk menyelesaikan sengketa keperdataan tentunya dapat mengurangi potensi adanya permohonan pernyataan pailit dan PKPU LJK.POJK LAPS mengamanatkan adanya suatu sistem penyelesaian sengketa (khususnya antara konsumen dengan LJK), yang terdiri dari penyelesaian sengketa secara internal di LJK, penyelesaian melalui lembaga peradilan umum (pengadilan), serta melalui LAPS dengan suatu prosedur tertentu.

Prosedur penyelesaian sengketa melalui LAPS LJK melalui 2 (dua) tahapan yaitu penyelesaian pengaduan yang dilakukan oleh LJK (internal dispute resolution) dan penyelesaian sengketa melalui lembaga peradilan atau lembaga di luar peradilan (external dispute resolution). Pasal 2 POJK LAPS menentukan bahwa pada dasarnya penyelesaian pengaduan wajib diselesaikan dahulu oleh LJK melalui unit pengaduan konsumen di tiap-tiap LJK.

Penyelesaian di luar pengadilan dapat dilaksanakan apabila tidak tercapai kesepakatan penyelesaian pengaduan melalui LAPS. Apabila para pihak memilih penyelesaian pengaduan sengketa dilaksanakan di luar pengadilan, maka penyelesaian pengaduan sengketa akan diselesaikan melalui LAPS yang dimuat dalam daftar LAPS yang ditetapkan OJK.

Efektifitas berlakukan LAPS-LJK akan terjadi bila OJK melakukan beberapa hal, yaitu: pertama, OJK perlu mengoptimalkan peran dan fungsinya dalam pengawasan LJK agar praktik-praktik penyalahgunaan LJK dapat dicegah dari awal. Kedua, OJK perlu segera bekerjasama dengan Mahkamah Agung untuk melakukan tindakan proaktif antara lain sosialisasi dan edukasi mengenai pranata hukum kepailitan dan PKPU LJK kepada para penegak hukum dan pihak-pihak lain yang berkepentingan atas LJK secara berkelanjutan.

This article have been published in REPUBLIKA,  04 June 2021.

Author: M. Syafi’ie, S.H., M.H.

Lecturer in Faculty of Law,  Universitas Islam Indonesia, Departement of Constitutional Law

Suatu saat penulis bertanya kepada seorang guru, dimana posisi hukum dalam agama Islam? Beliau menjawab bahwa hukum merupakan bagian dari Islam. Ajaran hukum lebih kecil dibanding dengan ajaran Islam yang luas antara lain  terkait aqidah, akhlaq, dan ilmu pengetahuan. Sedangkan hukum umumnya dikaitkan dengan ibadah dan muamalah yang menjadi domain fiqh.

Muhammad Adnan mengatakan, agama diterjemahkan dari bahasa Arab Ad-Din, Asy-syari’ah at-Thoriqoh, dan Millah yang diartikan sebagai peraturan dari Allah untuk manusia berakal, untuk mencari keyakinan, mencapai jalan bahagia lahir bathin, dunia akhirat, bersandar kepada wahyu-wahyu ilahi yang terhimpun dalam Kitab Suci yang diterima oleh Nabi Muhammad.

Islam menurut A. Gaffar Ismail ialah nama agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad yang berisi kelengkapan dari pelajaran-pelejaran yang meliputi : (a) kepercayaan; (b) seremoni-peribadahan; (c) tata tertib kehidupan pribadi; (d) tata tertib pergaulan hidup; (e) peraturan-peraturan Tuhan; (f) bangunan budi pekerti yang utama, dan menjelaskan rahasia kehidupan yang akhirat.

