Pusham UII adakan Bedah Buku dan Diskusi Bunga Rampai Tahun 2017-Etika Dan Budaya Hukum Dalam Peradilan

Tamansiswa (05/10) Pusat Hak Asasi Manusia (PUSHAM UII) menyelenggarakan kegiatan Bedah Buku dan Diskusi Bunga Rampai Tahun 2017-Etika Dan Budaya Hukum Dalam Peradilan pada Kamis, 5 Oktober 2017 jam 09.00 WIB-selesai di Ruang Sidang Utama Lt. 3 FH UII Jl. Tamansiswa 158 Yogyakarta. Kegiatan ini berlangsung atas kerjasama PUSHAM UII dengan Komisi Yudisial Republik Indonesia (KY RI) dan dihadiri oleh lebih kurang 100 peserta dari berbagai kalangan.

Hadir dan memberikan pengantar acara bedah buku dan diskusi pada kesempatan tersebut Ketua Bidang Hubungan Antar Lembaga dan Layanan Informasi KY RI Dr. Farid Wajdi, S.H., M.Hum. Beliau menyampaikan tema Efektivitas Sanksi Komisi Yudisial dalam Membangun Etika Dan Budaya Hukum Masa Depan.

Sebagaimana direncanakan ada tiga pakar kondang berbicara dalam diskusi tersebut yaitu Dr. Suparman Marzuki, S.H., M.Si Dosen FH Universitas Islam Indonesia dan Ketua Komisi Yudisial Paruh II Periode 2010-2015 dengan menyampaikan kajiannya tentang Efektivitas sanksi Komisi Yudisial dalam mewujudkan Akuntabilitas Peradilan. Pembicara kedua adalah Hifzil Alim, S.H., M.H.  adalah Dosen Fakultas Hukum UGM dan Ketua Pusat Kajian Antikorupsi UGM menyampaikan pandangannya dengan wacana Menilik Profesionalitas Hakim 72 tahun Kemerdekaan RI. Serta Dr. Mukti Fajar Nur Dewata (dosen FH UMY) berbicara masalah Budaya peradilan dan implikasinya terhadap kepercayaan publik.

Menurut Eko Riyadi Ketua PUSHAM UII, diselenggarakannya kegiatan ini bertujuan untuk: satu, membangun perspektif baru tentang etika dan budaya hukum dalam peradilan. Dua, terbangunnya sinergi antara KY dengan stakeholder, seperti aparat penegak hukum, masyarakat sipil (NGO), pers, akademisi, dan organisasi masyarakat. Tiga, Rekomendasi dari para stakeholder terkait efektivitas sanksi Komisi Yudisial dalam membangun etika dan budaya hukum masa depan. Serta tujuan ke empat adalah untuk ajang diseminasi publikasi KY dalam rangka edukasi publik.

Eko Riyadi menyampaikan pula bahwa kegiatan ini dilatarbelakangi oleh pemikiran bahwa salah satu cabang kekuasaan yang berkembang pasca Amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) adalah kekuasan kehakiman. Komisi Yudisial (KY) yang diatur dalam Pasal 24B UUD 1945 lahir sebagai produk reformasi dalam usaha mewujudkan kekuasaan kehakiman yang merdeka. Di bawah Bab IX tentang Kekuasaan Kehakiman, Komisi Yudisial yang merupakan lembaga negara yang bersifat mandiri diberikan dua kewenangan utama, yaitu: mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.

Ruang lingkup wewenang ini begitu luas, baik tindakan pencegahan (preventif) maupun penindakan (represif) untuk mewujudkan checks and balances dalam struktur kekuasaan kehakiman. Dalam menjalankan wewenang dan tugasnya, KY tidak diposisikan sebagai lembaga penegak hukum. Namun, KY memfungsikan dirinya sebagai lembaga penegak etika yang berpedoman pada Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH).

Bila dilihat lebih lanjut, hubungan antara etika dan hukum sangat erat. Etika dan hukum mempunyai tujuan yang sama, yaitu agar manusia berbuat baik sesuai dengan norma masyarakat. Bahkan, etika lebih luas daripada hukum. Etika dapat dipahami sebagai basis sosial bagi bekerjanya sistem hukum. Jika etika diumpamakan sebagai samudera, maka hukum merupakan kapalnya. Hal inilah yang dilakukan KY sebagai lembaga penegak etika bagi para hakim. Etika merupakan landasan yang harus dijunjung oleh seorang profesional termasuk hakim dalam menjalankan profesinya pada lembaga peradilan.

KY memfungsikan penegakan etika dalam upaya menjaga dan menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Sistem etika menuntun hakim untuk berintegritas dan profesional. Bagi profesi hakim yang merupakan profesi luhur (officium nobile), sistem etika merupakan inti yang melekat pada profesi hakim. Sebab menjadi kode perilaku yang memuat nilai etika dan moral.

Demikian pula dengan budaya hukum yang ikut menentukan perkembangan hukum di negara tersebut. Budaya hukum (legal structure) digunakan Lawrence M. Friedman dalam tulisannya yang berjudul The Legal System: A Social Science Perspective (1975) untuk menjelaskan salah satu komponen dalam suatu sistem hukum, selain materi hukum (legal substance) dan struktur hukum (legal structure). Budaya hukum adalah kekuatan sosial yang bersifat konstan berupa perilaku dan nilai-nilai sosial yang akan menghidupkan mesin suatu sistem hukum untuk bergerak maju atau sebaliknya berhenti. Baik etika dan budaya hukum, keduanya memiliki posisi penting dalam penegakan hukum di Indonesia.

Dikaitkan dengan tugas KY, undang-undang mengamanatkan KY untuk menerima laporan pengaduan masyarakat terkait dugaan pelanggaran KEPPH. Terhadap laporan yang dapat ditindaklanjuti dan terbuktib melanggar KEPPH, maka KY akan mengusulkan penjatuhan sanksi terhadap terhadap hakim terlapor yang melanggar KEPPH kepada Mahkamah Agung (MA).

Dalam sisi pengawasan, sanksi yang diberikan KY memang hanya sebatas rekomendasi. KY tidak diberikan wewenang untuk memberikan sanksi yang bersifat final dan mengikat, sehingga MA yang dapat menindaklanjuti rekomendasi tersebut. MA menjatuhkan sanksi terhadap hakim terlapor yang melakukan pelanggaran KEPPH yang diusulkan oleh KY dalam waktu paling lama 60 (enam puluh) hari terhitung sejak tanggal usulan diterima.

Namun, rekomendasi sanksi ini bukanlah upaya KY untuk mencari-cari kesalahan hakim. Lebih jauh, hal ini adalah dalam rangka menjalankan amanat undang-undang dalam menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat dan perilaku hakim sebagai profesi mulia (officium nobile). Rekomendasi sanksi KY merupakan bagian pengawasan atau kontrol terhadap struktur kekuasaan kehakiman. Sebagai lembaga penegak norma etik (code of ethics) KY berurusan dengan persoalan kehormatan, keluhuran martabat, dan perilaku hakim.

“Rekomendasi sanksi oleh KY diharapkan dapat menimbulkan efek jera sehingga menuntun hakim agar berintegritas dan profesional berdasarkan sistem etika dan budaya hukum. Bekerjanya hukum dalam masyarakat yang dilandasi dengan etika dan budaya hukum yang benar akan menghasilkan aparat yang profesional dalam menegakkan keadilan”, demikian tambah M. Syafi’i sebagai panitia penyelenggara yang juga adalah Dosen FH UII. (Irsan Sutoto)