Loading Events

« All Events

  • This event has passed.

Seminar Nasional Simposium HTN: Penataan Pengaturan Organisasi Sayap Partai Politik | 29 Juni 2019 | 08.00-17.00 WIB | Sheraton Mustika Hotel Yogyakarta

29 Juni 2019 @ 6:00 am - 3:00 pm

Pendaftaran Peserta melalui tautan ini [daftar]

SEMINAR NASIONAL SIMPOSIUM HUKUM TATA NEGARA

“Penataan Pengaturan Organisasi Sayap Partai Politik”

 

Latar Belakang

Konstitusi adalah dokumen hukum dalam sebuah negara yang merupakan wujud kesepakatan bersama (general agreement) seluruh rakyat yang lahir sebagai bentuk perjanjian sosial sebagai dasar pendirian negara untuk dapat mencapai tujuan bersama. Pada umumnya, semua konstitusi negara memuat paling tidak 3 (tiga) materi muatan pokok yaitu: (i) jaminan terhadap hak-hak asasi manusia dan warga negaranya, (ii) susunan ketatanegaraan yang bersifat fundamental, dan (iii) pembagian dan pembatasan tugas ketatanegaraan yang bersifat fundamental (Sri Soemantri M: 1987).

Berkaitan dengan pengaturan hak asasi manusia (HAM), Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD NRI 1945) telah mengaturnya sedemikian rupa yang tertuang dalam Bab XA tentang HAM dari Pasal 28A sampai dengan Pasal 28J. Salah satu hak yang dijamin di dalam konstitusi adalah hak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan menyatakan pendapat sebagaimana diatur dalam Pasal 28E ayat (3) UUD NRI 1945 yang bebunyi, Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Menurut Jimly Asshiddiqie, hak atas kemerdekaan berserikat dan berkumpul seperti yang dimaksud oleh Pasal 28E ayat (3) junto Pasal 28 UUD NRI 1945 sangat terkait erat dengan hak atas kemerdekaan pikiran dan hati nurani karena kemerdekaan berserikat atau freedom of association itu sendiri merupakan salah satu bentuk ekspresi pendapat dan aspirasi atas ide-ide yang disalurkan dengan cara bekerjasama dengan orang lain yang seide ata seaspirasi (Jimly Asshiddiqie: 2005).

Dalam UUD NRI 1945, hak atas kemerdekaan pikiran, pendapat, sikap, dan hati nurani itu, dijamin dengan tegas oleh Pasal 28E ayat (2) yang menyatakan, Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya. Ketentuan pasal ini sangat fundamental sehingga digolongkan dalam kelompok HAM yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun seperti yang ditentukan oleh Pasal 28I ayat (1), Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.

Jika freedom of expression tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun, maka sudah seharusnya freedom of association sebagai salah satu bentuk penyaluran freedom of expression tersebut juga tidak dapat dikurangi. Oleh karena itu, penjabaran lebih lanjut pengaturan tentang HAM dalam bentuk Undang-Undang (UU) tidak boleh bersifat mengurangi kebebasan atas hak berserikat tersebut.

Mengapa kemerdekaan berserikat harus dijamin dalam UUD NRI 1945? Sebagian ahli berpendapat bahwa freedom of association itu merupakan salah stau bentuk natural rights yang bersifat fundamental dan melekat dalam peri kehidupan bersama umat manusia. Sebabnya ialah bahwa setiap manusia selalu mempunyai kecenderungan untuk bermasyarakat, dan dalam bermasyarakat itu perilaku setiap orang untuk memilih teman dalam hubungan-hubungan sosial merupakan sesuatu yang alami sifatnya (Jimly Asshiddiqie: 2005).

