Memilih Kucing dalam Karung (Jelang Pemilu Legislatif 2019) oleh Ahmad Sadzali, Lc., M.H.

Pemilihan umum (Pemilu) sudah memasuki tahapan kampanye hingga 13 April 2019 mendatang. Menurut UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, kampanye diartikan kegiatan peserta Pemilu atau pihak lain yang ditunjuk oleh peserta Pemilu untuk meyakinkan pemilih dengan menawarkan visi, misi, program dan/atau citra diri peserta Pemilu.

Tahapan kampanye ini menjadi sangat penting sekali, karena mendapatkan landasan filosofis demokratis yang sangat kuat. Intinya bahwa rakyat harus mengenal dan mengetahui siapa calon pemimpinnya. Karena berdasar pengetahuan itulah, maka secara logis rakyat dapat memutuskan memilih siapa yang menjadi pemimpinnya.

Di dalam karya masterpiecenya, kitab Al-Ahkam Al-Sulthaniyah wa Al-Wilayat Al-Diniyyah, Imam Al-Mawardi (wafat 1058 M) telah menuliskan sub bab tentang mengenali pemimpin negara. Imam Al-Mawardi mengatakan bahwa ketika pemimpin negara telah terpilih, maka wajib bagi rakyat untuk mengenali hal-hal yang sifatnya umum dari pemimpin tersebut, tetapi tidak wajib untuk mengetahui nama dan orangnya secara detail. Namun bagi mereka yang memiliki hak memilih—yangmana dengan hak itu dapat mengangkat pemimpin secara sah—maka wajib untuk mengenal pemimpin secara lebih detail lagi.

Dalam konteks sistem demokrasi yang saat ini berjalan di Indonesia, rakyat memiliki hak memilih pemimpin, dimana dengan pilihan rakyat itulah seseorang dapat diangkat menjadi pemimpin. Maka berdasarkan logika Al-Mawardi tersebut, seluruh rakyat yang memiliki hak pilih semestinya wajib untuk mengenali calon pemimpinnya secara detail. Dan dalam konteks demokrasi ini pula, calon pemimpin merupakan peserta Pemilu, sebab mereka mencalonkan diri terlebih dahulu untuk dipilih oleh rakyat.

 

Konteks pemimpin negara juga bisa diperluas, tidak hanya kepala negara melainkan juga para wakil rakyat. Bahkan justru wakil rakyat lah yang lebih prioritas untuk dikenali, karena merekalah yang mewakili suara rakyat. Dan melalui merekalah rakyat dapat menyalurkan aspirasinya.

Lalu pertanyaannya adalah, sejauh mana rakyat/pemilih harus mengenali peserta Pemilu atau calon pemimpinnya? Dan hal apa saja yang perlu diketahui rakyat dari calon pemimpinnya itu?

Berdasarkan definisi kampanye di atas, setidaknya yang perlu diketahui rakyat dari calon pemimpin adalah visi, misi, program dan citra diri. Jika disederhanakan, maka terdapat dua aspek yang perlu diketahui dari calon pemimpin, yaitu aspek masa depan dan aspek masa lalu. Meminjam kerangka metafisika Iqbal, bahwa sesungguhnya waktu sekarang itu tidak ada. Sekarang hanyalah sebuah momen yang terletak lebih dekat ke masa depan atau yang baru saja berlalu.

Visi, misi dan program merupakan aspek masa depan yang perlu diketahui calon pemimpin. Sebab hal ini berkaitan dengan rencana kerja ke depan. Bisa dikatakan juga berupa janji. Sedangkan citra diri berkaitan dengan aspek masa lalu. Sebab citra diri sesungguhnya merupakan jati diri yang terbangun dari masa lalu yang telah dialami calon pemimpin. Maka dari itu rekam jejak calon pemimpin sangat perlu sekali untuk diketahui.

