Sesungguhnya Parpol Milik Rakyat oleh Anang Zubaidy, S.H., M.Hum.

Sesungguhnya Parpol Milik Rakyat

Sebenarnya kalau mau bicara pemilu sebagai bagian dari instrumen demokrasi, maka semestinya pemilu, termasuk pilpres, merupakan bagian dari hajatan rakyat. Tapi sayangnya, sejauh ini justru pemilih dimanfaatkan oleh partai politik untuk merayakan hajatannya sendiri, bukan menjadikan rakyat lebih berdaulat. Menurut saya, saat ini ada problem yang cukup mendasar bagaimana komunikasi parpol dengan rakyat untuk memastikan bahwa partai mengedepankan aspirasi dan suara rakyat.

Jika kita mau mengadopsi, pada pilpres sebelumnya kita sempat mendengar istilah konvensi calon presiden. Golkar pernah membuat konvensi pada pilpres 2004, kemudian Demokrat melakukannya pada Pilpres 2014. Meskipun Demokrat juga tidak mengusung pemenang konvesi, sebetulnya tradisi ini sangat bagus.

Bukan yang seperti sekarang, bisa jadi calon muncul saat pendaftaran sudah last minutes. Sehingga rakyat hanya diberikan calon jadi, yang mana mau tidak mau harus memilih calon yang ditawarkan. Hal tersebut ibarat kita berangkat ke rumah makan, kita tidak punya pilihan karena hanya disuguhi dua menu, misalnya. Kalau mau makan harus pilih salah satu, kalau gak ya tidak bisa makan.

Cara yang seperti itu sama saja dengan menciderai kehendak rakyat. Beda halnya kalau seandainya kita memulai dengan konvensi calon presiden, di mana jauh-jauh hari parpol sudah melakukan penjaringan. Sehingga rakyat siapa calon presiden yang akan dimunculkan. Tetapi, nyatanya sekarang hanya menjadi pembicaraan elite politik. Akhirnya masyarakat hanya menerka-nerka. Misalnya, kita masih belum tahu apakah PDIP akan mengusung Jokowi kembali atau tidak. Kemudian Golkar, meski mendukung Jokowi untuk periode kedua tapi ternyata elite Golkar masih ada yang bermain untuk mengusung calon yang lain. Begitu pun dengan sikap Gerindra, belum bisa dipastikan akan mencalonkan Prabowo Subianto. Jadi, partai politik seolah-olah menikmati permainannya sendiri, dan meninggalkan rakyatnya.

Kondisi tersebut membuat Indonesia dengan jumlah penduduk ratusan juta seakan tidak mampu melahirkan banyak calon pemimpin. Selain itu, sistem sengaja dibuat agar kita tidak mempunyai calon alternatif. Contohnya, penerapan aturan presidential threshold dalam UU Pemilu. Sebetulnya, secara konseptual aturan presidential threshold memiliki problem. Mestinya presidential threshold untuk penentuan batas capres-cawapres bisa dinyatakan menang atau terpilih sebagai presiden dan wakil presiden. Tetapi, presidential threshold digunakan untuk menjegal parpol yang minim suara atau bahkan parpol-baru untuk mengusung calon alternatif.

Maka harapan saya, Mahkamah Konstitusi (MK) bisa membuat putusan yang betul-betul membuka keran demokrasi menjadi lebih luas, setelah sebelumnya dilakukan permohonan uji materi oleh beberapa kelompok mengenai aturan presidential threshold. Kalau uji materi ini dikabulkan MK, saya yakin “permainan” Pilpres 2019 jauh lebih menarik.

Sebab, semestinya rakyat diberikan keleluasaan atau kedaulatan untuk menentukan pemimpinnya. Bahkan sejak dari proses pencalonan. Bukan seperti yang sekarang terjadi, di mana rakyat hanya dilibatkan untuk menentukan pemimpin, karena capres-cawapres sudah ditentukan oleh elite parpol.

Hal tersebut menyebabkan proses pelaksanaan kedaulatan rakyat terputus. Jika kita mau fair melaksanakan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 ini, mestinya kedaulatan di tangan rakyat dituangkan dalam proses penentuan bakal calon, penentuan calon, kemudian menentukan siapa calon yang pantas menjadi presiden melalui pemilu. Namun, sistem kita tidak sampai ke sana karena sikap parpol sangat pragmatis.

Akhirnya kedaulatan rakyat hanya dijalankan secara prosedural, yaitu saat rakyat mencoblos di bilik suara. Sementara, secara substansial belum terwujud, karena rakyat tidak bisa menentukan siapa calon yang mau diusung pada pilpres. Pada level terendah, paling tidak ada transparansi parpol kepada rakyat mengenai calon yang akan diusung. Karena seolah-olah hal itu menjadi wilayah permainan parpol yang masyarakat tidak perlu ketahui. Pada saat calon sudah ditentukan, barulah “dijual” kepada pemilih. Nah, perilaku seperti ini jauh dari hakikat partai politik sebagai badan publik, dan cenderung menerapkan praktik korporasi. Padahal, sesungguhnya papol adalah milik rakyat. (mry)

Tulisan ini telah diterbitkan di majalah online watyutink.com

Ditulis oleh Anang Zubaidy, S.H., M.Hum.
Direktur PSHK FH UII