Polemik Hak Pilih Difabel Mental oleh M. Syafi’ie

Ada dua realitas pemilu yang menjadi karakteristik pemilu pada masa orde baru: Pertama, hasil pemilu yang sudah bisa diprediksi jauh sebelum penyelenggaraan pemilu dilaksanakan. Golkar, sudah bisa dipastikan akan menjadi pemenang lalu caleg baik di tingkat pusat maupun daerah juga bisa direkayasa siapa yang akan menjadi pemenang. Tentu saja yang dianggap dapat “bekerja sama” dengan pemerintah orde baru dalam berbagai penyimpangan konstitusionalnya. Kedua, pelanggaran (baca: kecurangan) hanya dilakukan secara vertikal, yaitu atas kehendak atau paling tidak restu dari pemerintah pusat. Hampir tidak ada lembaga negara lain yang dapat menjadi penyeimbang pemerintah untuk menjadi pengontrol. Apalagi secara kelembagaan KPU tidaklah independen, melainkan berada di bawah pemerintah pusat.

Dua realitas di atas, dapat dipastikan tidak akan terjadi lagi pada pemilu pasca reformasi hari ini. Tidak ada yang dapat memprediksi dengan pasti siapa yang akan menjadi pemenang pemilu mendatang, dalam artian semua bergantung pada bagaimana strategi partai politik dan calon yang diusungnya untuk tidak hanya mengenalkan diri melainkan menarik hati para pemilih. Berbagai survey memang sudah ada dan menggambarkan bagaimana kecenderungan pilihan para pemilih. Namun, selain tidak merupakan kepastian, keberadaan hasil survey juga merupakan murni berkat usaha para calon, bukan hasil rekayasa seperti halnya pada masa orde yang lalu.

Di samping itu, praktek pelanggaran atau kecurangan pemilu tidak lagi hanya dimonopoli oleh pemerintah pusat pada level eksekutif, melainkan sudah menyebar ke lembaga lain secara horisontal. Misalnya, hari ini kecurangan sangat mungkin dilakukan oleh pihak penyelenggara pemilu, partai politik, dan antar kontestan pemilu. Tentu kita tidak membutuhkan fotenote untuk menggambarkan berbagai bentuk kecurangan yang dapat dilakukan oleh penyelenggara pemilu, partai politik, dan kontestan pemilu, karena sudah begitu akrab dengan keseharian kita.

Penyelesaian Sengketa

Namun, meskipun potensi kecurangan masih ada dan mungkin semakin besar karena tersebar secara horisontal ke beberapa pihak, saat ini sudah tersedia mekanisme hukum yang dapat ditempuh jika terjadi kecurangan, baik oleh penyelenggara pemilu, partai politik, maupun antar kontestan pemilu. Jika sengketa terjadi dalam proses penyelenggaraan pemilu maka selain Bawaslu, ada Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) yang juga berwenang mengadili sengketa tersebut. Sedangkan jika sengketa terjadi pasca pemilu, baik terjadi karena kecurangan, kesalahan, kelalaian, maupun alasan lain, juga ada Mahkamah Konstitusi yang berwenangan mengadili sengketa hasil pemilihan umum.

Setidaknya, ada dua catatan positif penyelenggaraan pemilu pasca reformasi ini. Pertama, adalah mustahil pemilu dapat dikendalikan atau direkayasa oleh lembaga eksekutif seperti masa lalu. Sebab, penyelanggara pemilu: Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), berdiri independen dari kepentingan pihak manapun. Kedua, sekalipun terjadi kecurangan dalam pemilu, telah tersedia mekanisme sengketa hasil pemilihan umum di Mahkamah Konstitusi.

Namun demikian, sebaik apapun mekanisme dan sistem pemilu dibuat, tetap membutuhkan peran serta dari masyarakat dan civil society untuk menjadi pengontrol lansung penyelenggaraan pemilu. Masyarakat dan civil society adalah komponen terpenting dalam terwujudnya pemilu yang lansung, umum, bersih, rahasia, jujur, dan adil. Tidak hanya sebagai pemilih cerdas, namun juga sebagai aktor pengawas. Terlebih, keberadaan MA dan MK sebagai penyelesai sengketa proses dan hasil pemilu sendiri bukanlah tanpa cacat sama sekali. Dua hakim MK saat ini sudah mendekam di bui karena kasus korupsi, termasuk korupsi (baca: suap) dalam sengketa hasil pemilu yang bahkan dalam nominal yang sangat mengejutkan. Oleh karenanya, peran civil society untuk menutup rapat potensi itu adalah keniscayaan.

 
SENGKETA PASCA PEMILU Oleh: Despan Heryansyah
(Peneliti Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) dan
Mahasiswa Program Doktor Fakultas Hukum UII YOGYAKARTA)