Bentuk konkrit pengejewantahan atas hak berserikat, berkumpul, dan menyatakan pendapat adalah setiap orang bebas untuk mendirikan dan/atau bergabung dalam sebuah organisasi. Secara garis besar, organisasi yang ada di Indonesia saat ini dapat dibedakan menjadi dua kelompok yaitu organisasi politik dan organisasi non-politik (kemasyarakatan). Kedua jenis organisasi ini masing-masing telah diatur dalam undang-undang sebagai tindaklanjut dari amanat Pasal 28 UUD NRI 1945 yang menyatakan, Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.

Parpol diatur dalam UU Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik sebagaimana telah ubah dengan UU Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik (UU Parpol). Sementara ormas diatur dalam UU Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan sebagaimana telah ubah dengan UU Nomor 16 Tahun 2017 (UU Ormas). Perbedaan pengaturan dalam UU yang berbeda ini disebabkan oleh perbedaan karakteristik keduanya. Beberapa perbedaan dimaksud diantaranya adalah:

Pertama, dari aspek tujuan pembentukannya. Secara umum baik organisasi kemasyarakatan (ormas) maupun partai politik (parpol) didirikan dengan tujuan utama untuk menjaga, memelihara, dan memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa dan mewujudkan tujuan negara. Namun demikian, selain tujuan yang bersifat umum, pendirian parpol juga memiliki tujuan yang khusus yang tidak dimiliki oleh ormas yaitu: (a) meningkatkan partisipasi politik anggota dan masyarakat dalam rangka penyelenggaraan kegiatan politik dan pemerintahan; (b) memperjuangkan cita-cita parpol dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara; dan (c) membangun etika dan budaya politik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Kedua, secara keanggotaan, semua orang dari semua kalangan dan latar belakang (termasuk latar belakang profesi) dapat menjadi anggota ormas. Sementara untuk parpol tidak semua kalangan (profesi) dapat menjadi anggotanya. Bahkan pihak-pihak dengan profesi tertentu dilarang untuk terlibat dalam organisasi parpol. Pegawai Aparatur Sipil Negara (ASN) menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN dilarang menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik. Hal yang sama juga diatur dalam Pasal 255 ayat 1 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil (PNS) bahwa, PNS dilarang menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik. Kemudian pada ayat 2 berbunyi, PNS yang menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik wajib mengundurkan diri secara tertulis.

Ketiga, dari aspek pembubarannya. Kewenangan untuk membubarkan ormas berada di tangan Menteri Dalam Negeri dan/atau Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. Sementara kewenangan pembubaran parpol dilakukan oleh Kejaksaan Agung c.q Mahkamah Konstitusi (MK).

Keempat, kebolehan mendirikan badan usaha. Ormas boleh dan berhak mendirikan badan usaha dalam rangka memperoleh keuntungan secara ekonomi untuk menghidupi organisasinya sebagaimana termaktub dalam Pasal 39 (1) UU Ormas, Dalam rangka memenuhi kebutuhan dan keberlangsungan hidup organisasi, Ormas berbadan hukum dapat mendirikan badan usaha. Sementara parpol secara tegas oleh UU dilarang mendirikan badan usaha untuk memperoleh keuntungan ekonomi. Pasal 40 ayat (4) UU Parpol menyatakan, Partai Politik dilarang mendirikan badan usaha dan/atau memiliki saham suatu badan usaha.

Kelima, terkait dengan boleh tidaknya bagi anggotanya untuk menduduki jabatan pejabat publik tertentu seperti menjadi calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Bagi anggota ormas, tidak ada larangan untuk mencalonkan diri sebagai anggota DPD, sementara anggota parpol menurut Putusan MK Nomor 30/PUU- XVI/2018 dilarang ikut mencalonkan diri sebagai calon anggota DPD.