Hukum sendiri berasal dari bahasa arab hakama-yahkumu-hukman (masdar) yang dalam Kamus Arab-Indonesia Mahmud Junus diartikan dengan menghukum dan memerintah. Hukum juga diartikan dengan memutuskan, menetapkan, dan menyelesaikan setiap permasalahan. Menurut Muhammad Daud Ali, hukum dapat dimaknai dengan norma, kaidah, ukuran, tolak ukur, pedoman yang digunakan untuk menilai dan melihat tingkah laku manusia dengan lingkungan sekitarnya.

Dalam ushul fiqh, hukum syar’i diartikan dengan khitab (kalam) Allah yang berkaitan dengan semua perbuatan mukallaf, baik berupa iqtidha’ (perintah, larangan, anjuran untuk melakukan atau meninggalkan), takhyir (memilih antara melakukan dan tidak melakukan), atau wadh’i (ketentuan yang menetapkan sesuatu sebagai sebab, syarat, atau penghalang/mani’)

Maksud dari khitabullah ialah semua bentuk dalil-dalil hukum yang bersumber dari Qur’an, Sunnah serta ijma’ dan qiyas. Menurut Abdul Wahab Khalaf, yang dimaksud dengan dengan dalil hanya Qur’an dan Sunnah, sedangkan ijma’ dan qiyas merupakan upaya ijtihadi untuk menyingkap hukum dari Qur’an dan Sunnah. Kita tahu, ada banyak metode ijtihad untuk menggali hukum syar’i, antara lain : qiyas, istihsan, maslahah mursalah, istishab, al-‘adah, dan fathu ad-dzari’ah dan sadd al-dzari’ah.

Hukum Islam secara umum dapat dibagi menjadi dua, pertama, hukum taklifi yang terdiri dari al-wujub (wajib), an-nadbu (sunnat), al-ibahah (mubah), al-karoheh (makruh), dan al-haromah (haram). Contohnya, wajib puasa bulan Romadhan, haramnya minum khamar, mubahnya makan minum, serta makruhnya merokok. Kedua, hukum wadh’iy yang didalamnya ada sebab, syarat, mani’, sah-batal, rukhsoh-‘azimah. Contohnya, waktu matahari tergelincir di tengah hari menjadi sebab wajibnya seorang mukallaf menunaikan sholat dzuhur, wudhu’ menjadi syarat sahnya sholat, haid menjadi penghalang (mani’) seorang perempuan melakukan kewajiban sholat atau puasa.

Pemikiran di atas memperlihatkan bahwa ada perbedaan antara Islam sebagai agama, dan hukum sebagai bagian dari agama Islam. Perbedaan tersebut sangat kecil, karena itu ada tiga konsep yang wajib diketahui dan dipahami oleh seorang muslim, yaitu syari’ah, fiqh, dan qonun. Mengetahui ketiganya akan mengantarkan kepada seorang muslim untuk mengerti mana wilayah yang tidak mungkin berubah dan tunggal, serta mana wilayah yang bisa berubah dan berbeda-beda tafsirnya.

Menurut Hasbi As-Shiddieqy, syariat berarti jalan tempat keluarnya sumber mata air atau jalan yang dilalui air terjun yang diasosiakan oleh orang Arab sebagai at-thhariqah al-mustaqimah. Secara terminologi, syariat berarti tata aturan atau hukum-hukum yang disyariatkan Allah kepada hamba-Nya untuk diikuti (Qs. Al-Jasiyah : 18). Fiqh menurut Fathurrman Djamil ialah dugaan kuat yang dicapai oleh seorang mujtahid dalam usahanya menemukan hukum Allah. Fiqh memiliki keterkaitan dengan hukum-hukum syara’ yang bersifat praktis yang bersumber pada dalil-dalil yang terperinci. Sedangkan qonun biasa diartikan dengan Undang-Undang. Ulama’ salaf mendefinisikannya sebagai kaidah-kaidah yang bersifat kully (menyeluruh) yang didalamnya tercakup hukum-hukum juz’iyyah (bagian-bagiannya). Qonun umumnya dibuat oleh pemerintah yang berkuasa.

