Menolak Golput oleh Allan Fatchan Gani Wardhana, S.H., M.H.

Menjelang pemilu bulan April, gelombang ajakan untuk tidak menggunakan hak pilih (baca: golput) terus menggema. Sejumlah lembaga survei dan riset bahkan memprediksi bahwa angka golput dalam pemilu 2019 diprediksi masih tinggi dalam kisaran 20 hingga 30 persen. Prediksi angka golput tersebut jika dikaitkan dengan penyelenggaraan pemilu sebelumnya bisa jadi akan terbukti.

Dalam sejarah penyelenggaraan pemilu pasca reformasi, tren golput selalu mengalami eskalasi. Pada Pemilu 2004, angka golput pileg sebesar 15,90 persen, sementara dalam pilpres sebesar 21,80 persen pada putaran pertama dan sebesar 23,40 persen pada putaran kedua. Adapun pada pemilu 2009, angka golput pileg  sebesar 29,10 persen, beda tipis dengan angka golput pilpres sebesar 28,30 persen. Angka golput Pileg 2014 mencapai 24,89 persen, sementara dalam pilpres angkanya 29,01 persen.

Setidaknya ada dua faktor penyebab golput. Pertama faktor administratif, yaitu golput terjadi disebabkan karena faktor administratif seperti belum terdaftarnya seseorang yang mempunyai hak pilih untuk mencoblos. Hal ini karena pendataan yang kurang sempurna atau terkendala belum adanya identitas yang jelas sehingga belum tercatat dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT). Selain itu juga masalah banyaknya orang yang merantau ke luar daerah,  namun belum mengerti bagaimana dia mengurus hak pilih ditempat perantauan. KPU memang sudah menyediakan formulir A5 (surat pindah memilih) yang disediakan untuk mereka yang sedang dalam perantauan dan belum dapat berkesempatan untuk pulang ke kampung halaman saat pencoblosan. Golput karena faktor administratif ini masih dapat diusahakan oleh KPU dengan cara proaktif untuk melakukan sosialisasi  dengan memanfaatkan sarana dan  media yang ada, termasuk disini adalah media sosial.

Merasa jenuh

Kedua, faktor ideologis. Faktor kedua ini cukup berbahaya karena tidak selesai jika hanya diberikan sosialisasi. Golput karena faktor ideologis ini hanya dapat dilawan dengan cara membangkitkan kesadaran dalam berdemokrasi. Dalam konteks pilpres, penyebab golput karena faktor ideologis ini antara lain karena para pemilih yang tercatat dalam DPT merasa jenuh dan ‘muak’ dengan strategi kampanye yang dilancarkan oleh masing-masing tim kampanye. Kejenuhan ini misalnya karena masing-masing pasangan belum komprehensif dalam menguraikan berbagai program mereka seperti isu HAM, korupsi, lingkungan, dan lain sebagainya sehingga tidak memilih calon yang ada merupakan pilihan terbaik.

Dalam konteks pemilu legislatif, banyak masyarakat yang belum begitu mengenal antar calon legislatif sehingga muncul apatisme mereka yang berujung untuk tidak memilih para caleg yang tidak ia kenal. Dalam melawan faktor ideologis ini, partai politik harus menajamkan kembali fungsi pendidikan dan sosialiasi politik. Parpol justru tidak dibenarkan apabila menjauh dari kehidupan publik dan sebaliknya harus menjadi jangkar untuk menghubungkan kepentingan negara dengan terwujudnya kesejahteraan rakyat.

Berkah Reformasi

Disisi lain masyarakat harus belajar banyak dari peristiwa reformasi. Adanya hak untuk memilih pemimpin tanpa adanya tekanan serta intervensi merupakan salah satu berkah reformasi yang harus disyukuri. Kita harus bertanggungjawab untuk mengawal perjalanan demokrasi ini ke arah yang lebih baik karena kita sendiri lah yang telah memilihnya. Justru dengan bersikap golput, hal ini tidak akan menyelesaikan masalah. Banyak negara lain justru iri dengan demokrasi di Indonesia yang memungkinkan rakyatnya untuk memilih pemimpin tanpa ada paksaan.

Dalam ketatanegaraan islam, pemilu sebenarnya merupakan bentuk dari prinsip syura (musyawarah). Dalam pemilu langsung ini musyawarah dapat dilakukan tanpa ada tekanan karena setiap orang tidak boleh diganggu hak pilihnya. Pemilu memungkinkan masyarakat untuk bermusyawarah karena faktanya hak untuk memilih pemimpin diberikan secara bebas. Bahkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam Keputusan Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa SeIndonesia Ketiga Tahun 2009 di Padang, Sumatera Barat menyampaikan bahwa hukum untuk menggunakan hak pilihnya dalam pemilu legislatif dan pemilu presiden adalah wajib.

Adapun Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu sendiri sebenarnya tidak mengatur larangan untuk golput. Meski begitu, kita semua harus sadar bahwa pemilu merupakan sarana yang efektif untuk mewujudkan lahirnya pemimpin yang diinginkan oleh masyarakat. Mari menolak Golput!

*Terbit di Koran KR Edisi 21 Februari 2019