Merujuk pada beberapa perbedaan antara parpol dan ormas di atas, maka menarik untuk mengkaji keberadaan organisasi sayap parpol (OSP) karena organisasi ini karakteristiknya merupakan kombinasi antara organisasi politik dan ormas. Dikatakan masuk dalam kategori rezim organisasi politik karena Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Parpol membuka peluang dibentuknya OSP, yakni dalam Pasal 12 huruf j yang menyatakan, Partai Politik berhak membentuk dan memiliki organisasi sayap Partai Politik. Dalam penjelasannya berbunyi, Organisasi sayap Partai Politik merupakan organisasi yang dibentuk oleh dan/atau menyatakan diri sebagai sayap Partai Politik sesuai dengan AD dan ART masing-masing Partai Politik. Namun demikian, pengaturan tentang OSP ini justru menginduk pada UU Ormas sehingga perlakuan secara yuridis terhadap organisasi sayap parpol harus diperlakukan sama dengan ormas.

Hal ini tentu menimbulkan sejumlah persoalan: Pertama, jika dikaitkan dengan statusnya sebagai ormas bukan sebagai bagian dari parpol, maka siapapun boleh ikut aktif dalam organisasi ini tanpa kecuali, namun demikian jika ditilik dari fungsi dan tugasnya, organisasi sayap parpol merupakan oranisasi politik karena pada hakikatnya ia adalah perpanjangan tangan dari parpol itu sendiri. Menurut M. Djadijono (2008), OSP merupakan organisasi yang dibentuk oleh dan/atau menyatakan diri sebagai sayap parpol sesuai dengan Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga masing-masing parpol. Tujuan dibentuknya OSP adalah sebagai pelaksana kebijakan Partai dan untuk memenuhi kebutuhan strategis dalam rangka memperkuat basis dukungan partai, serta untuk memperkuat fungsi dan peran partai di masyarakat. Dengan demikian, ditilik dari perspektif ini, tidak semua warga negara diperkenankan untuk bergabung dalam organisasi ini seperti PNS.

Kedua, organisasi dengan dua jenis kelamin ini (secara organisasi dimasukkan sebagai ormas tetapi secara fungsi lebih dekat dengan parpol) menyebabkan situasi yang dilematis dalam menetapkan status hukum berkaitan dengan aktifitasnya memberikan bantuan atau penggalangan dana bagi parpol. Pasalnya, sebagai organisasi underbow parpol, organisasi ini pasti akan bekerja untuk men-support kinerja parpol dalam segala hal termasuk kemungkinan dalam hal pengumpulan dana. Padahal bila dilihat dari statusnya sebagai ormas, aktifitas penggalangan dana untuk parpol merupakan sesuatu yang dilarang. Pasal 59 ayat (3) huruf b UU Ormas menyatakan, ormas dilarang mengumpulkan dana untuk partai politik.

Ketiga, menimbulkan dilema dalam menentukan boleh tidaknya organisasi sayap parpol membentuk dan mengembangkan badan usaha. Bila ditilik dari statusnya sebagai ormas – bukan sebagai organisasi politik (bagian dari parpol), maka organisasi ini dapat melakukan hal tersebut. Jika demikian adanya, besar kemungkinan organisasi ini akan dimanfaatkan oleh parpol (sebagai organisasi induknya) untuk membuka dan mengembangkan badan usaha demi memperoleh keuntungan secara ekonomi untuk membiayai kepentingan parpol itu sendiri. Hal yang seharusnya tidak boleh dilakukan oleh parpol.

Keempat, dengan statusnya sebagai ormas, OSP memiliki hak dan kewenangan untuk mengusulkan dan mencalonkan para anggotanya untuk menduduki jabatan-jabatan publik seperti pencalonan anggota DPD. Jika ini terjadi, maka DPD akan berpotensi menjadi institusi yang terkooptasi oleh kepentingan parpol bila sebagian besar dari komposisi anggotanya adalah orang-orang dari sayap parpol yang merupakan perpanjangan tangan parpol itu sendiri.

