PSHA FH UII Bersama LKBH FH UII Melangsungkan Webinar Terbuka “Norma Hukum dan Proses Pemberian Hak Guna Usaha (HGU) di Indonesia.”

Flayer Webinar Terbuka PSHA FH UII bersama LKBH FH UII, Rabu tanggal 06 Januari 2021

 

Yogyakarta, 06/01/2021. Acara yang berlangsung secara daring pada hari Rabu tanggal 06 Januari 2021 ini dibuka secara langsung oleh Perwakilan Dekanat Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, dalam hal ini diwakili Dr. Arif Setiawan, S.H., M.H. selaku Kepala Jurusan S1 Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia.

Mukmin Zakie, Direktur PSHA FH UII yang juga menjadi pemateri pada sesi Webinar ini dalam kesempatannya mengatakan, “HGU ini [secara historis] adalah warisan dari kolonial yang dikeluarkan berdasarkan Agrarisch Wet 1870. Yang dikatakan oleh Pak Boedi Harsono itu adalah kemenangan kaum kapitalis untuk memaksa parlemen menyetujui atau mengeluarkan sebuah undang-undang (wet) untuk bisa mereka berusaha membuka perkebunan yang luas di negara jajahan pada masa itu.” Lebih lanjut menurut Mukmin Zakie, pengaturan perihal HGU telah diatur dalam UUPA dan PP No. 40 Tahun 1996.

Pembukaan Webinar Terbuka PSHA FH UII bersama LKBH FH UII oleh Perwakilan Dekanant, Dr. Arif Setiawan, S.H., M.H.

Sementara, Masyhud Asyhari dalam kesempatan yang sama menyatakan, “Sebetulnya tanah negara ini tidak ada…sebelum adanya republik ini tanah-tanah telah diatur oleh hukum adat masing-masing. Dalam UUPA tegas diatur dalam Pasal 5 disebut bahwa hukum agraria yang berlaku adalah hukum adat…itulah argumentasi mengapa bahwa sebetulnya tanah negara tidak ada yang ada justru tanah adat.” Lebih lanjut, Masyhud Asyhari menyebut problematika paling mendasar dalam pemberian HGU terletak pada perbedaan paradigmatik dalam memahami tanah negara.

Suasana Webinar Terbuka PSHA FH UII bersama LKBH FH UII, Rabu tanggal 06 Januari 2021

Webinar ini bertujuan memberi pemahaman kepada peserta perihal prosedur dan problematika pengaturan HGU di Indonesia. Sehingga diharapkan lahir pemahaman dalam melihat berbagai kasus aktuil praktek pemberian dan pelaksanaan HGU di berbagai tempat di Indonesia. [Red.]

Dep. HAN FH UII Bersama PSHA FH UII Kembali Menggelar Diskusi Publik, Bertajuk “Menimbang Praktik Affirmative Action Terhadap Hukum Pertanahan di Yogyakarta”

Suasana diskusi publik via zoom meeting Dep. HAN FH UII Bersama PSHA FH UII, 11 Agustus 2020 

 

Yogyakarta, 11/08/2020. Ombudsman Republik Indonesia (ORI) pada 23 Juli 2020 menerbitkan rekomendasi atas laporan Siput Lokasari dan teman-temannya sesama keturunan Tionghoa. Dalam rekomendasinya, ORI menilai BPN (Badan Pertanahan Nasional) DIY telah melakukan maladministrasi karena itu ORI merekomendasikan agar BPN segera memproses pengajuan sertifikat SHM para pelapor yang merupakan Warga Negara Indonesia keturunan Tionghoa (daerah.sindonews.com, 23 Juli 2020).

Sri Sultan Hamengku Buwono X berbeda pandangan dengan penilaian ORI yang tertuang dalam rekomendasinya. Dia menilai rekomendasi ORI belum mengakomodir Putusan Mahkamah Agung (MA) No. 565/K/Pdt/2019 tertanggal 11 April 2019. Menurut Sultan/Raja Keraton sekaligus Gubernur DIY itu dalam pertimbangan Putusan MA No. 565/K/Pdt/2019 disebutkan bahwa Instruksi Wakil Kepala Daerah No. K898/I/A/1975 tidak bertentangan dengan asas-asas umum penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan dalam rangka melindungi masyarakat ekonomi lemah (radarjogja.jawapos.com, 4 Agustus 2020).

Berdasarkan hal tersebut di atas, tampak masih ada celah berupa persoalan hukum dalam praktik hukum pertanahan di DIY yang berdasarkan pada sifat dan kondisi “istimewa”. Perosalan yang terus menyulut perdebatan antar kelompok warga negara, khususnya yang berdomisili di DIY. Karena itu, Pusat Studi Hukum Agraria (PSHA) FH UII bekerjasama dengan Departemen Hukum Administrasi Negara FH UII bermaksud mengadakan Diskusi Publik tentang “Menimbang Praktik Affirmative Action Terhadap Hukum Pertanahan di Yogyakarta”. Kegiatan tersebut merupakan salah satu bentuk tindakan persuasif dengan menawarkan metode atau paradigma ilmiah yang dapat memberikan pemahaman kepada masyarakat secara umum. Dengan demikian, harapannya dari diskusi tersebut membantu memecahkan persoalan terkait pertanahan di DIY yang selama ini masih menjadi persoalan yang cukup serius. Setidaknya, bara sosial yang kemudian tersulut akhir-akhir ini dapat kembali dipadamkan.