Syari’ah, fiqh dan qonun berbeda. Ajaran syari’at tedapat dalam Qur’an dan hadist yang tidak mungkin berubah teksnya, bersifat fundamental, abadi karena merupakan ketetapan Allah dan Nabi Muhammad, tunggal yang meperlihatkan konsep kesatuan Islam. Sedangkan fiqh dan qonun merupakan produk pemahaman manusia yang menggali hukum dalam Qur’an dan hadist, bersifat instrumental, mengalami perubahan sesuai waktu, zaman serta keadaan. Realitasnya seperti yang kita ketahui saat ini, dimana produk hukum fiqh dan qonun cenderung berbeda-beda sesuai madzhab yang sangat beragam. Kita bisa lihat perbedaan-perbedaan tersebut dalam kitab-kitab fiqh perbandingan.

Uraian di atas memperlihatkan kepada kita bahwa saat kita memeluk agama Islam kita satu, syariatnya tunggal yaitu Al-Qur’an dan Hadist, tetapi saat bersamaan kita umumnya mengikuti ‘hukum’ atau ‘qonun’ madzhab tertentu, disitulah beberapa praktik keagamaan umat Islam berbeda-beda. Dalam konteks ini, biar tidak kagetan dan apalagi sampai mengkafirkan, umat Islam dituntut untuk belajar ilmu-llmu yang menjadi basis hukum dalam Islam seperti ilmu Ushul Fiqh, Qowaidul Fiqh, Perbadingan Madzhab, Maqosid Syari’ah, Ulumul Qur’an, Ulumul Hadist, Ulumul al- Tafsir, dan Ilmu Mantiq (Logika).

 

This article have been published in  UII News edisi Maret 2021.

Coronavirus Disease 2019 atau yang sering biasa disebut Covid-19 merupakan sebuah pandemi yang tak pelak usai hingga saat ini wabah ini sudah mengakibatkan sejumlah perbuahan besar dalam berbagai sektor salah diantaranya yaitu sektor ekonomi. Kasus kematian Covid-19 kian hari kian meningkat.

Data Kementerian Kesehatan Republik Indonesia per 3 April menyebutkan kasus positif Covid-19 sejumlah 1.821.703 jiwa, sembuh sejumlah 1.669.119 jiwa, dan meninggal sejumlah 50.578 jiwa. betapa sangat membahayakannya Covid-19 ini.

Namun disamping itu berbagai regulasi sudah diterapkan diantaranya diberlakukannya Social Distancing untuk segala bentuk kegiatan, Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) sebagaimana terdapat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020, Karantina Kesehatan, Bahkan sampai dilakukannya Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) sebagiamana terdapat dalam Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2021 tentang PPKM Jawa-Bali, serta upaya pemerintah yang sedang diberlakukan sekarang yaitu program vaksinasi.

Namun dalam program vaksinasi Covid-19 ini memunculkan polemik baru dimana tak sedikit masyarakat yang menerima dengan begitu saja adanya program vaksinasi ini. banyak pro kontra untuk program vasinasi Covid-19 yang diberlakukan pemerintah. Lalu apa saja yang menjadikan permasalahan yang muncul dari program vaksinasi ini serta apa saja alasan pro dan kontra dari adanya program vaksinasi. Untuk itu kiranya isu ini akan menjadi suatu hal yang menarik untuk kita kaji Bersama terkait dengan vaksinasi merupakan sebuah kewajiban atau Hak setiap warga negara

Vaksinasi Covid-19 merupakan salah satu dari sekian banyak program pemerintah dalam menanggulangi wabah Covid-19 ini. sebagaimana tercantum dalam Keputuisan Presiden No.12 Tahun 2020 tentang Pentapan Bencana Nonalam Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID19) sebagai Bencana Nasional.