Berdasarkan berbagai problematika status hukum dan fungsi serta kedudukan OSP tersebut di atas maka penting untuk melakukan kajian secara komprehensif dan mendalam dalam rangka menata kembali keberadaannya. Apakah tetap akan dipertahankan seperti keadaan saat ini di mana OSP diatur dalam UU ormas? Atau karena ia keberadannya lahir dari peluang di UU parpol, apakah tidak lebih baik jika OSP ini diatur dalam UU Parpol?. Atau, OSP perlu diatur dalam suatu UU tersendiri yang berbeda dari UU Parpol dan UU Ormas karena memang organisasi ini memiliki karakteristik yang unik yaitu tidak bisa sepenuhnya dapat dikualifikasi sebagai ormas karena sebagian fungsinya sangat dekat dengan fungsi parpol, pun juga tidak bisa seratus persen disebut sebagai parpol karena memang kewenangannya tidak sama persis seperti parpol.

Penataan aturan ini harus dimaksudkan untuk mengoptimalkan fungsi dan perannya. Bagaimanapun, OSP memiliki fungsi dan peran yang sangat penting bagi parpol dalam upaya implementasi, sosialisasi dan diseminasi program dan kebijakan Partai untuk lebih mengembangkan kualitas kehidupan demokrasi dan meningkatkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. Oleh karena itu, keberadaannya harus dibina, dikembangkan dan diberdayakan oleh parpol sebagai instrumen penting untuk menarik simpati dan dukungan yang sebesar-besarnya dari segenap lapisan masyarakat yang pada gilirannya mampu memenangkan partai dalam kompetisi politik secara elegan dan bermartabat (Abdul Khaliq Ahmad: 2008).

 

Tujuan Kegiatan

Tujuan dilaksanakannya kegiatan simposium ini adalah untuk mengkaji, membahas dan menganalisis problematika pengaturan status dan kedudukan serta fungsi organisasi sayap parpol dalam sistem ketatanegaraan Indonesia sehingga dapat diketemukan sebuah formula yang tepat dan ideal dalam memposisikan organisasi sayap parpol dalam konteks ketatanegaraan Indonesia dalam rangka memperkuat bangunan negara Indonesia yang demokratis berdasarkan hukum.

 

Kegiatan Seminar Nasional

Seminar dirancang sebagai forum menyampaikan dan membahas gagasan secara terbuka. Di dalamnya akan hadir para pemikir dan tokoh yang akan menyampaikan pandangan-pandangannya terkait tema simposium sebagai narasumber. Seminar akan diikuti oleh seluruh peserta simposium yang terdiri dari peserta penulis makalah dan peserta yang tidak menulis makalah.

Adapun para narasumber seminar nasional adalah:

Pembicara Kunci: Prof. Dr. Moh. Mahfud MD, S.H.,S.U.

 

Seminar Sesi I
Nama Narasumber Sub Tema Materi Moderator
1.     Dr. Phil. Aditya Perdana, S.IP., M.Si (Director of Center for Political) Hubungan OSP dalam Sistem Politik Dr. Idul Rishan, S.H., LLM
2.     Prof. Dr. Ni’matul Huda, S.H., M.Hum (Guru Besar HTN FH UII) Problematika Pengaturan OSP
3.     Dr. rer.pol Mada Sukmajati, MPP (Dosen pada Departemen Politik dan Pemerintahan Fisipol UGM Yogyakarta) Eksistensi OSP dalam Sistem Politik
Seminar Sesi II
Nama Narasumber Sub Tema Materi Moderator
1.     Prof. Dr. Bagir Manan, S.H., M.C.L (Guru Besar HTN FH Unpad) Urgensi Pengaturan OSP Jamaludin Ghafur, S.H., M.H
2.     Prof. Kacung Marijan, MA., Ph.D (Guru Besar FISIP UNAIR) OSP dan Masa Depan Demokrasi
3.     Sri Hastuti Puspitasari, S.H., M.H. (Dosen HTN FH UII Yogyakarta) Revitalisasi OSP untuk Penguatan Sistem Kepartaian

 

Peserta

Peserta terdiri dari akademisi, kelompok masyarakat sipil, peneliti dan pemikir, perwakilan organisasi pemerintah atau non-organisasi pemerintah, mahasiswa dan lainnya yang relevan dengan jumlah sebanyak kurang lebih 200 orang.