Flyer Diskusi Publik Dep. HAN FH UII Bersama PSHA FH UII

Hadir sebagai pembicara pada sesi diskusi kali ini; 1) Mukmin Zakie, S.H., M.Hum., Ph.D. (Direktur Pusat Studi Hukum Agraria FH UII), 2) Dr. Ridwan HR., S.H., M.Hum. (Pakar Hukum Administrasi Negara dan Akademisi FH UII), dan 3) Eko Riyadi, S.H., M.H. (Direktur Pusat Studi Hukum dan Hak Asasi Manusia FH UII). Diskusi yang diadakan secara daring menggunaan media zoom meeting ini dibuka secara resmi oleh Dr. Abdul Jamil, S.H., M.H. (Dekan FH UII). Diskusi ini dihadiri oleh berbagai kalangan, mulai dari unsur pemerintahan D.I. Yogyakarta, para ahli, para dosen, guru-guru besar, praktisi, dan masyarakat umumnya yang menaruh perhatian pada isu agraria di Yogyakarta. Bahkan, para peserta diskusi bukan saja berasal atau berdomisili di Yogyakarta, tetapi juga hadir dari berbagai daerah lain di Indonesia. Sementara jalannya diskusi yang dimoderatori MHD Zakiul Fikri S.H. ini cukup alot, dialektika berlangsung di antara peserta dalam batas wajar yang memperkaya khazanah dan pandangan dalam melihat fenomena hukum pertanahan di Yogyakarta. [Red.]

Dep. HAN FH UII bersama PSHA FH UII Adakan Diskusi Publik tentang Keistimewaan Hukum Pertanahan di Yogyakarta

Suasana diskusi publik yang diadakan oleh Dep. HAN FH UII bekerjasama dengan PSHA FH UII di ruang sidang utama FH UII Lt. III pada Kamis, 19 Desember 2019 lalu.

Yogyakarta, 19/12/2019. Mencuatnya kembali kasus pertanahan di Yogyakarta telah memantik perbincangan di ruang publik. Perdebatan yang terjadi seputar antara mereka yang pro terhadap keistimewaan hukum pertanahan di wilayah D.I. Yogyakarta dengan mereka yang kontra dan menilai aturan tersebut diskriminatis terhadap etnis tertentu. Bahkan tak jarang muncul pernyataan-pernyataan di media sosial yang diarahkan untuk menyerang mereka yang kontra terhadap ketentuan keistimewaan hukum pertanahan di D.I. Yogyakarta itu. Karenanya, menampung perdebatan tersebut ke dalam suasana akademis amatlah diperlukan agar arah pembahasan bisa dibingkai dalam suasana ilmiah dan dapat dipertanggungjawabkan.

Berdasarkan hal itu pula, Pusat Studi Hukum Agraria (PSHA) FH UII bekerjasama dengan Departemen Hukum Administrasi Negara FH UII bermaksud mengadakan Diskusi Publik tentang “Refleksi Terhadap Keistimewaan Hukum Pertanahan di Kasultanan Yogyakarta”. Sebetulnya agenda ini sekaligus merupakan launching pengaktifan kembali PSHA selaku salah satu pusat studi mandiri di FH UII. “Pengangkatan tema tersebut mencerminkan batasan topik diskusi yang dibicarakan, yakni perihal ketentuan hukum pertanahan di Yogyakarta di masa lampau sehingga ada kata “Kasultanan” di sana [pada tema]. Lalu, tentang ketentuan hukum pertanahan di Yogyakarta saat sekarang.” Ungkap salah seorang panitia pada acara tersebut.

Dalam diskusi yang diselenggarakan atas kerjasama antara Departemen Administrasi Negara FH UII dengan PSHA FH UII di Ruang Sidang Lantai III Kampus FH UII Jl. Tamansiswa No. 158 ini hadir sebagai pembicara; Kus Sri Antoro S.P., M.Si. (Peneliti Pusat Studi Keistimewaan DIY LPPM UNU Yogyakarta), Sujitno, S.H., M.S. (Parampara Praja DIY dan Akademisi UGM), dan Dr. Ridwan HR (Pakar Hukum Administrasi dan Akademisi FH UII). Lebih dari 100 orang peserta dari berbagai elemen menjadi bagian dari diskusi yang diselenggarakan pada tanggal 19 Desember 2019 itu.

Secara ideal, harapan penyelenggaraan dari diskusi tersebut membantu menemukan simpul-simpul solusi atas persoalan pertanahan dalam wilayah administrasi pemerintahan D.I. Yogyakarta yang selama ini masih saja bergulir. Setidaknya, bara sosial yang kemudian tersulut akhir-akhir ini dapat kembali dipadamkan. Meski harapannya sedemikian itu, Mukmin Zakie Ph.D. selaku direktur PSHA dalam sambutannya menyampaikan, “bagaimanapun juga, kesimpulan dari diskusi publik ini tetap kembali kepada diri masing-masing peserta diskusi. PSHA FH UII hanya menyediakan wadah ilmiahnya tetapi tidak untuk memberikan kesimpulan.” [Red.]