Seleksi Hakim MK Oleh Despan Heryansyah

Harus kita akui, dibandingkan dengan dua periode awal dulu, kinerja Mahkamah Konstitusi (MK) nyaris selalu menurun. MK dengan berbagai kontraversi putusannya sempat menjadi harapan masyarakat Indonesia, karena independensi dan komitmennya terhadap kedaulatan rakyat serta hak asasi manusia. Apapun putusan yang diambil, karena melalui persidangan yang sangat terbuka, perdebatan panjang dan filosofis sehingga putusan itu selalu bisa diterima karena masyarakat yakin tidak ada kepentingan subjektif di dalamnya, itulah hasil keyakinan dari masing-masing hakim MK.

Namun, beberapa periode belakangan MK mulai “ditinggalkan”, kalau dulu tiap kali ada perkara atau permohonan yang diajukan ke MK, orang selalu tertarik untuk mendengar bagaimana jalannya perdebatan dalam persidangan serta apa putusan yang diambil oleh MK dengan berbagai konsiderannya. Kini, setiap kali ada perkara atau permohonan (baik judicial review, perselisihan hasil pemilihan umum/kepala daerah, maupun berbagai kewenangan yang lain), orang justeru “was-was”, jangan-jangan putusan itu diambil atas loby-loby tertentu di belakang layar antara hakim MK dan pihak terkait. Ini bukan tuduhan tanpa dasar, karena masa lalu MK sendiri pernah dikotori oleh dua kasus korupsi dengan jumlah yang sangat besar dilakukan oleh dua hakim MK. Belakangan, berbagai kasus pelanggaran etik dari yang ringan sampai yang berat, masih terus terjadi. Belakangan dilakukan oleh ketua MK sendiri yang memancing gerakan disebagian wilayah Indonesia untuk memintanya mundur sebagai hakim MK.

Kerja Tafsir

Kalau kita perhatikan lebih jauh, kerja-kerja yang dilakukan oleh hakim MK, terutama dalam hal pengujian peraturan perundang-undangan atau judicial review, adalah kerja tafsir. Pertama-tama, tafsir dilakukan terhadap pasal yang diujikan dalam suatu undang-undang, untuk mengetahui ruh, original intent, jiwa, teleologis, dan lain sebagainya dengan metode tafsir tertentu dari pasal tersebut. Lalu menafsirkan pasal dalam UUD N RI Tahun 1945 yang dijadikan sebagai batu uji, menafsirkan tentu harus mengerti terlebih dahulu secara menyeluruh semua Pasal dalam UUD. Baru kemudian melihat korelasi antara pasal yang diuji dengan batu uji yang digunakan.

Oleh karena ia kerja tafsir, maka menafsirkan tidak cukup hanya dibekali dengan pengatahuan hukum yang luas saja, karena yang akan terjadi justeru mejadikan seorang hakim sebagai alat, alat dari kepentingan pihak yang berperkara, mengingat menafsirkan juga menyangkut soal keberpihakan serta titik berangkat yang digunakan. Oleh karena itu, kerja tafsir setidaknya membutuhkan dua hal mutlak yang harus dimiliki: Pertama, kapasitas intelektual dalam ilmu hukum guna memahami ruh dan jiwa UUD, baik bagian pembukaan yang di dalamnya dimuat dasar dan tujuan bernegara, termasuk bagian batang tubuh atau pasal-pasal yang ada di dalamnya. Kedua, integritas untuk senantiasa menjaga komitmen terhadap independensi seorang hakim. Baik independensi terhadap jabatan itu sendiri maupun independensi dari pihak lain yang memiliki kepentingan dengan MK.

Sekarang adalah waktu yang tepat untuk mengembalikan MK pada marwahnya, pada khittahnya, atau pada komitmen awal pendiriannya. Ada dua hakim MK yang pada bulan Maret mendatang akan habis masa jabatannya. Saat ini telah ada sebelas (11) orang calon hakim yang mendaftar, dan panel ahli pun sudah terbentuk yang diisi oleh akademisi dan mantan hakim MK. Kredibilitas panel ahli tentu tidak kita ragukan, mereka adalah tokoh-tokoh kampus yang dikenal luas oleh masyarakat. Namun, pemilihan hakim MK yang saat ini melalui jalur DPR, sangat syarat dengan kepentingan, setidaknya kepentingan masing-masing anggota DPR bersama partai politiknya. Hal ini, mengingat pada 17 April 2019 mendatang, Indonesia akan menghadapi Pemilu Serentak dan perselisihan hasil pemilu ditangani oleh MK. Oleh karenanya, kita berharap panel ahli benar-benar independen untuk memilih calon hakim yang memenuhi kriteria intelektualitas dan integritas. Selain itu, tentu proses seleksi yang terbuka sangat diharapkan, termasuk membuka sebesar-besarnya partisipasi dari masyarakat untuk memberikan masukan terhadap masing-masing calon. Karena masyarakat luaslah yang sehari-hari berinteraksi dengan para calon yang mengerti rekam jejak mereka, bukan panel ahli apalagi anggota DPR.

 
Seleksi Hakim MK Oleh Despan Heryansyah
(Peneliti Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK)  dan
Mahasiswa Program Doktor Fakultas Hukum UII YOGYAKARTA)