Tetapi program pemerintah terkait dengan vaksinasi ini menuai pro dan kontra terlebih dengan adanya berita bahwasannya setiap orang yang menolak vaksinasi akan dikenakan sanksi adminstrasi bahkan sanksi pidana. Adapun regulasi yang sudah dikeluarkan oleh pemerintah terkait dengan snaksi yang diberikan bagi seseorang yang menolak vaksinasi yaitu dalam Keputusan Presiden No.14 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 99 Tahun 2020 tentenag Pengadaan Vaksin dan  Pelaksanaan Vaksinasi dalam Rangka Penanggulangan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19).

Sebagaimana tercantum dalam Pasal 13A ayat (4) sanksi yang diberikan bagi setiap orang yang telah ditetapkan sebagai sasaran penerima vaksin Covid-19 yang tidak mengikuti Vaksinasi Covid-19 sebagaimana dimaksud pada ayat 2 dikenakan sanksi administratif berupa penundaan atau penghentian pemberian jaminan sosial atau bantuan sosial, penundaan atau penghentian pemberian administrasi pemerintahan dan denda. Hal ini tentu bertentangan dengan konstitusi terkait hak warga negara sebagaimana tercantum dalam Pasal 28H ayat (3) yang berbunyi “Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yahng bermartabat”

Adapaun produk hukum lainnya yang dikeluarkan pemerintah terkiat dengan sanksi seseorang yang menolak vaksinasi yaitu terdapat pada Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penanggulangan Corona Virus Disease 2019. Sebagaiamana tercantum dalam Pasal 30 Perda DKI Jakarta seseorang yang menolak Vakasinasi dikenakan Pidana Denda sebesar 5 Juta Rupiah.

Peraturan daerah ini bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Dalam Pasal 5 ayat (30) yang menyatakan dengan tegas bahwa setiap orang berhak secara mandiri dan bertanggung jawab menentukan pelayanan Kesehatan yang diperlukan dirinya.

Adapun sanksi pidana sebagaiman merujuk pada Pasal 9 Jo Pasal 93 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Pasal 9 ayat (1) UU Kekarantinaan Kesehatan menyebutkan, “Setiap Orang wajib mematuhi penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan”Pasal 93 UU Kekarantinaan Kesehatan menyebutkan, “Setiap orang yang tidak mematuhi penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) dan/atau menghalang-halangi penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan, sehingga menyebabkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah)”.

Adapun dilansir dalam Merdeka.com Amnesti Internasional Indonesia mengatakan bahwasannya adanya sansksi terhadap seseorang yang menolak vaksinasi terutama sansksi administrasi menciptakan pemaksaan yang telah melanggar Hak Asasi Manusia. Adapun Pasal 41 ayt (1) Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyatakan “Setiap warga negara berhak atas jaminan sosial yang dibutuhkan untuk hidup layak serta untuk perkembangan pribadinya secara utuh”

Hal demikian merupakan suatu pelanggaran Hak Asasi Manusia, memang vaksinasi merupakan suatu program yang baik guna meningkatkan imun kekebalan tubuh manusia tetapi marilah kita ketahui bersama kembali bahwa vaksinasi bukan satu-satunya cara untuk memnghetikan penyebaran Covid-19 melainkan untuk meningkatkan kekebalan tubuh bukan untuk mematikan virus yang ada didalam tubuh.

Sebagaimana kita katahui pula Pemerintah telah mengeluarkan  berbagai regulasi dan produk hukum dalam memerangi pandemi Covid-19 dan Sebagian besar produk hukum yang ditetapkan menimbulkan sanksi lalu apakah kita sebagai warga negara tidak mempunyai hak sama sekali dalam hal pelindungan dan kesehatan pribadi.

Dengan adanya sanksi terkait dengan penolakan vaksinasi merupakan suatu pelanggaran hak karena masih banyak cara yang mana dapat diterima oleh seluruh masyarakat seperti halnya vaksinasi tersebut diganti dengan pemberian suplemen dalam bentuk sirup bagi anak-anak dan dalam bentuk kapsul bagi orang dewasa. Karena tidak semua sama dalam satu hal adakalanya seseorang phobia atau trauma dengan jarum suntik atau bahkan adanya keraguan dalam vaksinasi tersebut.