 

Cerdas Menilai

Sudah sewajarnya peserta Pemilu berupaya untuk meyakinkan pemilih agar memilih mereka. Baik itu pada aspek masa depan berupa visi, misi dan rencana program, maupun pada aspek masa lalu berupa citra diri. Agar lebih meyakinkan, peserta Pemilu bisa saja memoles sedemikian rupa pada kedua aspek tersebut saat promosi dan sosialisasi kepada masyarakat. Maka di sini, kita sebagai pemilih harus cerdas dalam menilai promosi dan sosialisasi tersebut, agar tidak salah pilih.

Ada beberapa hal yang diperhatikan dalam menilai aspek masa depan yang ditawarkan peserta Pemilu. Misalnya seberapa ideal visi, misi dan program yang ditawarkan; seberapa solutif program tersebut dalam menyelesaikan problem masyarakat; seberapa mungkin program itu dapat direalisasikan; seberapa rasional program tersebut, dan seterusnya. Hal-hal tersebut akan lebih baik lagi jika membudaya menjadi tema-tema diskusi dan perbincangan baik formal maupun informal, bahkan hingga ke warung kopi, tempat arisan ibu-ibu, maupun pos-pos ronda.

Intinya jangan sampai kita dijanjikan sesuatu yang berada di dunia khayalan, yang pada akhirnya kita hanya diberi harapan palsu. Terkadang kita menagih janji-janji pemimpin kita yang sudah terpilih. Padahal jangan-jangan sebenarnya kita sendiri yang salah pilih, karena tidak cerdas dalam menilai janji-janji mereka.

Begitu pula ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam menilai aspek masa lalu dari calon pemimpin atau peserta Pemilu. Pada intinya rekam jejak sang calon sangat penting untuk diketahui. Apalagi misalnya, setelah adanya putusan Mahkamah Konstitusi yang memperbolehkan mantan koruptor untuk menjadi calon legislatif, maka masyarakat harus benar-benar selektif dalam memilih.

Urgensi melihat rekam jejak sang calon di antaranya adalah untuk melihat integritasnya selama ini. Integritas hanya dapat dinilai dari apa-apa yang sudah pernah dilakukan di masa lalu. Selanjutnya konsistensi integritasnya juga perlu dilihat. Dengan harapan, jika integritas sudah teruji dan juga terbukti konsisten, membuka peluang yang lebar bahwa ke depan (jika terpilih), ia juga akan tetap konsisten dengan integritasnya.

 

Tingkatkan Literasi

Untuk menilai aspek masa depan maupun masa lalu dari sang calon memang tidak mudah dilakukan. Problemnya bisa jadi bukan karena kurangnya ketersediaan informasi dari para calon. Namun sebaliknya, justru karena berlimpah-ruahnya informasi tersebut. Apalagi di tengah era kecanggihan teknologi informasi saat ini. Hampir semua calon sekarang sudah menggunakan media teknologi informasi dalam kampanye. Sehingga serangan informasi politik yang kita terima juga nyaris tak terbendung. Belum lagi maraknya fenomena hoaks (berita bohong) yang terus gentayangan di dunia maya.

Maka hampir tidak ada jalan lain untuk meningkatkan kecerdasan kita dalam memilih, selain dengan meningkatkan literasi. Budaya literasi yang tinggi, akan menjadi asupan nutrisi sangat penting dalam menumbuhkan nalar kritis. Nalar kritis akan bekerja untuk menyortir serangan informasi politik yang kita terima tersebut.

Dan pada tataran makro, peningkatan literasi di alam demokrasi merupakan bagian terpenting dalam menciptakan iklim demokrasi substantif. Budaya literasi yang baik akan mempengaruhi demokrasi ke arah yang lebih baik lagi.

Pada akhirnya, mengenali calon pemimpin sangatlah penting. Cara mengenalinya harus cerdas, sehingga kita tidak mudah tertipu dengan kamuflase-kamuflase politis. Dan supaya tidak mudah tertipu, maka kita perlu meningkatkan literasi. Agar dalam memilih pemimpin, kita tidak seperti memilih kucing dalam karung. (*)

Artikel ini telah tayang di media online banjarmasinpost dengan judul Memilih Kucing dalam Karung (Jelang Pemilu Legislatif 2019)
Editor: Didik Trio

OLEH: AHMAD SADZALI LC MH,
Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia asal Banjarmasin