Yuniar bicara soal Membangun Moral Demokrasi Di Daerah

Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia telah berkali-kali dilaksanakan. Bahkan pemerintah selalu mengkaji dan mengeksperimen mekanisme Pilkada, seperti pemilihan melalui DPRD, pemilihan secara langsung oleh rakyat, hingga Pilkada serentak. Namun, Pilkada dengan berbagai varian mekanisme tersebut masih saja menghasilkan sebagian kepala daerah yang koruptif.

Serentetan kasus dugaan korupsi kembali mengemuka dalam daftar Operasi Tangkap Tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (OTT KPK) tahun 2017. Gubernur Bengkulu yang terjaring OTT pada bulan Juni 2017, Walikota Tegal dan Bupati Pamekasan pada bulan Agustus 2017, hingga pada bulan September 2017 ini Walikota Batu juga terjaring OTT. Kepala daerah yang sudah nyaman duduk dikursi nomor 1 daerah ini telah luput terhadap apa yang telah mereka janjikan saat berkampanye. Bahkan masyarakat pun nampaknya juga khilaf untuk selalu menagih janji dan mengawasinya.

Sesuai UU No. 23/2014 jo. UU No. 9/2015 tentang Pemerintahan Daerah, sebelum kepala daerah beserta wakilnya memangku jabatan terlebih dahulu dilantik dengan mengucapkan sumpah/janji (vide Pasal 61 dan Pasal 63). Melalui prosesi ini kemudian timbul konsekuensi hukum, berupa melekatnya tugas, wewenang dan tanggungjawab kepala daerah untuk memimpin penyelenggaraan pemerintah daerah.

Kesadaran moral demokrasi kepala daerah beserta masyarakat dalam pemerintahan yang demokratis perlu untuk selalu dibangun dan ditingkatkan. Janji-janji yang digelorakan calon kepala daerah saat meraih hati rakyat bukan sekedar tanaman tak berbuah. Rakyat yang telah meletakkan pilihan politiknya dibilik suara sangat menaruh harap kesejahteraan hidupnya berangsur membaik, maka mengabdi kepada rakyat dengan sepenuhnya tentu menjadi tanggung jawab hukum sekaligus tanggung jawab moral kepala daerah.

Terinspirasi dari catatan Najwa, bahwa “Politik tak hanya terjadi saat kampanye dan dibilik suara, namun setelah perhelatan tersebut usai maka rakyat wajib untuk mengawasi yang berkuasa. Agar pemimpin tak bertindak seenaknya, maka jangan lupa selalu menagih janji pengabdiannya” (Najwa Shihab, 2017). Ungkapan tersebut mengandung pesan bagi segenap rakyat agar senantiasa aktif terlibat dalam proses pembangunan di daerah. Keterlibatan masyarakat untuk memantau dan mengawasi pemerintah daerah ini dapat dilakukan melalui penelitian/kajian, aktif dalam organisasi, paguyuban, maupun bentuk kegiatan lain yang konstruktif.

Todaro dan Stephen C.Smith (2006), mengemukakan bahwa “kesejahteraan” ditunjukkan dari hasil pembangunan masyarakat dalam mencapai kehidupan yang lebih baik. Rakyat sudah teramat bosan diperlakukan tidak adil dan dipimpin oleh kepala daerah yang mengkhianati janji-janjinya. Rakyat juga teramat sabar terhadap fenomena korupsi, ketidakadilan, serta kebijakan yang tidak berpihak pada kepentingan dan kebutuhan rakyat. Maka disatu sisi kepala daerah wajib bertangungjawab kepada rakyat atas jabatannya, dan pada sisi yang lain masyarakat juga harus selalu memantau, mengawasi, dan menagih janji pengabdian kepala daerah. Inilah yang kemudian disebut kesadaran moral dalam berdemokrasi.

Tulisan Yuniar Riza Hakiki (Mahasiswa Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia / Staf Peneliti Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) FH UII)

Telah diterbitkan di Republika, 25 September2017