Pemerintah tidak dapat memaksakan kehendak rakyat karena sejauh ini rakyat juga sudah menerima sebagaian besar apa yang sudah menjadi ketetapan seperti halnya PSBB dimaan masyarakat banyak yang kehilangan mata pencahariannya dan lain sebagainya. Kemudian muncul produk hukum yang mana seseorang yang menolak pemberian vaksinaksi akan dikenakan sanksi adminsitrasi dan sanksi pidana.

Hal tersebut tentu menuai kontroversi dimana masyarakat justru malah semakin tidak percaya lagi dan pemerintah akan kehilangan legitimasinya akan apa yang dilakukan dan diberikan seolah olah bersifat otoriter tidak memperdulikan hak setiap warga negaranya.

Maka dari itu dalam perspektif penulis pemberian vaksinasi Covid-19 hendaknya bersifat sukarela dan tidak adanya paksaan serta sanksi yang dapat menimbulkan hilangnya hak warganegara. sebagaimana dilansir CNBC Indonesia, WHO mengatakan bahwa sebenarnya vaksinasi tidak diwajibkan untuk seluruh populasi, bahkan Amerika Serikat dan Perancis pun tidak mewajibkan program vaksinasi Covid-19 ini.

Author: Andre Bagus saputra (Students of Faculty of Law, Universitas Islam Indonesia)

This article has been published in the rubric Opini, GEOTIMES, 07 June 2021.

“Fakta bahwa Indonesia telah meratifikasi Convention on the Elimination of All Form of Discrimination Againts Women (CEDAW) seolah terlupakan. Yang mana hal tersebut dapat dilihat dalam pemberian upah minimum regional (UMR) yang digunakan sebagai  standar adalah buruh laki-laki dengan hitungan hidup lajang yang memiliki kebutuhan berbeda dengan buruh/pekerja perempuan.”

Keterlibatan perempuan dalam dunia kerja merupakan suatu bentuk partisipasi dalam pembangunan nasional. Perkembangan industrialisasi memberikan suatu kesempatan bagi perempuan untuk bisa menjadi bagian dalam memenuhi kebutuhan hidup. Namun nasib pekerja perempuan sangat bergantung dengan kepedulian negara. Tidak menutup kemungkinan masih saja terdapat kontroversi yang terjadi seperti diskriminasi pekerja perempuan dalam hal pemberian upah, cuti haid dan melahirkan, serta pelanggaran terhadap hak-hak lainnya.

Dalam praktiknya, masih terdapat keluh kesah dari para pekerja terutama pekerja perempuan. Keluhan tersebut salah diantaranya yaitu adanya diskriminasi pengupahan untuk pekerjaan yang sama dan untuk waktu yang sama.  Fakta bahwa Indonesia telah meratifikasi Convention on the Elimination of All Form of Discrimination Againts Women (CEDAW) seolah terlupakan. Yang mana hal tersebut dapat dilihat dalam pemberian upah minimum regional (UMR) yang digunakan sebagai standar adalah buruh laki-laki dengan hitungan hidup lajang yang memiliki kebutuhan berbeda dengan buruh/pekerja perempuan. Setiap perempuan mempunyai hak khusus yang harus dipenuhi dan dilindungi oleh undang-undang akan tetapi pada praktiknya pula banyak problematika yang terjadi pada pekerja perempuan, salah satunya pekerja perempuan yang sedang mengalami haid tetap bekerja seperti biasanya tanpa adanya gangguan apa pun, tetapi jika keadaan fisiknya tidak memungkinkan sehingga pekerjaan tidak menjadi persoalan, hal demikian tertuang dalam Pasal 18 ayat (1) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan “Pekerja/buruh wanita yang dalam masa haid merasakan sakit dan memberitahukan kepada pengusaha, tidak wajib bekerja pada hari pertama dan kedua pada waktu haid.”

Tanggung Jawab Negara

Dalam dinamika ketenagakerjaan selalu ada perselisihan antara pekerja dan pemberi kerja dimana perselisihan ini terjadi salah diantaranya adanya diskriminasi yang diterima oleh pekerja baik diskriminasi upah maupun hakhak pekerja lainnya. Negara seharusnya menjadi penjamin atas pemenuhan hak setiap pekerja terutama pekerja perempuan. Bahkan dalam masa pandemi negara harus lebih memperhatikan agar hak setiap pekerja tetap terpenuhi, akan tetapi justru dalam keadaan pandemi seperti ini menjadi kesempatan beberapa perusahaan untuk memutuskan hubungan kerja dengan dalih Force Majure padahal perusahaan tetap beroperasi seperti biasanya. Undang-undang Ketenagakerjaan merupakan solusi dari adanya perselisihan antar pekerja dan pemberi kerja dimana hal ini terdapat dalam Pasal 67 sampai Pasal 101 meliputi perlindungan buruh penyandang cacat, anak, perempuan, waktu kerja, keselamatan dan kesehatan kerja, pengupahan dan kesejahteraan.

Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyebutkan bahwasanya setiap orang, baik pria maupun wanita, dalam melakukan pekerjaan yang sepadan dengan martabat kemanusiaannya berhak atas upah yang adil sesuai dengan prestasinya dan menjamin kelangsungan hidup keluarganya. Sesuai dengan ketentuan pasal a quo memberikan implikasi bahwa perempuan mempunyai hak atas pekerjaan dan  perlindungan pekerjaan serta kelangsungan hidup keluarganya. Sebagaimana esensi dari adanya Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yaitu memberikan kesejahteraan pada setiap pekerja/buruh agar dapat menjamin kemajuan dunia usaha Indonesia.

Pasal 11 Convention on the Elimination of All Form of Discrimination Againts Women (CEDAW) tentang Hak-hak Politik Perempuan terdapat hak khusus perempuan dimana dalam Pasal 4 menjelaskan tentang affimative action yaitu diskriminasi positif bagi perempuan.

Sedangkan dalam Pasal 11 menjelaskan tentang kewajiban negara untuk meniadakan adanya diskriminasi perempuan di tempat kerja. Dengan demikian dapat menjadi suatu tameng bagi para pekerja perempuan untuk tetap mendapatkan hak-haknya.

Pada masa pandemi, sudah seharusnya negara lebih memperhatikan segala aspek terkait dengan mekani sme peker jaan. Peker ja perempuan harus benar-benar mendapatkan hak-haknya sebagaimana mestinya. Salah satunya yaitu perusahaan/tempat kerja memberikan penyediaan layanan antar jemput bagi pekerja perempuan sebagaimana tertuang dalam Pasal 76 Undang-undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Kendati demikian pekerja perempuan pada kenyataannya terutama buruh urban sering kali tidak mendapatkan angkutan umum bilamana ia pulang bekerja.

Dengan demikian melihat pada faktanya perlindungan pekerja perempuan masih menjadi persoalan, terlebih di masa pandemi yang justru para pekerja perempuan kehilangan hak-haknya. Oleh karena itu negara melalui pemerintah harus lebih memperhatikan terhadap perlindungan pekerja perempuan agar tidak adanya diskriminasi pekerja perempuan dan tetap para perempuan dapat berkontribusi terhadap pemulihan ekonomi di masa pandemi Covid-19.

Author: Andre Bagus saputra (Student Faculty of Law, Universitas Islam Indonesia)

This article has been published in the rubric Opini, Hukum Laut Internasional LEGALTALK, Buletin Hukum, Vol. 2 No. 7, 2021, September 2021.