 

Waktu dan Tempat Penyelenggaraan Simposium

Waktu       : Sabtu, 29 Juni 2019

Tempat     : Hotel Sheraton Mustika Yogyakarta

Jl. Laksda Adisucipto Km. 8,7, Nayan, Maguwoharjo, Kec. Depok,

Sleman, Yogyakarta.

 

Penyelenggara

Penyelenggara kegiatan ini adalah Departemen Hukum Tata Negara (Dept HTN) dan Pusat Studi Hukum dan Konstitusi Fakultas (PSHK) Hukum Universitas Islam Indonesia bekerjasama dengan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (Kemenkumham RI).

 

Luaran Kegiatan

Hasil simposium akan didokumentasikan dalam bentuk buku. Khusus untuk rekomendasi yang dihasilkan, akan disampaikan kepada pembentuk undang-undang dan/atau pemerintah sebagai acuan dalam membentuk regulasi organisasi sayap parpol yang ideal di masa yang akan datang.

 

Susunan Acara

(Sabtu, 29 Juni 2019)

No Agenda Waktu (WIB) Keterangan
1 Registrasi peserta 08.00 – 09.00 Hotel Sheraton Mustika Yogyakarta
2 1.     Pembukaan

2.     Pembacaan ayat suci Al-Qur’an

3.     Menyanyikan Lagu Indonesia Raya

4.     Sambutan

a. Sambutan Dekan

b. Sambutan Rektor

c. Sambutan sekaligus Membuka Acara oleh Kemenkumham

5.     Pembacaan Doa

 

09.00 – 10.00 Hotel Sheraton Mustika Yogyakarta
3 Keynote Speaker

(Prof. Dr. Moh. Mahfud MD, S.H.,S.U.)

10.00 – 10.30 Hotel Sheraton Mustika Yogyakarta
4 Seminar Nasional Sesi I

a.     Dr. Phil. Aditya Perdana., S.IP., M.Si

b.    Prof. Dr. Ni’matul Huda., S.H., M.Hum.

c.     Dr. rer.pol Mada Sukmajati, MPP

10.30 – 13.00 Hotel Sheraton Mustika Yogyakarta
5 ISHOMA 13.00 – 14.00 Hotel Sheraton Mustika Yogyakarta
6 Seminar Nasional Sesi II

a.   Prof. Dr. Bagir Manan, S.H., M.C.L

b.    Prof. Kacung Marijan, MA. Ph.D

c.     Sri Hastuti Puspitasari, SH., MH

14.00 – 16.30 Hotel Sheraton Mustika Yogyakarta
7 Coffe Break 16.30 – 17.00 Hotel Sheraton Mustika Yogyakarta

 

(Minggu, 30 Juni 2019)

No Agenda Waktu (WIB) Keterangan
1 Focus Group Discussion

1.       Problematika Pengaturan Organisasi Sayap Partai Politik

2.      Hubungan Organisasi Sayap Partai Politik dengan Partai Politik

3.      Eksistensi Organisasi Sayap Partai Politik dalam Sistem Politik di Indonesia

 

 

 

 

 

08.00 – 12.00

Fasilitator FGD
2 ISHOMA 12.00 – 13.00
3 Perumusan dan Penyampaian Hasil Konferensi  

13.00 – 14.30

Tim Perumus
4 Istirahat, Sholat dan Coffe Break 14.30 – 15.30 All
5 Penutupan 15.30 – 17.00 Panitia

 

Details

Date:
29 Juni 2019
Time:
6:00 am - 3:00 pm
Event Category:

Details

Date:
29 Juni 2019
Time:
6:00 am - 3:00 pm
Event Category: