Hapus Jabatan Wakil Kepala Daerah oleh Jamaludin Ghafur, S.H., M.H.

Sejak mantan Wakil Gubernur DKI Jakarta Sandiaga Salahuddin Uno mengundurkan diri pada 9 Agustus 2018, sampai saat ini penggantinya masih misteri.

Partai Gerindra dan PKS sebagai partai yang memiliki hak me ngu sulkan dua nama kandidat wagub baru un tuk dipilih melalui DPRD DKI Ja karta belum bersepakat hingga saat ini. Kekosongan posisi wagub dalam waktu yang lama dan dibiarkan tanpa kejelasan seperti saat ini mengindikasikan satu hal, yakni bahwa secara keta ta ne ga raan posisi wakil kepala daerah sesung guhnya tidak penting. Setidak nya ada tiga alasan yang dapat dijadikan parameter bahwa posisi wakil kepala daerah tidak begitu urgen. Pertama, tidak terdapat dampak apapun dari kekosongan kursi wagub DKI yang cukup lama.

Artinya, hanya dengan seorang gubernur roda peme rintahan tetap bisa berjalan normal. Kedua, UU Pilkada sama sekali tidak mengatur batas waktu pengisian jabatan wakil kepala dae rah apabila terjadi ke ko songan. Kalaulah posisi itu dianggap penting dalam pelaksanaan peme rintahan daerah, maka pas tilah hal tersebut akan diatur se demikian rupa sebagaimana bila terj adi kekosongan jabatan kepa la daerah di mana UU me wajibkan harus sudah ada penggantinya maksimal dalam waktu 10 (se pu luh) hari.

Ketiga, apa yang menjadi tugas dan kewenangan wakil kepala daerah juga tidak jelas selain hanya dikatakan sebagai pem bantu kepala daerah. Keti dak je lasan tugas ini menyebabkan apa yang akan menjadi tugas dan ke wenangan wakil kepala daerah se penuh nya bergantung pada “budi baik” kepala daerah. Hal ini ke mudian tidak jarang menjadi sumber konflik bila wakil kepala daerah merasa dirinya tidak diber da yakan dengan hanya sedikit tugas dan kewenangan.

Jabatan “Terlarang”

Jika merujuk pada konstitusi, jabatan wakil kepala daerah bu kan hanya tidak penting tetapi juga merupakan jabatan yang “haram dan terlarang” karena Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 secara tegas hanya mengamanatkan pemerintahan daerah di level eksekutif dipimpin oleh kepala daerah (gubernur, bupati, dan wali kota). Konstitusi sama sekali tidak memerintahkan pemilihan kepala daerah satu paket dengan wakilnya.

Hal ini berbeda dengan ja batan wakil presiden di mana Pasal 4 ayat (2) UUD 1945 menyatakan, Dalam melaku kan kewajibannya Pre si den di ban tu oleh satu orang Wakil Pre siden. Bahkan 6A ayat (1) UUD 1945 secara tegas menya takan, Presiden dan Wakil Pre siden dipilih dalam satu pa sangan secara langsung oleh rakyat. Selain tidak adanya dasar konstitusional, keberadaan se bagian wakil kepala daerah dalam praktik penyelenggaraan pemerin tahan daerah justru menim bulkan persoalan yaitu terjadinya keretakan hubungan dengan kepala daerah karena sang wakil merasa hanya dijadikan “ban serep” dan tidak difungsikan secara maksimal.

Data dari Kemen te ri an Dalam Negeri menunjukkan, 95% kepala daerah dan wakilnya ak hirnya pecah kongsi di tengah jalan. Beberapa contoh keti dak harmo nisan antara lain antara Bupati Kabupaten Kuantan Singingi di Riau, Sukarmis melawan wa kilnya, Zulkifli yang terjadi pada Februari 2016. Kemudian, antara Gubernur Kalimantan Utara Irianto Lambrie dengan wakilnya Udin Hianggio pada Oktober 2017. Terbaru, Bupati Tolitoli Mohammad Saleh Bantilan me lawan wakilnya Abdul Rahman H Buding pada akhir Januari 2018. Konflik ini tentu sangat berpengaruh terhadap efektivitas dan produktifitas kinerja pemda sehingga pasti akan berdampak buruk terhadap pelayanan masyarakat.

Seringkali disharmoni ini membuat birokrasi pemerintahan menjadi tidak satu komando. Padahal, dalam konsideran huruf b UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Dae rah, disebutkan tugas pemda sangat berat yaitu mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, ke adilan, dan kekhasan suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tanpa ada kekompakan pemimpinnya, maka tentu sangat sulit untuk merealisasikan cita-cita tersebut.

Proyeksi ke Depan

Di beberapa negara seperti Amerika Serikat, Australia, dan Kanada, gubernur sebagai pe jabat yang dipilih langsung oleh rakyat (elected official), juga tidak memiliki wakil yang sama-sama di pilih. Menurut Jimly Asshidiqie (2015), kebutuhan teknis akan adanya wakil, dipenuhi dengan cara pengangkatan wakil gubernur yang di sebut “Leutenant Governor” (Deputy atau Vice Go vernor) sebagai “orang kedua” atau wakil dalam kekuasaan peme rintahan negara bagian. Akan tetapi jabatan wakil gubernur ini tidak diisi melalui pemilihan umum, melainkan melalui pengang katan atas usul gubernur.

Berdasarkan berbagai pengalaman buruk yang terjadi akibat pecah kongsi antara ke pa la daerah dan wakilnya dan me rujuk pada pengalaman di berbagai negara tersebut serta tidak adanya dasar hukum dalam kons titusi, sudah saatnya kita mela kukan evaluasi terhadap jabatan wakil kepala daerah yang saat ini sama-sama dipilih dalam satu paket pencalonan dengan kepala daerah.

Ke depan, kalaupun jabat an wakil kepala daerah tetap akan dipertahankan, me ka nisme nya bukan dengan dipilih secara langsung tetapi cukup di tunjuk oleh kepala daerah sehingga akan tercipta chemistryantar keduanya yang diharapkan akan semakin meningkatkan kualitas pelayanan publik.

JAMALUDIN GHAFUR
Dosen Hukum Tata Negara dan Peneliti pada Pusat Studi Hukum dan Konstitusi FH UII. Kandidat Doktor FH UI Jakarta

Tulisan ini telah diterbitkan di Koran Online Sindo, 10 Desember 2018